OPINI
Mahasiswa Bakar Jaket Almamater
Oleh M. Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan MAHASISWA UGM membuat kejutan di tengah aksi memprotes kebijakan pemerintah yang menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yaitu dengan membuka dan membakar jaket atau jas almamater kebanggaannya. Wujud kekecewaan kepada alumni UGM yang kini duduk di pemerintahan akan tetapi diam atau membiarkan penderitaan rakyat atas kebijakan kenaikan harga BBM tersebut. Ini adalah protes keras bahkan mungkin terkeras. Membuat merinding para lulusan perguruan tinggi. Para Mahasiswa yang dididik untuk peduli pada kehidupan masyarakat bahkan diajarkan untuk selalu mengimplementasikan dharma pengabdian pada masyarakat ternyata menemukan perilaku alumninya di pemerintahan yang bebal pada persoalan kemasyarakatan. Diam dan menikmati. Bahkan menjadi bagian dari rezim pengambil kebijakan yang menindas rakyat. Mahasiswa malu atas karakter memalukan para senior yang menjadi pejabat. Pembakaran jaket almamater UGM bukan mustahil akan diikuti oleh mahasiswa perguruan tinggi lainnya. BBM, Omnibus Law, IKN atau lainnya tentu melibatkan pemikiran dan dukungan alumni dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta. Kebijakan konyol yang diabdikan untuk semata kepentingan diri dan oligarki. Membakar jaket almamater saat protes naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) cukup menohok. Walaupun Wakil Rektor menilai hal ini tidak relevan. Mahasiswa tegas menyatakan aksi ini lebih khusus diarahkan kepada Presiden Jokowi yang alumni UGM Fakultas Kehutanan. Meski ada yang meragukan keabsahan status Jokowi sebagai alumnus UGM, namun pembakaran jaket almamater dirasakan sebagai membakar kursi- kursi jabatan yang diduduki oleh para alumnus. Khususnya Joko Widodo dan Mensesneg Pratikno. Mungkin keduanya dianggap bertanggungjawab atas kenaikan harga BBM yang mencekik rakyat pasca pandemi. Mahasiswa berteriak bahwa UGM adalah kampus rakyat. Jaket almamater berfungsi sebagai tanda pengenal, pembeda, payung hukum, simbol kebanggaan dan tanggung jawab. Pembakaran jaket almamater pun hal simbolis semata, bukan menanggalkan aspek positif dari almamater. Ini adalah kritik sosial yang tajam dari mahasiswa kritis dan inovatif. Keras dan menggebrak. Mahasiswa UGM terbilang kritis. Sebelum BEM UI memberi gelar Jokowi sebagai \"The King of Lip Service\" terlebih dulu mahasiswa UGM memberi gelar pada Jokowi sebagai \"Presiden Orde (paling) Baru\" pada tanggal 21 Juni 2O21 saat Jokowi berulang tahun. Poster Jokowi memegang kue ulang tahun dibawahnya tertulis \"Presiden Orde (paling) Baru\". Setelah gelar \"The King of Lip Service\" disematkan oleh BEM UI segera Aliansi Mahasiswa UGM dengan akun @UGMBergerak memberi gelar kepada Jokowi sebagai Juara Umum. \"Lomba Ketidaksesuaian Omongan dengan Kenyataan\". Aliansi Mahasiswa UGM menegaskan :\' Berani, Kritis dan Bergerak untuk menentang segala bentuk pembungkaman kebebasan akademik di dalam kampus terlebih lagi selama era @Jokowi yang juga alumni @UGMYogyakarta telah menunjukkan adanya tekanan dan pengawasan terhadap aktivitas mahasiswa selama ini. Bersatulah ! \". Kini mahasiswa membakar jaket almamater, melepas keterikatan sesama almamater untuk melawan kezaliman yang memeras rakyat melalui berbagai kebijakan termasuk kenaikan harga BBM. Jokowi adalah Presiden Orde (paling) Baru yang dinilai lalai dari amanah dalam berkhidmah pada rakyat. Bandung, 17 September 2022
Film TEMPO: Banyak Kejanggalan Kasus KM 50 Tol JAPEK
Dalam RDP antara Polri dan Komisi 3 DPR, Anggota DPR Romo Syafi\'i juga menyatakan lagi kepada Kapolri tentang Kasus KM 50 yang lebih banyak kejanggalan dan misterius dibanding kasus Brigadir J. Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Media Tempo membuat Liputan Khusus Peristiwa KM 50 yang diunggah di kanal YouTube Channel Tempodotco berdurasi 51 menit. Liputan tersebut merekam dan menginvestigasi peristiwa KM 50. Peristiwa KM 50 sendiri terjadi pada 7 Desember 2020. Di mana saat itu 6 orang Laskar FPI terbunuh. Versi keterangan kepolisian saat itu 6 orang Laskar FPI tersebut menyerang petugas keamanan. Sedangkan versi keterangan dari FPI perjalanan mereka diserang orang tak dikenal. Dan, sampai akhirnya 6 orang Laskar FPI tersebut tewas. Orkestrasi Fadil Imran Dominan dalam Dokumenter Tempo Saat itu Kapolda Metro Jaya Fadil Imran bersama Pangdam Jaya Dudung Abdurahman, Propam Polri Hendra Kurniawan yang saat ini tersangka obstruction of justice kasus tewasnya Brigadir Joshua dan Humas Polda Yusri Yunus melakukan Prescon dimana diletakkan senjata api dan senjata tajam yang menurut mereka adalah senjata yang dipakai Laskar untuk menyerang aparat keamanan. Fadil Imran terlihat menjelaskan kronologi bahwa 6 laskar tersebut adalah laskar khusus bersenjata tajam dan amat berbahaya. Nyatanya, Menurut kesaksian driver derek di KM 50 Pak Dedi Mardedi, mereka berenam masih hidup, meski ada dua yang terluka tembak namun semua masih hidup. Pertanyaan publiknya adalah kenapa hasil akhirnya semua 6 pemuda tersebut terbunuh, di mana mereka terbunuh, kenapa lokasi KM50 dihancurkan, kenapa CCTV di sana hilang, siapa komandan pemilik mobil land cruiser yang memerintah di sana? Komnas HAM mengatakan ini unlawfull killing padahal sebenarnya tragedi ini adalah pelanggaran HAM berat. Alasan pelanggaran HAM Berat adalah diduga beberapa aparat hukum membunuh 6 orang sipil tak bersalah tanpa ada kemauan membawanya ke proses justisia. Harusnya saat 6 orang tersebut ditangkap, mereka dibawa untuk di BAP dan dibawa ke pengadilan. Kenapa langsung di eksekusi mereka itu? Jelas ini pelanggaran HAM berat. Anehnya Komnas HAM hanya menjadikan statusnya