Hubungan Prinsipil Undang-Undang Dasar dan Negara Republik Indonesia

Oleh: Anthony BudiawanManaging Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

NEGARA Indonesia sangat unik. Sebelum 17 Agustus 1945, tidak ada negara Indonesia. Yang ada adalah sebuah kawasan yang dinamakan Indos Nesos, (East) Indian Archipelago, atau Kepulauan India. Pemerintah kolonial Belanda menamakannya Hindia Belanda, menunjukkan sebuah teritori di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda.

Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945 atas kesepakatan para pemuda dan tokoh perwakilan daerah Indos Nesos, yang terbentang dari Sumatra hingga Maluku dan Irian Barat. Kesepakatan menjelang kemerdekaan ini dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia, yang mengikat serta wajib dipatuhi oleh semua pihak perwakilan daerah seluruh Indos Nesos.

Butir-butir kesepakatan yang dituangkan di dalam pembukaan UUD sangat prinsipiil, dan menjadi dasar terbentuknya Negara Republik Indonesia, sehingga tidak dapat dihilangkan. Dengan kata lain, kalau butir-butir kesepakatan yang sangat prinsipiil tersebut dihilangkan dari UUD, maka dengan sendirinya esensi dan eksistensi Negara Republik Indonesia juga hilang.

Butir-butir kesepakatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

- Negara Republik Indonesia disusun berdasarkan kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat mempunyai kekuasaan penuh dalam membentuk pemerintah.

- Kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), harus dimaknai untuk tugas dan wewenang yang diberikan oleh UUD. Yaitu, memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden, serta menetapkan garis-garis besar haluan negara atau GBHN yang wajib dilaksanakan sepenuhnya oleh presiden mandataris.

- Dengan demikian, kalimat "dilakukan sepenuhnya oleh MPR” bukan berarti MPR menjadi pemilik akhir dari kedaulatan rakyat. Pembukaan UUD yang dengan jelas mengatakan “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat” mempunyai makna bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan penuh dalam membentuk pemerintah Negara Indonesia.

- MPR wajib terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Artinya, utusan daerah dan utusan golongan pada prinsipnya wajib ada di dalam struktur MPR sebagai perwakilan daerah dan golongan rakyat Indos Nesos, yang telah menyerahkan kedaulatan daerah mereka untuk mendirikan Negara Republik Indonesia. Tanpa ada utusan daerah dan utusan golongan, negara Republik Indonesia pada prinsipnya juga tidak ada.

- Karena, utusan daerah dan utusan golongan, sebagai perwakilan rakyat dari ddaerah Indos Nesos, dirancang di dalam struktur MPR agar daerah mempunyai suara yang cukup penting dalam menentukan presiden dan wakil presiden Negara Indonesia. Sedangkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung melalui sistem one-man-one-vote, ditambah calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik, ditambah dengan presidential threshold 20 persen, maka praktis daerah mengalami kemunduran ke era penjajahan kembali, karena tidak berdaya dan tidak berdaulat dalam menentukan calon pemimpin nasional. Hal ini berakibat fatal, membuat daerah menjadi tempat eksploitasi, di mana terjadi “perampasan” sumber daya alam pertambangan maupun perkebunan milik daerah, dilakukan oleh segelintir orang yang difasilitasi oleh pemerintah pusat dan kroni-kroninya, tidak beda halnya ketika jaman penjajahan. 

- Sistem one-man-one-vote membuat daerah mayoritas berkuasa atas daerah minoritas, bertentangan dengan prinsip musyawarah dan mufakat yang disepakati di dalam UUD, menjelang kemerdekaan Negara Indonesia, ketika daerah menyerahkan kedaulatannya kepada Negara Republik Indonesia.

- Sedangkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai akal-akalan untuk mengganti utusan daerah dan utusan golongan, pada hakekatnya tidak sama dengan utusan daerah dan utusan golongan. DPD tidak mempunyai peran sama sekali sebagai perwakilan daerah, tidak mempunyai suara dalam mencalonkan dan memilih presiden dan wakil presiden. Anggota DPD yang dipilih oleh rakyat pada hakekatnya lebih banyak persamaan dengan anggota DPR yang juga dipilih rakyat. Selain itu, banyak anggota DPD juga berasal dari partai politik. Selain itu, DPD tidak mempunyai hak seperti DPR, antara lain, hak membuat UU, hak anggaran, hak mengawasi pemerintah, dan lainnya.

Dengan demikian, amandemen UUD yang dilakukan sebanyak empat kali selama periode 1999-2002, yang menghilangkan peran daerah dalam pemilihan dan penetapan presiden, pada prinsipnya melanggar kesepakatan antar daerah yang dimuat di dalam UUD menjelang didirikannya Negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Karena amandemen UUD tersebut menghilangkan kedaulatan daerah. 

Maka itu, untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia, butir-butir kesepakatan yang sangat prinsipiil di dalam UUD asli harus dipertahankan. Apabila tidak, maka Negara Republik Indonesia dengan sendirinya juga terancam hilang. (*)

381

Related Post