OPINI
Popularitas Dr. Craig Considine dan Komunitas Muslim Amerika
Di luar dugaan saya, tidak berselang lama setelah saya mengirim DM (direct message) beliau merespon di kedua platform itu. Tidak sekedar menjawab. Tapi mengenalkan diri sebagai pengagum (entah apa yang dikagumi). Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation BANYAK kalangan yang bertanya sejak kapan dan dari mana saya mengenal Dr. Craig Considine, seorang professor yang saat ini sangat populer di kalangan Komunitas Muslim, tidak saja di US, tapi juga di berbagai belahan dunia Islam. Beliau menjadi populer karena kwalitas kecendekiawanan (Scholarship) dan kegigihan mencari ilmu (tholabul ‘ilm). Terlepas dari kesimpulan yang dia telah capai hingga saat ini, Dr. Considine telah memecahkan es (breaking the ice) dalam dunia keilmuan ketika sampai kepada kebenaran tentang “the other” (orang lain). Hal ini yang membawanya kepada kesimpulan bahwa Muhammad (SAW) adalah Nabi dan utusan Tuhan. Dia mencintainya sebagai role model (tauladan) khususnya dalam aspek-aspek kemanusiaan (humanity) dan sosial. Bahkan dia memposisikan diri sebagai “Muslim apologist” (seorang pembela Rasulullah dan ajarannya). Kata-kata “mengimani, mencintai, dan membela” bagi saya adalah pengakuan yang perlu diapresiasi dari seseorang yang terbuka mengaku Kristen. Hati manusia tidak diketahui dan tidak terukur. Allahlah yang mengarahkan dan menentukan kemudian apa dan bagaimana seseorang dalam keimanan. Kali ini bukan itu yang akan saya bahas lagi. Tapi sedikit latar belakang dari mana, di mana, dan bagaimana saya mulai mengenal Dr. Craig Considine yang ahli di bidang sociologi ini. Kenapa tiba-tiba saja saya dekat, bahkan saling mendukung dalam upaya membangun jembatan kesepahaman (bridge of understanding) untuk dunia yang lebih damai. Awal dari semua itu telah cukup lama. Pada sekitar tahun 2006 lalu, ketika saya masih seorang Imam di Islamic Cultural Center of New York (96th Street Mosque), saya mendapat kunjungan kehormatan dari Professional Akbar Ahmed. Beliau adalah mantan Dubes Pakistan di Inggris yang belakangan menjadi Chair Ibnu Khaldun Institute dan professor ilmu-ilmu Islam dan sosiologi di Washington University. Kehadiran beliau ketika itu untuk mewawancarai saya tentang “American Muslim” untuk proyek buku yang beliau tulis: A Journey to America. Beliau saat itu hadir di kota New York, selain mewawancarai saya juga hadir di Muslim Day Parade atau Parade Islam yang saya ketuai. Beliau juga ditemani oleh dua orang mahasiswanya. Salah satunya adalah mahasiswa muda yang bertugas mengambil gambar atau video. Mahasiswa itulah yang di kemudian hari menjadi Prof. Craig Considine, PhD. Sebagai seorang mahasiswa saat itu yang sedang bertugas menemani professornya tentu saya tidak terlalu peduli. Fokus saya adalah memberikan perhatian kepada Prof. Akbar Ahmed yang saya anggap sangat populer dan honorable (dihormati). Considine muda hanya seorang mahasiswa yang bertugas memegang kamera milik sang professor. Sejak itu kami tidak pernah lagi berkomunikasi apalagi bertemu. Hampir 10 tahun kemudian, sekitar tahun 2016, saya membaca sebuah artikel tentang Rasulullah (SAW) yang ditulis oleh seorang Professor non Muslim. Artikel itu begitu indah dan jujur, mendorong saya untuk mencari tahu siapa gerangan sang penulis; Craig Considine. Saya pun mulai mencari tahu. Pihak pertama yang saya tanya adalah Prof. Google. Ketika saya tanya Google, dengan semangatnya si Google memberikan jawaban yang banyak. Termasuk bio data, afiliasi, hingga ke media sosialnya. Awalnya saya tidak yakin Craig akan merespon. Siapalah saya. Hanya seorang aktivis jalanan yang tidak dikenal. Bukan seorang cendekiawan (ilmuwan). Bukan juga akademisi. Karenanya saya coba saja menghubungi lewat media sosialnya. Kalau tidak salah menelusuri twitter dan FB miliknya. Saya semakin kagum karena keberanian dan kejujurannya sebagai non Muslim. Di luar dugaan saya, tidak berselang lama setelah saya mengirim DM (direct message) beliau merespon di kedua platform itu. Tidak sekedar menjawab. Tapi mengenalkan diri sebagai pengagum (entah apa yang dikagumi). Dalam respon ketika itu beliau sampaikan: “Imam Ali, thank you for reaching out to me. I am one of your fans. I know you, but you don’t know me. I am the student who came to meet you along Dr. Akbar Ahmed some years ago…etc”. Singkat cerita lagi, beliau mengenalkan diri bahwa beliau sedang mendalami tentang kehidupan Muhammad (the life of Muhammad) dari aspek sosiologi. Dan beliau sedang menyelesaikan penulisan sebuah buku tentang Nabi Muhammad (SAW). Bahkan meminta saya menjadi salah seorang yang menuliskan testimoni bagi buku beliau jika nantinya diterbitkan. Dan saya lakukan itu. Pada tahun 2018 lalu saya undang Dr. Conside menjadi pembicara utama di acara tahunan Nusantara. Beliau bahkan sangat senang dan bahagia dengan undangan itu. Lalu pada 2022 ini, setelah dua tahun absen karena Covid-19, beliau hadir tidak sekedar jadi narasumber. Tapi beliau menjadi recipient (penerima) Nusantara Award 2022. Saya hanya ingin mengatakan bahwa hidup manusia itu seringkali tidak diprediksi. Hari ini tidak dikenal, bahkan tidak ada yang mau mengenalnya. Di esok hari menjadi terkenal dan banyak yang ingin mengenalnya. Dr. Considine dikenal dan terkenal karena karya-karya dan inovasi di bidang keilmuan. He deserves it. For that, congratulations my friend! NYC Subway, 3 Nopember 2022. (*)
Ubah Saja BNPT Menjadi BNPO Atau BNP-PKI!
