OPINI

Kanjuruhan Tanggung Jawab Pemerintah

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  TUGAS dan tanggung jawab penyelenggara negara khususnya Pemerintah adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Mukadimah UUD 1945). Menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM  (Pasal 71 UU HAM).  Peristiwa Kanjuruhan adalah bukti bahwa Pemerintah gagal menunaikan amanah dan tanggungjawab ini.  Pertanggugjawaban hukum telah menetapkan dua personal Panitia Penyelenggara Abdul Haris dan Dirut PT LIB Akhmad Hadian Lukita sebagai tersangka. 4 lainnya adalah Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Shidik, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu S Pranoto, Security Officer Suko Sutrisno, dan Danki III Brimob Polda JatimJatim AKP Hasdarman.  Kasus besar kerusuhan atau lebih pas pembunuhan Kanjuruhan ini tidak bisa dilokalisir hanya pada persoalan hukum di lapangan semata, tetapi juga harus dihubungkan dengan pertanggungjawaban hierarkhis (by commission) dan politis (by ommission).  Adanya dua anggota Polres Malang tersangka maka Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat telah dipecat. Mengingat anggota Brimob Polda Jatim  sebagai tersangka maka sudah semestinya Irjen Pol Nico Afinta juga dipecat. Ini adalah tanggung jawab hierarkhis. Begitu juga dengan penetapan Panpel hingga Security Officer bahkan Dirut LIB yang dinyatakan sebagai tersangka maka Ketum PSSI Iwan Bule harus mundur atau dimundurkan.  Penyebab banyak jatuh korban adalah penembakan gas air mata, maka tanggungjawab ada pada pelaku, penginstruksi, dan penyedia sarana. Ditengarai peluru gas air mata telah kadaluwarsa. Menurut Komnas HAM daluwarsa sampai tahun 2019, sedangkan menurut Mabes Polri hingga 2021. Menurut Mabes Polri dari 11 peluru yang ditembakan 7 di tribun Selatan, 1 di tribun utara dan 3 di lapangan. Informasi lain juga di tribun timur. Artinya terbanyak bukan untuk mengatasi kerusuhan akan tetapi justru menjadi penyebab kepanikan dan kematian.  Tewasnya 125 orang atau konon 2OO orang lebih disebabkan oleh pelanggaran aturan FIFA Stadium Safety and Security Regulation yang melarang penggunaan gas air mata. Dua institusi bertanggungjawab atas pelanggaran ini yaitu PSSI dan Polri, karenanya ini menjadi dasar dan menguatkan bahwa Komjen Purn. Mochamad Iriawan dan Irjen Pol Nico Afinta harus diberhentikan.  Presiden juga harus bertanggung jawab disebabkan oleh terjadinya pelanggaran HAM berulang sejak petugas Pemilu (894 orang), 21-22 Mei (10 orang), Km 50  (6 orang) dan Kanjuruhan (200 orang). Apalagi baru keluar Kepres 17 tahun 2022 yang dimaksudkan agar pelanggaran HAM berat tidak berulang. Kepres itu diterbitkan 26 Agustus 2022. Kanjuruhan meledak 1 Oktober 2022. Peristiwa 1 Oktober menarik secara politik. Ini Hari Kesaktian Pancasila setelah G 30 S PKI. 1 Oktober ini dirusak citranya oleh \"kerusuhan\" aneh dan brutal gas air mata. Pidato Nadiem 30 September konten gotong royong, value free, dan amanat Soekarno 1Juni 1945 mengindikasikan PKI mengantar 1 Oktober. Dengan sebagian besar gas air mata ke tribun menjadi bukti adanya motif \"kesengajaan\" untuk mengacaukan dan membunuh. Membuat panik puluhan ribu penonton.  Mengingat peristiwa Stadion Kanjuruhan ini bersifat multi dimensional, maka Tim Independen harus dibentuk, bukan \"Tim Gabungan Independen\" buatan Mahfud MD. Tim yang dipimpin oleh Menkopolhukam ini jelas bukan Tim Independen. Ini adalah Tim Pemerintah yang memeriksa atau mengusut peristiwa yang menjadi tanggung jawab Pemerintah sendiri. Sangat tidak pas.  Peristiwa Kanjuruhan adalah bencana yang diduga ada unsur kesengajaan, bermotif besar yang berdimensi politik dan merupakan kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity).  Bandung, 11 Oktober 2022