sebagai unlawfull killing semata, aneh! Fadil Imran, Kapolda Metro Jaya terlihat memiliki peranan dominan, Fadil juga yang sengaja mengundang Jenderal Dudung Panglima Kodam Jaya ikut konferensi pers pembunuhan KM 50 tersebut. Untuk apa Jenderal Dudung diundang kecuali agar Fadil Imran mendapatkan dukungan TNI, keluarga besar TNI dan publik kebanyakan. Sayangnya Jenderal Dudung hadir tanpa mengerti apa persoalannya dan mau dibawa ikut skenario Fadil Imran. Sosok Fadil Imran memang saat ini kontroversial, Selain dinilai ingin melawan mabes Polri karena mau memberikan bantuan hukum kepada AKBP Jerry Siagian. Publik pun masih ingat bagaimana Fadhil Imran memiliki hubungan khusus dengan kasatgassus Ferdy Sambo, sampai-sampai Fadil Imran rela datang berpelukan memberi simpati kepada Ferdy Sambo. Kebenaran Versi FPI Sedangkan dari pihak FPI mengatakan bahwa 6 laskar tersebut tidak diperbolehkan membawa senjata api dan senjata tajam untuk melakukan pengawalan. Informasi Fadil Imran dianggap fitnah bahwa mereka membawa senjata tajam. Enam (6) anggota FPI tewas usai ditembak oleh polisi. Ke-6 korban ini adalah Andi Oktiawan (33), Ahmad Sofiyan (26), Lutfi Hakim (25), Faiz Ahmad Syukur (22), Muhammad Suci Khadavi (21), dan Muhammad Reza (20). Dalam kasus penembakan dan kematian anggota FPI tersebut, terdapat dua anggota polisi yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella. Vonis bebas ini diberikan oleh Mahkamah Agung pada pengadilan di tingkat kasasi. Putusan ini sebenarnya sama dengan putusan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yaitu hakim memutus lepas Fikri dan Yusmin karena keduanya dinilai melakukan penembakan untuk melindungi diri. Jaksa penuntut umum Zet Tadung Allo mengaku menghormati vonis bebas tersebut. Ia menilai putusan MA merupakan ujung atau final penyelesaian perkara KM 50. Namun, Tadung menyebut bahwa kasus KM 50 berpotensi untuk diteruskan apabila terdapat temuan bukti baru. JPU berupaya mengedepankan hati nurani berdasarkan fakta yang kami yakini, tetapi hakim PN dan MA berpendapat lain, itu sudah kewenangannya,” kata dia. Belakangan peristiwa Kilometer 50 atau KM 50 menjadi perbincangan publik kembali setelah dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J terungkap. Dalam kasus Brigadir J, eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Irjen Ferdy Sambo ditetapkan sebagai tersangka. Sebelumnya, Ferdy Sambo menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri yang turut menangani kasus KM 50. Keterlibatan Ferdy Sambo dalam dua kasus yang melibatkan aksi penembakan oleh polisi inilah yang meresahkan publik. Dalam RDP antara Polri dan Komisi 3 DPR, Anggota DPR Romo Syafi\'i juga menyatakan lagi kepada Kapolri tentang Kasus KM 50 yang lebih banyak kejanggalan dan misterius dibanding kasus Brigadir J. Kapolri pun mempersilahkan jika ada bukti bukti baru terkait KM50 maka kasus ini dapat dibuka kembali. Liputan Investigasi yang dibuat Tempo ini adalah hal yang sangat penting untuk menginvestigasi kembali kasus KM 50. Dimana keluarga dari 6 orang Laskar FPI ini merasa tidak mendapat keadilan dari negara atas terbunuhnya anak anak mereka. Semoga peristiwa KM 50 ini akan terbuka seterang terangnya dan keadilan dapat ditegakkan. (*)
Kompor Induksi Pengganti LPG Agar Disosialisasikan Dengan Benar
Pemerintah jangan mendistorsi kebijakan mereka sendiri dengan hal-hal yang tidak perlu. Fokus pada inovasi dan perbaikan tata kelola dan konsumsi energi di dalam negeri. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) HINDARI kebijakan yang mencla-mencle! Usaha dari pemerintah untuk mensosialisasasikan kompor induksi sebagai pengganti LPG 3 kg sebaiknya dilakukan secara serius dan sungguh sungguh. Usaha ini semestinya diletakkan pada tujuan yang benar, yakni: 1. Tujuan utamanya tak lain adalah untuk mengurangi penggunaan LPG yang merupakan bahan bakar impor yang berdampak pada neraca perdagangan. 2. Tujuan lain adalah dalam rangka mengurangi beban subsidi APBN untuk LPG 3 kg yang merupakan salah satu beban subsidi energi yang sangat besar. 3. Tujuan yang tidak kalah penting adalah mengurangi konsumsi bahan bakar yang tidak ramah lingkungan. LPG adakah bahan bakar berbasis minyak yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan merupakan salah satu target transisi energi. Untuk itu maka transisi dari LPG ke kompor induksi sebaiknya dilakukan melalui perencanaan yang matang. Jenis kompor induksi yang digunakan dapat disesuaikan dengan daya listrik yang terpasang di masyarakat terutama masyarakat lapisan bawah. Dengan melihat bahwa LPG yang dimaksud adalah LPG 3 kg yang mencakup lebih dari 90 persen LPG yang dikonsumsi di Indonesia, LPG 3 kg ini adalah jenis LPG subsidi yang tidak hanya dikonsumsi oleh kelompok berpendapatan rendah saja. Dengan demikian maka transisi ke kompor induksi sebaiknya menyasar semua masyarakat pengguna LPG 3 kg tersebut. Di level teknis transisi dari LPG ke kompor induksi jangan sampai terhambat oleh masalah daya listrik. Ada isu yang beredar bahwa kompor induksi tidak bisa untuk daya listrik 450 VA. Isu ini jangan sampai dijadikan alasan untuk tidak menyasar golongan bawah untuk transisi ke kompor induksi. Pemerintah dan PLN harus mencari mitra yang benar dapat menghasilkan kompor induksi dengan daya listrik yang rendah. Semuanya bisa diselesaikan dengan tekhnologi yang semakin maju saat ini. Ada isu bahwa usaha untuk mengganti LPG dengan kompor induksi adalah kebijakan yang membebani masyarakat karena ditimpakan dengan rencana menghapus golongan daya 450 VA. Konon katanya penghapusan ini berkaitan dengan usaha mengatasi over supply penjualan listrik PLN. Penghapusan golongan tarif 450 VA sebagai