Tentu semuanya memang hanya sekadar dugaan belaka tapi bisa jadi benar adanya. Kenyataan dan realitas yang terjadi saat ini negara dalam ancaman Oligarki dan indikasi kuat akan bangkitnya kembali PKI. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih TOKOH Muhammadiyah Din Syamsuddin mengaku sudah menduga bakal terjadi sesuatu saat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bicara tentang radikalisme dan politik identitas jelang Pemilu 2024, kata Din Syamsuddin dalam keterangan, Rabu, 26 Oktober 2022. Sebaiknya Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) diubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Oligarki (BNPO) atau Badan Nasional Penanggulangan Kebangkitan Partai Komunis Indonesia (BNPK-PKI). Cabut dan ubah UU Nomor 5 Tahun 2018 tanggal 21 Juni 2018, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sesuai kondisi aktual negara dalam ancaman Oligarki dan kebangkitan PKI. Pada masa perkembangan virus Covid dengan program PPKM dan macam- macam aturan untuk pencerahan virus Covid, BNPT seperti pensiun dari kerjanya, sunyi senyap tenang dalam posisinya. Akhir-akhir ini menjelang tahun politik 2023, narasi radikalisme dan terorisme kembali digulirkan bak gorengan lama yang berusaha dipanaskan kembali keberadaannya. Bahkan sudah beranak lahirnya narasi Politik Identitas di aduk dengan khilafah. Di balik getolnya pemerintah untuk memerangi paham radikalisme-terorisme ini muncul opini, sebenarnya persoalan radikalisme-terorisme itu diduga kuat hanya merupakan sebuah proyek yang berbahaya karena bisa memecah-belah persatuan umat dan bangsa Indonesia. Sangat mungkin ini hanya untuk menutup beberapa situasi negara dalam kondisi gawat akibat ulah Oligarki yang telah memporak-porandakan tata kelola negara dan bersamaan sangat kuat diduga akan munculnya kembali kebangkitan PKI. - Apa itu radikalisme begitu penting untuk diwaspadai? - Apakah radikalisme ini sebenarnya hanya sebuah proyek belaka? - Siapa sebenarnya yang menjadi korban terbesarnya? - Apa agenda terselubung di balik getolnya kampanye anti radikalisme-terorisme di Indonesia? Sampai detik ini, narasi radikalisme belum mendapatkan pengertian dan makna yang jelas di tengah-tengah masyarakat kita. Sebab tudingan yang didengungkan mengenai radikalisme acapkali sarat dengan kepentingan politik tertentu yang menyertainya. Bahkan, seringkali tudingan-tudingan tersebut dialamatkan kepada pihak-pihak yang dianggap telah mengancam eksistensi penguasa atau ditujukan kepada mereka yang katanya bermaksud mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan arah tembakan lurus kepada umat Islam. Ancaman terhadap penggantian Pancasila dan UUD 1945 itu sangat jelas dan terang benderang bukan datang dari umat Islam. Ancaman tersebut justru datang dari rezim bersama kekuatan Dewan Perwakilan Rakyat atas remot kaum kapitalis Oligarki yang telah berkali-kali mengamandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002. Kekuatan itulah yang saat ini riil telah mengganti UUD 1945 menjadi UUD 2002. Tiba-tiba urusannya melesat jauh ke soal radikalisme, teroris, khilafah dan politik identitas. Secara yuridis dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memang berulangkali digunakan diksi “radikalisasi”. Tidak dijelaskan definisi dari radikalisme itu sendiri sendiri sehingga tidak jelas makna yang dimaksudkannya. Selain itu hingga saat ini belum ada lembaga negara yang secara sah dapat menentukan siapa saja yang bisa disebut radikal dan tindakan apa yang bisa dilakukan kepadanya. Karena radikalisme tidaklah sama dengan terorisme, bahkan BNPT pun sebenarnya tak punya legitimasi untuk menentukan kriteria radikal maupun ekstrem dan siapa saja yang harus diwaspadainya. Terlalu banyak analisa kalau persoalan radikalisme – terorisme hanya merupakan sebuah proyek, antara lain oleh mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafidz Abbas dikutip beberapa media menyebut bahwa kasus terorisme di Indonesia selama ini terkesan seperti proyek belaka. Jauh sebelumnya, sinyalemen radikalisme-terorisme telah dijadikan proyek juga disampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU dua periode (1999-2009), KH Hasyim Muzadi (sebelum beliau meninggal dunia). Secara tersirat menilai bahwa permanenisasi isu radikalisme-terorisme di Indonesia ini sepertinya sudah dijadikan proyek-proyek yang permanen sifatnya. Laksamana TNI Purnawirawan Mulyo Wibisono, mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) ini bahkan tanpa tedeng aling-aling menyebut ada kemungkinan kemunculan teroris Solo beberapa waktu yang lalu sebagai rekayasa pihak BNPT untuk mendapatkan kucuran dana, dana dari si polisi dunia, seperti dikutip itoday, Sabtu (8/9/2012). Membaca narasi soal radikalisme-terorisme di atas memang memunculkan sebuah tanda tanya benarkah persoalan radikalisme-terorisme di Indonesia itu hanya sekadar proyek belaka? Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen yang menyatakan program pemberantasan radikalisme dan terorisme sebagai proyek semata, yang jelas program ini sasaran dan korbannya kepada umat Islam. Wajar Muhammadiyah yang secara tegas menolak ajakan BNPT untuk bersama-sama memerangi radikalisme dan terorisme di Indonesia atau menolak untuk bergabung dalam program deradikalisasi di Indonesia. “Muhammadiyah berdiri sejak 1912, jauh sebelum Republik ini berdiri, apalagi BNPT. Kami sudah berpengalaman menangani soal radikalisme,” papar Pak Din. Benar apa yang dikatakan oleh Jhon Pilgers, seorang jurnalis Australia bahwa korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap radikalisme-terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme sebagai kedoknya. Untuk umat Islam, mereka membaginya menjadi 4 golongan:1) Muslim Fundamentalis; 2) Muslim Tradisionalis; 3) Muslim moderat (liberal); Dan, 4) Muslim Sekuler. Dengan adanya penggolongan ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan pihak yang berkepentingan dalam memecah-belah umat islam atau politik devide et empera. Melalui skema