Bunuh Saja Lalu Minta Maaf

0leh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Ini kisah tentang suatu negeri yang manusianya tak lagi diperlakukan manusiawi. Saat binatang liar dan buas sekalipun,  dididik untuk bertingkah jinak dan bersahabat  layaknya mahkluk berakal dan berbudi pekerti, sementara manusia diintai,  terancam, diterkam dan dianiaya tak ubahnya binatang buruan. Pembunuhan  begitu mudah dipertontonkan oleh bahasa dan perilaku kekuasaan, kalaupun tetap hidup manusia kehilangan kehormatan dan harga dirinya. Terampas haknya, menjadi tak berarti dan sia-sia sebagai korban dari eksploitasi kebinatangan manusia. Ada sebuah negara bangsa yang sering mengaku berasal dari peradaban besar dan kebudayaan adi luhung. Terkenal dengan tradisi ketimuran, religius dan berahlak mulia. Selain patriotisme dan nasionalisme yang menyejarah, nenek moyangnya mewarisi keberanian menegakkan kebenaran dan keadilan. Tepo seliro dan toleransi yang tinggi menjadi urat nadi dari karakteristik sifat  gotong royong yang mengokohkan kebhinnekaan dan kemajemukan populasinya. Itulah corak dan ornamen yang pernah ada pada sebuah negara bangsa, yang sepertinya telah menjadi fosil dan berangsur-angsur punah dan mulai menjadi dongeng. Cerita  sebuah bangsa yang berubah dari nilai-nilai hakiki menjadi ironi, dari kekuatan Ilahi menjadi kekuasaan oligarki. Dasar negara dan falsafah bangsa begitu indahnya disusun sebagai konsensus nasional. Konstitusi tersusun rapi dan sistemik, sebagai sebuah pijakan bercengkeramanya anak bangsa. Simbol-simbol dan jargon sungguh memesona rakyat yang telah peluh dan berdarah berhimpun dalam kesatuan semangat mempejuangkan, memelihara dan mengisi kemerdekaan. Tapi semua itu hanya sebuah awal dari cita-cita meraih sebuah negara kesejahteraan, yang terus meredup, terasa seperti mimpi dan berujung uthopis. Nilai-nilai kaya spiritualitas itu, pada akhirnya tercerabut dari jiwa dan sanubari manusianya. Bagai zombi yang mengerikan, penduduk negeri yang diklaim gemah ripah loh jinawi menjadi rakus dan ganas berebut makanan. Bagai separuh manusia dan  separuh monster atau iblis, pada akhirnya sesama warga negara itu saling memangsa. Kapitalisme dan komunisme berkolaborasi menjadi panduan dan gaya hidup sebagian besar rakyatnya. Agama sebatas status sosial dan keyakinan kepada Tuhan sekedar basa-basi. Negara dikuasai bromocorah, menjadi sarang penyamun dan menjadi habitatnya kumpulan kebiadaban. Negara ketika  pemahaman spiritualnya rakyatnya  hanya nenghasilkan bangsa yang beragama tapi tak bertuhan. Harta, tahta dan wanita telah menjadi tujuan hidup yang begitu diagung-agungkan dan dimuliakan. Kemunafikan terbungkus ambisi, penghianatan menghiasi siasat. Keduanya menjadi standar memenuhi kepuasan batinnya. Tak peduli  bagaimapun dan dengan cara apapun dilakukan untuk meraihnya. Meneteskan air mata, menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa, seakan menjadi cara yang biasa dan lumrah untuk mengejar nafsu dunia. Meskipun harus dengan menghilangkan kemanusiaan dalam dirinya dan membiarkan determinasi setan begitu dominan mengendalikan syahwatnya. Tragedi demi tragedi, pembunuhan demi pembunuhan terus berjaya menampilkan karakter kekuasaan. Darah rakyat tak pernah berhenti tumpah dan mengalir di bumi pertiwi. Membasahi panggung-panggung politik, menyirami kantor-kantor insitusi negara, tampias ke pemukiman kumuh rakyat, hingga  menyeruak ke stadion sepak bola. Selalu saja ada kekejian dan kebengisan di setiap pelosok dan sudut-sudut sempit sekalipun dalam ruang publik. Selalu ada kesempatan dan  momentum rakyat meregang nyawa kapan dan di mana saja. Nusantara memang telah menjadi tempat yang penuh mistik,  horor dan mengerikan karena politik dan hukum telah bersekutu dengan iblis. Sifat-sifat iblis yang mewujud perangai manusia dalam peran dan aksi aparatur penyelenggara negara. Seperti  Dolores O\'Riordan seorang musisi kenamaan asal Irlandia dan vokalis The Cranberries yang melantunkan lagu Zombie.  Seakan mengesankan negara telah menjadi penjara paling brutal bagi rakyat yang lemah dan tertindas. Seiring itu, aparatnya berfungsi sebagai mesin pembunuh yang paling efisien dan efektif. Kini, rakyat hanya bisa pasrah menerima kenyataan  bahwa kemanusiaannya telah disingkirkan. Berjibaku menuntut sekedar kelayakan hidup, atau bermimpi yang lebih tinggi lagi tentang kemakmuran dan keadilan. Tak lagi dapat berharap pada manusia, hanya keyakinan pada kebesaran kekuasan  Tuhan yang mutlak menjadi solusinya. Sembari menunggu kebenaran itu akhirnya dapat memenangkan pertarungan melawan kejahatan. Rakyat hanya bisa menyaksikan dan merasakan penderitaan berkepanjangan. Terlebih ketika korban jiwa rakyat begitu marak dan menggejala, saat dimana-mana terdapat kematian baik secara personal maupun massal. Pembunuhan  karena motif politik dan semata-mata demi kepentingan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Setelah rakyat jatuh berserakan dan mayatnya bergelimpangan. Cukup dengan kata-kata maaf dan pemberian hadiah dan kompensasi, semua maslah selesai. Begitulah praktek-praktek kekuasan mengemuka dan jadilah negeri ini dipenuhi drama dengan lakon, bunuh saja lalu minta maaf. (*)

