OPINI

Membobol Dinding Arogansi Oligarki

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan GERAKAN Nasional Pembela Rakyat (GNPR) yang terdiri dari komponen bangsa GNPF Ulama, FPI, PA 212, Ormas-Ormas Islam, Ormas Nasionalis, LSM dan pengelompokan masyarakat lainnya bersiap untuk Aksi Akbar atau Aksi Bela Rakyat pada Senin 12 September 2022 di depan Istana Negara. Keprihatinan dan perlawanan adalah spirit kebersamaan rakyat yang merasa semakin tertindas akibat kebijakan Pemerintahan Jokowi yang tidak populis dan sewenang-wenang.  Ada tiga tuntutan yang dicanangkan yaitu turunkan harga BBM, turunkan harga-harga, dan tegakan supremasi hukum. Tiga tuntutan ini menjadi sangat strategis dalam rangka berkhidmah pada umat dan rakyat. Harga BBM yang berkali-kali naik, harga-harga kebutuhan semakin mencekik, serta hukum yang diskriminatif dan menghimpit.  Kenaikan harga BBM disaat baru saja rakyat lepas dari tekanan Covid 19 yang menekan adalah kebijakan brutal. Alasan bahwa subsidi tidak tepat sasaran itu mengada-ada dan hanya menutupi pemaksaan kehendak. Kenaikan harga BBM dipastikan berimplikasi luas, termasuk pada kenaikan harga bahan-bahan pokok.  Usai Presiden mengumumkan kenaikan harga BBM maka harga-harga barang di pasaran langsung ikut naik termasuk barang kebutuhan pokok masyarakat. Hal ini menekan kemampuan daya beli masyarakat yang belum pulih pasca pandemi. Semakin keras saja jeritan rakyat.  Tidak ada pilihan selain Pemerintah harus membatalkan kenaikan harga BBM demi menyelamatkan kehidupan rakyat. Solusi lain mesti ditempuh termasuk penghematan anggaran dan pemotongan gaji atau tunjangan pejabat dan aparat. Batasi hutang luar negeri dan stop proyek-proyek ambisius seperti Kereta Cepat dan perpindahan Ibu Kota baru.  Tuntutan ketiga yang sangat mendasar adalah penegakan hukum. Hukum di bawah rezim Jokowi telah ambyar. Di samping transaksi yang berbau mafia hukum, juga hukum telah menjadi alat kepanjangan tangan politik atau kekuasaan. Hukum sebagai alat untuk melumpuhkan bahkan membunuh lawan politik. Kasus HRS, HBS, Eddy Mulyadi, Farid Okbah, KM 50 dan lainnya adalah contoh.  Turunkan harga BBM, turunkan harga-harga, dan supremasi hukum merupakan teriakan keras ke telinga Jokowi dan anggota kabinetnya.  Agar rezim bersikap lebih bijak dan berempati pada penderitaan rakyat. Akan tetapi bila tetap tuli dan buta akan realita bahwa rakyat sudah muak dengan kebohongan, keserakahan dan ketidakbecusan maka keniscayaan tumbang adalah masalah waktu saja.  Jika mahasiswa bergerak, buruh menggemuruh dan umat telah bertakbir serentak, maka sang waktu sedang berlari mendekat. Elemen kerakyatan lainnya ikut melangkah dengan cepat. Pasukan perubahan itu akan mampu membobol dinding arogansi oligarki.  Demokrasi harus segera dipulihkan kembali demi lurusnya kiblat bangsa. Kiblat yang telah dibelokkan arahnya oleh kaum penjajah dan para penghianat bangsa. (*)