pembagian ini dengan mudah akan diperuncing perbedaannya dan saling dibenturkan satu dengan lainnya. Sehingga, tidak perlu susah payah menyerang kaum muslimin, cukup memakai politik devide et empera. Selain mengandung nuansa proyek yang merugikan kepentingan umat Islam, isu radikalisme dan terorisme juga dicurigai mengandung misi terselubung yang merugikan bukan hanya umat Islam tapi bangsa Indonesia pada umumnya. Agenda terselubung itu diantaranya: - Mendangkalkan keyakinan umat Islam yang menjalankan syariat agamanya. - Patut dicurigai bahwa narasi radikalisme hanya alat untuk memukul pihak-pihak yang dinilai tidak sejalan dengan penguasa. - Stigmatisasi radikal sengaja disematkan kepada ulama (ustadz) dan tokoh masyarakat yang lantang menyuarakan kebenaran dan berani menantang kebijakan rezim yang tidak menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. - Kampanyekan kalau syariat dan khilafah Islam dianggap sebagai sistem yang tidak toleran terhadap non muslim atau yang berbeda agama. - Narasi radikalisme yang dikembangkan saat ini bisa jadi merupakan upaya untuk menutupi kebobrokan sistem neoliberal kapitalisme yang telah menggurita di Indonesia yang merugikan rakyat, bangsa dan negara. Digaungkan untuk Pengalihan Isu? Menayangkan drama radikalisme seolah menjadi ‘end game’ dari pemerintah untuk menutupi masalah-masalah yang ada dan ketidakmampuannya dalam menangani permasalahan yang menjadi kewajibannya. Tentu semuanya memang hanya sekadar dugaan belaka tapi bisa jadi benar adanya. Kenyataan dan realitas yang terjadi saat ini negara dalam ancaman Oligarki dan indikasi kuat akan bangkitnya kembali PKI. Ini waktunya UU terkait Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) diubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Oligarki (BNPO) atau Badan Nasional Penanggulangan Kebangkitan Partai Komunis Indonesia (BNPK-PKI). BNPT yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Kita harus melihat dengan jernih persoalan radikal-radikul ini, sehingga nantinya tidak terjebak pada konflik horizontal yang panjang dan melelahkan diantara anak-anak bangsa. Karena akan sangat merugikan integritas, persatuan dan kesatuan bangsa. Banyak permasalahan bangsa dan negara ini yang perlu ditangani segera, sehingga isu radikalisme, terorisme, khilafah dan politik indentitas sangat berbahaya kalau direkaya hanya untuk menutupi masalah negara dari bahaya Oligargi dan perkembangan PKI saat ini. (*)
Empat Fitnah kepada Umat Islam
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan MESKI menjadi umat mayoritas di negara Indonesia, akan tetapi umat Islam secara politik tidak dalam posisi sentral. Alih-alih ikut menentukan dan mengatur arah bangsa justru yang terjadi saat ini menjadi entitas yang selalu dibuat resah oleh perilaku pengambil kebijakan politik. Elemen demokrasi yang realitanya tidak berdaya menghadapi oligarki. Lebih jauh umat Islam pun menjadi sasaran fitnah yang sebenarnya tidak perlu. Fitnah yang tidak bagus dalam rangka membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Empat fitnah yang meski tidak pernah diungkap secara eksplisit namun dapat dirasakan sasaran akhirnya. Pertama, terorisme. Berawal dari isu global konflik peradaban. Kelompok Islam yang ditarget adalah Al Qaida pimpinan Osama bin Laden. Afganistan, Irak, Suriah dan Yaman diobrak abrik. Dunia Islam termasuk Indonesia dipenuhi rekayasa kemunculan teroris-teroris \"amatir\". Terakhir perempuan berjilbab berhijab berpistol FN di depan Istana. Seperti ada disain baku bahwa teroris itu harus beratribut Islam. Kedua, radikalisme. Fitnah berbiaya lebih murah dibanding proyek terorisme. Dihembuskan akan bahaya sikap radikal yang mengarah pada terorisme. BNPT yang seharusnya khusus mengurus terorisme kini sibuk ribut soal radikalisme. Proyek deradikalisasi dicanangkan dengan terma moderasi beragama. Sayangnya yang diwaspadai hanya kelompok Islam atau bagian dari umat Islam. Kemendikbud dan Kemenag menjadi garda depan program moderasi beragama. Hantu itu dibuat untuk menakut-nakuti. Ketiga, intoleransi. Satu paket dengan radikalisme. Sikap tidak dapat menerima perbedaan. Konon anti kemajemukan. Satu dua orang yang berprisip demikian digeneralisasi sebagai sikap umum. Tentu tidak adil. Umat Islam yang meyakini hanya agamanya yang benar dimasukkan ke dalam sikap intoleran. Racunnya adalah semua agama itu mengajarkan kebenaran. Semua agama benar. Keempat, politik identitas. Ini yang aktual dijadikan semburan fitnah baru. Serangannya tetap kepada atribut keagamaan. Jika figur, Capres misalnya, mendapat dukungan dari umat Islam, maka itu disebut sebagai politik identitas. Pelekatan Islam pada kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik merupakan politik identitas. Sementara tempelan untuk agama lain tidak. Presiden yang tidak nempat memakai pakaian adat bukan politik identitas. Tidak ada politik identitas pada sekularisme, nasionalisme sempit, nativisme bahkan atheisme. Berjuang untuk LGBT juga bukan. Fitnah kepada umat Islam itu sebenarnya bagian dari apa yang disebut dengan Islamophobia. Jika Mahfud MD menyatakan bahwa Pemerintah tidak memiliki sikap Islamophobia yang ada hanya di masyarakat, maka pernyataan itu bohong dan mengaburkan. Sepanjang isu terorisme, radikalisme, intoleransi dan politik identitas terus digaungkan oleh Pemerintah dengan sasaran bagian dari umat Islam, maka Pemerintahan dimana Mahfud MD itu ada di dalamnya adalah Pemerintahan Islamophobia. Rezim Jokowi nyata-nyata Islamophobist. Stop fitnah umat Islam, hentikan isu terorisme, radikalisme, intoleransi dan politik identitas yang semata diarahkan kepada umat Islam. Indonesia adalah negara Pancasila. Kontribusi umat Islam sangat besar. Indonesia bukan negara sekuler, atheis atau komunis. Atau mungkin negara ini memang sudah dikuasai oleh pemimpin negara yang berwatak komunis ? Benci dan takut pada agama Islam . Lalu menjadi tukang fitnah. Bandung, 4 Nopember 2022
Penyakit Itu Bernama Wahan
