OPINI
Bobot Politik Pernyataan La Nyalla Perpanjangan Masa Jabatan Presiden: Zero
Apakah pernyataan ini sebagai jebakan kepada Presiden Joko Widodo, karena saking frustrasi dan jengkelnya? Karena, kalau itu sampai diikuti, LaNyalla tahu rakyat pasti marah, bisa memicu perlawanan rakyat di jalanan? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PERNYATAAN LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI, membuat banyak pihak tidak nyaman. Dalam pidato di Musyawarah Nasional HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), LaNyalla membuat pernyataan Indonesia harus kembali ke UUD 1945 asli. Pernyataan ini kemudian dilanjutkan dengan kalimat yang membuat banyak pihak tersentak. Terkait usulan perpanjangan masa jabatan presiden, seakan-akan sebagai ‘hadiah’ atas dekrit kembali ke UUD 1945 asli. Apa LaNyalla ‘masuk angin’? Begitu pertanyaan publik. Atau pernyataan publik? LaNyalla memang mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat di Republik ini, sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tetapi, jabatan tinggi ini tidak ada pengaruh politik. DPD bukan pembuat undang-undang (UU), tidak ikut mengesahkan UU. Paling banter cuma diminta pendapatnya saja, mungkin juga hanya sebagai formalitas. DPD hanya diminta menampung aspirasi daerah, untuk disalurkan ke DPR atau MPR. Maka itu, secara politik, LaNyalla hampir sama dengan rakyat biasa. Bedanya, LaNyalla bisa komunikasi dengan semua lembaga negara. Cuma itu saja kelebihannya. Maka itu, pernyataan LaNyalla mengenai perpanjangan masa jabatan presiden, secara politik, tidak ada artinya, nihil: zero. Lain halnya kalau yang menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden adalah ketua partai politik. Mereka ini penentu keputusan politik di parlemen. Mereka bisa mengubah UU, mereka bisa minta diadakan sidang MPR, dan bisa mengubah konstitusi. Mungkin saja pernyataan LaNyalla karena frustrasi melihat elit politik saat ini yang hanya mementingkan kelompoknya saja, frustrasi melihat bangsa ini dikuasai oligarki dalam menentukan presiden dan wakil presiden, hingga kepala daerah. Frustrasi melihat Mahkamah Konstitusi (MK) cenderung menjadi alat kekuasaan, frustrasi melihat gugatan Presidential Threshold 20 persen dikandaskan MK. Begitu frustrasinya sampai keluar kalimat mau perpanjang masa jabatan presiden silakan saja. Apakah pernyataan ini sebagai jebakan kepada Presiden Joko Widodo, karena saking frustrasi dan jengkelnya? Karena, kalau itu sampai diikuti, LaNyalla tahu rakyat pasti marah, bisa memicu perlawanan rakyat di jalanan? Apakah seperti itu tujuannya? Hanya LaNyalla yang tahu. (*)
Indonesia Machtstaat!
Oleh Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). DALAM catatan sejarah peradaban dunia, pergumulan pemikiran tentang bagaimana seharusnya negara dikelola sesungguhnya sudah ada sejak era Yunani Kuno ketika filsuf Plato (427-347 SM) menulis dua buku dari 28 karya dialogisnya yang menggambarkan pergumulan pemikiran tentang negara harus dijalankan oleh siapa dan seperti apa? Dua buku dialogis Plato yang berjudul Politeia (republik) dan Nomoi (hukum) menggambarkan dinamika pergumulan ide itu. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa dalam Politeia Plato menekankan pentingnya aktor yang baik dalam mengelola negara. Negara perlu dipimpin oleh para pemikir yang bijak (filosof), yang mengerti tentang publik, yang mau berfikir mendalam agar negara dipandu oleh akal sehat yang mengutamakan kepentingan publik. Sementara dalam Nomoi negara mesti dipimpin oleh aturan bersama yang disebut hukum yang diproduksi dengan mempertimbangkan aspirasi bersama, aspirasi orang banyak.. Spirit Awal Hadirnya Negara Perjalanan pemikiran Plato yang diurai secara singkat dalam pengantar d iatas secara substansial menggambarkan betapa pentingnya negara dipimpin oleh para pemimpin yang berkualitas dan di saat yang sama jalannya negara harus taat terhadap konstitusi, taat pada hukum, diatur oleh aturan bersama yang mendengarkan aspirasi rakyat banyak. Karena itu kemudian Aries Toteles (384-322 SM) murid Plato yang terkemuka mengingatkan bahwa kekuasaan itu ada sesungguhnya untuk menghadirkan common good (kebaikan bersama) dan kebaikan bersama itu hanya mungkin terwujud ketika ada tindakan kolektif warga negara, ada aspirasi rakyat banyak yang didengarkan penguasa. Itulah spirit awal hadirnya negara. Selanjutnya perkembangan pemikiran politik dan hukum mengalami pasang surut hingga kemudian mengalami kemajuan pada abad pertengahan dan selanjutnya hingga abad 20. Dari munculnya gagasan demokrasi konstitusional Immanuel Kant (1724-1804 M), gagasan negara hukum J.Stalh ( 1802-1861 M)l, hingga A.V Dicey (1835-1922 M) dan seterusnya yang menekankan pentingnya human rights, supremacy of law, Equality before the law dan Due Process of Law, dimana negara mesti dijalankan dengan panduan hukum