Negara Kapitalis Subsidi BBM, Indonesia Malah Mencabut

Jadi, secara total, neraca keuangan minyak bumi Indonesia masih surplus Rp 33,15 triliun (Rp 91,65 triliun – Rp 58,50 triliun). Angka subsidi pertalite per liter ini tinggal disimulasi saja, apakah Rp 5.000, Rp 6.000, atau berapa? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) NEGARA maju, liberal dan kapitalis, saja masih mau memikirkan rakyatnya, dengan memangkas pajak BBM untuk meringankan beban masyarakat atas kenaikan harga minyak mentah: subsidi BBM ini diberikan kepada semua orang, termasuk orang kaya. Tapi, Indonesia menaikkan harga Pertalite, Solar dan Pertamax, penerimaan pajak (PBBKB dan PPN) ikut naik. Pajak pertalite naik dari Rp 1.055 menjadi Rp1.380/liter. Di tengah kesulitan masyarakat, pemerintah itu seharusnya membantu publik dengan menghapus pajak BBM. Perlu dicatat, konsumsi pertalite sekitar 23 juta KL, dengan harga Rp 7.650 per liter, pemerintah daerah dan pusat mendapat pajak (PBBKB 5% dan PPN 11%) Rp 24,27 triliun. Di tengah kesulitan inflasi dan harga minyak mentah yang tinggi, pemerintah seharusnya bebaskan pajak BBM tersebut. Kalau pemerintah mempunyai rasa empati kepada rakyat, untuk sementara ini harga BBM seharusnya tidak dikenakan pajak (PBBKB dan PPN). Harga pertalite sebesar Rp 10.000 per liter, kalau tanpa pajak menjadi Rp 8.620 per liter. Kalau Pertamina, Perusahaan Milik Negara, Milik Rakyat, berempati dengan rakyat, untuk sementara waktu Pertamina bisa menghapus keuntungan BBM bersubsidi, kalau keuntungan pertalite Rp 1.000 per liter, maka harga pertalite bisa menjadi Rp 7.650 Lagi. Semoga masih ada rasa empati Pemerintah! Coba kita tengok bagaimana hitungan produksi minyak Indonesia. Realisasi produksi minyak mentah Indonesia Semester I 2022 sekitar 611 ribu barel per hari. Jika produksi semester dua sama besar, maka produksi minyak mentah Indonesia tahun 2022 akan mencapai 223 juta barel (611.000 barel x 365 hari), atau sekitar 35,5 miliar liter. Minyak mentah itu diproduksi oleh mitra kontraktor minyak dengan pola bagi hasil, Production Sharing Contract (PSC). Perhitungan bagi hasil sebelumnya berdasarkan ‘hasil bersih’ setelah dikurangi seluruh biaya produksi (cost recovery). Sedangkan bagi hasil sekarang berdasarkan gross split. Untuk minyak bumi, 57 persen pemerintah, dan 43 persen mitra kontraktor. Untuk gas bumi, 52 persen pemerintah, dan 48 persen mitra kontraktor. Artinya, Indonesia akan mendapat minyak mentah sebanyak 20,3 miliar liter, yaitu 57 persen dari total produksi 35,5 miliar liter untuk tahun 2022. Berapa harga produksi minyak mentah Indonesia tersebut? Nol rupiah. Karena sudah dibayar dengan bagi hasil 43 persen. Jadi, artinya, biaya produksi BBM Indonesia hanya biaya proses kilang, rata-rata 5 dolar per barel (untuk kilang lama), atau hanya Rp 472 per liter (5 dolar x Rp 15.000 : 159 liter). Harga jual Pertalite Rp 7.600 per liter, sudah termasuk biaya distribusi, marjin keuntungan, dan pajak (PBBKB dan PPN). Anggap saja total biaya tersebut Rp 1.600 per liter. Artinya, pendapatan bersih pemerintah dari penjualan pertalite yaitu Rp 6.000 per liter, dengan harga pokok produksi hanya Rp 472 per liter! Indonesia sekarang ini adalah negara net importer minyak mentah. Artinya, minyak milik pemerintah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga perlu impor. Dengan harga minyak mentah yang cukup tinggi saat ini, maka harga pengadaan BBM juga menjadi tinggi. Bagaimana dampaknya? Pertama, kebutuhan seluruh BBM nonsubsidi (RON 92 ke atas) dan BBM industri dipenuhi dari impor. Harga BBM tersebut sudah mengikuti harga keekonomian. Artinya, tidak ada subsidi. Kemudian, minyak milik pemerintah diproses untuk pertalite dan biosolar ‘bersubsidi’, dijual dengan harga Rp 7.600 dan Rp 5.150 per liter, atau, setelah dikurangi biaya distribusi, marjin keuntungan dan pajak, tinggal Rp 6.000 dan Rp 4.000 per liter. Dikurangi biaya kilang Rp 472 per liter (dibulatkan menjadi Rp 500), maka pendapatan negara, bersih, menjadi Rp 5.500 dan Rp 3.500 per liter. Selanjutnya, kebutuhan biosolar ‘bersubsidi’ (yang sebenarnya tidak ada subsidi) sekitar 10 miliar liter (10 juta KL). Dari penjualan biosolar, diperoleh pendapatan negara, bersih, Rp 35 triliun (Rp 3.500 x 10 miliar liter). Sisa minyak pemerintah, setelah dialokasikan untuk biosolar, tinggal 10,3 miliar liter, dialokasikan untuk pertalite. Pendapatan negara, bersih, dari pertalite menjadi Rp 56,65 triliun (Rp 5.500 x 10,3 miliar liter). Sehingga total pendapatan bersih negara dari kekayaan alam Indonesia, milik rakyat Indonesia, mencapai Rp 91,65 triliun (Rp 35 triliun + Rp 56,65 triliun). Malaysia sepertinya menggunakan perhitungan seperti ini. Sehingga, BBM sejenis RON 95 (setara Pertamax Plus) bisa dijual dengan harga di bawah Rp 7.000, tanpa menyebut subsidi, tanpa menyebut APBN akan jebol, karena memang secara total ternyata masih surplus besar. Tetapi, kebutuhan pertalite dan biosolar domestik sangat besar, masing-masing sekitar 22 miliar liter dan 10 miliar liter. Sedangkan minyak mentah milik pemerintah hanya 20,3 miliar liter, untuk memenuhi sebagian kebutuhan pertalite, 10,3 miliar liter, dan seluruh kebutuhan biosolar 10 miliar liter (100 persen). Sehingga ada selisih 11,7 miliar liter kebutuhan pertalite yang harus dipenuhi dari impor. Dengan tingkat harga minyak mentah yang tinggi saat ini, biaya produksi bbm (harga keekonomian) kemungkinan besar lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp7.600 (termasuk biaya distribusi, marjin keuntungan dan pajak). Pertamina akan rugi kalau tidak dibantu dengan subsidi pemerintah. Berapa besar subsidinya? Kalau subsidi rata-rata Rp 5.000 per liter maka total subsidi hanya mencapai Rp 58,5 triliun (11,7 miliar liter x Rp 5.000 per liter). Jadi, secara total, neraca keuangan minyak bumi Indonesia masih surplus Rp 33,15 triliun (Rp 91,65 triliun – Rp 58,50 triliun). Angka subsidi pertalite per liter ini tinggal disimulasi saja, apakah Rp 5.000, Rp 6.000, atau berapa? Jadi, sekali lagi, bagaimana APBN bisa jebol? Subsidi yang cukup besar dalam APBN itu malah untuk subsidi listrik, mencapai Rp 56,5 triliun di dalam UU APBN tahun anggaran 2022. (*)

Kalau Anies Dijadikan Tersangka, Rakyat Tak Punya Pilihan Lain

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN  Kemarin, Rabu (7/9/2022), Anies Baswedan mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sendirian. Tidak ada pengawal maupun pendamping. Dia diperiksa selama 11 jam. Kalau orang-orang KPK berakal, maka kedatangan Gubernur Jakarta itu dengan tidak membawa siapa-siapa akan mereka pahami sebagai suasana tanpa beban. Tanpa beban berarti keyakinan penuh bahwa dia tahu seratus persen seluk-beluk Formula E yang dipersoalkan oleh KPK. Yang sekarang punya baban adalah KPK sendiri. Orang-orang di lembaga antikorupsi ini sebetulnya sudah mengerti bahwa Anies tidak punya perkara yang harus ditindaklanjuti. Tidak ada sepeser pun uang negara yang dimakan Anies dalam hal pembayaran fee Formula E. Anies hanya mempercepat pembayaran supaya tidak kena denda. Tapi, mengapa KPK masih mencari-cari kesalahan? Bahkan beredar luas spekulasi bahwa Anies akan dijadikan tersangka. Mengapa? Yang jelas, KPK tidak sendirian. Atau lebih tepat: tidak mandiri. Pantas diduga, ada yang menitipkan keinginan. Nah, apa dampak yang akan muncul kalau Anies djadikan tersangka? Pastilah rakyat mayoritas pendukung Anies akan melihat upaya mentersangkakan itu sebagai “instruksi” dari kelompok oligarki konglomerat hitam. Tidak ada tafsiran lain bagi rakyat. Pemeriksaan Anies oleh KPK murni soal politik. Murni soal nafsu oligarki yang tidak ingin Anies maju di Pilpres 2024. Oligarki rakus, perampok Indonesia, sadar bahwa mereka akan sirna di bawah Presiden Anies Baswedan. Jadi, mereka akan lakukan apa saja untuk mencegah itu. Kalau mau mempersoalkan dugaan korupsi, maka kasus Sumber Waras, pengadaan bus TransJakarta, dll, jauh lebih muda untuk diungkap. Mengapa KPK tidak menelusuri kasus-kasus ini? Oleh karena rakyat yakin pemeriksaan Anies oleh KPK murni sebagai “instruksi” oligarki, maka dipastikan grass-root Anies di seluruh Indonesia akan menyambutnya dengan aksi-aksi politis pula. Apabila Anies dijadikan tersangka, dapat dipastikan rakyat cerdas dan sehat akal akan turun ke jalan-jalan. Tidak hanya Jakarta, tapi di seluruh pelosok negeri untuk menunjukkan perlawanan. Kalau para penguasa ingin memicu pergolakan nasional yang akan berlangsung tanpa jeda, maka jadikanlah Anies tersangka. Jika para pengusaha dan penguasa punya duit tak bernomor seri, maka rakyat Anies akan menunjukkan semangat perlawanan yang tak berbatas. Unlimited. Jangan-jangan tindakan bodoh menjadikan Aneis tersangka akan mempercepat pematangan kejatuhan rezim bobrok yang hari ini berbau sangat busuk. Rakyat tidak punya pilihan lain. Mereka tidak akan membiarkan puncak kezaliman itu berlangsung tanpa koreksi. Boleh jadi rakyat sudah lama menunggu alasan yang sangat kuat untuk melancarkan aksi unjuk rasa besar-besaran.[]