Diakui atau tidak, sadar atau tidak, bahwa kehinaan demi kehinaan telah menyelimuti kehidupan Umat ini. Dan itu terjadi hampir dalam semua lini kehidupan. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation DALAM sebuah haditsnya Rasulullah SAW pernah memprediksi bahwa Umat ini suatu ketika akan menjadi bagaikan “buih” di tengah lautan. Terombang-ambing seiring tiupan angin yang berlalu. Di hadits yang lain disebutkan bahwa suatu masa Umat ini akan menjadi bagaikan “sepotong daging” (lezat) yang diperebutkan oleh anjing-anjing (yang kelaparan). Di hadits pertama para sahabat bertanya: “Apakah ketika itu kita sedikit (minoritas) ya Rasulullah?” Beliau menjawab: bahkan kalian ketika itu banyak (mayoritas). Tapi saat itu kalian dihinggapi penyakit “wahan”. Sahabat kembali bertanya: “apa itu wahan ya Rasulullah?” Baginda Rasul menjawab: cinta dunia dan benci (takut) mati”. Informasi yang disampaikan oleh Rasulullah di atas terasa semakin nyata ketika kita mau dan berani membuka mata kesadaran bahwa Umat ini memang sedang dihinggapi penyakit itu. Penyakit yang terindikasi oleh tendensi “materialistik” dengan mengabaikan nilai-nilai ukhrawi (spiritualitas). Ketika Rasulullah menjawab tentang apa itu wahan sesungguhnya beliau tidak memberikan arti kata maupun defenisi dari kata itu. Justeru yang beliau sampaikan adalah indikator atau penyebab terjadinya penyakit wahan itu. Seolah beliau ingin menyampaikan bahwa terjadinya penyakit wahan ini disebabkan oleh “حب الدنيا وكراهية الموت\" (cinta dunia, takut mati). Cinta dunia adalah penggambaran situasi kejiwaan (mental state) manusia yang sangat terkungkung oleh tendensi duniawi. Penyebutan cinta dunia ini merupakan penggambaran dari cara pandang kehidupan manusia yang materialis dan bersifat sementara. Dalam bahasa kininya “cinta dunia” ini lebih dikenal dengan cara pandang atau konsep hidup yang materialis. Pahamnya dikenal dengan materialisme. Perilakunya dikenal dengan materislistik. Dalam bahasa Arab lebih dikenal dengan “المادية” atau cara pandang kehidupan yang dibatasi oleh hal-hal yang bersifat fisikal. Dengan demikian peringatan Rasulullah SAW tentang penyebab penyakit tadi sesungguhnya ada pada konsep kehidupan manusia yang saat ini telah mendominasi dunia, hampir tanpa kecuali. Paham materialisme seolah menjadi “diin” (jalan hidup) yang menguasai dunia. Dan Umat ini telah terpenjara di dalam paham itu. Untuk itu, dengan sendirinya sudah pasti penyakit wahan itu menjadi penyakit kronis yang menimpa Umat ini. Penyakit yang menjadikannya tidak memiliki posisi (stand) yang jelas dan tegas dalam merespon berbagai pergerakan global masa kini. Jika kita lihat lebih dekat lagi, sebenarnya kata “wahan” itu memiliki koneksi dengan kata “kehinaan” (hinatun). Kata ini juga memiliki konotasi yang dekat dengan kata “hayyin” (هين) yang bermakna lemah (tidak memiliki sofistikasi). Saya tidak bermaksud menggali derivasi kata ini. Tapi intinya adalah bahwa Umat ini sejak masa Rasulullah SAW telah diprediksi akan menderita penyakit wahan. Dan wahan dapat dimaknai sebagai kehinaan, rendah diri, atau situasi di mana Umat ini kehilangan “izzah” (kemuliaan). Diakui atau tidak, sadar atau tidak, bahwa kehinaan demi kehinaan telah menyelimuti kehidupan Umat ini. Dan, itu terjadi hampir dalam semua lini kehidupan. Di bidang perekonomian Umat tetinggal bahkan sering jadi sapi perahan. Secara militer jadi obyek dagang dan uji coba peralatan militer dunia. Secara ilmu dan tekonologi sangat terbelakang. Secara politik seringkali jadi mainan dunia global dan kekuatan dunia. Bahkan, secara sosial budaya jadi obyek kapitalisasi budaya orang lain. Dan semua itu terjadi karena cinta dunia tanpa kontrol (materialisme) yang mengakibatkan hilangnya harga diri (kemuliaan). Tanpa harga diri dan perasaan mulia dengan agama ini Umat tidak akan punya pegangan yang kuat (العروة الوثقي). Akibatnya, Umat hanya akan terbawa arus kekuatan dunia sesuai keinginan dan kepentingan mereka. Masanya membuka mata! NYC Subway, 2 Nopember 2022. (*)
Ketika Indonesia dan Presiden Jokowi Mendapat Mandat Memimpin Dunia
Bagaimana bisa Indonesia menjalankan. Apakah Indonesia mampu? Setahu kita, dunia sudah mampu gayuh sepeda 100 km, Indonesia merasa dirinya hanya bisa gayuh sepeda 2 km. Bagaimana memimpin? Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) INDONESIA memimpin dunia sudah benar, Presiden Jokowi sudah dilantik sebagai G20 Presidency, dan Indonesia telah diangkat menjadi Climate Change Super Power. Percaya tidak percaya, ini merupakan takdirnya Indonesia dan Jokowi. Secara spiritual ini wahyu jagat telah turun. Banyak yang mengira ini bukanlah sebuah posisi yang penting, bahkan ini cuma giliran kepemimpinan G20. Pandangan demikian sah-sah saja. Namun, dari sisi geopolitik saat ini dugaan semacam itu keliru. Karena ini adalah ujian terakhir bagi G20. Kredibel, kuat atau cuma dahan rapuh atau kerupuk. Selain itu, ini untuk pertama kali Indonesia berada pada posisi kepemimpinan yang sejalan dengan kebutuhan geopolitik dengan pembukaan UUD 1945, yakni menjaga ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh karenanya butuh cara yang benar, satu cara saja bagi Indonesia untuk menuntaskan amanahnya. Kesempatan yang tidak akan datang lagi, kalau sekarang tidak bisa menjalankan, maka tidak akan pernah bisa apa-apa. Jokowi mesti berpikir keras, satu cara bisa tuntaskan banyak masalah. Satu kali dayung 7000 kilometer lebih panjang Indonesia terlampaui, jadi cara apa yang bisa dilakukan Indonesia – Jokowi? Coba kita perhatikan bagaimana kepemimpinan dunia pernah terjadi dalam sejarah modern yang kita dengar. Pertama, harus dipimpin atau dipandu oleh sebuah falsafah dan ideologi. Sebuah cara pandang baru yang merupakan jalan yang harus ditempuh dan itu tentu saja menjadi tawaran Indonesia. Selanjutnya yang kedua adalah strategi, yakni sebuah konstitusi baru dunia, konstitusi bersama yang jika dipegang secara konsisten maka masih ada peluang dunia selamat. Sebaliknya, jika tidak konsisten dan konsekuen maka dunia terus