yang partisipatif dan dipegang teguh dijalankan oleh kekuasaan yang bersikap adil. Gagasan-gagasan merekalah yang kemudian mempengaruhi jalanya praktik negara hukum di Eropa Kontinental dan Anglo Amerika hingga saat ini, termasuk secara teoritik mempengaruhi negara - negara Asia seperti Indonesia. Dengan mencermati perspektif di atas secara kontemplatif dan reflektif adalah sangat tragis jika negara dipimpin oleh orang yang tidak adil sejak dalam pikiran dan menjalankan negara dengan mengabaikan undang-undang, mempermainkan undang-undang, melabrak aturan yang disepakati bersama, dan mengabaikan aspirasi rakyat banyak. Secara substantif semuanya itu melukai rasa keadilan publik. Bagaimana dengan Indonesia? Sehari setelah Indonesia merdeka, ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bermusyawarah pada tanggal 18 Agustus 1945 sepakat mencantumkan soal bagaimana negara Indonesia dikelola khususnya dalam bagian penjelasan di bagaian sistem pemerintahan negara. Dalam bagian penjelasan tersebut pada point (1) dinyatakan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtstaat). Dalam penjelasan UUD 1945 tersebut juga dikemukakan bahwa pemerintahan Indonesia itu berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen tahun 2002 juga disebutkan dalam batang tubuh pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebelumnya ada ayat dalam pasal 1 ayat 2 berbunyi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang - Undang Dasar. Itu semua menunjukan pentingnya pemimpin yang demokratis karena kedaulatan ada di tangan rakyat (demokrasi) dan taat pada hukum yang telah disepakati bersama (rechtstaat). Hal itu menggambarkan spirit awal yang jelas bagaimana republik Indonesia berdiri dan seharusnya dijalankan. Bagaimana Indonesia Menjadi Machtstaat? Sejak awal Indonesia merdeka melalui perdebatan intelektual yang mencerahkan di BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) maupun di PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) para pendiri bangsa pada tanggal 18 Agustus 1945 akhirnya sepakat bahwa bentuk negara Indonesia adalah Republik. Hal ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.Konsep negara republik dipilih karena secara sadar para pendiri bangsa menginginkan Indonesia menjadi negara modern yang dikelola dengan cara-cara modern, mendengarkan aspirasi rakyat banyak termasuk cara-cara memilih pemimpinnya yang tidak dilakukan secara turun menurun (monarki) tetapi melalui musyawarah dan mendengarkan aspirasi rakyat, juga termasuk cara-cara mengelola negaranya harus mendengarkan aspirasi rakyat banyak (demokrasi) serta dibingkai dalam hukum dasar yang disepakati bersama dan ditaati bersama atau disebut konstitusi. Itulah spirit Republikanisme, spirit mentaati konstitusi (rechtstaat), spirit menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, spirit pembatasan kekuasaan, spirit demokrasi deliberatif (Johm Milton, Aeropagitica, 1644). Dengan merujuk pada awal pembentukan negara dan perspektif Republikanisme penulis mengambil kesimpulan bahwa Indonesia saat ini sesungguhnya memasuki episode Machtstaat (negara kekuasaan) yang sangat membahayakan masa depan Indonesia sebagai Republik. Loh, kok bisa Indonesia menjadi machtstaat atau negara kekuasaan? Secara empirik para ilmuwan dan akademisi ilmu sosial politik dan hukum yang masih independen dalam keilmuanya pada umumnya memberikan kesimpulan yang sama bahwa Indonesia pernah menjadi machstaat dan kini memasuki episode machtstaat yang paling membahayakan masa depan Indonesia sebagai negara Republik. Ada tiga episode Indonesia menjadi machtstaat , yaitu (1) episode machtstaat era Soekarno, (2) episode machstaat era Soeharto, dan (3) episode machtstaat era Jokowi. Pada era Soekarno terjadi sekitar tujuah tahun di akhir kekuasaanya dari tahun 1959 hingga 1966. Pada era akhir kekuasaan Soekarno ini negara kekuasaan (machtstaat) sangat terlihat sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959, kemudian Soekarno membubarkan parlemen hasil pemilu dan mengangkat anggota DPR-GR (1960), membubarkan Partai Masyumi dan PSI (1960), menerima diangkat sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS (1963), membubarkan Partai Murba (1965) dan seterusnya hingga kekuasaanya jatuh pada 1967. Pada era Soeharto era machtstaat terjadi secara sistemik sejak dikeluarkanya 5 paket Undang-Undang politik pada tahun 1985. Sejak keluarnya paket Undang-Undang politik itulah kekuasaan Soeharto semakin kuat mengendalikan seluruh kekuatan politik (DPR/MPR, Partai, Ormas, dll), dan dipenghujung kekuasaanya praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin subur hingga jatuh pada 1998. Pada era Jokowi machtstaat terjadi sejak tahun 2019 ketika Presiden bersama DPR tidak mau mendengarkan aspirasi ratusan ribu rakyat, mahasiswa, akademisi, para aktivis, buruh dll yang menolak revisi UU