Biar Saja Jika Anies Terus Dizalimi, Itu Cara Tuhan Mengangkat Derajatnya

Oleh : Ady Amar | Kolumnis SEORANG kawan yang \"beraroma\" sufi mengirim pesan lewat WhatsApp. Begini katanya, Biarkan saja Anies diperlakukan demikian. Itu pelonco Tuhan atasnya, dan itu lewat KPK. Cuma itu saja bunyi pesannya. Pesan yang sebenarnya biasa, tapi dimunculkan saat kita lupa bahwa ada tangan Tuhan bermain di sana. Bahkan di balik setiap peristiwa. Dan kita dibuat tersadar bahwa apa yang tampak tidak mengenakkan, itu justru skenario-Nya. Skenario out of the box. Maka, jalan lurus Anies seolah dibuat serba penuh kesulitan, itu bagian dari cara Tuhan melatihnya. Panggilan KPK itu bukan sesuatu yang mesti ditakuti. Tidak ada yang mampu menjatuhkan seseorang, kecuali diri sendiri telah menggali lubang untuk jatuh terjerembab. Maka kedatangan Anies ke KPK bukanlah kedatangan seorang koruptor yang digelendeng tanpa bisa menegakkan kepala, malu tanda nista. Tapi Anies sebaliknya, datang ke KPK dengan berjalan tegap, penuh percaya diri. Sambil senyum pada awak media, menyapa dengan lambaian tangan dan sesekali jempol tangan kanannya diangkat. Sedang di tangan kiri map biru dipegangnya. Datang tanpa beban. Cool. Setelah pemeriksaan lebih kurang 11 jam, dan saat memberi keterangan pada awak media dan massa yang menyemut memenuhi halaman KPK. Anies katakan bahwa kedatangannya untuk membantu kerja KPK. Agar membuat sebuah peristiwa menjadi terang benderang. Anies tidak bicara jalannya \"pemeriksaan\", tapi justru menyampaikan bahwa kedatangannya untuk membantu KPK. Anies menyampaikan, bahwa bukan baru kali ini ia bantu KPK. Tidak panjang apa yang disampaikan Anies, dan selesai tanpa membuka sesi tanya jawab. Kesan publik kental bahwa Anies dizalimi, lebih politik ketimbang hukum. Dan itu lewat pintu KPK. Pastilah itu jadi poin tersendiri buatnya. Disitulah Anies punya kesempatan beri penjelasan utuh tentang pelaksanaan Formula E, yang bersih dari unsur korupsi atau penyelewengan uang negara. Hal yang biasa didengungkan para influencer yang dibayar untuk menggerus elektabilitas Anies. KPK yang dikesankan zalim, seperti memberi panggung buat Anies. Dari panggung yang penuh intrik mentersangkakan Anies, menuju panggung mempertontonkan pada khalayak bahwa Anies bersih dari unsur korupsi. Itulah skenario Tuhan yang sulit dinalar. Menzalimi Anies yang tak henti-henti lewat berbagai cara, bahkan sampai perlakuan memfitnahnya, itu bisa jadi cara Tuhan mengangkat derajatnya lebih tinggi. Dizalimi tanpa mau membalas menjadikan nilai plus tersendiri buatnya. Justru hal ini yang tak disadari mereka yang terus asyik bermain dengan politik kotor, yang pastinya luput mengevaluasi, bahwa apa yang selama ini dilakukan untuk mengecilkan Anies tidak malah menjadikannya kecil. KPK lewat salah satu komisionernya, Alexander Marwata, cuap-cuap di media, yang mestinya tidak dilakukannya. Katanya, bahwa memeriksa Anies perlu mempertanyakan apakah pelaksanaan Formula E itu untung atau merugi. Pernyataan aneh. Keluar dari tupoksi kerja KPK. Membuat Peter Gontha, pengusaha dan mantan duta besar RI untuk Polandia, geram. Kalau begitu, katanya, sekalian saja KPK selidiki apakah lomba MotoGP di Mandalika dan Asian Games itu untung atau malah merugi. KPK tampak ditarik pada ranah politik. Itu pelemahan sesungguhnya. Muncul siapa yang perlu dibidik, meski tak ditemukan unsur korupsi, dan pembiaran pada kasus yang terang benderang mengandung unsur korupsi. Misal, kasus RS Sumber Waras. Upaya membebaskan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dari jerat hukum. Menzalimi Anies Baswedan, dengan berbagai cara, itu tidak akan menggoyahkan popularitas dan elektabilitasnya. Setidaknya sampai saat ini, yang muncul malah justru sebaliknya. Terkadang Tuhan mengangkat derajat seseorang dengan seolah tampak dizalimi. Seolah Tuhan tidak hadir di sana. Tidak demikian. Tuhan hadir dengan cara-Nya, yang jauh dari persangkaan manusia berhati dan pikiran kotor. Maka, terus saja zalimi Anies Baswedan. (*)

Perseteruan Andika-Dudung, Apa yang Kau Cari Jenderal?