Anies dan Beban Perubahan

Jika bangsa ini ingin selamat, tidak ada jalan lain selain kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila   PILPRES 2024 pertarungan sudah dimulai, berbagai strategi mulai dirancang untuk menjegal Anies Baswedan. Pilpres 2024 bisa jadi akan terjadi banyak korban yang membuka terjadinya goro-goro sebab nafsu Angkara murka telah membelit penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Sekenario-skenario mulai dirancang dan dijalankan seakan negara ini hanya milik sekelompok tertentu yang tidak lagi mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara. Inkamben inginnya 3 periode ini dan terbentur konstitusi kemudian membuat trik lagi lewat Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya lembaga ini tidak boleh membuat pernyataan kalau tidak menjadi gugatan masyarakat. Bak petir di siang bolong juru bicara MK itu mengatakan Inkamben Presiden boleh mencalonkan menjadi wakil presiden dalam pilpres 2024. Mulai terjadi perdebatan kalau Inkamben terpilih menjadi wakil presiden kemudian di tengah perjalanan presiden berhalangan tetap maka presidennya siapa? Sebab konstitusi sudah membatasi 2 periode maka terjadi kekosongan ini yang harusnya dipikir oleh MK sebelum membuat pernyataan. Strategi-strategi berikut adalah mengganti Kepala Daerah seperti Gubernur, Bupati, Walikota dengan Penjabat (Pj) yang ditunjuk langsung oleh Mendagri ini merupakan penyalahgunaan wewenang, sebab Pj itu tidak lebih dari tiga bulan dan tidak boleh membuat kebijakan yang strategi. Masa jabatan Pj ada yang lebih dari dua tahun jelas merupakan kekuasaan yang tidak berdasar legimitasi rakyat. Merusak tatanan demokrasi dan ini adalah strategi yang menghalalkan segala cara. Cara-cara menjegal lawan dengan menggunakan KPK guna mengkriminalisasi Anies, dan ini bisa terjadi sebab ada lembaga yang tak ingin terjadi perubahan karena hari-hari ini mereka itu berada di zona aman dan tidak ada yang bisa mengkontrol sangking kuatnya lembaga ini. Bahkan, water tes yang telah dilakukan dengan pembantaian ratusan jiwa di Stadion Kanjuruan, Kabupaten Malang, tidak bergeming dan tak ada jenderal yang bertanggung jawab dan akhirnya tragedi ini cukup kambing hitamnya pintu stadion dan bangunan yang tidak tersertifikasi, artinya lembaga, ini super-super kuat dan tidak ada yang bisa melawan. Jika pilpres tidak membuat perubahan yang mendasar, maka tidak perlu lagi pilpres, sebab akhirnya hanya untuk kepentingan oligarki semata. Anies ini sosok yang menjadi tumpuan banyak rakyat yang mempunyai akal sehat untuk melakukan perubahan. Beban berat siapapun yang terpilih mendapat warisan utang yang sudah menggunung. Membersihkan tubuh Polri dengan reformasi polri meletakan pada tempatnya tidak lagi menjadi negara di dalam negara, sebab UU mengatur tidak boleh merangkap jabatan tetapi ya UU ditabrak. Anies selalu dalam pidatonya ingin mewujudkan cita-cita negara Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan besar bagaimana mungkin mewujudkan Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia terwujud kalau UUD 1945 sudah diganti dengan UUD 2002 yang basisnya Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme dengan sistem presidensil negara sudah tidak berdasarkan Pancasila. Dengan digantinya UUD 1945 maka sesungguhnya yang diamandemen itu ideologi Pancasila. Dengan digantinya sistem MPR dengan Presidensil maka visi misi Negara dengan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi. Sebab visi misi negara diganti dengan puluhan visi misi Presiden, visi misi Gubernur, dan Visi misi Bupati/Walikota. Bukannya setiap pemilu dilakukan perdebadan dan antar calon yang di perdebadan visi misi bahkan disiarkan langsung di TV-TV. Jika bangsa ini ingin selamat, tidak ada jalan lain selain kembali ke UUD 1945 dan Pancasila. Jadi, kalau Anies ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ya mengembalikan UUD 1945 dan Pancasila. (*)

