Presiden Minus Karakter Negarawan: Hipokrit Terhadap Wacana Penundaan Pemilu, Perpanjangan Masa Jabatan dan Presiden Tiga Periode
Kembali ke UUD 1945, Yang Berdaulat Adalah Rakyat, maka ambil kembali mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada para Pelaku Makar Konstitusi tersebut. Jalan melalui Pengadilan Rakyat atau Revolusi mungkin menjadi satu-satunya jalan untuk menghentikan langkah konspirasi penguasa yang hendak makar terhadap konstitusi.
Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo
BANYAK pihak merasa terkejut ketika Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), LaNyalla Mahmud Mattalitti mengusulkan Pemilu 2024 ditunda. Tidak hanya itu, LaNyalla juga mengusulkan agar masa jabatan Presiden Joko Widodo alias Jokowi ditambah dua atau tiga tahun lagi.
Hal tersebut disampaikan di acara Musyawarah Nasional (Munas) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ke XVII. Ada misi apa di balik pernyataan Ketua DPD tersebut. Memang akhirnya Ketua DPD memberikan klarifikasi bahwa tidak ada Barter Politik atas pernyataan yang mengejutkan tersebut, namun hal itu tidak menyurutkan persepsi miring terhadap usulan “nyleneh” LaNyalla Mattalitti.
Gayung pun bersambut. Tampaknya, Presiden Jokowi tidak lagi menolak wacana penundaan pemilu yang berarti ada perpanjangan masa jabatan presiden, DPR, DPD dan yang terkait dengan kepemimpinan 5 tahunan, demikian juga wacana 3 periode.
Terkait dengan wacana ini, ada momentum politik ketika Presiden Jokowi hadir di GBK dalam acara Gerakan Nusantara Bersatu, Sabtu, 26 Nopember 2022 sekitar pukul 08.20 WIB. Dia hadir menyapa seluruh relawan sampai mengundang sapaan dari para relawan dan pendukungnya yang berlangsung meriah.
Di tengah kemeriahan itu, terdengar teriakan-teriakan “tiga periode” dan “satu periode lagi” menyambut Pilpres 2024. Selain itu poster-poster bernada serupa pun seperti “Jokowi 3 Periode” dan semacamnya turut dibentangkan beberapa relawan. Pertanyaannya, mengapa yel-yel dan poster itu ada, dan terkesan dibiarkan untuk dibentangkan?
Isu perpanjangan masa jabatan presiden, presiden 3 periode yang mulai lagi dihembuskan sebenarnya kontroversial dengan pernyataan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi dulu pernah bilang bahwa isu perpanjangan masa jabatan Presiden tampar mukanya.
Namun, pernyataan itu juga terkesan hipokrit, karena Jokowi juga pernah menyatakan bahwa wacana itu merupakan bagian demokrasi. Presiden Jokowi akhirnya angkat bicara soal isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Wacana itu menjadi polemik setelah disuarakan sejumlah elit partai politik.
Meski demikian, sikap Jokowi kali ini tak sekeras pernyataannya sebelumnya. Kali ini, dia menyatakan bahwa wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang. Sebab, hal itu bagian dari demokrasi. Namun, sekali lagi, Jokowi menegaskan bakal tunduk dan patuh pada konstitusi.
Dalam tinjauan hukum, tindakan Jokowi yang katanya taat konstitusi tapi terkesan membiarkan atas nama demokrasi itu dapat dikatakan hipokrit, antara das sollen (antara idea) dengan das sein (realita).
Saya kira pernyataan itu tidak konsisten ketika dihadapkan pada peristiwa persekusi terhadap dosen dan mahasiswa, bahkan ancaman pembubaran diskusi tentang Pemakzulan Presiden yang bahkan dijamin, diatur oleh UUD Pasal 7A. Sementara soal wacana penundaan pemilu itu tidak diatur bahkan bertentangan dengan konstitusi Pasal 7 dan Pasal 22 E ayat (1).
Jika mau fair, mestinya semua hak bicara dihormati, dipenuhi dan dilindungi oleh Pemerintah, Presiden. Tapi kita lihat, wong TNI Polri dan istri cuma bicara di GWA saja akan dikenakan sanksi oleh institusinya, ini konstulitusionalkah? Ini demokratiskah?
Orang nggak setuju dengan kebijakan pemerintah, dikatakan (telah) terpapar radikalisme, tidak boleh mengundang ustadz radikal! Inikah yang disebut demokrasi itu? Democracy for who?
Ada juga kasus lain yang terjadi pada 29 Mei 2020 di Yogyakarta. Sebuah diskusi yang awalnya diberi judul 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' ramai disorot, terdapat berbagai jenis Teror kepada Panitia dan Pembicara (Prof. Ni'matul Huda). Judul diskusi akhirnya diubah menjadi: 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'.
Teror susulan menyasar panitia diskusi daring tentang pemakzulan presiden yang sebelumnya pada Jum’at lalu Batal digelar kelompok studi mahasiswa Constitutional Law Society, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, panitia kemudian membatalkan diskusi itu.
Alasannya, nara sumber, panitia, dan keluarga panitia mendapatkan ancaman pembunuhan melalui pesan pendek di telepon seluler. Panitia menerima pesan berisi ancaman pembunuhan serempak dari nomor yang berbeda pada Jumat, pukul 13.00.