Namun, menurut sebuah sumber, Jenderal Dudung pun berambisi untuk menduduki kursi Panglima TNI karena setahun lagi tepatnya bulan November 2023 dia akan memasuki masa pensiun. Oleh: Tjahja Gunawan, Wartawan Senior SEBELUM Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon membongkar perseteruan antara Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dengan KSAD Jenderal Dudung Abdurrachman dalam Rapat Komisi I DPR dengan Panglima TNI, Menhan, dan para Kepala Staf Angkatan, sehari sebelumnya, pada Ahad, 4 September 2022, Andika memimpin langsung rapat pembentukan tim seleksi akhir penerimaan calon taruna Akademi Militer. Jenderal Andika Perkasa menyatakan akan pelototi langsung nama-nama Taruna Akmil yang lulus pendidikan. Dia ingin, para taruna Akmil yang lulus untuk Tahun Ajaran 2022 merupakan putra-putri bangsa yang terseleksi sesuai standar dan ideologi Akademi TNI. “Saya akan melakukan Pantukhir sebagai bentuk verifikasi akhir agar taruna-taruni terseleksi sesuai standar dan ideologi akademi militer TNI,” kata Andika sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara, Ahad (4/9/2022). Pantukhir yang dimaksud adalah seleksi tahap paling akhir oleh Panitia Penentuan Akhir. Terdiri dari para petinggi TNI dan matra-matra TNI yang diberikan kewenangan untuk itu. Pada kesempatan itu, Andika memimpin langsung rapat pembentukan tim seleksi. Aspek mental dan ideologi serta kesetiaan pada Pancasila dan UUD 1945 menjadi salah satu hal pokok yang menjadi parameter utama penerimaan seorang calon taruna. Sebenarnya bukan hanya dalam seleksi taruna Akmil, Andika juga kerap terlibat secara langsung dalam setiap seleksi penerimaan calon perwira.  Jenderal lulusan Akmil 1987 itu ingin menunjukan dirinya merupakan seorang sosok militer profesional.  Anak Bungsu Dudung Dalam sebuah pertemuan dengan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo, Andika pernah menekankan, tidak ada kuota khusus bagi lulusan SMA tertentu. Dia meminta semua lulusan SMA diperlakukan sama. Dalam kapasitasnya sebagai Panglima TNI, tentu instruksi Andika tidak hanya berlaku bagi Akademi Angkatan Udara (AAU). Melainkan juga bagi Akmil dan Akademi Angkatan Laut (AAL). Masalah kemudian muncul setelah Andika mencoret calon taruna Akmil bernama Mohammad Akbar Abdurachman (MAA). Bocah ini dinyatakan tidak layak lolos karena selain umurnya yang belum mencukupi juga tinggi badannya dianggap tidak memenuhi standar.  Dalam aturan internal TNI, syarat pendaftar adalah minimal berusia 18 tahun dan maksimal 22 tahun. Sontak saja keputusan Andika membuat geger para petinggi TNI. Menurut sebuah sumber di lingkungan TNI-AD, mendengar putusan Panglima TNI itu, KSAD Jenderal Dudung Abdurrachman tidak terima anak bungsuya divonis gagal lolos penerimaan calon taruna 2022. Andika Perkasa dianggap ikut campur terlalu jauh dan mengurusi yang bukan kewenangannya. Dudung memang sengaja mempersiapkan anak bungsunya masuk taruna Akmil karena itu dia sengaja menyekolahkan anaknya di SMA Taruna Nusantara (TN) Magelang. Selama ini, SMA TN memang kerap memasok banyak calon perwira dari jalur rekrutmen Akmil. Sebenarnya perseteruan Andika-Dudung ini sudah berlangsung agak lama, setidaknya ketika Dudung Abdurrachman menjadi Pangdam Jaya. Ketika itu, Andika Perkasa menjadi KSAD. Menurut seorang sumber yang dekat dengan Jenderal Andika Perkasa, ketika Dudung melakukan aksi copot baliho Habib Rizieq Shihab dan atribut FPI, KSAD Andika waktu itu menilai apa yang dilakukan Pangdam Jaya bukan merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsinya.  “Sejak saat itu, hubungan keduanya renggang. Sementara Dudung sendiri merasa di atas angin karena bisa melakukan lobi langsung dengan Presiden Jokowi maupun Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri,” kata sumber itu. Pencopotan Baliho HRS dan FPI tersebut dalam rangka menyenangkan Jokowi sedangkan Megawati sudah merasa tersanjung ketika Dudung Abdurrachman membuat patung Soekarno di Gedung Akmil Magelang saat dia masih menjadi Gubernur Akmil. Dalam setiap kegiatan Panglima TNI Jenderal Andika bersama para Kepala Staf angkatan, hanya KSAD yang sering absen termasuk dalam rapat dengan Komisi I DPR yang membahas rencana kerja dan anggaran, Senin (5/9/2022).  Selain Andika, dalam rapat itu juga hadir KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo dan KSAL Yudo Margono. Sedangkan Menhan Prabowo Subianto diwakili oleh M. Herindra dan KSAD diwakili oleh Wakasad Letjen Agus Subiyanto. Prabowo diketahui tengah mendampingi Presiden Jokowi di Istana Bogor. Sementara Dudung melakukan kunjungan ke wilayah Kodam II Sriwijaya dalam rangka pemeriksaan kesiapan operasi Satgas Yonif. Sebagian kalangan  berspekulasi bahwa disharmoni antara Jenderal Andika dengan Dudung Abdurrachman, juga terkait dengan perebutan kursi Panglima TNI. Seperti diketahui, pada akhir tahun 2022 ini Jenderal Andika Perkasa akan memasuki masa pensiun. Jika Presiden Jokowi tidak memperpanjang jabatan Jenderal Andika sebagai Panglima TNI, maka estafet kepemimpinan tertinggi di tubuh tentara ini akan beralih kepada KSAL Laksamana Yudo Margono. KSAL Yudo Margono seharusnya mendapat giliran sebagai Panglima TNI setelah Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Namun, rupanya Presiden Jokowi sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI memutuskan memilih KSAD Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI pada 17 November 2021 lalu. Namun, menurut sebuah sumber, Jenderal Dudung pun berambisi untuk menduduki kursi Panglima TNI karena setahun lagi tepatnya bulan November 2023 dia akan memasuki masa pensiun. Skenarionya, jika Dudung Abdurrahman naik jadi Panglima TNI maka jabatan KSAD akan digantikan menantu Luhut Binsar Panjaitan, yakni Pangkostrad Letjen TNI Maruli Simanjuntak. Dengan begitu, Maruli yang lulusan Akmil 1992 ini juga berpeluang menjadi Panglima TNI. Di tengah banyaknya persoalan dalam kehidupan masyarakat, para jenderal TNI justru saling berebut pangkat dan jabatan. Bahkan, lebih dari itu, apa yang sebenarnya kau cari Jenderal? Yuk kita lihat saja “perang bintang” selanjutnya di lingkungan TNI. (*)

Kenaikan Harga BBM Bisa Picu Kejatuhan Presiden

Dalam waktu singkat, Presiden Jokowi \"berhasil\" menjadikan anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo. Demikian juga Jokowi punya mantu bernama Bobby Nasution dijadikan sebagai Wali Kota Medan. Oleh: Tjahja Gunawan, Wartawan Senior KENAIKAN harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu diikuti dengan tindakan amuk massa. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar karena berkaitan langsung dengan perut rakyat, berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu wajar kalau kemudian diikuti dengan gelombang aksi unjuk rasa mahasiswa, para buruh dan elemen masyarakat lainnya di berbagai kota di Indonesia. Ini tidak bisa dihindarkan dan di sana-sini terjadi bentrokan fisik antara massa pengunjuk rasa dengan aparat keamanan, khususnya polisi. Bahkan, para pengunjuk rasa di Kota Palembang, Sumatera Selatan, sempat menghadang iring-iringan rombongan dari Wakil Presiden Ma\'ruf Amin yang sedang melakukan kunjungan ke daerah tersebut. Beruntung mobil Toyota Alphard yang membawa Wapres Ma\'ruf Amin berhasil meloloskan diri dari kepungan pengunjuk rasa. Suasana kebatinan rakyat saat ini sedang sensitif. Masyarakat cenderung akan melakukan “penyerangan” terhadap para pejabat negara karena mereka dianggap telah membuat keputusan yang sudah menyengsarakan rakyat dan membuat ketidakadilan. Mengapa respon masyarakat terhadap kenaikan BBM ini begitu cepat? Karena dampak kenaikan BBM langsung dirasakan masyarakat yang ditandai dengan kenaikan harga berbagai kebutuhan sehari-hari. Situasi ini pada akhirnya akan memicu kenaikan angka inflasi, sementara daya beli masyarakat akan melemah. Menyengserakan Rakyat Kenaikan BBM ini hanya akan semakin menyengserakan rakyat karena cepat atau lambat jumlah orang miskin akan makin bertambah banyak. Demikian juga pengangguran dan angka kriminalitas akan meningkat. Jika keadaan ini dibiarkan, tidak mustahil akan menyebabkan terjadinya krisis sosial politik yang bisa berimbas pada kejatuhan Presiden Joko Widodo seperti yang dialami Presiden Soeharto pada Mei 1998. Ketika itu Pak Harto lengser keprabon antara lain dipicu oleh kenaikan harga BBM. Selain itu jatuhnya penguasa Orde Baru itu juga lantaran akumulasi kekecewaan rakyat atas praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Faktor lain, masyarakat Indonesia sudah bosan dipimpin Soeharto selama 32 tahun. Tapi, walaupun Presiden Jokowi baru berkuasa sekitar delapan tahun, namun praktik KKN sudah berlangsung massif dan terstruktur. Dalam waktu singkat, Presiden Jokowi \"berhasil\" menjadikan anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo. Demikian juga Jokowi punya mantu bernama Bobby Nasution dijadikan sebagai Wali Kota Medan. Tidak hanya itu saja, Jokowi juga bersaudara dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Setelah menikahi adik Jokowi, Idayati kini Ketua MK menjadi adik ipar Presiden Jokowi. Dalam posisi seperti itu, mustahil tidak akan terjadi konflik kepentingan.  Karena itu selama Jokowi masih menjadi Presiden, sulit mengharapkan MK sebagai institusi hukum yang objektif dan independen. Alih-alih menjadi lembaga hukum yang adil dan didambakan masyarakat, MK justru menuntut kenaikan anggaran empat kali lipat untuk tahun 2023. Celakanya, usulan kenaikan anggaran MK tersebut disetujui Komisi III DPR-RI. Seperti diberitakan media massa, dalam pembahasan anggaran tahun 2023 di Komisi III DPR, MK mendapat pagu anggaran sebesar Rp1,2 triliun. Sebelumnya Kementerian Keuangan hanya mengalokasikan anggaran MK sebesar Rp 344 miliar. Saat ini sentimen masyarakat kepada para pejabat pemerintah termasuk aparat penegak hukum cenderung makin negatif. Buktinya, para mahasiswa yang berunjuk rasa menolak kenaikan BBM langsung menyandera mobil dinas berplat merah milik Wali Kota Cilegon Helldy Agustian pada hari Senin, 5 September 2022. Wali Kota ini sedang apes karena mobilnya disandera pengunjuk rasa saat melintas tempat lokasi demo di Kawasan Patung Kuda Jakarta. Aksi demo tersebut berakhir ricuh. Massa aksi demo sempat menerobos kawat berduri hingga membakar \'keranda mayat\'. Ini merupakan pesan satire yang ditujukan kepada para pejabat pemerintah khususnya Presiden Jokowi. Waspadalah! (*)