KPK hingga disahkan pada 17 September 2019. Melalui revisi UU KPK itulah KPK kini menjadi tidak independen lagi karena menjadi bagian dari lembaga eksekutif dibawah kendali Presiden. Disaat yang sama Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih terus merajalela. Negara kekuasaan juga terlihat ketika Presiden mengeluarkan Perpu No 1 tahun 2020 yang kemudian menjadi UU No.2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas sistem keuangan. UU ini membuat Presiden memiliki kewenangan yang absolute karena sepanjang tiga tahun (2020-2022) Presiden dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar Peraturan Presiden. Selain itu Keputusan yang didasari UU No.2 tahun 2020 ini tidak bisa menjadi obyek gugatan yang dapat diperkarakan di PTUN. Checks and balances hilang, apalagi koalisi pemerintah menguasai 80 % lebih suara parlemen. Negara kekuasaan juga semakin terlihat ketika pemerintah dan DPR tidak mendengarkan aspirasi rakyat yang menolak pengesahan Omnibuslaw UU Cipta kerja tahun 2020. DPR akhirnya mengesahkan UU Cipta Kerja Pada 5 Oktober 2020. Sebagai informasi UU Cipta Kerja ini dibuat atas inisiaif Presiden Jokowi, ada 79 undang-undang yang diringkas. Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 memutuskan bahwa Omnibuslaw UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan tidak konstitusional atau inkonstitusional bersyarat. Enam bulan kemudian DPR mengesahkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3) pada 5 Mei 2022, UU P3 ini yang menjadi landasan hukum atau semacam perlindungan hukum perbaikan UU Cipta Kerja. Indonesia kini semakin menjadi Machtstaat karena intervensi kekuasaan tidak hanya terhadap legislatif tetapi juga pada lembaga yudikatif seperti terhadap Mahkamah Konstitusi. (MK), misalnya dalam kasus pemberhentian Aswanto seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diganti karena dinilai DPR Aswanto gagal mengamankan produk hukum yang dibuat DPR bersama pemerintah. Padahal MK itu wilayah yudikatif yang kemerdekaan kewenanganya dijamin konstitusi UUD 1945 untuk menguji suatau Undang-Undang produk DPR. Celakanya Presiden dengan senang hati melantik Guntur Hamzah pengganti Aswanto menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Mengapa episode machtstaat era Jokowi ini paling membahayakan masa depan Republik? Jawabanya rezim ini tidak hanya mengendalikan lembaga legislatif hingga hilang checks and balances nya tetapi juga mengendalikan lembaga yudikatif, dan lebih berbahayanya negara kekuasaan yang bersekongkol dengan oligarki ini telah menyusup dan merusak kedalam lebih dari 80 Undang-Undang hanya dalam waktu tiga tahun kekuasaanya di periode kedua ini. Pada akhirnya negara hukum (rechstaat) yang demokratis yang merupakan spirit utama negara republik yang dicita-citakan para pendiiri bangsa ini kini secara sistemik telah dirampas oleh machtstaat yang dijalankan pada episode Presiden Jokowi ini. Indonesia Machtstaat!
Politik Rondo Ucul: Akan Lahir Perppu Perpanjangan Masa Jabatan?
Ditengarai bentuk nego keluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 asli, otomatis Pilpres 2024 akan ditunda, dengan alasan biaya Pilpres belum ada atau belum siap. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SUASANA gaduh, ribut tekanan ke negara harus segera kembali ke UUD 1945 asli, sebagai pertaubatan negara yang telah melenceng dan memberlakukan UUD 2002 dengan segala resiko kerusakan di mana-mana direspon balik berupa kompensasi nego politik Rondo Ucul minta perpanjangan masa jabatan. Istilah politik rondo ucul dari peserta diskusi kajian politik Merah Putih yang kesal, judeg, karena rezim ini ngeyel-nya gak ampun mbelgedes-nya. Setiap menyelesaikan masalah akan lahir masalah baru, seperti rondo liar dengan pikiran liar, yang penting bisa menyalurkan nafsunya. Info bahwa akan lahir Perppu perpanjangan masa jabatan presiden bukan omong kosong dan main-main. Ditengarai bentuk nego keluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 asli, otomatis Pilpres 2024 akan ditunda, dengan alasan biaya Pilpres belum ada atau belum siap. Bak petir di siang hari “inilah tingkah Oligargi memainkan politik besinya, semua akibat perangkat penyelenggara negara sudah menjadi bebek lumpuh di ketiak Oligarki”. Rentetan rekayasa ini diduga ada panduan politik dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sebagai komandannya. Lembaga ini tidak terdengar suaranya memang dilarang menyanyampaikan semua gagasan dan pikirannya kepada publik. Bersuaralah mantan Wakil Presiden Try Sutrisno bahwa negara harus kembali ke UUD 1945 asli dengan Dekrit terkoordinasi. Sampai sekarang masih teka- teki makna terkordinasi, mungkinkah sangat dekat dengan makna negosiasi? Presiden dan MPR dapat mengeluarkan Dekrit dalam rangka menyelamatkan negara, jika keberadaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Perubahan atau hasil amandemen dan pelaksanaannya menjurus ke hal-hal yang dapat dan sangat membahayakan negara. Tanpa harus ada embel-embel ada tambahan masa jabatan, dengan jiwa negarawan demi keselamatan bangsa dan negara: - Presiden: dengan alasan negara dalam keadaan darurat keluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 asli dengan segala resikonya - MPR: cabut sebuah amandemen yang dilakukan dengan segala resikonya. Nekad lahirkan Perppu perpanjangan masa jabatan, apalagi ada klausul jabatan 3 (tiga) periode (jelas inkonstitusional) akan menciptakan chaos dan akan menciptakan krisis konstitutional. (*)