meluncur ke arah jurang sebagaimana yang terjadi sekarang sedang meluncur deras ke jurang. Ada yang berpegangan pada pohon, dahan, dan ranting yang telah rapuh. Pegangan yang lain belum disediakan oleh Indonesia. Ketiga, Indonesia harus dapat menyediakan uang. Untuk bisa menyediakan uang maka ada tiga cara yang bisa ditempuh oleh Indonesia yakni: Pertama, Indonesia harus membuat uang yang dapat digunakan seluruh dunia untuk dapat keluar dari masalah tidak adanya uang untuk menjalankan sistem baru yang ditawarkan indonesia. Kedua, kalau tidak bisa membuat uang maka Indonesia harus mencari uang. Ketiga, kalau tidak bisa mencari uang maka Indonensia harus meminta semua orang mengumpulkan uang. Tapi menjadi pemimpin kalau cuma bisa meminta orang mengumpulkan uang, wibawa pemimpin itu tidak ada. Pemimpin tidak boleh menjadi pengengemis, apalagi mengemis kepada yang sedang susah. Setelah selesai dalam masalah uang, maka harus membangun organisasi kerja multilateral yang kuat, tangguh dipercaya, dan mempunyai kredibilitas untuk menjalankan strategi yang ada. Di dunia ini terdiri jua dari orang tidak baik. Orang orang yang punya uang tapi membuat kerusakan. Juga, ada orang baik, tapi tidak punya kekuatan untuk berbuat kebaikan. Inilah fungsi organisasi baru yang akan dibangun. Organisasi yang mengurus perusahaan, mengurus negara dan mengurus seluruh anggota masyarakat dunia. Tapi mungkin pemerintah Indonesia, Jokowi bingung bagaimana memimpin dunia, bukan hanya memimpin negara-negara, tapi memimpin masyarakat dunia. Bagaimana bisa Indonesia menjalankan. Apakah Indonesia mampu? Setahu kita, dunia sudah mampu gayuh sepeda 100 km, Indonesia merasa dirinya hanya bisa gayuh sepeda 2 km. Bagaimana memimpin? Begini saja dulu, coba tunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mau, dan bersedia mengemban amanah ini. Cara menunjukkan kemauan itu bisa dimulai dari APBN Indonesia dan dana CSR Indonesia akan dialokasikan untuk membiayai komunitas global yang mau mendedikasikan hidup mereka pada perbaikan dunia, membangun inisiatif iklim dan mendorong keterbukaan digitalisasi secara internasional bagi transparansi. Kalau belum punya uang bisa dimulai dengan membiayai Asia dulu, kalau uang masih sangat sedikit bisa dimulai dari Asean. Intinya mulai dengan menjadi pemimpin yang banyak memberi. Bagaimana sinuhun, iso apa ora? (*)
Orang Yang Paling Ikhlas Mengurus Sepakbola adalah Nirwan Bakrie
\'Pekerjaan saya ngurus bola, bisnis itu cuma hobi\', itulah quotation yang kerap didengar dari Nirwan Dermawan Bakrie tiga puluh tahun lalu. Ternyata masih berlaku hingga hari ini. Oleh: Rahmi Aries Nova |Wartawan Senior FNN AKHIR Mei lalu penulis menerima pesan via WhatsApp dari NDB --begitu sebutan untuk Nirwan Bakrie--, ia bertanya: Egy (Egy Maulana Vikri) keluar dari Senica (klubnya di Liga Slovakia), dia mau main di mana? Saat itu media baru memberitakan bahwa Klub FK Senica yang dihuni dua pemain Indonesia Egy dan Witan Sulaeman tengah mengalami masalah keuangan, yang menyebabkan dua pemain Indonesia yang bermain di sana memutuskan kontraknya alias keluar. Witan yang berstatus pemain pinjaman kembali ke klub asalnya di Liga Polandia Lechia Gdansk. Bagaimana dengan EgyTernyata itu cukup meresahkan bagi seorang NDB. Ia tidak mau pemain yang jadi salah motor tim nasional itu tidak punya klub. \"Persija mau Egy,\" cetusnya singkat. Dan saya pun menyampaikan keinginan NDB tersebut via agen Egy Dusan Bogdanovic. \"Saya tersanjung karena pemain saya diminati oleh orang yang telah banyak berkorban untuk sepakbola Indonesia,\" ungkap Dusan, agen yang lima pemainnya berstatus pemain nasional. Egy sendiri juga berterimakasih dengan tawaran itu, tapi ia masih ingin mengembangkan karirnya di Eropa. Kecewakah Nirwan Bakrie?. \"Alhamdulillah. Kalau bisa berkiprah di luar, paling baik itu. Doa dan full usaha agar berhasil. Aamiin\", tulis NDB saat mendengar keputusan Egy setelah dua pekan menunggu. Ini hanya sebagian kecil saja cerita yang menggambarkan kecintaan seorang NDB pada sepakbola Indonesia. Saya sendiri selalu menyebut NDB adalah Bapak Industri Sepakbola Indonesia. Meski ia tak pernah klaim, tapi Liga Indonesia yang ada saat ini adalah \'karyanya\'. Saat klub-klub liga tidak boleh memakai lagi dana APBD karena katanya itu pintu masuk korupsi pejabat daerah (kenyataan korupsi makin merajalela hingga hari ini), NDB lah yang menjadi penyelamat hingga liga tetap bisa bergulir. Di tim nasional kontribusinya juga tak pernah berhenti. Baik secara langsung saat menjadi Ketua BTN (Badan Tim Nasional) PSSI atau lewat program-program Primavera, Baretti, dan SAD yang mengirim pemain-pemain terbaik berlatih di Italia dan Uruguay. Ia juga pernah membeli Klub Liga 2 Belgia Vise, yang tadinya diperuntukkan untuk pemain Indonesia yang ingin merumput di Eropa. Hebatnya semua dilakukan tanpa \'pamrih\', semata hanya ingin membangun sepakbola. NDB pun sadar itu bukan kerja ringan dan singkat, bahkan tak jarang ia malah jadi sasaran fitnah. Sebutan mafia bola kerap diarahkan ke dirinya, yang hanya ia tanggapi dengan senyum enteng saja. \"Sudah biar saja. Orang kan tidak tahu, jadi kita tidak perlu marah,\" jawabnya ringan. Pada akhirnya memang waktu membuktikan hanya ia yang bertahan di sepakbola hingga hari ini (lebih empat puluh tahun). Bahkan di usianya yang menginjak 71 tahun (1 November 2022) ia masih \'aktif\' mengurus Persija, tim elit yang kabarnya musim ini menganggarkan Rp 220 Miliar untuk mendatangkan pelatih dan pemain asing, serta pemain lokal. Ia juga menjadikan Persija sebagai akademi terbaik dengan banyaknya pemain muda Persija yang dipanggil ke tim nasional. Jadi agak aneh jika masyarakat sepakbola, PSSI, bahkan mungkin pemerintah kesulitan mencari figur yang pas untuk menggantikan Mochamad Iriawan alias Iwan Bule yang akan mundur dari kursi Ketua Umum PSSI lewat Kongres Luar Biasa (KLB) Maret mendatang. Hanya Nirwan Bakrie yang paling ikhlas mengurus sepakbola, hanya Nirwan Bakrie yang pantas duduk di kursi itu.