Mewaspadai Skenario Jahat Penundaan Pemilu

Jika penundaan Pemilu dipaksakan, bisa ditebak akar rumput akan bergejolak. Pada titik inilah peran 272 Pj kepala daerah cukup signifikan. Sembari menenangkan gejolak di wilayah masing-masing, para penjabat itu dapat saja mendukung penundaan Pemilu atas nama rakyat daerah yang dipimpinnya. Oleh: Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR Terpilih/Anggota DPD RI MENJELANG Pemilu 2024, akan ada 272 Penjabat (Pj) kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023. Situasi ini dapat menjadi amunisi dahsyat mendorong agenda busuk penundaan Pemilu. Jumlah 272 jelas signifikan. Angka ini adalah separuh dari total kepala daerah seluruh tanah air. Indonesia memiliki 416 kabupaten, 98 kota dan 34 provinsi. Totalnya, 548 pemerintah daerah. Tak seperti kepala daerah yang dihasilkan melalui pemungutan suara pemilu, penjabat bupati dan wali kota diajukan oleh gubernur dan dipilih oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Sedangkat pejabat gubernur diajukan oleh Mendagri dan kemudian ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo. Penunjukan itu rentan dieksploitasi untuk kepentingan politik pada Pemilu (Pemilihan Umum). Indikasi Pemilu akan berlangsung tidak jujur dan tidak adil bukan isu baru. Isu ini telah diteriakkan beberapa pihak, seperti Mantan Presiden Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono. SBY menduga Pilpres 2024 akan direkayasa hanya diikuti oleh dua pasang calon presiden dari kalangan “mereka”. Namun, mereka kecele. Partai Nasdem mendadak mendeklarasikan Anies Baswedan. Saya menduga, deklarasi lebih awal ini ada kaitannya dengan isu kriminalisasi Anies Baswedan sebagaimana laporan utama Koran Tempo, 1 Oktober 2022. Meski perolehan suara Nasdem masih jauh dari ambang batas (Presidential Threshold) 20 % pencalonan presiden, namun deklarasi dilakukan agaknya dengan keyakinan penuh, PKS dan Demokrat bakal menyusul. Deklarasi Anies telah memecah kebuntuan dan apatisme berpolitik rakyat. Deklarasi itu sekaligus merontokkan skenario jahat mendesain Pemilihan Presiden (Pilpres) hanya dua kandidat. Ada kegelisahan besar. Ada ketakutan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 silam terulang di Pilpres 2024. Ambisi Menunda Pemilu Kini, tersisa dua kemungkinan skenario busuk lainnya. Yaitu: Pertama, tetap memaksakan kasus Formula E yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) untuk menjerat Anies. Kemungkinan ini telah saya urai dalam tulisan yang lain (Baca: Anis Dijegal, Rakyat Berontak). Kedua, memaksakan penundaan Pemilu. Gagasan untuk membatalkan atau menunda Pemilu seperti bara dalam sekam. Begitu angin bertiup, ada energi, bara ini akan berubah menjadi angin yang bisa meluluhlantakkan bangunan demokrasi kita. Potensi energi ini salah satunya ada pada 272 penjabat (Pj) kepala daerah. Dengan menguasai mereka ini berarti menguasai separuh wilayah Indonesia secara politik. Tidak heran, saat memilih salah satu dari tiga nama calon Pj Gubernur DKI Jakarta yang diusulkan DPRD Provinsi Jakarta, Presiden Joko Widodo menunjuk Heru Budi Hartono, yang juga Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres). Sebagai Kasetpres, Heru adalah orang dekat jokowi. Dengan situasi kebatinan seperti itu, pj kepala daerah sulit bertindak netral terkait Pemilu 2024. Alih-alih menjaga independensi, sang penjabat sementara malah bisa berperan aktif mengegolkan misi penundaan Pemilu. Agenda penundaan Pemilu tersebut punya banyak varian. Tempo hari, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengklaim 110 juta big data menginginkan Pemilu ditunda. Dalam kesempatan lainnya, tiga ketua umum (Ketum) partai menggelontorkan ide Pemilu ditunda. Dan, konon, mereka mendengar kemauan itu dari kalangan pengusaha dan petani. Opini yang ingin dibangun itu adalah penundaan Pemilu lahir dari keinginan masyarakat. Namun, hal ini tidak mudah karena yang dirasakan masyarakat berbeda dengan yang diopinikan para pejabat itu. Rakyat menolak. Penolakan tersebut tercermin dari hasil penelitian beberapa lembaga survei, selain terjadi gelombang kritik di media sosial. Artinya, bahwa penundaan Pemilu mustahil dilakukan atas nama kehendak masyarakat. Maka, harus ada cara lain menuju perpanjangan masa jabatan. Salah satu yang dicurigai adalah menunda Pemilu dengan alasan keterbatasan anggaran. Ketimbang variabel sebelumnya, variabel ini lebih memungkinkan sehingga harus diwaspadai dengan saksama. Pasalnya, penundaan Pemilu dimungkinkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Disebutkan, penundaan pemilu dapat dilakukan atas empat variabel, yaitu bencana alam, gangguan keamanan nasional, kondisi ketertiban sosial, dan hal lain yang mengganggu tahapan Pemilu. Variabel terakhir terasa begitu longgar, sehingga bisa menjadi pintu masuk kesulitan anggaran. Anggaran Pemilu sebesar Rp 76,6 triliun bukan duit sedikit bagi negeri yang sedang paceklik ini. Terlebih, untuk pencairan kebutuhan tahapan Komisi Pemilihan Umum tahun 2022 saja, Pemerintah sudah ngos-ngosan. Atau, jangan-jangan kesan ngos-ngosan sengaja dicitrakan. Soalnya, krisis keuangan itu tidak terlihat saat pemerintah begitu bersemangat membangun Ibu Kota Baru berbiaya super jumbo, Rp 466 triliun. Jika penundaan Pemilu dipaksakan, bisa ditebak apa yang bakal terjadi di akar rumput: bergejolak. Pada titik inilah peran 272 Pj kepala daerah cukup signifikan. Sembari menenangkan gejolak di wilayah masing-masing, para penjabat itu dapat saja mendukung penundaan Pemilu atas nama rakyat daerah yang dipimpinnya. Pemerintah bisa merayu Anggota Dewan Perwakilan Rayat (DPR), Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan anggota lembaga negara lainnya untuk juga menikmati kue perpanjangan masa jabatan. Saya meyakini, mayoritas teman-teman di DPD  akan menolak. Entah dengan DPR dan lembaga lain. Lalu, rakyat dapat apa? Bisik-bisik di kalangan teman-teman oposisi yang mengatakan, anggaran Pemilu 2024 boleh jadi dialokasikan ke masyarakat dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Alasannya apa, dasarnya hukumnya apa, itu soal yang mudah saja dirumuskan. BLT terbukti mampu meredakan gejolak. Ini adalah cara lain “menyogok” rakyat. (*)