Negara Kerajaan Republik Indonesia
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan NEGARA kerajaan atau Monarki adalah negara dimana Pemerintahan dipimpin oleh seorang Raja. Titahnya diikuti dan tidak ada kebijakan yang dapat diambil tanpa persetujuannya. Negara kerajaan adalah negara otoriter. Ada Monarki Absolut dan ada pula Monarki Konstitusional. Monarki berasal dari kata Yunani \"monos\" artinya satu dan \"archein\" Itu pemerintah atau kekuasaan. Presiden yang mirip raja ada tiga, yaitu Soekarno, Soeharto dan Jokowi. Dua Presiden awal memerintah cukup lama sedang Jokowi baru dua periode. Soekarno dan Soeharto figur kuat dengan kapasitasnya sendiri sedangkan Jokowi kuat karena ditopang oligarki baik politik maupun ekonomi. Kerajaan Indonesia dengan \"raja\" Soekarno tercirikan pada demokrasi terpimpin, menggabungkan dan mengendalikan kekuatan politik dalam Front Nasional, membentuk DPR-GR dengan anggota tunjukannya, memelihara PKI dan menghajar lawan-lawan politik. Meminggirkan kekuatan agama. Partai Islam Masyumi dibubarkan. \"Raja\" Soeharto awalnya memiliki kebijakan populis dengan menghabisi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mewujudkan aspirasi rakyat yang ingin PKI tidak ada dalam sistem politik di Indonesia. Namun dengan ideologi pembangunan menyebabkan KKN merajalela. Titah Soeharto sulit dibantah dan aparat menjadi alat. Sama saja lawan politik dibungkam. Kebijakan monolit. \"Raja\" ketiga adalah Presiden Jokowi. Jokowi itu pemimpin lemah tetapi dilingkari oleh kepentingan kuat. Sejak awal harus terpilih kembali dengan cara licik, tidak mundur sebagai Presiden, membatasi calon hanya dua pasang melalui PT 20 %, dicurigai otak atik angka dengan mengendalikan KPU, Bawaslu, dan MK. menteror lawan politik dengan pembunuhan, serta menjadikan DPR sebagai tukang stempel. DPR tukang stempel dengan cepat menyetujui UU penggunaan dana Covid 19, UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Minerba dan UU MK. Mahkamah Konstitusi (MK) yang terhormat ternyata berada di bawah ketiak Jokowi. Apalagi Ketua MK ditarik menjadi adik ipar Jokowi. Nuansa KKN. KKN pula yang membuat putera Jokowi Gibran menjadi Walikota Solo. Menantunya Bobby Nasution menjabat Walikota Medan. Ini adalah sejarah bahwa anak dan menantu menjadi Kepala Daerah. Hanya gaya \"raja\" yang mampu menempatkan Kepala Daerah orang tunjukan. Sebanyak 272 Kepala Daerah ditunjuk secara tidak demoratis. Untuk masa jabatan yang tidak pendek, hingga 2024. \"The King can do no wrong\"--Raja tidak pernah salah. Jokowi sebagai \"raja\" memang tidak pernah merasa bersalah. Tewasnya 894 petugas Pemilu 2019 disikapi dengan santai. Begitu pula dengan 9 peserta aksi di depan Bawaslu, pembantaian 6 anggota laskar FPI, pembunuhan keji dr Sunardi, hingga peristiwa Kanjuruhan yang menewaskan 125 penonton akibat gas air mata. Lawan politik ditangkap dan ditahan. Nama Soekarno berkaitan dengan Adipati Karna dalam kisah kerajaan Astina anak Dewi Kunti dan Batara Surya. Soekarno memiliki dalang kesayangan dalam memainkan wayang Ki Gitosewoko. Pecarian wangsit dilakukan di Gunung Munara Bogor, Goa Ratu Cilacap, Goa Istana Banyuwangi, dan lainnya. Sedangkan Soeharto mengidolakan tokoh Semar dari kerajaan Amarta. Pengayom Pandawa yang selalu tersenyum. Gelar dirinya juga \"The Smilling General\". Konteks sejarah kekuasaannya dimulai dengan \"Super Semar\" Surat Perintah Sebelas Maret. Tempo 10 Februari 2008 menulis \"Dari Gua Semar Wangsit itu Berasal\" mengulas tempat Soeharto melakukan ritual pencarian wangsit. Jokowi membeli lukisan dari Seniman Lekra PKI Joko Pekik dengan harga milyaran berjudul \"Petruk Dadi Ratu, Semar Kusirnya\". Kisah Petruk rakyat jelata yang jadi raja. Memerintah dengan tidak amanah, tidak direstui Dewa dan membuat kekacauan di kerajaan. Mendapatkan kekuasaan secara curang atau tidak absah. Jokowi akan memasang lukisan \"Petruk Dadi Ratu\" di Istana baru IKN Kalimantan Timur. Kini tugas kita sebagai rakyat Indonesia untuk berjuang mengembalikan sistem pemerintahan ke aras Demokrasi. NKRI adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan Negara Kerajaan Republik Indonesia. Bandung, 24 Nopember 2024
Kembali ke UUD 1945 Asli: Melalui Dekrit atau Jalan Rakyat?
