Magma dan Bara Revolusi Akan Meletus
Amarah rakyat akan terbakar dan meletus. Magma gunung akan meletus dan gelombang tsunami akan datang, revolusi akan muncul, bersamaan dengan lahirnya pemimpin Revolusi.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
“ALAM telah memutuskan bahwa apa yang tidak sanggup membela diri, tak akan dibela” (Ralp Waldo Emerson).
“Saat ini Indonesia telah menjadi milik kaum elit, para borjuis – kapitalis Oligarki, bebas mengatur dan mengendalikan negara dengan suka cita menjadi ambtenaar”.
Terpantau dari media sosial telah memancing amarah, kejengkelan, kepada rezim yang mengatur negara dengan ugal-ugalan.
Suara keras dari moncong pengeras suara pendemo, meminta agar Presiden Joko Widodo bersedia menemuinya. Rezim justru menjauh mendengar aspirasi apalagi dialog dari hati ke hati dengan pimpinan demo.
Dari balik Istana justru terdengar nyaring keangkuhan Jokowi mengatakan: “berapa lama kalian akan bertahan untuk berdemo”. Presiden keluar-masuk melalui pintu belakang Istana.
Keangkuhan dan kesombongan terus muncul di saat rezim seharusnya bisa bersama rakyat bergandeng tangan menghadapi kondisi ekonomi dan politik negara yang makin runyam dan gelap.
Kebuntuan komunikasi antara rakyat dengan rezim menimbulkan percikan api ketidakpuasan dan kekecewaan makin membesar, arahnya bisa menjadi bara magma menjelang saatnya lahir gerakan people power atau Revolusi.
Keadaan bergerak menuju titik terendah, penderitaan rakyat makin meluas. Rezim putar lidah menakut-nakuti (riil memang menakutkan) dengan terus memberi sinyal keadaan akan makin gelap, dengan bahasa yang rakyat tidak semua paham makna arus pengaruh global ekonomi yang terus memburuk.
Loh menakut-nakuti rakyat tercium bau busuk hanya akan dijadikan alasan menunda Pilpres 2024. Agar tetap berkuasa sebagai boneka Oligarki. Sekuat- kuatnya berbohong pasti akan terkena batunya, semuanya akan terbongkar.
Pada situasi sulit dan ketika para praktisi, ahli dalam bidang masing-masing khususnya para pakar ekonomi memberi saran stop proyek mercusuar seperti infrastruktur, sperti IKN agar dihentikan sementara, rezim fokuslah menolong menyelamatkan ekonomi rakyat.
Sifat pongah rezim tersebut justru balik memberi jalan keluar seperti sedang kesurupan, melesat jauh dari rasional dan akal sehat dengan balik memukul rakyat dengan cuap-cuap, “Silakan tanam singkong, makan keong, enceng gondok”.
Kebuntuan memaksa dan terpaksa para pakar sementara tetap di tempat, mengisi waktunya terus berdiskusi teori-teori klasik mengatasi resesi global yang dari satu negara ke negara lain.
Membahas realitas memang berat bagaimana mengatasi kondisi yang makin mencekam. Sekalipun muncul dengan pemikiran riilnya tetapi masih jauh dari memadai sebagai kekuatan moral mendesak rejim lebih realistis mengatasi keadaan yang makin kritis.
Rakyat terus menimbun rasa amarah, tapi tak tahu akan ke mana salurannya, jalan keluarnya masih menemui tembok buntu.
Dalam media sosial saling melupakan kemarahannya tanpa titik temu bahkan sering terjadi pertengkaran sendiri dalam ruang yang sama-sama pengap dan gelap.
Kesadaran sesekali muncul suara galaknya ini, waktunya rezim harus turun atau diturunkan dengan gerakan revolusi.
Sayang, semuanya belum terlihat menjadi kekuatan yang riil masih saling menunggu, berharap sesekali memerintah orang lain untuk segera bergerak. Anehnya antara yang memerintah dan diperintah sama-sama berada di tempat yang sama.
Semestinya dialog-dialog teori harus disudahi, mewujud, dan beranjak dari ruang debat tanpa ujung, bergerak menuju ruang perumusan pergerakan untuk penyelesaian masalah.
Masalah yang sudah terang-benderang sewajarnya harus metamorfosa menjadi sebuah gerakan. Karena terus dibahas ketika selera gaya analis makin kelelahan justru makin buram dan gelap, semestinya dirumuskan menjadi lebih terang dan realistis
Kemurkaan rakyat akan membentuk gelombang tsunami, sekalipun saat ini belum menunjukkan tanda gerak-gerik mengarah menjadi gelombang dahsyat penggulingan rezim.
Fakta semua masih bermain-main dengan dalil wait and see, sedang di situlah sebenarnya seorang pengecut bersembunyi dan tiarap.
Mereka tetap terus menunggu momentum, tidak sadar momentum hanya akan datang dengan tangan-tangan, keringat, dan keberanian kita untuk bergerak berjuang merubah keadaan yang makin sulit.
Revolusi memang tidak bisa dipercepat dan tidak bisa ditunda, kalau lahar magma gunung amarah rakyat sudah waktunya meletus pasti akan pecah gunung tersebut, lahar akan menyambar dan menerjang kemana-mana.
Amarah rakyat akan terbakar dan meletus. Magma gunung akan meletus dan gelombang tsunami akan datang, revolusi akan muncul, bersamaan dengan lahirnya pemimpin Revolusi.
“Kehidupan adalah suatu pertempuran panjang, kita harus berjuang dalam setiap langkahnya....” (Athur Schopenhuer) ... (*)