Solusi Resesi Global: Hukum Progresif dan Keadilan Substantif
Mana yang akan terbukti? Kebangkitan sistem kekhalifahan baru ataukah makin kokohnya raksasa India, China dan Amerika? Atau justru yang akan terjadi adalah Cycle of Fear: Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo DIREKTUR Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, pernah memberikan komentar penting terkait ancaman resesi yang melanda dunia. Ia menyebut bahwa pelemahan ekonomi itu kemungkinan besar terjadi. Kristalina mengatakan prospek ekonomi global telah “gelap secara signifikan” sejak April 2022 lalu. Ia mengatakan bahwa IMF akan menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global di angka 3,6% untuk tahun 2022. Disebutkan bahwa resesi global ini disebabkan oleh beberapa hal yang terjadi secara hampir bersamaan. Seperti penyebaran inflasi yang lebih universal, kenaikan suku bunga yang lebih substansial, perlambatan pertumbuhan ekonomi China, dan meningkatnya sanksi terkait dengan perang Rusia di Ukraina. Beberapa riset menyebutkan bahwa resesi ekonomi kemungkinan besar terjadi tahun depan. Terbaru, analisa Nomura Holdings menyebutkan bahwa resesi akan dialami negara-negara ekonomi besar seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Kanada, Australia, Korea Selatan (Korsel), dan juga zona Euro (Kepala Riset Pasar Global Nomura, Rob Subbaraman). Enam negara ini berisiko mengalami resesi yang lebih dalam dari perkiraan jika kenaikan suku bunga memicu kegagalan perumahan dan deleveraging,\" tulis laporan yang dijelaskan Subbaraman itu. Bagaimana dengan China? Subbaraman juga memberikan penjelasan terkait China. Menurutnya, China memiliki tren cukup aneh di mana kebijakan nol-Covid tetap diterapkan, sementara ekonominya diprediksi bebas dari resesi. Mungkin kita akan kagum dengan keadaan ini, dan boleh jadi hal ini sesuai Ramalan NIC bahwa di tahun 2020-an China Menjadi Raksasa dan ada pula Ramalan Khilafah Baru akan muncul. Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) pada Desember 2004, “A New Caliphate provides an example of how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system” [Maping The Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project]. Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia tahun 2020 yang telah lalu. Dalam dokumen tersebut, NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni: (1) Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia. China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia; (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS; (3) A New Chaliphate: Kebangkitan kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat; (4) Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (fobia), yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia – kekerasan akan dibalas kekerasan. Dari dokumen tersebut jelas sekali bahwa negara-negara Barat meyakini bahwa Khilafah Islam akan bangkit kembali. Menurut mereka, Khilafah Islam tersebut akan mampu menghadapi hegemoni nilai-nilai peradaban Barat yang kapitalistik sekuler. Bagaimana dengan Indonesia? Tekanan inflasi tinggi di AS juga mendorong kenaikan suku bunga acuan lebih tinggi. Secara historis tekanan inflasi tinggi di AS direspon dengan kenaikan suku bunga acuan yang tinggi juga di Indonesia. Ini bisa berpotensi menimbulkan gejolak dan volatilitas karena peranan dollar Amerika Serikat di dalam transaksi dunia lebih dari 60% dan ini memberikan dampak signifikan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kalau kita cermati megapa resesi global khususnya di bidang ekonomi adalah karena Potensi Kenaikan Hutang dan Bunga. Dua hal ini lekat dengan pengelolaan perekonomian berbasis Sistem Kapitalisme Sekuler yang jauh dari tuntunan Alloh dan dengan demikian pasti telah terjadi Krisis Spiritualitas. Runtuhnya Sebuah Negeri Bermula dari Krisis Spritualitas Jika anda bertanya, apa sebab peradaban dunia dewasa ini justru bergerak mengalami kemunduran? Sejak dari ancaman perubahan iklim, ancaman kelaparan (krisis pangan), ancaman peperangan dan ancaman dari berbagai wabah penyakit menular, maka salah satu jawabannya dapat ditemukan dalam Al-Qur\'an surah Al-Rum. Di dalam Surah ini, Allah SWT memberitahu sebab-musabab hancurnya kerajaan Persia dan Romawi yang pernah menjadi negara adidaya pada masanya. Jadi inilah sebab musabab runtuhnya dua kerajaan besar di masa lampau (Persia dan Romawi/Konstantinopel). Dari sisi kemajuan pembangunan infrastruktur (pisik/lahiriah), mereka memang terdepan. Ayat ini juga mengakui hal itu. Namun mereka lalai dalam urusan kehidupan akhirat. Pola kehidupan semacam ini akan berpengaruh pada Hukum-Hukum yang Ditetapkan dan Diterapkan, yakni Hukum yang tidak memiliki Dimensi Keluhuran melainkan hanya Berdimensi Duniawi yang hanya berdasarkan Konsensus manusia yang dzalim. Ini terjadi baik dalam sistem sosial komunisme maupun liberal kapitalisme. Keduanya Sekuler dan telah terbukti \"menyengsengsarakan\" umat manusia dengan tanda-tanda Resesi Global. Apa solusinya? Secara singkat dapat dikatakan kita harus kembali kepada Hukum Progresif yaitu Hukum yang berdimensi spritualitas kehidupan. Mengapa begitu? Karena dimensi spritualitas ini memiliki keluhuran, ketinggian, kemuliaan daripada dimensi duniawi. Dengan demikian, jika menghendaki Peradaban duniawi kokoh, memiliki kedudukan yang mulia, tinggi, berkeadaban dan tidak mudah Jatuh Dalam Resesi maka kehidupan spritualitas dalam suatu masyarakat hendaknya diperhatikan Dan Membingkai Hukum yang Ditetapkan dan Diterapkan. Hukum apa yang sangat Progresif itu? Tidak lain adalah Hukum Alloh, Syariah Islam yang agung dalam mengelola kehidupan dalam segala aspeknya yang jauh dari praktik Ribawi. Bagaimana bisa diterapkan? Apakah dalam negara demokrasi bisa? Bisa tetapi tidak kaffah dan cenderung Prasmanan sehingga sulit juga untuk berkelit dari ancaman Resesi Global. Satu-satunya cara untuk dapat terjadi penetapan dan penerapan Hukum Islam adalah Sistem Pemerintahan Islam Global yang disebut Kekhalifahan atau pun Imamah. Sistem Pemerintahan dengan Hukum Islam inilah yang akan menjamin hadirnya Keadilan Substantif. Namun, berdasarkan sejarah, kita harus sadar betul bahwa setiap