Ini yang disuarakan oleh kelompok yang mengatakan jangan sampai dekrit dikeluarkan oleh presiden sekarang ini. Artinya, terjadi krisis kepercayaan terhadap presiden (khususnya terkait dekrit). Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) TIDAK sedikit pihak merasa kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini sedang sakit akibat amandemen undang-undang dasar (UUD) sebanyak empat kali dalam kurun periode 1999-2022. Oleh karena itu, banyak pihak berpendapat permasalahan bangsa dan negara yang sedang sakit ini hanya bisa diselesaikan dengan kembali ke UUD asli. Pertanyaannya, bagaimana kembali ke UUD 1945 asli? Berharap MPR mengambil langkah untuk kembali ke UUD 1945 asli secara sukarela bagaikan pungguk merindukan bulan. Karena anggota MPR yang berjumlah 711 orang mayoritas terdiri dari anggota DPR (575 anggota), yang merupakan perwakilan dari partai politik, yang justru paling menikmati hasil amandemen UUD 2002 tersebut. Mereka para elit partai politik inilah yang sebenarnya pemegang kekuasaan di Republik ini, sejak amandemen UUD 2002. Mereka yang menentukan Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah, anggota DPR dan DPRD. Artinya, segelintir orang elit parpol ini yang mengatur negara ini. Maka itu, mereka pasti tidak ingin kehilangan kenikmatan dan kekuasaannya, dan karena itu mustahil mereka mau kembali ke UUD 1945 asli secara sukarela. Sebagai alternatif, tidak sedikit tokoh nasional yang sangat berharap presiden bersedia mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 asli, seperti yang pernah dilakukan Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959. Tetapi, cara ini belum disepakati oleh semua pihak yang setuju kembali ke UUD 1945 asli. Cara ini juga sangat bahaya, bisa-bisa menimbulkan permasalahan baru yang lebih pelik dan merusak. Pertama, apa presiden berani mengganggu kenikmatan yang sedang dirasakan oleh parpol hasil dari UUD amandemen? Apa presiden berani melawan seluruh parpol? Saya rasa hampir tidak mungkin. Karena presiden saat ini merupakan produk UUD amandemen tersebut dan produk kesepakatan parpol. Kedua, Presiden Jokowi bukan negarawan yang mementingkan bangsa dan negara tapi lebih mementingkan diri dan kelompoknya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama ini. Sehingga dekrit yang tidak menguntungkan kelompok mereka tidak akan dijalankan meskipun mulut rakyat sampai berbusa memohon. Maka itu, kalau dekrit sampai dijalankan, rakyat curiga pasti ada maksud tertentu yang bisa membawa bangsa ini semakin terjerumus. Ini yang disuarakan oleh kelompok yang mengatakan jangan sampai dekrit dikeluarkan oleh presiden sekarang ini. Artinya, terjadi krisis kepercayaan terhadap presiden (khususnya terkait dekrit). Dengan demikian, jalan kembali ke UUD 1945 asli saat ini sedang menemui jalan buntu. Lalu, bagaimana selanjutnya? Apakah harus menunggu pilpres 2024 dan berharap presiden yang akan datang mengeluarkan dekrit? Atau menunggu presiden 2029? Pilihan ada di tangan rakyat. Jalan Rakyat. (*)
Semoga Bersama Kesulitan ada Kemudahan
Pemerintah sekarang getol membangun proyek Bandara, Pelabuhan, serta jalan Tol yang sepi pengguna. Menyebabkan BUMN merugi, berutang banyak menjadi beban negara. Oleh: Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Pernah bertugas sebagai Area Manager Kegiatan Kemanusiaan di Aceh 2005 - 2012 AMBULANS dan kendaraan yang apa adanya datang silih berganti, hawa kematian bertebaran di mana-mana. Jerit tangis membahana dari para korban yang luka kesakitan menunggu giliran pengobatan dan para medis yang terbatas, di halaman Rumah Sakit menanti berhamparan sambil manahan perih. Ribuan melalui malam dingin di tenda dan bangunan sederhana, di Kabupaten Cianjur. Dulu masyarakat tidak biasa dengan Gempa dan Tsunami, istilah Tsunami pun belum pernah mereka dengar. Sehingga ratusan ribu (bahkan mencapai 250 ribu yang meninggal dan yang hilang) yang jadi korban Gempa dan Tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004, tepatnya 26 Desember 2004, butuh 5 tahun untuk rehab dan rekontruksi secara fisik. Masyarakat pada umumnya juga tidak siap dengan gempa, bangunan rumah dan gedung yang dibangun tidak tahan gempa, menyebabkan jatuhnya korban ratusan jiwa. Semoga semua ada hikmahnya. Pemerintah pusat dan daerah harusnya mengalihkan bantuan untuk membantu masyarakat yang berada di sekitar sesar dan rawan gempa membangun rumah dan bangunan yang tahan gempa. APBN dan APBD benar-benar diarahkan untuk membantu membangun gedung dan perumahan yang tahan gempa. Keselamatan rakyat yang utama. Bukan fokus membangun infrastruktur kepentingan proyek/bisnis para konglomerasi seperti LRT yang merugi. Kereta Cepat yang puluhan tahun menjadi beban. Serta IKN dengan amdal dadakan dan UU IKN keputusan super cepat. Ke depan belum tentu berhasil, bisa menjadi kota hantu, seperti banyak kota baru di China. Pemerintah sekarang getol membangun proyek Bandara, Pelabuhan, serta jalan Tol yang sepi pengguna. Menyebabkan BUMN merugi, berutang banyak menjadi beban negara. Pemerintah ke depan haruslah berubah. Jadikan kesulitan musibah dan bencana menjadi kemudahan buat rakyat. Utamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Bukan keselamatan para konglomerat dan pebisnis muda yang senang beradu jotos ria. Semoga pemimpin kedepan benar–benar punya keberpihakan kepada rakyat. Aamiin. Bandung, 23 Nopember 2022. (*)