Obstruction of Justice Polsek Lembang

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  PERISTIWA menggegerkan pembunuhan Letkol Purn H. Muhammad Mubin oleh pengusaha Henry Hernando berbuntut dugaan terjadinya penghalangan proses hukum atau obstruction of justice yang dilakukan di lingkungan Polsek Lembang. Tempat awal penangkapan dan pemeriksaan tersangka. Proses penyidikan kemudian diambil alih oleh Polda Jawa Barat.  Polsek Lembang baik penyidik maupun Kapolsek patut untuk diperiksa atas dugaan obstruction of justice. Beberapa indikasinya antara lain : Pertama, police line yang lambat dipasang di TKP dengan simpang siur informasi antara satu hingga tiga hari setelah kejadian. Tanpa police line menyebabkan keluarga tersangka atau siapapun leluasa untuk menghilangkan atau memindahkan alat bukti, khususnya yang ada di dalam rumah/gudang. Kedua, penangkapan tersangka dilakukan dengan \"baik-baik\" tanpa pemborgolan dan tidak dimasukan ke dalam mobil polisi. Bahkan \"dijemput\" dengan mobil sedan. Perlakuan yang istimewa ini tidak lazim dalam penanganan perkara pembunuhan keji.  Ketiga, Polsek Lembang melakukan pemeriksaan baik tersangka maupun saksi hanya menuangkan apa yang disampaikan oleh mereka yang faktanya rekayasa dan bohong. Tidak berdasarkan fakta yang terlihat pada CCTV yang semestinya telah dimiliki atau didapat oleh Polsek Lembang.  Keempat, sebagaimana yang dikemukan Humas Polda Jabar, apa yang dilaporkan oleh Polsek dan Polres ternyata tidak benar, baik peristiwa tersangka meludahi maupun adanya pukul memukul yang mendahului pembunuhan. Demikian juga dengan hanya terjadi 5 tusukan terhadap korban padahal fakta yang terlihat di CCTV jelas dilakukan 18 tusukan.  Kelima, Polsek Lembang menyembunyikan keberadaan ayah pelaku bernama Sutikno yang faktanya ia berada di sebelah tersangka saat melakukan penusukan bertubi-tubi. Ada pembiaran, bahkan dukungan, atas apa yang dilakukan anaknya Henry Hernando. Keterlibatan Sutikno terbaca sejak di dalam rumah yang berkomunikasi sebelum peristiwa. Ada dugaan kuat Sutikno pengusaha keturunan ini dilindungi Polsek.  Keenam, penetapan pasal 351 ayat (3) oleh Polsek Lembang dinilai janggal dan ada upaya untuk meringankan perbuatan. Sedemikian jelas fakta bahwa yang dilakukan tersangka dengan 18 tusukan adalah pembunuhan (Pasal 338 KUHP) bahkan sejak penyiapan pisau lipat di lantai 2, mengelilingi mobil terlebih dahulu hingga mengejar mobil usai penusukan adalah bukti pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).  Ketujuh, Polsek Lembang dalam melakukan pemeriksaan atas tahap rencana di dalam rumah sangat tidak seksama bahkan bersandar pada kebohongan bahwa tersangka membawa pisau karena sedang masak. Fakta bukan pisau dapur yang digunakan untuk membunuh melainkan pisau lipat, luput dari BAP yang dibuat.  Kedelapan, menghilangkan fakta keberadaan anak kecil yang bernama Muhammad yang duduk di sebelah korban saat pembunuhan sadis dilakukan. Keberadaannya penting untuk memberi kualifikasi pemberatan pada perbuatan tersangka. Hukuman maksimal yang semestinya dikenakan adalah Mati. Kesembilan, pengaburan identitas \"Cina\" dengan menonjolkan atribut \"Muslim\" dan \"Sunda\" adalah berbahaya. Polsek yang mencoba menutupi persoalan SARA dengan cara menampilkan SARA adalah perilaku penegakan hukum yang tidak profesional.  Kejanggalan, rekayasa, serta pemutarbalikkan fakta di atas menyebabkan Polsek Lembang diduga kuat telah melakukan obstruction of justice. Karenanya diharapkan pihak Polda Jabar menurunkan tim pemeriksa atas pola penanganan yang melanggar kode etik dan dapat merupakan perbuatan pidana tersebut.  Siapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi publik harus mengetahui agar kasus pembunuhan berencana atas korban Mantan Dandim Tarakan ini dapat terungkap dengan seterang-terangnya. Dan para pelaku kejahatan itu harus dihukum dengan seberat-beratnya. (*)