alasan pemerintah sekaligus menaikkan tarif listrik. Jelas isu ini tidak menguntungkan bagi usaha pemerintah dan PLN meraih tujuan strategis mereka yakni transisi energi. Oleh karena itu diharapkan pemerintah dan PLN kembali ke tujuan awal yakni mengurangi impor LPG, mengurangi beban subsidi LPG 3 kg dan melakukan transisi energi. Semua ini dapat dicapai dengan tidak perlu membebani masyarakat. Artinya, golongan tarif listrik 450 VA tetap harus dipertahankan. Pemerintah jangan mendistorsi kebijakan mereka sendiri dengan hal-hal yang tidak perlu. Fokus pada inovasi dan perbaikan tata kelola dan konsumsi energi di dalam negeri. Transisi energi telah terjadi dan akan berlangsung makin masif. Energi listrik dari sumber yang ramah lingkungan akan mengambil alih masa depan. Jadi, tetap fokus pada tujuan. Jangan bingung. Alon alon asal kelakon. Ngono Pak De. (*)
Seperti SBY, Anies Bisa Berkeliling Indonesia Menyapa Rakyat
Pasangan ini dikenal dengan duet SBY-JK, punya slogan “Bersama Kita Bisa”. Sejarah kemudian mencatat SBY menjadi presiden dua periode. Pada periode keduanya (2009-2014), SBY berpasangan dengan Boediono. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle DENGAN lengsernya Anies Rasyid Baswedan dari kursi Gubenur DKI Jakarta, bulan depan memberikan keleluasaan untuk bergerak sebagai Calon Presiden 2024. Anies tidak lagi terikat pada kepatutan birokrasi dan pemerintahan yang membatasi geraknya hanya pada lingkup jabatannya. Sebagai orang bebas, tentunya Anies bisa berkampanye keliling ke seluruh Indonesia. Seperti diketahui, masa jabatan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta berakhir pada 16 Oktober mendatang. DPRD Jakarta sudah menggelar rapat tentang usulan pergantian kepada Mendagri Tito Karnavian pada 13 September 2022, sebagaimana ketentuan UU-nya, sebulan sebelum habis masa jabatan Kepala Daerah, harus dibahas di rapat paripurna DPRD. Dengan demikian, Anies akan mempunyai waktu yang semakin banyak untuk mempersiapkan diri sebagai pemimpin Indonesia masa depan. Ia bisa mengisi waktu dan juga melakukan perenungan serta pemikiran tentang bagaimana memajukan Indonesia pada masa depan. Anies juga bisa membuat konsep bagaimana Indonesia diperbaiki jika benar-benar ditakdirkan sebagai pemimpin pada 2024. Anies tidak saja mempunyai banyak waktu untuk berpikir tentang Indonesia masa depan, tetapi dia pun bisa berkeliling ke pelosok Tanah Air untuk makin memperbesar elektabilitas dirinya dan menyerap aspirasi dan kehendak rakyat. Anies juga selalu berada dalam tiga besar survei, tanpa dia minta dan tanpa dia menjadi pejabat partai. Bisa dibayangkan betapa besarnya kekuatan Anies jika dia melakukan pengenalan diri ke daerah-daerah. Saya meyakini kemampuan Anies untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Anies memang belum berbicara banyak mengenai langkah yang akan diambil usai tak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Anies akan menunaikan tugasnya sebagai orang nomor 1 di ibu kota itu pada 16 Oktober 2022. Anies sendiri meminta untuk didoakan agar bisa mengakhiri tugasnya di DKI Jakarta dengan baik. “Masih satu bulan lagi menjabat, insya’ Allah sampai ujung doakan husnul khatimah, jadi selesai dengan baik, dan sesudah itu kita siapkan perjalanan berikutnya,” kata Anies saat menghadiri acara ulang tahun Partai Demokrat yang digelar DPD Demokrat DKI di Jakarta Selatan, Jumat (9/9/2022). Ketika ditanya apakah langkah berikutnya berkaitan dengan kontestasi Pilpres 2024, Anies hanya tersenyum. Ia menyatakan masih akan fokus di DKI hingga 16 Oktober 2022 mendatang. “Saya tuntaskan dulu sampai 16 Oktober. Habis 16 Oktober baru yang lain-lainnya. Gitu ya. Sekarang kita fokus sampai 16 Oktober. Itu dulu. Nanti sesudah itu baru yang berikutnya,” tutur Anies. Meski demikian, sinyal Anies maju di 2024 sudah mulai terlihat. Dia masuk dalam radar sejumlah partai untuk diusung pada Pilpres 2024. Termasuk, mejadi salah satu nama yang dinilai oleh Demokrat DKI Jakarta pantas disandingkan dengan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Namun demikian, Demokrat belum menentukan siapa yang akan diusung menjadi presiden dan wakil presiden pada 2024 nanti. Rapimnas baru digelar pada 15 dan 16 September 2022. Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta, Mujiyono, mengatakan ada kans DPD Demokrat Jakarta akan mengusulkan nama Anies dan AHY sebagai pasangan capres-cawapres di Rapimnas Demokrat nanti. “Politik itu kan harus aspiratif. Hampir 70 persen kalau saya tanya pengurus DPD Demokrat DKI dari mulai tingkat DPD, DPAT, PAD kemudian ranting dan anak ranting, mereka semangatnya memang untuk berkoalisi dengan Anies,” kata Mujiyono. Sementara itu, ketika ditanya Reuters di Singapura, Anies untuk pertama kalinya secara resmi menyatakan dia siap untuk bertarung merebut kursi Presiden pada 2024. Meskipun dia mengakui bahwa sampai saat ini belum ada partai yang secara resmi mencalonkannya. “Saya belum mempunyai tiket, tetapi siap jika ada partai yang mencalonkan,” kata Anies. Dia berterima kasih atas survei-survei yang menyebutkan dia selalu berada di tiga besar. Dia mengaku tidak pernah menyuruh dan meminta para lembaga survei itu berbuat untuk kepentingan dirinya. “Alhamdulillah saya selalu berada di tiga besar,” katanya. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, setelah tidak memegang jabatan lagi, Anies bisa lebih leluasa untuk menyapa rakyat di seluruh tanah air. Ini yang dulu juga pernah dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono setelah mundur dari jabatan Menko Polkam dalam Kabinet Gotong Royong pimpinan Megawati Soekarnoputri. Setelah menjadi menjadi Presiden RI ke-5 pada 23 Juli 2001, menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diberhentikan MPR RI, Megawati yang didampingi Hamzah Haz membentuk Kabinet Gotong Royong. Kabinet Gotong Royong dilantik pada 10 Agustus 2001 dan masa baktinya berakhir pada 20 Oktober 2004. Jelang Pilpres 2004 yang digelar Juli 2004, tiga menteri di Kabinet Gotong Royong mundur untuk bertarung di pilpres. Salah satu dari tiga menteri yang mundur itu adalah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dari jabatannya sebagai Menko Polkam. Pada 11 Maret 2004, pria kelahiran 9 September 1949 ini mundur dari Kabinet Gotong Royong. Posisinya digantikan Hari Sabarno, sebagai Pelaksana Tugas Menko Polkam. Dalam pilpres yang digelar secara langsung untuk pertama kalinya itu, SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla. Pasangan ini dikenal dengan duet SBY-JK, punya slogan “Bersama Kita Bisa”. Sejarah kemudian mencatat SBY menjadi presiden dua periode. Pada periode keduanya (2009-2014), SBY berpasangan dengan Boediono.Selama menunggu pelaksanaan Pilpres 2024, Anies bisa melakukan keliling tanah air untuk menyapa rakyat, seperti yang pernah dilakukan SBY dulu. (*)
Layaknya Peran Antagonis Menghabisi Anies Baswedan
Oleh Ady Amar | Kolumnis SEBENARNYA menipu diri sendiri itu pekerjaan hina. Pastilah itu pekerjaan tanpa nalar zonder hati. Anehnya banyak yang merasa bangga dan bahagia, setidaknya tampak pura-pura bahagia, bisa menipu diri sendiri. Ketawa-ketiwi bisa menyampaikan pandangan dari hasil proses menipu diri sendiri. Kelompok influencer, bisa buzzerRp atau politisi busuk, seperti sudah terlatih melihat hasil kerja Anies Baswedan dengan mata dan hati dibuat buta. Nyaris buta sempurna. Tidak merasa malu mengatakan hal tidak sebenarnya. Misal dengan yakin menampakkan, maaf mengambil istilah Bung Rocky Gerung, \"dungu\", bahkan dungu kelewat tanpa batas. Itu saat mengatakan dengan yakin mempertanyakan, coba tunjukkan apa yang dihasilkan Anies Baswedan selama 5 tahun ini. Manusia model menipu diri sendiri ini beramai-ramai hadir menghiasi pemberitaan, utamanya di media sosial. Ingin meyakinkan publik, bahwa Anies selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, tidak bekerja apa-apa. Tidak menghasilkan apa-apa. Karenanya, tidak ada karya yang dihasilkan. Setelah mampu diri sendiri ditipu, sekarang publik coba ikut ditipunya. Jika belum berhasil, tidak mengapa, setidaknya jagat pemberitaan dipenuhi dengan berita menafikan Anies Baswedan. Setidaknya itu yang belakangan--makin semarak menjelang berakhirnya masa jabatan Anies sebagai gubernur--seperti koor antara para buzzerRp dan beberapa politisi DPRD DKI Jakarta. Orangnya ya itu-itu saja. Layaknya peran antagonis menghabisi Anies Baswedan. Publik justru melihat Anies sebaliknya. Prasetyo Edi Marsudi, Ketua DPRD DKI Jakarta, tampak terang telanjang menghajar Anies dengan sadisnya. Seperti punya kepuasan tersendiri. Makin mendekati masa bakti Anies di Jakarta berakhir, makin menjadi-jadi lagaknya menghajar Anies sekenanya. Lupa bahwa jabatan yang disandangnya pun cuma sesaat, dan tidak tahu akan berakhir seperti apa. Semua kebijakan Pemprov DKI dimasalahkan. Penggantian nama Rumah Sakit--khusus RSUD milik pemprov--menjadi Rumah Sehat dimasalahkan yang tidak seharusnya. Padahal penggantian nama itu punya filosofi yang baik. Tidak semua yang ada di sana, itu orang sakit. Dan yang sakit tentu ingin disembuhkan di tempat seharusnya, yaitu di Rumah Sehat. Pun beberapa nama jalan yang diganti Anies dan Pemprov DKI dengan nama tokoh Betawi, yang memang punya jasa pada bidangnya masing-masing, itu terus dimasalahkan. Bahkan katanya, setelah Anies tidak menjabat maka ia meminta nama-nama jalan tadi dikembalikan pada nama semula. Pikiran Prasetyo ini pastilah pikiran offside hasil kendali nafsu. Prasetyo yang dari Fraksi PDIP, ini memang salah satu yang hobi mencari kesalahan Anies. Tidak didapat lalu yang disasar hal-hal tidak seharusnya, itu justru memperlihatkan kualitasnya. Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), semacam _thing tank_ gubernur. Itu pun disebutnya membuat kacau pembangunan di Jakarta. Karenanya, setelah jabatan Anies selesai ia minta TGUPP dibubarkan. Permintaan mengada-ada. Sepertinya ketua DPRD DKI Jakarta ini tidak tahu atau lupa, bahwa TGUPP itu ada sejak era Gubernur DKI Jakarta dijabat Joko Widodo, lalu dilanjut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Bukan Anies yang mengawali. Lagian TGUPP itu akan berakhir saat jabatan gubernur berakhir. Jadi tidak perlu dibubarkan akan bubar dengan sendirinya. Prasetyo Edi Marsudi tampak cuma asal ngomong, tanpa tahu persoalan. Meski itu hal sederhana. Anies seperti biasanya tidak merespons hal-hal demikian. Anies terus gas pol menuntaskan apa yang sekiranya bisa dikerjakan untuk kesejahteraan warganya. Paripurna DPRD DKI Jakarta tanggal 13 September dibuat menjadi sesuatu yang menghebohkan. Seolah Anies diberhentikan pada tanggal itu. Padahal itu hal biasa yang memang semestinya. Dan terang-terangkan dinyatakan bahwa sejak paripurna itu Anies diminta untuk tidak buat kebijakan. Padahal masa bakti Anies berakhir 16 Oktober. Permintaan yang dibuat mengada-ada. Seperti tidak senang kalau Anies buat happy warganya. Jadi wakil rakyat tapi justru menjegal kebijakan kebaikan yang akan dihadirkan eksekutif (gubernur). Anies, lagi-lagi seperti biasanya, tidak mempersoalkan riak-riak yang muncul disekitarnya, permintaan yang tak berdasar undang-undang atau peraturan yang berlaku. Sepertinya Anies akan diganggu sampai atau bahkan pasca16 Oktober dengan segala cara yang dimungkinkan. Semua ditujukan untuk membuat stigma Anies bukanlah pemimpin baik. Mencoba menjegal Anies agar 2024 tak nyapres. Tapi aneh elektabilitas Anies tak beringsut tapi justru menaik, maka entah muslihat apalagi yang akan dimainkan. Sepertinya peran antagonis tak henti akan terus dihadirkan, tentu dengan motif menjegal Anies Baswedan. (*)