Pancasila Wadah Dari Politik Identitas
Bung Karno butuh politik Identitas untuk menciptakan pemimpin dunia dengan membuat NASAKOM. Ini juga politik identitas, cuma rupanya salah perhitungan, komunisnya berkhianat maka gagal gagasan Bung Karno itu. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila KETIKA bangsa ini melahirkan bangsa maka bangsa itu elemennya dari berbagai macam Suku Bangsa. Ada young Java, young Celebes, ada young Sumatra, young Borneo, young Ambon, young Bali, young Papua, dan banyak lagi. Secara historis bangsa ini terdiri berbagai macam suku bangsa, bermacam agama, bermacam adat istiadat, dan berbagai golongan. Maka dengan kesadaran yang tinggi pendiri negeri ini melahirkan perekat kebangsaan yang dinamakan Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Secara historis dan realitas yang mananya negara Indonesia itu komponennya Politik Identitas. Kemerdekaan Indonesia dimulai dari gagasan HOS Tjokroaminoto dengan pidatonya Selfbesture di Kongres Syarekat Islam. Indonesia merdeka dasarnya Syarekat Islam. Sejak itulah tumbuh pergerakan kebangsaan Indonesia melawan penjajahan. Para Founding Father sadar bahwh bangsa ini terdiri dari berbagai suku bangsa, golongan, agama, adat-istiadat, dan berbagai politik aliran. Maka untuk mewadahi agar Indonesia tidak pecah maka wadah itu didasari dengan Pancasila .dan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang kemudian diaplikasikan pada sistem MPR. Oleh sebab itu MPR terdiri dari golongan politik, anggota DPR, utusan golongan, dan utusan daerah. Ketika sistem kolektivisme dalam MPR dibubarkan, maka politik identitas ini tidak tersalurkan sehingga muncul parlemen jalanan seperti 212 dll. Sekarang partai politik yang sekubu dengan penguasa ketakutan dengan kesadaran umat Islam yang sudah tidak bisa lagi diadu-domba dan isu Islamophobia sudah tidak direspon lagi, maka isu politik identitas menjadi stikma baru. Politik Identitas bukan hanya hadir ketika melahirkan Negara Bangsa yang bernama Indonesia. Tetapi politik identitas justru menjaga NKRI, dengan Resolusi jihad KH Hasyim Ashari sebagai tokoh NU mengeluarkan Resolusi Jihad. Jadi peran politik Identitas itu berkontribusi mempertahankan NKRI. Bung Karno butuh politik Identitas untuk menciptakan pemimpin dunia dengan membuat NASAKOM. Ini juga politik identitas, cuma rupanya salah perhitungan, komunisnya berkhianat maka gagal gagasan Bung Karno itu. Apakah partai partai itu bukan identitas? Merah, kuning, hijau, atau biru, bukannya itu identitas? Hanya orang-orang dungulah yang anti identitas. Bukannya kitapun butuh identitas, maka perlu KTP. Berhentilah mengingkari identitas sebab akan terlihat kedunguan kita karena identitas itu sunatulloh. (*)
Kejujuran Berdemokrasi dan Ancaman Kediktatoran Konstitusional
Tentu dalam konteks Indonesia sistem yang dianut adalah Demokrasi dengan nilai Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation ADA ungkapan lama yang masih sering didengarkan dan relevan sepanjang masa. Bahwa kekuasaan itu cenderung menyeleweng. Dan kekuasaan absolut itu bentuk penyelewengan yang pasti (power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely). Pada masa-masa lalu dan sebagian kecil masa kini ungkapan ini masih terus menjadi sebuah realita. Di beberapa tempat di dunia ini, memang kekuasaan cenderungnya menuju kepada korupsi atau menyeleweng. Satu hal yang paling dominan di berbagai belahan dunia adalah kekuasaan kerap kali menjadi alat “memperkaya” diri dan keluarga, bahkan kelompok kecil. Di beberapa negara non demokratis, ambillah Timur Tengah sebagai misal, kekuasaan mungkin tidak nampak korup atau menyeleweng secara ekonomi. Walaupun kenyataannya para raja dan keluarganyalah yang menguasai perekonomian. Rakyat berada dalam genggaman penguasa tanpa ada daya (kebebasan) hampir dalam segala lini kehidupan. Di sìnilah sejatinya teori demokrasi seharusnya hadir sebagai solusi. Bahwa negara-negara demokrasi seharusnya lebih baik dan fair dalam mengelolah kehidupan publik. Di negara-negara Demokrasi rakyat (seharusnya) memilki kekuasaan untuk mengontrol dan meluruskan kekuasaan jika keluar dari jalan kebenaran (kontitusi). Satu contoh terdekat yang masih terasa bagi kami di Amerika adalah bagaimana di saat kekuasaan negara itu ada di tangan seseorang yang anti Immigran dan Muslim khususnya. Demokrasilah yang kemudian menjadi solusi (berlebihan