negeri, setiap peradaban tumbuh dan berkembang dalam dua alam sekaligus, secara beriringan (paralel) dalam batas-batas waktu yang telah ditetapkan atasnya. Dan oleh sebab itu, pasti adanya bahwa setiap negeri, setiap peradaban memiliki durasi masa pertumbuhan, perkembangan, dan kejayaannya masing-masing, untuk selanjutnya mengalami keruntuhan pada waktu yang telah ditentukan (oleh Allah) atasnya. Artinya, kekuasaan itu dipergilirkan. Kebanyakan, pengabaian kehidupan spritual itu terjadi karena tiadanya keyakinan pada diri seorang individu bahwa pertemuan dengan Allah merupakan keniscayaan yang pasti akan terjadi. Dan karena itu, mereka abai untuk melakukan persiapan-persiapan menyambut saat tibanya masa pertemuan yang dijanjikan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan Resesi Global selalu berulang terjadi. Pertanyaannya adalah: Apakah meski terlambat Ramalan NIC akan terbukti dengan melihat fakta-fakta yang muncul sekarang ini? Mana yang akan terbukti? Kebangkitan sistem kekhalifahan baru ataukah makin kokohnya raksasa India, China dan Amerika? Atau justru yang akan terjadi adalah Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (fobia), yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia – kekerasan akan dibalas kekerasan. Tabik...!!! Semarang, Rabu: 2 November 2022. (*)
Magma dan Bara Revolusi Akan Meletus
Amarah rakyat akan terbakar dan meletus. Magma gunung akan meletus dan gelombang tsunami akan datang, revolusi akan muncul, bersamaan dengan lahirnya pemimpin Revolusi. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih “ALAM telah memutuskan bahwa apa yang tidak sanggup membela diri, tak akan dibela” (Ralp Waldo Emerson). “Saat ini Indonesia telah menjadi milik kaum elit, para borjuis – kapitalis Oligarki, bebas mengatur dan mengendalikan negara dengan suka cita menjadi ambtenaar”. Terpantau dari media sosial telah memancing amarah, kejengkelan, kepada rezim yang mengatur negara dengan ugal-ugalan. Suara keras dari moncong pengeras suara pendemo, meminta agar Presiden Joko Widodo bersedia menemuinya. Rezim justru menjauh mendengar aspirasi apalagi dialog dari hati ke hati dengan pimpinan demo. Dari balik Istana justru terdengar nyaring keangkuhan Jokowi mengatakan: “berapa lama kalian akan bertahan untuk berdemo”. Presiden keluar-masuk melalui pintu belakang Istana. Keangkuhan dan kesombongan terus muncul di saat rezim seharusnya bisa bersama rakyat bergandeng tangan menghadapi kondisi ekonomi dan politik negara yang makin runyam dan gelap. Kebuntuan komunikasi antara rakyat dengan rezim menimbulkan percikan api ketidakpuasan dan kekecewaan makin membesar, arahnya bisa menjadi bara magma menjelang saatnya lahir gerakan people power atau Revolusi. Keadaan bergerak menuju titik terendah, penderitaan rakyat makin meluas. Rezim putar lidah menakut-nakuti (riil memang menakutkan) dengan terus memberi sinyal keadaan akan makin gelap, dengan bahasa yang rakyat tidak semua paham makna arus pengaruh global ekonomi yang terus memburuk. Loh menakut-nakuti rakyat tercium bau busuk hanya akan dijadikan alasan menunda Pilpres 2024. Agar tetap berkuasa sebagai boneka Oligarki. Sekuat- kuatnya berbohong pasti akan terkena batunya, semuanya akan terbongkar. Pada situasi sulit dan ketika para praktisi, ahli dalam bidang masing-masing khususnya para pakar ekonomi memberi saran stop proyek mercusuar seperti infrastruktur, sperti IKN agar dihentikan sementara, rezim fokuslah menolong menyelamatkan ekonomi rakyat. Sifat pongah rezim tersebut justru balik memberi jalan keluar seperti sedang kesurupan, melesat jauh dari rasional dan akal sehat dengan balik memukul rakyat dengan cuap-cuap, “Silakan tanam singkong, makan keong, enceng gondok”. Kebuntuan memaksa dan terpaksa para pakar sementara tetap di tempat, mengisi waktunya terus berdiskusi teori-teori klasik mengatasi resesi global yang dari satu negara ke negara lain. Membahas realitas memang berat bagaimana mengatasi kondisi yang makin mencekam. Sekalipun muncul dengan pemikiran riilnya tetapi masih jauh dari memadai sebagai kekuatan moral mendesak rejim lebih realistis mengatasi keadaan yang makin kritis. Rakyat terus menimbun rasa amarah, tapi tak tahu akan ke mana salurannya, jalan keluarnya masih menemui tembok buntu. Dalam media sosial saling melupakan kemarahannya tanpa titik temu bahkan sering terjadi pertengkaran sendiri dalam ruang yang sama-sama pengap dan gelap. Kesadaran sesekali muncul suara galaknya ini, waktunya rezim harus turun atau diturunkan dengan gerakan revolusi. Sayang, semuanya belum terlihat menjadi kekuatan yang riil masih saling menunggu, berharap sesekali memerintah orang lain untuk segera bergerak. Anehnya antara yang memerintah dan diperintah sama-sama berada di tempat yang sama. Semestinya dialog-dialog teori harus disudahi, mewujud, dan beranjak dari ruang debat tanpa ujung, bergerak menuju ruang perumusan pergerakan untuk penyelesaian masalah. Masalah yang sudah terang-benderang sewajarnya harus metamorfosa menjadi sebuah gerakan. Karena terus dibahas ketika selera gaya analis makin kelelahan justru makin buram dan gelap, semestinya dirumuskan menjadi lebih terang dan realistis Kemurkaan rakyat akan membentuk gelombang tsunami, sekalipun saat ini belum menunjukkan tanda gerak-gerik mengarah menjadi gelombang dahsyat penggulingan rezim. Fakta semua masih bermain-main dengan dalil wait and see, sedang di situlah sebenarnya seorang pengecut bersembunyi dan tiarap. Mereka tetap terus menunggu momentum, tidak sadar momentum hanya akan datang dengan tangan-tangan, keringat, dan keberanian kita untuk bergerak berjuang merubah keadaan yang makin sulit. Revolusi memang tidak bisa dipercepat dan tidak bisa ditunda, kalau lahar magma gunung amarah rakyat sudah waktunya meletus pasti akan pecah gunung tersebut, lahar akan menyambar dan menerjang kemana-mana. Amarah rakyat akan terbakar dan meletus. Magma gunung akan meletus dan gelombang tsunami akan datang, revolusi akan muncul, bersamaan dengan lahirnya pemimpin Revolusi. “Kehidupan adalah suatu pertempuran panjang, kita harus berjuang dalam setiap langkahnya....” (Athur Schopenhuer) ... (*)
Mungkinkah PKS Tak Mengusung Anies?