KPK Jadi Alat Politik Kleptokrasi

Oleh: Abdurrahman Syebubakar | Ketua Dewan Pengurus IDe LAHIR dari rahim politik transaksional - hasil persilangan oligarki ekonomi dan oligarki politik, hampir mustahil rezim Jokowi berani memerangi korupsi. Sebaliknya, ia menjelma menjadi kleptokrasi, di mana kekuasaan berada di tangan para penyelenggara negara korup di bawah naungan sistem politik ekstraktif. Sistem ini, menurut Daron Acemoglu dan James A Robinson (Why nations fail, 2012), menghisap sumberdaya negara untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi segelintir elit di atas penderitaan rakyat banyak.  Rezim [kleptokrasi] berlindung di balik otoritas institusional untuk menutupi tindak kejahatan korupsi di dalam tubuhnya, dan menghancurkan setiap yang berusaha membongkarnya (Yasraf A. Piliang, Kompas, 2012). Dus, alih-alih memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), rezim kleptokrasi Jokowi justru melumpuhkan lembaga anti-rasuah tersebut secara sistematis sejak awal berkuasa, melalui skenario kriminalisasi Ketua Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto pada tahun 2015. Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pada April 2017, hingga kini menjadi misteri. Rezim kleptokrasi Jokowi enggan mengusut tuntas dan membuka otak di balik penyerangan sadis ini. Hanya pelaku lapangan, diduga sebagai pemeran pengganti, yang dihukum ringan. Keseriusan dalam pemberantasan korupsi semakin muskil dengan banyaknya kalangan internal rezim kleptokrasi Jokowi tersangkut kasus korupsi. Terlebih, kelompok parpol pendukung, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi sarang koruptor. Hingga kini, deretan panjang koruptor masih didominasi politikus parpol kepala banteng, besutan Megawati Soekarno Putri.  Sebaliknya, upaya melumpuhkan KPK terus berlanjut dalam bentuk yang lebih sistemik dan sistematis dengan lahirnya Undang-Undang (UU) KPK nomor 19 tahun 2019 hasil revisi. Selain peletakan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif (termasuk konversi pegawainya menjadi Aparatur Sipil Negara/ASN), UU hasil revisi memandatkan dibentuknya Dewan Pengawas yang memangkas kewenangan pokok KPK terkait penyadapan, penyidikan, penuntutan, dan sejumlah prosedur yang merumitkan proses penindakan. Akibatnya, KPK terbelenggu dan tidak dapat bekerja dengan baik. Tak ayal, korupsi makin luas dan buas di era rezim kleptokrasi Jokowi jilid I dan II. Terjadi lonjakan kasus korupsi selama beberapa tahun terakhir. Dari rekap data tindak pidana korupsi KPK, antara 2015 dan 2019, tercatat hampir 600 kasus, lebih dari dua kali lipat jumlah kasus korupsi selama lima tahun sebelumnya. Sebelum pandemi, menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019, terungkap kasus mega skandal Jiwasraya dan Asabri, yang melibatkan elit politik di lingkaran kekuasaan, dengan kerugian negara sekitar Rp.40 triliun. Skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia merdeka. Di saat rakyat makin menderita akibat salah urus negara dan dampak negatif COVID-19, para koruptor berpesta pora menjarah uang negara. Sebut saja korupsi bantuan sosial (bansos) oleh eks Mensos Juliari Batubara, Wakil Bendahara Umum PDIP, yang memotong sekitar 40% dari Rp. 6,8 triliun total anggaran Bansos Sembako Jabodetabek. Belum menyebut potensi korupsi program-program bansos nasional dengan anggaran ratusan triliun.  Sekitar dua minggu sebelumnya, pada akhir November 2020, eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Gerindra terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas gratifikasi izin ekspor benih lobster, dibantu kader partai kepala banteng. Masih panjang daftar skandal korupsi era rezim kleptokrasi Jokowi yang banyak melibatkan elit politik pusat dan daerah. Pada saat yang sama, dalam Laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2021 yang dirilis Transparency International (TI), skor IPK Indonesia anjlok dari 40 menjadi 38, membuat posisinya merosot 11 peringkat sejak 2019, dari 85 menjadi 96 di antara 180 negara. Posisi Indonesia jauh berada di bawah Timor Leste dan Etiopia.  Sementara itu, Global Corruption Barometer (GCB) Asia 2020 dari TI mengungkap bahwa Indonesia juara ketiga suap (bribery) di kawasan Asia, dengan India dan Kamboja berada di urutan pertama dan kedua. Yang lebih tragis, Indonesia menduduki posisi puncak dalam korupsi seks (sextortion) – memanfaatkan kekuasaan dan jabatan untuk kepentingan seks. IPK merupakan indeks agregat untuk mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik, berdasarkan penilaian para pakar dan survei eksekutif bisnis, dengan rentang skor antara 0 dan 100. Skor 0 berarti sangat korup, sementara 100 berarti sangat bersih dari korupsi (TI, berbagai tahun). Anjloknya IPK Indonesia di era rezim kleptokrasi Jokowi menunjukkan penyuapan, dan pencurian dana publik oleh pejabat negara dan politikus makin luas. Juga menggambarkan absennya kemauan politik negara dalam pemberantasan korupsi. Memang, tak dapat dipungkiri, keberadaan KPK tidak berbanding lurus dengan berkurangnya kasus korupsi di Indonesia. Sejak lembaga anti-rasuah ini berdiri pada 2002, insiden korupsi justru meningkat dengan volume kerugian negara yang makin besar. Hal tersebut kontras dengan tugas pokok KPK, yaitu tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi. Dan kondisi paradoks ini semakin parah sejak rezim kleptokrasi Jokowi berkuasa. Sebagai anak kandung reformasi, peran simbolik KPK untuk merawat semangat demokratisasi, tatakelola pemerintahan yang baik, serta penegakan hukum dan hadirnya (rasa) keadilan di tengah-tengah masyarakat, tidak relevan lagi. Yang tersisa, hanya mayat lembaga pemberantasan korupsi.  Mayat KPK lebih banyak berperan sebagai pelayan kepentingan politik penguasa, dengan pola tebang pilih dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah dugaan tindak pidana korupsi oleh keluarga dan lingkaran dekat elit kekuasaan yang tidak tersentuh dan tidak ditindaklanjuti KPK. Sebut saja, kasus dugaan korupsi RS. Sumber Waras dan tanah Cengkareng yang melibatkan Ahok, mega skandal E-KTP yang menyeret nama Ganjar Pranowo dan Puan Maharani, dan dugaan korupsi dua anak presiden, yaitu Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, atas laporan Dosen Universitas Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun.  Sebelumnya, nama Gibran dan Puan santer disebut dalam kasus korupsi dana bansos Covid-19 yang menjerat mantan Mensos Sosial Juliari Peter Batubara. Namun, dugaan ini tidak direspon KPK secara memadai dengan melakukan penelusuran lebih jauh.  Sebaliknya, KPK dengan cepat melakukan penyelidikan atas laporan sumir masyarakat terhadap pihak tertentu yang dianggap mengancam kepentingan jahat elit politik tertentu dan para pemodalnya. Gubernur Anies Baswedan, misalnya, hari ini (7/9/2022) dipanggil KPK guna memberikan keterangan terkait Formula-E, khususnya soal komitmen fee. Padahal, gelaran Formula-E tidak saja dinyatakan layak dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi juga meraih sukes besar dan apresiasi, baik dari dalam maupun luar negeri.  Selain itu, ajang balapan mobil listrik tersebut dinilai berdampak positif terhadap pemulihan ekonomi. Hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengungkap dampak ekonomi yang didapatkan Jakarta mencapai Rp 2,638 triliun, dari dampak tambahan pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Rp 2,041 triliun dan dampak ekonomi langsung Rp 597 miliar. Angka itu berkontribusi 0,08 persen terhadap pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta (Kompas, 24 Juni 2022). Dengan demikian, wajar publik mencurigai adanya agenda politik jahat di balik pemanggilan Anies oleh KPK. Targetnya menggerus popularitas dan elektabilitas Anies agar terganjal nyapres. (*)