kalau saya memakai kata salvation atau penyelamat). Konstitusi menjadi rujukan. Rakyat pun punya kebebasan melakukan koreksi bahkan resistensi kepada kekuasaan yang korup itu. Memang benar bahwa negara-negara non Demokrasi itu cenderung korup. Korupsi terbesar dari negara-negara non Demokrasi adalah minimnya bahkan tiadanya kontrol. Kekuasaan oleh rakyat. Sehingga semua kebijakan dikeluarkan oleh penguasa tanpa konsultasi publik (musyawarah). Situasi di atas sebenarnya justeru boleh jadi tidak berbahaya dan merusak jika kekuasaan itu ada di tangan orang-orang yang memiliki kesadaran tanggung jawab. Bukan kepada rakyat sebagaimana dalam konteks demokrasi. Tapi kepada hati nurani dan yang terpenting kepada Penguasa langit dan bumi (Allah SWT). Qatar saat ini mungkin satu negara bercirikan ini. Sebenarnya baik sistem Demokrasi maupun non Demokrasi, atau tepatnya selain sistem Demokrasi, apapun itu bentuknya akan banyak ditentukan oleh realita yang dibangun di atas kejujuran dan rasa tanggung jawab tadi. Al hasil sistem pemerintahan itu “evolve” atau mengalami perubahan. Bahkan dalam sistem yang satu juga akan mengalami perubahan internal sesuai dengan konteks realita yang terkait di masing-masing bangsa dan zamannya. Saya justeru ingin mengingatkan kita semua bahwa yang paling buruk dan jahat bahkan menakutkan itu adalah ketika sistem yang ada dibangun di atas ketidak jujuran dan berbagai manipulasi. Akhirnya terjadilah kejahatan yang terpoles oleh pengakuan nilai-nilai positif (positive values) seperti Demokrasi, bahkan agama sekalipun. Pengakuan Demokrasi bahkan agama bisa disikapi secara tidak jujur dan penuh manipulasi. Ketidakjujuran dan manipulasi yang terjadi dalam kekuasaan tersebut menghasilkan berbagai keresahan (walaupun tidak rusuh) dan kecurigaan bahkan kebencian. Hal itu disebabkan oleh korupsi kekuasaan terjadi secara terbuka (nakedly) tapi masyarakat tidak bisa dan seolah naif untuk berbuat apa-apa. Karena berbagai penyelewengan itu seolah biasa saja, bahkan terbalik seolah itulah yang benar dan konstitusional. Yang terjadi kemudian adalah “intended corruption” (penyelewengan yang disengaja) dengan memanipulasi aturan-aturan yang pada akhirnya melahirkan “Constitutional corruption“ atau penyelewengan-penyelewengan konstitusional”. Sebuah kenyataan paradoks dalam kehidupan publik yang sangat-sangat mengkhawatirkan. Penyelewengan konstitusiona ini sangat berbahaya karena pertama pastinya mendapat dukungan mayoritas “stake holder” di kekuasaan. Dan karenanya dengan sangat mudah meloloskan (merubah) perundang-perundangan yang ada sesuai kepentinganya. Tapi lebih jahat lagi, resistensi kepada bentuk korupsi atau penyelewengan konstitusional ini akan dianggap sebagai ancaman atau perlawanan kepada negara. Dan kalau ini pastinya memiliki konsekwensi yang tidak diinginkan (undesirable consequences). Karenanya Saya ingin mengajak kita semua untuk konsisten dan jujur pada nilai-nilai positif yang kita anut dan banggakan. Tentu dalam konteks Indonesia sistem yang dianut adalah Demokrasi dengan nilai Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Mari berhati-hati dengan para pecundang atas nama Demokrasi….istafti qalbak (tanya nuranimu)! Jakarte City, 23 Nopember 2022. (*)
Gampang-gampang Susah Dapat Dana Iklim 20 Miliar US Dolar
Memang Menteri Keuangan Indonesia terindikasi tidak suka pinjaman lunak atau hibah, maunya pinjaman berbunga tinggi. Ini kalau dana iklim lancar para makelar bandit utang berbunga tinggi akan kena suntik mati seperti pembangkit batubara juga. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ISO ora: berikut 8 langkah yang harus dilakukan dalam 6 bulan oleh Presiden Joko Widodo untuk dapat uang 20 miliar US dolar. Ke delapan langkah ini adalah agenda bagi indonesia untuk suntik mati semua bandit batubara. 1. Mengembangkan peta jalan untuk kemampuan manufaktur terbarukan domestik yang membahas persyaratan konten lokal. 2. Kembangkan proses tinjauan dua tahunan untuk menilai kepatuhan terhadap target utama yang termasuk dalam pernyataan bersama dan komitmen untuk membatasi kapasitas batubara tambahan dalam kasus di mana alternatif yang tepat waktu, nol-emisi, terjangkau dan andal tersedia. 3. Kembangkan Rencana Investasi dan Kebijakan JETP untuk mengidentifikasi persyaratan dan peluang investasi untuk mewujudkan transisi energi yang adil. Ini harus dipimpin oleh Pemerintah Indonesia dengan dukungan administratif dan teknis yang diberikan oleh Sekretariat dan dengan kerjasama PT SMI. Rencana Investasi dan Kebijakan juga akan memberikan garis besar reformasi kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi hambatan regulasi di pasar energi dan keuangan yang menghambat investasi swasta untuk transisi energi yang adil. 4. Kembangkan program kerja penuh untuk kemitraan ini berdasarkan Rencana Investasi dan Kebijakan JETP, dengan program kerja yang disusun dalam proses inklusif – dengan partisipasi dari aktor non-pemerintah termasuk sektor swasta dan masyarakat sipil – yang menangani masalah sosial dan dampak ekonomi dari transisi energi Indonesia yang adil. 5. Mengembangkan peta jalan untuk tahun 2030 di sektor ketenagalistrikan sejalan dengan target nol bersih untuk mendukung jalur yang jelas menuju pembangunan hijau. 