Oleh: Yarifai Mappeaty - Pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Makassar PERTANYAAN di atas diam-diam merambat di benak publik, lantaran sejauh ini PKS belum juga melakukan deklarasi mengusung Anies. Padahal, PKS dikenal sebagai partai pengusung dan pendukung utama Anies di Pilkada DKI 2017. Secara kasat mata, publik tak melihat ada halangan bagi PKS untuk melakukan itu. Logikanya, sebagai partai oposisi, mestinya PKS menjadi partai pertama mendeklarasikan Anies. Faktanya tidak. Justeru Partai Nasdem yang notabene partai pendukung rezim, loncat duluan merebut momentum itu. Publik lantas mengira bahwa PKS sengaja mengulur waktu, dan memang enggan menjadi yang pertama. PKS tak mau menjadi bahan olok-olok dan bully-an para buzzerRp, “Partai kadrun mengusung kadrun.” Jika itu benar, maka sikap PKS yang demikian dapat dimaklumi. Bahkan hingga dua pekan berlalu pasca Partai Nasdem mendeklarasikan Anies, publik masih tetap haqqul yakin kalau PKS akan tetap mengusung Anies. Apalagi setelah PKS menolak tawaran dua pos menteri dari rezim, asal mau meninggalkan Anies, makin mempertebal keyakinan itu. Tetapi tak lama kemudian, suasana kebatinan pendukung Anies, kaget, ketika PKS tiba-tiba menyodorkan Ahmad Heryawan (Aher), mantan Gubernur Jabar, sebagai calon pendamping Anies. Memang, masalahnya apa? Aher sudah tak sepopuler dulu, seperti pada lima atau sepuluh tahun lalu. Ia telah hilang dari percakapan publik. Hemat penulis, ada benarnya. Sebab jangankan publik awam, penulis saja yang relatif melek infomasi, baru tahu kalau Aher saat ini adalah Wakil Ketua Dewan Syuro PKS. Seingat penulis, dalam satu atau dua tahun terakhir, Aher tidak pernah disebut-sebut oleh Lembaga survei manapun. Kalau keterkenalannya saja sudah redup, bagaimana bisa punya elektabilitas memadai sehingga layak dipertimbangkan untuk menjadi calon pendamping Anies? Aher memang cukup kuat di Jabar, anggap saja begitu. Tetapi bagaimana di provinsi lain, Jatim, misalnya? Diyakini Aher sulit terjual di sana. Dan, perlu diingat bahwa sudah dua kali Pilpres, 2014 dan 2019, Jatim selalu menjadi penentu kemenangan. Padahal, kalau berpikirnya menang, mestinya Anies dicarikan sosok pendamping yang memiliki hubungan sosio-kultural dengan Jawa Timur. Toh, di Jabar, elektabilitas Anies sudah tak kalah dari kedua pesaingnya. Sosok potensial yang tepat untuk itu, mau tak mau, kita mesti menyebut Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Bersama Partai Demokrat dan juga faktor SBY tentunya, AHY memiliki basis relatif kuat di wilayah Mataraman yang meliputi Nganjuk, Ngawi, Blitar, Magetan, Pacitan, Kediri, Ponorogo, Madiun, dan Trengalek. Tak kalah penting, AHY dari sisi elektabilitas, nyaris semua Lembaga survei menempatkannya di urutan keempat. Bahkan dalam berbagai survei simulasi pasangan Capres - Cawapres, elektabilitas Anies - AHY tertinggi. Bahwa AHY adalah Ketum Partai Demokrat, kesampingkan dulu. Kalau mau menang, jangan bersikap partisan, tetapi tetap persisten pada kerangka koalisi. Demikian pula para pengamat, nyaris semua menilai duet Anies – AHY jauh lebih punya daya jual ketimbang Anies – Aher. Apakah PKS tidak menyadarinya? Mustahil. Inilah yang membuat publik belakangan ini ragu pada sikap PKS tatkala menyodorkan Aher. Bahkan timbul spekulasi kalau Aher akan dijadikan alasan bagi PKS untuk meninggalkan Anies. Mengapa PKS bersikap begitu? Ada yang melontar bahwa PKS pada dasarnya tak benar-benar berdaulat, tetapi telah dikontrol oleh pemilik modal besar. PKS boleh saja istiqomah dari godaan rezim, tetapi bagaimana kalau pemilik modal itu main mata dengan rezim? Inilah yang menghantui para diehard Anies. Terhadap semua spekulasi itu, penulis sendiri tak mau percaya, terlalu liar. Lagi pula wajar saja kalau PKS menyodorkan kadernya, sepanjang itu bukan “pokoknya”. Dan, jangan lupa pada sikap PKS yang telah membuktikan istiqomahnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Mendeklarasikan Anies bagi PKS, hanya soal waktu.
Menyoal Presiden Sebagai Kepala Negara Tanpa Konstitusi
Padahal TNI adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. Tetapi dalam UUD 2002 itu jelas tidak ada kata kepala negara, maka kekuasaan presiden bisa melakukan sekehendaknya. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila KETELEDORAN yang sangat fatal dalam mengganti UUD 1945 dengan UUD 2002, karena di dalam UUD 2002 tidak ada satu pasalpun tentang Presiden sebagai kepala negara. Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian bunyi Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Yang dimaksud negara hukum adalah negara yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi tegas apabila dilanggar. Indonesia juga negara yang berdasar pada konstitusi. Pengertian konstitusi secara umum adalah asas-asas dasar serta hukum suatu bangsa, negara atau kelompok sosial. Di mana yang menentukan kekuasaan, tugas pemerintah dan menjamin hak-hak tertentu bagi warganya. Bagi sebuah negara, konstitusi merupakan kumpulan doktrin serta praktik yang membentuk prinsip pengorganisasian fundamental. Kita bisa bayangkan jika kepala negara tidak diatur dengan jelas di dalam konstitusi, maka tentu akan menjadi tidak jelas batas kekuasaan dan bisa menjadi penyalagunaan wewenang. Di dalam UUD 1945 tentang kepala negara ada di penjelasan kekuasaan kepala negara pada pasal 10,11,12,13,14,15, UUD 1945 kekuasaan kepala negara itu dijelaskan pada penjelasan UUD 1945. Ketika UUD 1945 diamandemen rupanya pengamandemen lupa memasukkan Presiden sebagai Kepala Negara tentu saja ini sangat fatal dan bisa berujung salah tafsir dan penyalagunaan wewenang. UUD 1945 Pasal 10 Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dalam pasal 10 Presiden sebagai apa kepala pemerintahan atau kepala negara tidak jelas sebab tidak ada pasal tentang kepala negara. Dalam situasi apa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Kalau tidak ada penjelasan tentang kepala negara ini sangat gawat, sebab Presiden bisa menyeret TNI dalam kehendaknya atau sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Padahal TNI adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. Tetapi dalam UUD 2002 itu jelas tidak ada kata kepala negara, maka kekuasaan presiden bisa melakukan sekehendaknya. Dari kasus ini harusnya profesor tata negara itu sadar terjadi bahaya dalam kenegaraan kita tidak ada jalan lain kecuali kembali pada UUD 1945 dan Pancasila. Kebobrokan sistem demokrasi liberal yang justru merampas kedaulatan rakyat dan demokrasi dikuasai oligarki. (*)