Mengapa Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 Berdasarkan UUDS 1950 Sendiri Inkonstitusionil dan Tidak Demokratis?

Chris Komari, Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA) USA, FTA Global, FTA-RI Nasional Indonesia

Kami aktivis Forum Tanah Air (FTA) USA dan FTA global memiliki solusi alternatif, atau opsi alternatif yang bisa dipertimbangkan dan diperdebatkan untuk bisa menjaga dan melestarikan UUD 1945 “asli” tanpa harus melakukan Dekrit Presiden, tanpa harus memperpanjang jabatan Presiden Jokowi dan mengundur Pemilu 2024

Oleh: Chris Komari, Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA) USA, FTA Global, FTA-RI Nasional Indonesia

KETIKA rakyat tak berani menolak tindakan-tindakan pemimpin bangsa yang unconstitutional, abuse of power dan tidak demokratis berupa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, bukan berarti itu adalah tindakan yang bisa dibenarkan dan bisa diulangi lagi.

UUDS tahun 1950 memiliki pasal sebanyak 146 pasal, dimana dalam:

1). Pasal 1, ayat 1, UUDS 1950 disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. (Ingat, demokrasi itu sendiri memiliki 11 pilar demokrasi).

2). Pasal 1, ayat 2, UUDS 1950 disebutkan bahwa kedaulatan RI adalah di tangan rakyat.

3). Pasal 84, UUDS 1950 menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan setelah membubarkan DPR, dalam waktu 30 hari Presiden harus mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru.

Jadi yang dimandatkan oleh Pasal 84, UUDS tahun 1950 adalah hak Presiden untuk membubarkan DPR, bukan hak membubarkan Parliamen, atau Dewan Konstituante.

Karena di era UUDS 1950, Dewan Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu 2 lembaga yang berbeda.

4). Ketika anggota Dewan Konstituante mengalami gridlock (kebuntuan) dalam bermusyawarah untuk mufakat, tak berhasil mencapai kesepakatan bersama (consensus) karena begitu banyaknya perbedaan pendapat, ideologies dan idealism antar anggota Konstituante, sehingga UUD RI baru yang diharapkan tidak bisa disepakati!

Dalam situasi, kondisi dan kontek seperti ini, dimana Dewan Konstituante mengalami gridlock, ada 2 hal yang menjadi pertanyaan saya:

1). Apakah hal itu berarti (warranted) Dewan Konstituante harus dibubarkan?

2). Bagaimana dengan konsep dan rumus “deliberation” yang dibuat dan dirumuskan sendiri oleh para Founding Fathers NKRI yang sebagian besar menjadi anggota Dewan Konstituante, dengan Sila ke #4 Pancasila yang berbunyi:

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”?

3). Apakah para anggota Dewan Konstituante waktu itu masih belum mengenal atau belum mengetahui system deliberation yang baik dan benar, dan mengetahui apa step process yang harus dilakukan bila terjadi “gridlock” untuk mencari jalan tengah (compromised version) dari berbagai fraksi, golongan dan perwakilan di Dewan Konstituante seperti yang dilakukan di US Congress di Amerika Serikat (AS)?

Kadang saya termenung, berpikir dan akhirnya tersenyum sendiri melihat dan menggali kehebatan para Founding Fathers NKRI di era 40'an, 50'an dan 60"an.

Mereka selain brilliant, intelligence, suka berdebat, sangat idealistic (idealisme sangat tinggi), anti western, tetapi juga kocak-kocak dalam berpolitik.

Kocaknya di mana?

Sila ke#4 Pancasila itu khan para Founding Fathers NKRI sendiri yang merumuskan secara idealis, membuat formula deliberation dengan musyawarah untuk mufakat, yang didasari dengan (inner wisdom) hikmat dan kebijaksanaan dalam Sila ke#4 Pancasila?

Kemudian para Founding Fathers NKRI itu setelah selesai merumuskan Sila ke #4 Pancasila, mereka sendiri juga yang harus menjalankan dan mempraktekannya dalam pemerintahan dan berpolitik, tetapi hasilnya apa?