6. Mengidentifikasi rencana untuk mempercepat pensiun dini atau menghindari pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara on dan off-grid baik sebelum dan sesudah tahun 2030 dengan cara yang secara substansial mengurangi emisi sambil mempertahankan listrik yang stabil dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia. 7. Mengidentifikasi instrumen dan kebijakan pembiayaan potensial yang akan bertindak untuk meningkatkan keberlanjutan keuangan jangka panjang Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan anak perusahaan terkait. 8. Kembangkan strategi untuk meningkatkan sumber daya keuangan lebih lanjut, termasuk dari lembaga domestik, untuk mendukung. Iso apa ora Pak De, saya lihat di dalam kesepakatan bersama ini ada beberapa kata kunci, yakni peta jalan yang jelas, local content, pembiayaan atau dukungan bank untuk batubara nol, tidak menghambat investasi, libatkan masyarakat, harga listrik terjangkau oleh masyarakat, perbaiki keuangan PLN, dukungan bank untuk EBT. Kok rasanya semua ini sudah saya sampaikan dari dulu Pak De. Ingat loh ini semua harus pasti rencananya untuk 6 bulan ke depan. Sebenarnya 20 miliar US dolar ini hanya umpan cacing, setelah ini beres dalam 6 bulan maka akan dikasih lagi umpan kakap untuk mendapatkan Paus Big Fish kata SBY, yakni seluruh pembiayaan di dunia hanya akan melakukan investasi iklim di seluruh lini mulai dari alam, pembangkit dan produksi energi, industri, hingga perdagangan. Memang Menteri Keuangan Indonesia terindikasi tidak suka pinjaman lunak atau hibah, maunya pinjaman berbunga tinggi. Ini kalau dana iklim lancar para makelar bandit utang berbunga tinggi akan kena suntik mati seperti pembangkit batubara juga. Joint Statement by the Government of the Republic of Indonesia (GOI) and the Governments of Japan, the United States of America, Canada, the Kingdom of Denmark, the European Union, the Republic of France, the Federal Republic of Germany, the Republic of Italy, Norway, United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland (together the “International Partners Group” or IPG). (*)
Beda Tapi Sama
Kematangan hidup memijarkan kesanggupan menghargai perbedaan seraya merajut persamaan. Kearifan Nusantara memuliakannya dalam sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia SAUDARAKU, keberadaanmu karena ada perbedaan. Keteguhanmu karena ada persamaan. Jangan pernah membenci perbedaan. Bagaimana bisa kau terlahir, tanpa perkawinan lelaki dan wanita. Bagaimana bisa mengagumi rembulan malam tanpa menerima mentari siang. Bagaimana bisa mengenali putih tanpa keberadaan hitam. Bagaimana bisa menyadari kedirianmu tanpa kehadiran yang berbeda di sekitarmu. Jangan takut pada perbedaan. Bukankah keindahan tamansari karena ragam puspa. Bukankah keelokan pelangi karana aneka warna. Bukankah kemerduan musik karena paduan berbagai nada. Bukankah kemajuan peradabaan karena kawin silang antarbudaya. Meski perbedaan yang membuatmu ada, pengembangan jatidirimu jangan pernah berhenti di stasiun perbedaan. Perbedaan bukanlah titik ujung, melainkan koma persinggahan. Perbedaan memang membuatmu ada dan kaya, tapi persamaanlah yang membuatmu jadi kuat. Daya sintas hidupmu ditentukan kesanggupan mengenali dan merajut persamaan dalam perbedaan. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Di balik aneka warna kulit, kau temukan persamaan darah-merah, tulang-putih. Di balik aneka warna pelangi, dasar warnanya sama putih. Di balik aneka ras manusia, semuanya bermula dari induk yang sama. Di balik ragam agama, semuanya sama-sama mengajak berserah diri pada Sang Pencipta dan beramal baik bagi sesama makhluk. Nama Tuhan bisa kau sebut Allah, El, Elahim, Jehovah, Ahura Mazda, Isvara, Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Adi Buddha dan sebutan yang lain, tapi esensi Tuhan sendiri sama. Setiap pemeluk melihat Mentari dari tempat yang berbeda, tapi Sang Mahacahaya sendiri adalah sumber sinar yang sama nan abadi, yang menyinari segala tanpa kecuali. Kematangan hidup memijarkan kesanggupan menghargai perbedaan seraya merajut persamaan. Kearifan Nusantara memuliakannya dalam sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”. Bahwa beda itu (bhinna ika), sama itu (tunggal ika). Sejauh berjalan di atas jalan kebenaran dan kebaikan, akan selalu ada titik-temu; karena tak ada jalan darma kebajikan yang mendua dalam tujuan (tan hana dharma mangrwa). Itulah jalan percaya (bercahaya). Dengan cahaya cinta jiwa sakinah, perbedaan dihargai, persamaan diperkuat. (*)