Anies Baswedan Di Sarang Penyamun

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior FNN  KALAU sastrawan-novelis Sutan Takdir Alisjahbana masih hidup dan sehat, pastilah dia akan menuliskn novel “Anies Baswedan Di Sarang Penyamun”. Untuk menggambarkan betapa beratnya tantangan yang dihadapi oleh gubernur Jakarta itu untuk ikut Pilpres 2024. Anies dinilai oleh banyak orang, kecuali para penyamun, memiliki kemampuan untuk menjadikan Indonesia hebat, sejahteran, dan tenteram. Karena itu, Anies sangat diharapkan duduk sebagai presiden berikutnya. Kira-kira beginilah sinopsis harapan rakyat pada Anies.  Pada tahun 1932 dulu, Sutan Takdir mengisahkan nasib Sayu yang harus hidup di tengah para perampok besar. Sayu menjadi tokoh sentral novel “Anak Perawan Di Sarang Penyamun” karya Sutan Takdir. Sayu adalah anak gadis dari keluarga saudagar besar di Sumatera Barat. Ayah Sayu, Haji Sahak, dibunuh oleh para perampok kejam sewaktu dalam perjalanan bisnis antara Pagar Alam dan Palembang. Ibu Sayu, Nyi Hajjah Andun, juga dibunuh. Pemimpin gerombolan perampok yang membunuh Haji Sahak suami istri adalah Medasing. Brutal dan bengis. Medasing hanya menyisakan Sayu yang cantik jelita. Dunia politik Indonesia kelihatannya akan mengalami perampokan sadis. Sekali lagi! Pilpres 2024 akan dirampok dari tangan rakyat. Tentu itu tergatung izin Tuhan Yang Maha Kuasa. Pasti tak akan terjadi tanpa izin-Nya. Semoga saja izin itu tidak ada. Tapi, Allah al-‘Aziz al-Qahhar tidak akan mencegah perampokan itu kalau hamba-Nya hanya berlipat tangan. Perampokan harus dilawan. Dirampok dan kemudian diam saja, tak punya tempat di sisi Tuhan. Yang Maha Kuasa akan menurunkan pertolongan kalau hamba-Nya yang dizalimi menunjukkan perlawanan. Allah akan mengirimkan balatentara gaib-Nya kalau medan perangnya ada. Allah tidak akan menghentikan perampokan kalau kita semua membiarkan perampokan itu sukses. Hari ini dunia politik ‘real time’ Indonesia dikendalikan oleh kelompok pemilik modal yang orangnya jahat-jahat semua. Mereka disebut oligarki ekonomi. Kadang disebut juga oligarki bisnis. Tak salah pula kalau mau disebut Oligarki Perampok. Mereka berkolaborasi dengan para pemilik partai politik. Yang ini disebut oligarki politik. Saat ini, seseorang yang pantas disebut Prince Smart (Pangeran Cerdas) sedang memulai perjalanan menuju Istana. Misinya untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Tetapi, Istana terlanjur dikuasai oleh oligarki bisnis yang kumpul kebo dengan oligarki politik. Kumpul kebo ini melahirkan Wayang Inferior yang berstatus superior di panggung kekuasaan negeri. Si Wayang bisa berbuat apa saja, seenaknya. Kendali tali-tali wayang berada di tangan oligarki. Wayang Inferior sepenuhnya mengabdi kepada para pekumpul kebo itu. Medasing yang dulu merampok dan membunuh Haji Sahak, dan kemudian menyandera Sayu, hari ini menjelma dalam bentuk oligarki jahat. Mereka akan merampok kafilah rakyat yang hendak mengantarkan Pangeran Smart ke Istana. Rakyat pengiring memang banyak. Berjuta-juta. Tapi tak berdaya. Medasing Oligarki sudah menyiapkan skenario perampokan dengan alur cerita yang berbeda. Saat ini, Pangeran Smart menelusuri jalan lurus menuju Istana. Rakyat pengiring yakin ia akan sampai dengan selamat dan memulai suasana baru. Tapi, seperti yang terjadi dalam kisah “Anak Perawan Di Sarang Pennyamun”, si Pangeran Smart juga dihadang oleh gerombolan perampok. Perampok kedaulatan. Medasing akan membunuh semuanya, termasuk Pangeran Smart. Kecuali Sang Pengeran mau mengikuti nafsu angkara Medasing Oligarki untuk merampok Indonesia. Dan itu tak mungkin terjadi. Pangeran Smart tak akan merendahkan martabatnya. Pangeran sejak awal menolak hasrat Medasing Oligarki. Tidak seperti Sayu yang akhirnya jatuh cinta pada Medasing setelah Medasing lebih dulu jatuh hati padanya. Ini terjadi selepas Sayu merawat si perampok tengik sampai sembuh akibat luka parah dalam suatu perkelahian. Untuk “Anies Baswedan Di Sarang Penyamun”, Sutan Takdir Alisjahbana tidak akan rela melihat kerakusan dan keculasan Medasing Oligarki menjadi bab penutup. Novelis ini, kalau punya kesempatan bertemu Anies, akan memberikan advis agar tidak pernah mengikuti jalan cerita Sayu. “Indonesia jangan sampai menjadi Haji Sahak. Dirampok dan dibunuh begitu saja,” begitu kira-kira pesan Sutan Takdir seandainya beliau bisa berkirim pesan WA.[]

Masanya Pesantren Berbenah!