Sepuluh Peta Jalan Menyelamatkan Masa Depan Indonesia
Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 sebenarnya kita telah melakukan pengkhianatan terhadap para pendiri bangsa ini. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila SEJAK digantinya UUD 1945 dengan UUD 2002 Negara Bangsa Indonesia seperti buih-buih di lautan yang diombang-ambingkan keadaan dunia, tidak lagi punya kekuatan untuk bisa tegak, apalagi mandiri runtuhnya jati diri sebagai bangsa yang merdeka. Yang dikatakan Amandemen UUD 1945 ternyata bukan hanya merubah pasal-demi pasal, tetapi justru memporakporandakan bangunan ke-Indonesia-an, menghacurkan jati diri bangsa yang telah dibangun tahap demi tahap, menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa semua itu bisa hancur, sebab amandemen tidak hanya merontokkan lembaga kedaulatan rakyat tertinggi yang disebut MPR, tetapi sekaligus yang dirontokkan adalah aliran pemikiran tentang ke-Indonesia-an, menghilangkan sejarah, menghilangkan Visi Misi Negara Indonesia diganti dengan Visi Misi Presiden, Visi Misi Gubernur, Visi Misi Bupati dan Walikota, sama artinya Mengganti tujuan berbangsa dan bernegara “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Menghilangkan Bangsa Indonesia asli, dan mengganti Pancasila dengan Ultra Liberal. Ketika ada yang jualan Trisakti, saya tertawa. Sebab, logika otak saya tidak bisa nyambung bagaimana mungkin Trisakti dengan dasar negara Ultra Liberal seperti sekarang ini, tentulah itu hanya sebuah bualan saja, bagi yang nggak ngerti menyamakannya dengan Trisakti-nya Soekarno. Trisakti tidak mungkin dijalankan di atas sistem Liberalisme dan Kapitalisme seperti sekarang ini, sebab Trisakti itu juga bagian dari antitesis Liberalisme, Kapitalisme, dan Imperialisme. Harus diingat, bahwa Trisakti itu harus dipenuhi ketiga-tiganya, tidak bisa dipretel-preteli. Tidak ada kedaulatan dalam politik dan kepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdikari dalam ekonomi, dan sebaliknya! Seluruh minat kita, seluruh jerih-payah kita harus kita abdikan kepada pelaksanaan seluruh Trisakti, yang benar-benar sakti itu. Ya, Berdaulat dalam politik! Apa yang lebih luhur daripada ini, Saudara-saudara? Lebih dari setengah abad lamanya bangsa Indonesia berjoang, membanting-tulang dan mencucurkan peluh, untuk kedaulatan politik itu. Sekarang kedaulatan politik itu sudah di tangan kita. Kita tidak bisa didikte oleh siapapun lagi, kita tidak menggantungkan diri kepada siapa-siapa lagi, kita tidak mengemis-ngemis! Kedaulatan politik ini harus kita junjung bersama-sama, harus kita tegakkan beramai-ramai. Nation-building dan character-building harus diteruskan sehebat-hebatnya, demi memperkuat kedaulatan poIitik itu. Kerukunan nasional sekarang ini – kerukunan antara berbagai agama dan berbagai sukubangsa, termasuk suku-suku keturunan asing – kerukunan nasional yang bebas sama sekali dari diskriminasi atau rasialisme macam apapun, harus kita bina dengan kecintaan seperti kita membina kesehatan tubuh kita sendiri. Jangan justru sebaliknya kedaulatan kita serahkan pada Oligarki dan kita hanya sebagai jongos-nya oligarki yang melayani keinginan oligarki untuk mengeruk kekayaan ibu Pertiwi. Hal yang demikian itu harus dihentikan kedaulatan rakyat harus ditegakkan untuk merebut kembali kedaulatan rakyat. Berdikari dalam ekonomi! Apa yang lebih kokoh daripada ini, Saudara-saudara? Seperti kukatakan di depan MPRS tempohari, kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Pepatah lama “ayam mati dalam lumbung” harus kita akhiri, sekali dan buat selama-lamanya. Kita memiliki segala syarat yang diperlukan untuk memecahkan masalah sandang-pangan kita. Yang terjadi hari ini setelah 77 tahun merdeka justru kita terjajah dengan Neo Kapitalisme Neo Imperalisme, kita dijajah lagi 72% wilayah tanah kita dikuasai Aseng dan Asing. Segala kekayaan ibu Pertiwi dikeruk dan mereka datangkan tenaga Asing China untuk mengeruk kekayaan kita hukum lumpuh untuk kedatangan tentara merah di saat bangsa ini dicekam dengan Covid 19 mereka mendapat perlakuan spesial oleh pengkhianat bangsa ini. Hari ini kita tidak bisa lagi berdiri apa lagi berdikari hutang yang sudah hampir menenggelamkan Indonesia dan Ekonomi digantungkan pada Investor aseng dan asing, bahkan pembangunan bangsa ini apa kata China maka pembangunan bukan apa yang dibutuhkan bangsa dan rakyatnya tetapi apa kepentingan China dengan OBOR nya, infrastruktur akhirnya dijual pada China. Tanpa perang China telah menguasai tanah air 75 % lahan sudah dikuasai Aseng dan Asing, Investasi Aseng lebih penting daripada nyawa rakyatnya di saat dunia menolak kedatangan TKA China, justru kita memasukan TKA China pembawa dan penyebar Virus Corona . Ekonomi kita semakin tidak berdaulat karena Korupsi dan salah kelola yang ada hanya Hutang-hutang dan hutang. Kata Soekarno, berkepribadian dalam kebudayaan! Apa yang lebih indah daripada ini Saudara-saudara? Bukan saja bumi dan air dan udara kita kaya-raya, juga kebudayaan kita kaya-raya. Kesusastraan kita, seni-rupa kita, seni-tari kita, musik kita, semuanya kaya-raya. Juga untuk membangun kebudayaan baru Indonesia, kita memiliki segala syarat yang diperlukan. Kebudayaan baru itu harus berkepribadian nasional yang kuat dan harus tegas-tegas mengabdi kepada Rakyat. Dengan menapis yang lama, kita harus menciptakan yang baru. Sikap kita terhadap kebudayaan lama maupun kebudayaan asing adalah sikapnya revolusi nasional-demokratis pula: dari kebudayaan lama itu kita kikis feodalismenya, dari kebudayaan asing kita punakan Imperalisnya. Justru hari ini kita menjadi super liberal dan super kapitalis sehingga kita tidak mampu membangun karakter kebangsaan itu, justru kita terjajah kembali di bidang kebudayaan. Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 sebenarnya kita telah melakukan pengkhianatan terhadap para pendiri bangsa ini. Kita telah mengganti Pancasila dengan ultra liberal. Kita telah kehilangan karakter kebangsaan kita. Untuk menyelamatkan Indonesia perlu revolusi dengan sepenuh hati. 1. Kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. 2. Retoling terhadap MPR dan mengembalikan MPR sebagai lembaga tinggi negara. 3. Membatalkan amandemen ke 1, 2, 3, 4. 4. Memberlakukan kembali GBHN. 5. Menegakkan kembali pasal 33 Bumi Air dan kekayaan yang ada di dalamnya harus Nasionalisasi. 6. MPR Mengadakan pemilihan Presiden dengan syarat yang sudah pernah menjadi presiden tidak bisa dipilih lagi. 7. Melakukan Retoling terhadap lembaga-lembaga negara dan menghidupkan lagi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). 8. Menyerderhanakan kepolisian menjadi non combatan dan Brimob digabung dengan TNI. Polisi berada di bawah departemen dalam negeri. 9. MPR melakukan amandemen dengan adendum untuk menyempurnakan UUD 1945. 10. MPR membuat UUD pemerintahan sebagai UUD administrasi pemerintahan. Dengan peta jalan menyelamatkan Indonesia akan tercapai tujuan Masyarakat yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
Jokowi Benar-benar Bingung
Oleh Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan JOKOWI sudah tidak ada harapan. Tidak ada harapan dalam dua makna, yaitu pertama Jokowi sudah tidak akan mampu bertahan karena serangan terhadap kursi kepresidennya semakin menguat. Kedua, rakyat yang sudah tidak memiliki harapan perbaikan apapun di bawah kepemimpinan Jokowi bersama oligarkinya. Ada indikasi bahwa Jokowi ingin tetap bertahan. Walaupun nampak kebingungan. Apakah tidak bingung jika menyatakan bahwa tiga periode sebagai melanggar konstitusi tetapi menghargai aspirasi tiga periode sebagai demokrasi? Upaya bertahan itu dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tarik ulur wacana tiga periode, mencari boneka kepanjangan tangan Ganjar Pranowo atau Erick Thohir, hingga siap untuk menjadi Wakil Presiden berpasangan dengan Prabowo. Tapi apapun itu sebenarnya publik membaca Jokowi sedang bingung. Fakta yang sulit dibantah adalah merosotnya kepercayaan rakyat pada Jokowi dan Pemerintahannya. Untuk bertahan sampai 2024 saja bukan hal yang mudah. Pukulan bertubi-tubi diarahkan padanya akibat kebijakan oligarkis atau tidak populis yang telah diambil. Mangkrak Kereta Cepat jadi masalah dengan anggaran yang ternyata membebani APBN. IKN yang terseok-seok dan Omnibus Law yang masif digempur buruh. RUU KUHP dilempari mahasiswa, kasus Sambo merobek-robek Polri, ada sinyalemen Effendi soal disharmoni TNI, BBM naik dengan aksi berkesinambungan mahasiswa, buruh, dan umat Islam. Aksi membuat fondasi untuk reaksi dampak kenaikan harga BBM ke depan. Arah pergerakan mendesak perubahan. Suara agar Jokowi turun terus menggema bersahutan. Pilihan Jokowi yang berasumsi bertahan hingga 2024 dan terpaksa siap menjadi Wakil Presiden nampaknya menjadi agenda pahit. Sudah ada komunitas yang mendeklarasikan. Jubir MK Fajar Laksono menyatakan tidak masalah Jokowi yang menjabat dua periode untuk mencalonkan sebagai Cawapres. Rupanya Jokowi memang sedang benar-benar bingung menghadapi hari-hari yang berjalan. Semua langkah selalu salah. Cermin dari lingkungan sekitar yang sudah tidak ajeg. Tidak satupun Menteri mampu mendongkrak kinerja. Malahan sebagian sedang sibuk pasang baliho pencapresan. Tak peduli bahwa sesungguhnya rakyat sudah muak dan mual. Atas kondisi \"hopeless\" ini Aliansi Ulama dan Tokoh Jawa Timur membuat pernyataan sikap tanggal 12 September 2022 yang diserahkan kepada MPR. Di antara butir pernyataannya adalah Mosi Tidak Percaya atas kepemimpinan Jokowi serta mendesak MPR untuk segera memproses pemakzulan Jokowi. Di samping itu para ulama dan tokoh Jatim tersebut mendesak pula agar MPR membuat Ketetapan tentang kembali kepada UUD 1945 yang asli. Fenomena aksi dan aspirasi rakyat berbagai elemen mendorong turunnya Jokowi. Dua jalan, pertama dengan kesadaran sendiri sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dimana di dalamnya ada klausul kesiapan mundur. kedua, berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 dengan pemakzulan oleh MPR. Jokowi memang sudah tidak dapat memberi harapan dan tidak ada harapan. Rakyat sudah ingin memiliki pemimpin baru yang lebih amanah, jujur, dan kapabel. Segar, berani dan mampu memimpin gerakan untuk memulihkan wibawa dan menyelamatkan bangsa Indonesia. Jangan biarkan Jokowi bingung. Tidak ada yang bisa diharapkan dari orang yang menderita delirium atau penyakit kebingungan (acute confusional state). Sindrom delirium dapat berdampak pada pemanjangan perawatan di RS atau berisiko kematian. (*)
Masa Depan Kita