Teror juga menimpa calon pembicara diskusi Prof. Ni’matul Huda. Imbasnya, Prof. Ni’matul takut keluar dari rumah. Teror terhadap Prof. Ni’matul diduga terjadi pada Kamis tanggal 28 Mei 2020, sekitar pukul 23.00.
Pada jam itu, lima orang memencet bel dan menggedor-gedor pintu dan garasi rumah Ni’matul. Dalam ketakutan, ia tidak membuka pintu dan menghubungi Jamil. Teror kembali muncul pada Jum’at siang sebelum acara diskusi mulai. Ni’matul menerima pesan WhatsApp bernada ancaman pembunuhan sama seperti yang diterima panitia diskusi.
Kalau konsisten terhadap hak warga negara dalam alam demokrasi, mengapa perlakuan diskriminatif justru dipertontonkan oleh rezim Jokowi?
Pada intinya, kalau dicermati, respons yang ditunjukkan oleh presiden saat ini terhadap wacana penundaan pemilu dan penambahan 3 periode masa jabatan presiden memang “tampak jelas ada penurunan ketegasan” jika dibandingkan respons ditunjukkan pada akhir tahun 2019 lalu dan terkesan inkonsisten.
Terkait dengan inkonsistensi sikap Jokowi dalam isu presiden tiga periode ini, julukan King of Lips Service kembali dibicarakan netizen. Pernyataan netizen saya kira juga bukan tanpa alasan mengingat track record Jokowi yang banyak dinilai oleh beberapa pihak tidak konsisten antara yang diucapkan dengan yang diperbuat (BEM UI, Azumardy Azra).
Ya seperti yang pernah disebutkan, Jokowi menyatakan bahwa “jika ada orang yg mendorong perpanjangan masa jabatan, hingga 3 periode itu, orang itu (1) menampar mukanya; (2) mencari muka dan (3) menjerumuskannya.”
Lalu kenapa selama beberapa mingguan ini dia membiarkan perbincangan yang jelas memenuhi 3 hal itu hingga akhirnya menyatakan itu bagian dari demokrasi?
Mestinya presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di awal wacana langsung memberikan pernyataan resmi: “Setop Wacana Penundaan Pemilu Dan Perpanjangan Masa Jabatan”, sehingga tidak menjadi bola liar yang menguras energi bangsa.
Pernyataan Presiden juga bisa dinilai anti klimaks terhadap Gonjang Ganjing wacana itu karena Terkesan Abu-Abu, Inkonsisten, ambigu dan Hipokrit! Artinya, dugaan bahwa beliau itu The King of Lips Service oleh netizen cukup beralasan.
Terkait dulu bilang tampar mukanya, dan sekarang bagian demokrasi, oleh netizen disimpulkan bahwa menampar muka bagian dari demokrasi, hal itu merupakan kekacauan logika akibat dari sikap penguasa. Namun, itu logika yang Lurus dengan menggunakan prinsip Silogismus sebagai berikut:
Premis 1: Wacana penundaan pemilu itu menampar muka presiden;
Premis 2: Wacana penundaan pemilu itu bagian demokrasi.
Kesimpulan:
1. Wacana penundaan pemilu itu Menampar muka, namun termasuk bagian dari demokrasi.
2. Menampar muka presiden itu termasuk bagian dari demokrasi.
Ini termasuk penalaran yang benar ataukah Logical Falacy? Ya, kadang-kadang kita perlu ngomong: “Wes, Pokoke Awuren...!”
Perpanjangan jabatan itu sebagai konsekuensi adanya penundaan pemilu. Sampai sekarang belum jelas siapa sebenarnya yang punya kemauan untuk melakukan penundaan pemilu.
Semula saya malah baca berita yang menyatakan, justru yang mempunyai kemauan untuk penundaan pemilu itu Presiden Jokowi (Andi Arief Demokrat). Lalu meminta menteri dan ketua-ketua parpol untuk melempar wacana sekaligus menyetujui rencana tersebut.
Kalau ini benar, maka ini adalah persekongkolan (konspirasi). Persekongkolan mereka dapat disebut sebagai persekongkolan jahat untuk Makar Terhadap Konstitusi.
Jika hal ini benar, maka Presiden dapat diduga telah melakukan upaya Pelanggaran Terhadap Konstitusi dan Dapat Di-Impeachment. Pertanyaannya: siapa yang akan melakukan impeachment jika Para Wakil Rakyat saja telah tersandera dalam Persekongkolan tersebut?
Kembali ke UUD 1945, Yang Berdaulat Adalah Rakyat, maka ambil kembali mandat yang telah diberikan oleh rakyat kepada para Pelaku Makar Konstitusi tersebut. Jalan melalui Pengadilan Rakyat atau Revolusi mungkin menjadi satu-satunya jalan untuk menghentikan langkah konspirasi penguasa yang hendak makar terhadap konstitusi.
Jika merasa menjadi negarawan, beranikah menghentikan wacana penundaan pemili, perpanjangan masa jabatan dan presiden tiga periode? Jika hipokrit dapat dipastikan, Presiden tidak akan berniat dan mau menghentikan wacana tersebut.
Tabik...!!!
Semarang, Ahad: 27 Nopember 2022. (*)