Sehingga, ke depan pesantren dapat tampil sebagai institusi pendidikan yang berkwalitas tinggi. Bahkan lebih hebat dari sekolah-sekolah Istimewa lainnya yang selama ini mendominasi dunia pendidikan di Indonesia. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation DUA hari lalu saya menerima kiriman seorang teman cuplikan IG (Instagram) pengacara Hotman Paris tentang seorang Ibu yang sedang menangis meratapi kematian anaknya. Konon kematian anak yang juga santri itu terjadi karena penganiyaan yang terjadi di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Tulisan ini tidak bermaksud menempelkan kotoran, apalagi merusak institusi pesantren yang sangat saya hormati dan banggakan. Betapa tidak saya telah menjadi Syamsi Ali (Shamsi Ali) saat ini juga karena pondok pesantren. Saya adalah santri. Saya pernah mondok selama 6 tahun di pesantren. Tulisan ini lebih kepada mengajak kita semua, khususnya kalangan pondok pesantren, dari Pimpinan, guru, staf, hingga ke santri/santriyah untuk berani melakukan introspeksi. Bahkan berani mendobrak dan melakukan “self criticism” (koreksi diri), “self correction” (perbaikan diri), dan “self development” (pengembangan diri). Diakui atau tidak, memang salah satu penyakit pesantren dan Umat secara umum adalah mampu mengoreksi tapi pantang dikoreksi. Apalagi keinginan untuk mengoreksi diri sendiri. Inilah yang barangkali yang diingatkan oleh Al-Quran: “Kenapa kalian mengatakan apa yang kalian tidak lakukan?” (as-Shoff: 2). Pesantren dan Pendidikan Berbicara tentang pesantren, bagi saya pribadi itu tentu adalah sesuatu yang personal (pribadi). Selain karena saya memang tamatan pesantren seperti yang disebutkan di atas tersebut, juga saat ini saya masih terus berjuang untuk mewujudkan pondok pesantren pertama di bumi Amerika. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pesantren adalah “backbone” (tulang punggung) pendidikan Islam dalam dunia Islam. Di negara-negara luar Indonesia pesantren itu lebih dikenal dengan madrasah. Walaupun pastinya ada perbedaan mendasar antara keduanya. Tapi, baik pesantren maupun madrasah masih menjadi rujukan bagi pendidikan Islam generasi Umat. Bagi Indonesia secara khusus pesantren memang tidak bisa dipisahkan dari wajah pendidikan Islam di bumi Nusantara ini. Bahkan, eksistensi Islam di Indonesia secara umum. Dari pesantrenlah terlahir tokoh-tokoh nasional dan guru bangsa yang telah menjadi pilar bagi kelahiran dan kebangkitan nasional kita. Dua organisasi terbesar Indonesia terlahir dari karya dua Kiai besar tamatan pesantren. Tulisan ini tidak bermaksud memaparkan lagi kelebihan-kelebihan pondok pesantren. Tapi, intinya semua kelebihan sekolah-sekolah lain ada di dalam pesantren. Anda bisa menjadi hebat dalam matematika, fisika, biologi, dan berbagai keilmuan lainnya. Anda juga bisa menjadi ahli sosial, dan bahkan pengamat politik yang tajam dari pesantren. Tapi pesantren memiliki kelebihan-kelebihan yang belum tentu dimiliki oleh institusi-institusi pendidikan lainnya. Satu di antaranya yang terpenting adalah bahwa pesantren tidak sekedar mengajarkan keilmuan. Tapi sekaligus mengajarkan tentang kehidupan. Santri itu adalah manusia yang telah matang untuk menjalani hidup. Pesantren Perlu Berbenah Dengan segala kelebihan dan keunikan itu tentu pesantren, sebagaimana institusi lainnya, bukanlah Institusi yang sempurna. Ada beberapa hal mendasar yang perlu terus dibenahi dan diperbaiki. Tentu ada sebagian pesantren yang bagus pada aspek lain. Tapi aspek lainnya perlu pembenahan dan perbaikan. Kali ini saya hanya menekankan urgensi pembenahan pada dua hal saja. Pertama, pentingnya pendekatan pendidikan yang imbang. Tentu banyak hal yang perlu diseimbangkan. Dua diantaranya yang terpenting adalah keseimbangan antara pendekatan imani (dogmatis), ‘aqli (rasionalitas) dan jismani (fisikal). Kerapkali pendidikan di pesantren menekankan kepada dogma-dogma dan hafalan yang kurang diimbangi dengan pemahaman aqli (rasionalitas). Akibat dari pendekatan itu bisa terlihat pada dua sisi yang ekstrim: 1) santri menjadi sangat dogmatis dalam beragama dan tidak menerima perbedaan. 2) mengalami keterkejutan mindset atau cara pandang ketika sudah terbuka dengan dunia luar. Akibatnya ada santri yang lebih sekuler dari mereka yang hanya tamatan sekolah umum. Hal lain yang memerlukan keseimbangan adalah pemahaman kepada adab menuntut ilmu yang kerap mengikuti petuah Imam Al-Gazali: “murid di hadapan gurunya bagaikan mayat”. Pemahaman adab dengan petuah Al-Gazali ini menjadikan kreatifitas dan daya inisiatif bahkan “self development” dari santri-santriyah menjadi lambang bahkan terhambat. Hormat pada guru dan mereka yang dituakan itu harus. Tapi kecenderungan mengkultuskan dan mengikut tanpa reservasi adalah salah. Para ustadz, kiai, atau apapun gelar dari guru-guru agama itu tidak menjadikan mereka terlepas dari eksistensinya sebagai manusia yang boleh benar/baik atau salah/buruk. Hal kedua yang ingin saya sampaikan adalah pentingnya melihat kembali dengan penglihatan jernih dan, bahkan, kritis berbagai aktifitas di pondok pesantren, termasuk pendekatan guru-guru dalam mengajar dan pergaulan yang terjadi di antara santri-santri atau santriyah-santriyah. Kasus yang baru saja terjadi di pesantren Gontor seharusnya menjadikan semua melakukan introspeksi bahwa apa yang ada di pesantren “not to be taken for granted” (bukan jaminan) seolah semua di pesantren baik-baik saja. Ada hal-hal yang perlu dicermati dan harus dikoreksi jika itu memang benar adanya. Guru-guru atau pengajar bisa menjadi guru atau pengajar yang baik bukan karena sekedar tamat pesantren. Bahkan bukan hanya karena gelar LC atau MA bahkan Dr atau PhD. Tapi memerlukan keahlian tersendiri. Dan karenanya pesantren seharusnya perlu mengadakan pelatihan guru-guru (teachers training) dari masa ke masa untuk memastikan bahwa metode dalam mengajar mereka sesuai dan tidak ketinggalan pesawat. Satu hal yang biasa terjadi dan masih sering terjadi adalah pemukulan murid oleh gurunya. Biasanya pemukulan ini memakai dalil pula (dan pukullah ketika berumur 10 tahun) dalam konteks mengajarkan sholat bagi anak-anak. Pemahaman literal dengan hadits ini sangat berbahaya. Persis sama ketika memahami secara harfi tentang penyelesaian pertikaian suami-isteri. Setelah ditelusuri ternyata kata ضرب yang secara sederhana diterjemahkan dengan “pukulan” memiliki lebih dari 23 arti. Sehingga setiap penempatan kata harus disesuaikan dengan konteks yang sesuai. Dalam konteks pendidikan kata “ضرب\" ini dapat diterjemahkan dengan kata “hukuman”. Karena memang pendidikan itu perlu dua sisi “reward” dan “punishment”. Walaupun yang kita pahami dalam Islam bahwa “tabsyiir” atau reward selalu dikedepankan. Karenanya saya ingin menekankan agar kebiasaan memukul Santri/santriyah di pesantren harus dihentikan. Guru yang biasa main tangan harus berhenti mengajar. Karena pendidikan dan kekerasan adalah dua hal yang paradoks. Selain guru atau pengajar yang biasa melakukan kekerasan, tidak jarang juga kekerasan terjadi di antara santri-santri, khususnya senior kepada junior. Biasanya hal ini terjadi karena bagian dari latihan kepemimpinan para senior diberi tugas untuk menertibkan/mengawasi santri-santri yunior. Karena perasaan tanggung jawab sebagai Pengawas atau pengurus (OSIS) itulah timbul rasa kekuasaan yang selanjutnya menimbulkan perilaku semena-mena. Yang menjadi masalah ketika otoritas itu diberikan kepada santri tanpa pengawasan yang baik dari guru atau Kiai. Kurangnya pengawasan itu juga biasanya berdalih mengajarkan independensi atau maturity (kedewasaan) kepada para senior di pesantren. Sebuah excuse (alasan) yang nampak masuk akal. Tapi, sangat reckless (tidak berhati-hati), bahkan dangerous (berbahaya). Pada akhirnya saya mendoakan semoga apa yang terjadi kepada seorang santri di Gontor (dan mungkin di tempat lain yang tidak terekspos) menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk melakukan introspeksi. Bahkan harusnya bisa menjadi motivasi bagi semua pesantren untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam segala hal. Sehingga, ke depan pesantren dapat tampil sebagai institusi pendidikan yang berkwalitas tinggi. Bahkan lebih hebat dari sekolah-sekolah Istimewa lainnya yang selama ini mendominasi dunia pendidikan di Indonesia. Masanya berhenti mengeluh dan menyalahkan. Masanya berbenah! New York City, 6 September 2022. (*)