Indonesia memiliki peluang dan ancaman. Secara demografis, kita beruntung memiliki struktur penduduk bercorak muda; terhindar dari problem negara-negara Eropa dan Asia Timur yang mengalami proses penuaan. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim SAUDARAKU, kemana pendulum sejarah kehidupan dunia bergerak pasca pandemi Covid-19? Baiklah, pagi ini saya membaca buku Peter Zeihan, \"The End of the World is just the Beginning\" (2022). Dikatakan bahwa perkembangan globalisasi dalam beberapa dekade terakhir sebenarnya dipicu oleh kepentingan AS untuk bisa melumpukan Uni Soviet selama perang dingin, dengan menjalin aliansi strategis lintas negara. Untuk itu, AS menawarkan bantuan keamanan, investasi, infrastruktur teknologi, finansial dan pasar global. Rantai pasok cakupan global dimungkinkan karena proteksi angkatan laut AS. Dolar AS menopang pasar finansial dan internasionalisasi energi. Komplek-komplek industri inovatif tumbuh untuk memuaskan konsumen AS. Kebijakan keamanan AS menekan negara-negara bersengketa untuk melucuti senjata. Miliaran orang memperoleh makanan dan pendidikan berkat sistem perdagangan global yang dipimpin AS. Berkat semua itu, globalisasi merebak dengan membuat segala hal jadi lebih cepat, lebih baik, lebih murah. Dengan berakhirnya perang dingin, AS kehilangan kepentingannya untuk mempertahankan itu. Kecuali bila AS terlibat perang langsung dengan negara adidaya baru, pendulum sejarah akan berbalik arah menuju de-globalisasi. Tandanya mulai dicanangkan pada era Donald Trump: \"America First\". Dan, keterisolasian berbagai negara semasa pandemi mempercepat proses ke arah itu. Pada era de-globalisasi, negara dan kawasan tak memiliki pilihan lain kecuali membuat barang sendiri, menanam makanan sendiri, memenuhi energi sendiri, bertempur dengan senjata sendiri, dan mengerjakan semua itu dengan penduduk dan sumberdayanya sendiri. Indonesia memiliki peluang dan ancaman. Secara demografis, kita beruntung memiliki struktur penduduk bercorak muda; terhindar dari problem negara-negara Eropa dan Asia Timur yang mengalami proses penuaan. Kita juga memiliki keanekaragaman sumberdaya sebagai sumber rantai pasok bagi industri sendiri. Ancaman terbesar yang kita hadapi adalah rendahnya human capital. Bila kita gagal membangun kualitas hidup dan kapabilitas manusia, maka di negeri yang kaya potensi sumberdaya ini, kelimpahan penduduk muda tidak akan menjadi bonus demografi, melainkan bencana demografi. (*)
Neo-Sishankamrata
Neo-Sishankamrata adalah ruh perjuangan dan formulasi ampuh dalam menggalang perlawanan rakyat, untuk melakukan bela negara secara fisik dan nyata. Kalau perlu dengan senjata. Oleh: Raden Baskoro Hutagalung, Forum Diaspora Indonesia SAYA yakin kita semua sudah sepakat dan paham bahwa negara kita saat ini dalam bahaya besar menuju failed state. Negara kita hari ini hampir penuh dikuasai oligarki politik dan oligarki ekonomi. Pergeseran kekuasaan dan kedaulatan atas nama rakyat dan demokrasi Pancasila, hanya simbolis semata. Sejatinya, rezim ini hanyalah proxy boneka dari sebuah kekuatan besar oligarki yang berkolaborasi dengan kekuatan elit global baik dari barat maupun timur. Di mana orientasi dan opportunity negara di selenggarakan dengan sebesar-besarnya untuk kepentingan oligarki. Dan, sudah tepat sebenarnya, inilah yang disebut era Neo-Kolonialisasi, dengan menggunakan kombinasi cara Neo-Liberalisasi dan Neo-Komunisme dalam mendegradasi kedaulatan negara kita dari semua sisi. Kita bisa melihat dan menganalisis dampak Neo-Kolonialisasi ini dalam kehidupan Asta Gatra bangsa kita. Dari segi ideologi, bagaimana rapuhnya Pancasila dan nilai KeTuhanan Yang Maha Esa saat ini. Pergeseran navigasi dan kebijakan negara sangat jauh panggang dari api. Agama dan Pancasila yang seharusnya jadi arah kiblat bangsa, saat ini justru dibentur-benturkan. Secara ideologis, bangsa kita saat ini sudah sangat super sekuler dan liberalis. Menjauhkan hegemoni pengaruh Agama dan nilai moralitas dari kehidupan bernegara. Dan, menjadikan legitimasi sosial opini sabagai legitimasi yuridis pemerintahan. Sehingga banyak terjadi post truth dalam bentuk logical fallacy, yang mengaburkan segala bentuk kejahatan negara menjadi sebuah pembenaran absolute. Kebenaran objectif bisa dikalahkan oleh keyakinan subjectif yang ditopang kekuasaan melalui aparat hukum. Degradasi dan neo-kolonialisasi ini juga merambah dalam hal ekonomi, politik, sosial budaya, dan Hankam. Ketimpangan ekonomi dan penguasaan sumber daya nasional oleh segelintir orang adalah bentuk fakta nyata hari ini. Hutang berkedok investasi adalah kanker ganas yang secara bertahap melumpuhkan sendi-sendi penting kedaulatan negara. Karena hutang dan investasi dari negara luar dapat mendikte kebijakan dalam negeri kita. Secara sumber daya alam yang melimpah, serta populasi dan luas bentang negara kita yang luar biasa strategis secara geografis, sebenarnya tidak ada alasan negara kita bisa punya hutang sampai sebesar 7200 triliun, apalagi kalau digabung hutang swasta 6000 triliun rupiah. Jadi, wajar tingkat pengangguran terus meningkat, kemiskinan bertambah, daya beli masyarakat melemah, nilai tukar rupiah hancur-hancuran, tapi di satu sisi sumber daya alam dan perkebunan kita dieksploitasi serta dinikmati hanya oleh segelintir orang. Ironisnya lagi, dalam laporan LHKPN 2021, telah terjadi kenaikan laporan hasil kekayaan para pejabat tinggi negara ini dengan drastis. Ini sangat miris sekali. Belum lagi kalau kita berbicara penegakan hukum, serbuan budaya asing, Narkoba, LGBT, yang merusak generasi muda kita. Jangankan itu, TNI-POLRI yang seharusnya menjadi garda terdepan penjaga kedaulatan dan tumpah darah bangsa Indonesia, saat ini justru berbalik menjadi alat kekuasaan. Skandal besar Sambo Cs, serta kriminalisasi dan pembunuhan yang mereka lakukan pada para ulama dan aktifis, sungguh hampir tidak ada bedanya dengan cara VOC dan Belanda ketika menjajah nusantara. Dan ini yang seharusnya segera menyadarkan kita semua. Kalau sudah terjadi Neo-Kolonialisasi, Neo Komunisme dan Neo Liberalisme, kenapa kita juga tidak segera menggelorakan Neo-Sishankamrata kita? Yaitu Menggelorakan kembali Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta. Karena Sishankamrata kita ini telah teruji dan terbukti mengusir penjajah yang saat itu begitu kuatnya dan juga berhasil memerdekan