Kembali ke UUD 1945 Asli: Melalui Dekrit atau Jalan Rakyat?
Ini yang disuarakan oleh kelompok yang mengatakan jangan sampai dekrit dikeluarkan oleh presiden sekarang ini. Artinya, terjadi krisis kepercayaan terhadap presiden (khususnya terkait dekrit).
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
TIDAK sedikit pihak merasa kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini sedang sakit akibat amandemen undang-undang dasar (UUD) sebanyak empat kali dalam kurun periode 1999-2022.
Oleh karena itu, banyak pihak berpendapat permasalahan bangsa dan negara yang sedang sakit ini hanya bisa diselesaikan dengan kembali ke UUD asli.
Pertanyaannya, bagaimana kembali ke UUD 1945 asli?
Berharap MPR mengambil langkah untuk kembali ke UUD 1945 asli secara sukarela bagaikan pungguk merindukan bulan. Karena anggota MPR yang berjumlah 711 orang mayoritas terdiri dari anggota DPR (575 anggota), yang merupakan perwakilan dari partai politik, yang justru paling menikmati hasil amandemen UUD 2002 tersebut.
Mereka para elit partai politik inilah yang sebenarnya pemegang kekuasaan di Republik ini, sejak amandemen UUD 2002. Mereka yang menentukan Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah, anggota DPR dan DPRD.
Artinya, segelintir orang elit parpol ini yang mengatur negara ini. Maka itu, mereka pasti tidak ingin kehilangan kenikmatan dan kekuasaannya, dan karena itu mustahil mereka mau kembali ke UUD 1945 asli secara sukarela.
Sebagai alternatif, tidak sedikit tokoh nasional yang sangat berharap presiden bersedia mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945 asli, seperti yang pernah dilakukan Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959.
Tetapi, cara ini belum disepakati oleh semua pihak yang setuju kembali ke UUD 1945 asli.
Cara ini juga sangat bahaya, bisa-bisa menimbulkan permasalahan baru yang lebih pelik dan merusak.
Pertama, apa presiden berani mengganggu kenikmatan yang sedang dirasakan oleh parpol hasil dari UUD amandemen? Apa presiden berani melawan seluruh parpol? Saya rasa hampir tidak mungkin. Karena presiden saat ini merupakan produk UUD amandemen tersebut dan produk kesepakatan parpol.
Kedua, Presiden Jokowi bukan negarawan yang mementingkan bangsa dan negara tapi lebih mementingkan diri dan kelompoknya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan selama ini. Sehingga dekrit yang tidak menguntungkan kelompok mereka tidak akan dijalankan meskipun mulut rakyat sampai berbusa memohon.
Maka itu, kalau dekrit sampai dijalankan, rakyat curiga pasti ada maksud tertentu yang bisa membawa bangsa ini semakin terjerumus.
Ini yang disuarakan oleh kelompok yang mengatakan jangan sampai dekrit dikeluarkan oleh presiden sekarang ini. Artinya, terjadi krisis kepercayaan terhadap presiden (khususnya terkait dekrit).
Dengan demikian, jalan kembali ke UUD 1945 asli saat ini sedang menemui jalan buntu.
Lalu, bagaimana selanjutnya? Apakah harus menunggu pilpres 2024 dan berharap presiden yang akan datang mengeluarkan dekrit? Atau menunggu presiden 2029?
Pilihan ada di tangan rakyat. Jalan Rakyat. (*)