Hasilnya “gridlock” dan Dewan Konstituante berakhir dibubarkan?

Itu khan kocak?!

Para Founding Fathers NKRI yang merumuskan Sila ke-4 Pancasila sendiri saja, tidak mampu melakukan dan mempraktekan Sila ke-4 Pancasila, apalagi kita generasi penerus?

Dalam perspective saya sebagai activist democracy selama 22 tahun lebih dan mantan anggota City Council 2 term (2002 dan 2008) di Contra Costa County, State of California yang memahami with decent knowledge tentang sistem demokrasi di negara bagian (State of California) dan di USA pada umumnya, serta mengalami sendiri (first hand experience) sebagai kandidat, melakukan kampanye, melakukan public debates dengan kandidat lainnya di depan publik rakyat Amerika, dalam kontek dan praktek-praktek demokrasi di USA dan menjadi 2 term anggota City Council.

Dengan segala kekurangan dan kelebihan, saya sendiri sudah menjalani sendiri praktek-praktek bagaimana sistem, proses, prosedur, dan mekanisme deliberation yang baik, benar dan demokratis ditingkat City Council di pemerintahan tingkat Kota.

Karena itu, ketika menggali peristiwa politik masa lalu dan sepak terjang para Founding Fathers NKRI di era 40'an, 50'an dan 60'an membuat saya tertarik, kemudian membandingkan dengan pengalaman pribadi saya dalam kontek demokrasi di Amerika Serikat (AS).

I found it very entertaining dan sedikit kocak yang membuat saya kadang tersenyum dan tertawa sendiri.

1). Bagaimana para Founding Fathers NKRI kita dulu itu mau mengukur dan mengetahui “Kehikmatan” dan “Kebijaksanaan” wakil-wakil rakyat di pemerintahan, khususnya di Parliamen?

Bagaimana mau mengukur “kehikmatan” dan “kebijaksanaan” anggota Dewan Konstituante, anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD?

2). Ukuran standard-nya apa?

3). Dan siapa yang mengukur?

Ataukah itu hanya berupa harapan, keinginan, kemauan, cita-cita, impian dan wishful thinking dari para Founding Fathers NKRI terhadap para wakil-wakil di pemerintahan, khususnya di Parliamen agar hikmat dan bijaksana dalam melakukan deliberation mewakili kepentingan rakyat?

Tanpa membuat ukuran standard dan bagaimana mengukurnya?

Beda dengan sistem deliberation di US Congress, (House & Senate), State Legislature dan City Council yang bermuara pada mekanisme, consensus, compromise, checks and balances.

Saya tidak peduli, anggota City Council lainnya itu bijak atau tidak.

Ketika terjadi gridlock dalam musyawarah untuk mufakat di City Council, kita akan melakukan conference atau negotiation untuk mencapai compromised version.

Ketika terjadi gridlock dalam deliberation, masih ada banyak steps yang harus dilakukan oleh anggota Parliamen (anggota City Council) dari masing-masing representative, fraksi atau caucus untuk mencapai apa yang disebut dengan “compromised version”.

Bayangin setiap Bill (RUU) harus lolos di House of Representative dan harus lolos di US Senate, sebelum lolos di US Congress?

Setiap kita di City Council membuat aturan baru berupa a new city Codes and Ordinances yang dikeluarkan bersama oleh City Council, aturan baru itu tidak boleh bertabrakan dengan Federal Statutes, State Rules, Regulations and Statutes dan harus in harmony County's rules and regulations.

Selain tentunya aturan baru itu tidak boleh mengurangi quality of life (kualitas hidup) warga kota, tidak discriminative, aturan itu harus universal dan memiliki prospek untuk meningkatkan local tax revenues for the city, dan lain-lain.

Kadang untuk membuat aturan baru di tingkat  kota saja sudah begitu sulit, karena selain ada begitu banyaknya interest (kepentingan) dalam satu kota, juga ada statutes di atasnya yang tidak boleh ditabrak, apalagi dalam satu negara.

Tapi itulah the nature of deliberation in Parliament, Legislature or Congress.

You have to learn to compromise!