negeri ini dari Penjajahan gaya baru Oligarki. Dengan Sishankamrata ini bangsa kita bisa buat malu tentara Sekutu pada perang 10 November 1945 di Surabaya. Dengan Sishankamrata para pejuang kita dapat mengalahkan sekutu pada perang Palagan Ambarawa. Dengan Sishankamrata kita dapat membuat kejutan serangan umum 1 Maret dan operasi Trikora yang membuat malu Belanda hingga akhirnya kecut dan berunding dengan para pejuang kita. Sishankamrata ini telah teruji dapat memobilisasi semua sumber daya nasional yang dimiliki bangsa kita untuk melawan raksasa penjajah. Kultur budaya bangsa kita, yang militan dan berdarah pejuang mesti digelorakan kembali. Seluruh lapisan masyarakat harus disadarkan kembali, bahwa negara kita saat ini sudah berada di bibir jurang kehancuran. Semua jalan perbaikan melalui jalur linear konstitusional sudah dikunci dan di rekayasa melalui peraturan dan perundangan yang mereka buat sendiri. Hukum justru jadi alat kekuasan. Penegak hukum juga justru jadi centeng kekuasaan. Agama dan Pancasila yang seharusnya menjadi patokan nilai moralitas kebangsaan, sudah diframing buruk dengan stigma radikalisme dan intoleran. Lalu apa lagi ? Neo-Sishankamrata adalah cara ampuh untuk melawan Neo-Kolonialisasi, Neo-Liberalisasi dan Neo-Komunisme akut yang sedang menyerang bangsa kita dari luar dan dalam. Neo-Sishankamrata adalah ruh perjuangan dan formulasi ampuh dalam menggalang perlawanan rakyat, untuk melakukan bela negara secara fisik dan nyata. Kalau perlu dengan senjata. Neo-Sishankamrata ini harus melibatkan semua aspek dan unsur rakyat. Baik itu dari TNI, Polri, Ulama, Aktifis, Buruh, Mahasiswa, Petani, Pedagang, Guru, Nelayan, hingga pelajar. Semua harus bahu-membahu bersama bagaimana untuk menghentikan rezim ini berbuat zalim dan seenaknya. Dan musuhnya sudah jelas yaitu para oligarki, elit global, yang menggunakan tangan-tangan proxy bonekanya yang sengaja diberi fasilitas dukungan untuk dapat merebut tampuk kekuasaan. Mereka itulah para pengkhianat bangsa yang menjual harga dirinya kepada penjajah oligarki. Neo-Sishankamrata adalah solusi dari kondisi kita saat ini. Bangkit atau Punah… Merdeka! Australia, 16 September 2022. (*)
Menyingkap Sikap AS dan Cina Ihwal G30S 1965 Lewat Bahasa
Artinya, istilah pengikut Sukarno yang digunakan oleh Cina sejatinya hanya bentuk pelecehan bahwa meskipun nasionalis dan anti imperialisme, secara ideologis tetap dipandang musuh dalam jangka panjang. Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) KALAU saya baca-baca lagi beberapa dokumen, baik dari pemerintah Amerika maupun Cina terkait jelang September 1965, ada beberapa frase menarik yang mengisyaratkan sikap dasar mereka dalam memandang Indonesia pada 1965. Kalau merujuk pada beberapa dokumen dari pihak AS dan Inggris, keduanya selalu menekankan polarisasi antara komunis versus \"orang-orang kita\" yang mereka istilahkan dengan sebutan \"Our Local Army Friend\". Tanpa memilah terdiri apa-apa saja ragam ideologinya. Pokoknya anti komunis berarti sekutu AS dan Inggris. Titik. Adapun pemerintah Cina, maupun Partai Komunis Cina, rada unik memang. Selalu mengedepankan istilah Angkatan Darat (Sebagai Representasi Sayap Kanan dan Pengikut Sukarno) yang tentunya mereka maksud orang-orang berhaluan nasionalis atau sosialis namun berjiwa nasionalis, tetapi non komunis atau malah anti komunis. Klasfikasi pemerintah Cina/PKC ini nampak jelas ketika mereka membuat laporan intelijen misalnya dengan mengatakan: “Di dalam tubuh PKI, ada penyusupan dari unsur-unsur angkatan darat dan pengikut Sukarno. Atau sebaliknya: Di dalam tubuh angkatan darat ada penyusupan dari kader-kader PKI dan pengikut Sukarno”. Meski ini kesannya sepele dan nggak penting, ini menggambarkan penyikapan dan kebijakan strategis baik Blok Barat maupun Cina dalam situasi genting jelang September 1965 maupun pasca 1965. Dalam hal AS/Inggris, polarisasi antara komunis versus anti komunis sebagai dasar kebijakan luar negerinya, maka jelas menyingkirkan kekuatan komunis merupakan sasaran antara untuk menggalang kekuatan anti komunis untuk menggulingkan dan melumpuhkan fron nasiona yang bersimpulkan Sukarno dengan dalih membasmi komunis. Sedangkan frase dari pemerintah Cina/PKC, dengan membedakan antara frase \"Pengikut Sukarno\" dan Komunis, maka hal itu tersirat memandang kelompok-kelompok nasonalis non komunis baik di kalangan militer maupun sipil, hanya sekadar sekutu taktis. Artinya, istilah pengikut Sukarno yang digunakan oleh Cina sejatinya hanya bentuk pelecehan bahwa meskipun nasionalis dan anti imperialisme, secara ideologis tetap dipandang musuh dalam jangka panjang. Dalam beberapa surat Menlu Cina kala itu, Marsekal Chen Yi, kepada pejabat tinggi PKC dan pemerintahan Cina, maupun dengan para pemimpin komunis negara lain, sempat menggambarkan Bung Karno sebagai mediator sayap kanan dan sayap kiri. Ini secara jelas menggambarkan bahwa Cina sejak dari awal memang lebih cenderung mencoba memperalat Sukarno daripada benar-benar memandang presiden pertama RI tersebut sebagai sekutu ideologis terpercaya. Sehingga dalam salah satu surat Chen Yi pasca September 1965 yang bermuara pada kegagalan Gerakan 30 September 1965, sempat berucap: “Mungkin lebih baik Sukarno digulingkan saja. Selama ini dia mediator sayap kanan dan sayap kiri. Tapi sekarang situasi sudah berubah”. Demikian yang berhasil saya olah berdasarkan studi yang dilakukan oleh Taomo Zhou, seorang mahasiswa program doktor dari Universitas Cornell, dalam sebuah monograf berjudul “Tiongkok dan G30S”, yang terangkum dalam buku suntingan Kurasawa Aiko dan Matsumura Toshio, bertajuk “G30S dan Asia, Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin”. (*)