Jangan Kecelik Lagi, Kata Cak Nun...! (2)

Chris Komari, Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA) USA & Global, City Council 2002 & 2008

Selain membiarkan terbentuknya Partai Koalisi yang menguasai suara mayoritas, keberadaan Tyranny Majority itu dibiarkan dan tetap melakukan voting! Itu namanya demokrasi lontong sayur!

Oleh: Chris Komari, Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA) USA & Global, City Council 2002 & 2008

ITULAH mengapa di US Senate, ada mekanisme Filibuster di mana 1 orang Senator bisa melakukan Filibuster untuk menghentikan 99 Senator lainnya untuk tidak mengambil voting.

Alasannya? Karena 1 Senator yang mewakili satu negara bagian (State) itu suaranya bisa mewakili 40 juta orang, seperti State of California (CA).

Bila ada RUU yang mau di-voting di US Senate dan RUU itu merugikan satu negara bagian, maka 1 Senator itu memiliki kekuasaan untuk melakukan Filibuster agar seluruh senate tidak melakukan voting.

3). Parliamen (MPR/DPR/DPD) harus menciptakan mekanisme seperti Filibuster di US Senate, untuk menghilangkan keberadaan Tyranny Majority, seperti terbentuknya Partai Koalisi pro pemerintah yang menguasai mayoritas suara di DPR.

Sebab, bila tyranny majority yang berbentuk partai koalisi yang pro pemerintah itu dibiarkan begitu saja ketika voting akan dilakukan, kan sudah jelas kelompok mereka yang menang voting terus? This is no brainer!

Ini sistem deliberation dan voting model apa? Tapi itu yang sudah dijalankan di Indonesia puluhan tahun, bukan?

Karena itu, MPR/DPR/DPD harus membuat mekanisme sendiri untuk menghilangkan Tyranny Majority di Parliamen.

Tidak sulit amat menciptakan sistem atau mekanisme itu untuk menghilangkan Tyranny Majority di MPR, DPR dan DPD, jika diperlukan, saya bisa membantu!

Sehingga ketika terjadi deadlock (musyawarah untuk mufakat tetapi mufakat tidak dicapai), maka suara 1 orang anggota MPR, DPR atau DPD bisa menghentikan voting, karena mereka mewakili suara puluhan juta orang Daerah.

Itulah mekanisme Filibuster di US Senate, karena 1 Senator mewakili 1 negara bagian, seperti California, mewakili 40 juta suara rakyat California.

Tidak mungkin 1 suara Senator yang mewakili 40 juta suara di negara bagian, sama nilainya dengan suara Senator dari Alaska, Wyoming atau North Dakota yang hanya mewakili suara rakyat negara bagian yang lebih sedikit.

Karena itu, supaya adil, fair dan square untuk semua Senator dari 50 negara bagian, diciptakan mekanisme Filibuster untuk semua Senator, guna melakukan Filibuster (menghentikan voting di US Senate), bila 1 Senator wakil negara bagian itu merasa dirugikan oleh RUU (Bill) yang akan di-voting.

Itu artinya, di US Senate tidak ada Tyranny Majority meski, dalam satu masa, partai Republican menguasai US Senate, dan di masa lainnya, partai Demokrat menguasai US Senate.

Tetapi setiap senator di US Senate itu bisa melakukan Filibuster, artinya 1 suara Senator bisa mengalahkan 99 suara Senator yang lain. Itulah konsep Deliberation dan Voting dalam Representative-Democracy.

Tidak seperti konsep deliberation dan voting di DPR sekarang!

Selain membiarkan terbentuknya Partai Koalisi yang menguasai suara mayoritas, keberadaan Tyranny Majority itu dibiarkan dan tetap melakukan voting! Itu namanya demokrasi lontong sayur!

4). Sistem, proses, prosedurial dan mekanisme deliberation di US House of Representative dan di US Senate itu sangat complex, ada banyak steps yan00g harus ditempuh, ketika terjadi deadlock dan sebelum voting diambil.

Ini perlu penjelasan tersendiri karena sangat complex dan perplexing.

5). Ketika voting dilakukanpun, masih ada steps, proses, prosedur dan mekanisme serta kondisi yg harus dipenuhi untuk voting bisa dilakukan, salah satunya adalah tidak boleh ada Tyranny Majority.

Tetapi steps, proses, prosedur dan mekanisme banyak sekali yang harus dipenuhi, sebelum akhirnya semua anggota House of Representative atau anggota US Senate itu setuju untuk mengambil voting up and down.

Ini juga perlu penjelasan tersendiri karena sangat complex dan perplexing.

Sistem deliberation di DPR, aturan sidang di DPR, aturan voting mulai dari sidang di era Konstituante tahun 50'an dan 60'an hingga sekarang, masih belum dan tidak ada yang demokratis, dalam pandangan saya sebagai activist democracy 20 tahun lebih.

Bahkan acuan dan standards yang dipakai dari Sila ke-4 Pancasila, juga tidak jelas dan abstracts.

1). Bagaimana mengukur Hikmat/Hikmah (Kehikmatan) dan Kebijaksanaan seorang anggota Parliamen (DPR)?

2). Ukuran standarnya apa?

3). Dan siapa yang mengukur?

Beda dengan di US Congress dan semua anggota State's Legislature, yang dipakai pedoman itu nyata, kongkrit dan jelas, seperti aturan yang ada di:

1). Robert's Rule of Order (Parliamentary Proceedings Guidelines) untuk semua anggota Legislatif di USA, mulai dari City Council hingga anggota US Congress.

2). Di masing-masing negara bagian (State) ada 1 aturan atau UU lagi sebagai penjelasan dan penyempurnaan aturan persidangan umum (public meetings) untuk anggota Legislatif negara bagian (State), mulai anggota City Council hingga anggota State's Legislature.

Di negara bagian California ada UU tersendiri, yakni California Government Code Section 54950 to 54960 yang dikenal dengan disebutan: UU "The Brown Act." (*)

469

Related Post