Dan, compromise adalah salah satu prinsip demokrasi nomer #11 (the importance values of tolerance, pragmatism, cooperation and compromise).

Yang membuat saya kesulitan untuk menggali keinginan, cita-cita, cara berpikir dan daya berpikir para perumus Pancasila, adalah satu fakta yang saya sadari bahwa rumusaan Pancasila itu isinya terlalu bagus, terlalu idealis, impian yang terlalu tinggi, mendekati sempurna dan sangat futuristic sehingga sulit untuk dijalankan dan dipraktekan oleh orang biasa (ordinary politicians).

Buktinya, para perumus Pancasila itu sendiri terbukti “gagal” mempraktekan Sila ke #4 Pancasila dalam deliberation di Dewan Konstituante!

Bagaimana mungkin kita sebagai generasi penerus sekarang yang disuruh menjalankan dan mempraktekan Sila ke#4 Pancasila?

Lho wong mereka yang merumuskan Sila ke#4 Pancasila sendiri, gagal?!

Apalagi kita yang tidak ikut merumuskan Pancasila?

Namun demikian, karena Pancasila adalah hasil karya, hasil kerja, cita-cita, keinginan, kemauan, tujuan dan kesepakatan (compromised version) para Founding Fathers and Mothers NKRI, maka kita sebagai generasi penerus “wajib” menjaga, menghormati, dan melestarikannya.

Sistem dan bentuk pemerintahan itu tidak penting bagi saya, asal Adil, Jujur dan Bijaksana (Just, Fair & Wise).

Bagi saya, sistem pemerintahan dictatirship atau monarch yang adil, jujur dan bijak, jauh lebih baik daripada sistem pemerintahan demokrasi yang sudah dikorupsi dan direkayasa (corrupted democracy), seperti di Indonesia saat ini, dari demokrasi berubah menjadi Partai-Krasi!

Bagaimana cara yang legal, constitutional dan demokratis untuk tetap menjaga dan melestarikan redaksi (text) UUD 1945 asli?

Kami mendukung keinginan untuk kembali ke UUD 1945 asli, tetapi:

1). Dekrit Presiden itu tindakan unconstitutional (inkonstitusionil), apapun alasan dan excuses yang dijadikan justification.

Karena Presiden tidak memiliki kekuasaan lebih tinggi dari Parliamen, dan Presiden tidak memiliki kekuasaan untuk mengubah, melanggar, apalagi membatalkan Konstitusi UUD 1945.

Presiden juga tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan Parliamen, seperti yang dilakukan Presiden Soekarno yang membubarkan Dewan Konstituante dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

2). Memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi selama 2 tahun atau 3 tahun maksimal dan mengundur Pemilu 2024 adalah tindakan inkonstitusionil (unconstitutional) yang akan menciptakan chaos dan turmoil karena akan menciptakan krisis konstitutional.

3). Kredibilitas Presiden Jokowi saat ini sangat rendah dan tidak akan mendapatkan full support dari publik untuk bisa selamat melakukan dekrit Presiden, meski dengan 2 dekrit Presiden, salah satunya tidak akan memperpanjang jabatan setelah masa perpanjangan jabatan selesai.

Tiga options di atas tidak akan bisa diterima oleh banyak kelompok, minimal akan banyak yang menolak dan menentangnya.

Semua perubahan politik yang besar menyangkut Konstitusi dan UU, harus dilakukan secara:

1). Legal

2). Constitutional

3). Demokratis.

Kami aktivis Forum Tanah Air (FTA) USA dan FTA global memiliki solusi alternatif, atau opsi alternatif yang bisa dipertimbangkan dan diperdebatkan untuk bisa menjaga dan melestarikan UUD 1945 “asli” tanpa harus melakukan Dekrit Presiden, tanpa harus memperpanjang jabatan Presiden Jokowi dan mengundur Pemilu 2024.

Solusi dan opsi alternatif yang akan kami berikan masih dalam koridor hukum, constitutional dan demokratis.

Apa solusi alternatif itu?

Secara comprehensive akan diberikan penjelasan menyusul dalam kontek dialog publik.

Inshallah. (*)

1300

Related Post