Program Mobil Dinas Listrik Bisa Memperburuk Perubahan Iklim, Patut Ditunda

Dengan komposisi bauran pembangkit listrik di Indonesia seperti ini, maka mobil BBM sepertinya jauh lebih bersih dari mobil listrik. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PEMERINTAH akan mengganti mobil dinas pemerintah menjadi mobil listrik. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Namun, alasan atau tujuan mengganti kendaraan dinas menjadi mobil listrik tersebut tidak dijelaskan.  Apakah karena total biaya operasional selama kepemilikan, atau yang dikenal dengan total cost of ownership, untuk mobil listrik lebih murah dibandingkan dengan mobil BBM (berbahan bakar minyak)? Atau apakah mobil listrik lebih bersih dari mobil BBM, artinya emisi karbon mobil listrik lebih rendah dibandingkan mobil BBM? Alasan yang mana, yang menjadi dasar keputusan pemerintah mengganti mobil dinas menjadi mobil listrik tersebut? Atau keduanya? Menurut beberapa kajian di Amerika Serikat bahwa biaya operasional dan kepemilikan mobil listrik tidak selalu lebih murah dari mobil BBM. Bahkan menurut caranddriver.com, https://www.caranddriver.com/shopping-advice/a32494027/ev-vs-gas-cheaper-to-own/, yang membandingkan mobil listrik dengan mobil BBM, untuk merek dan jenis mobil yang sama, total cost of ownership (TOC) mobil BBM ternyata lebih irit dari mobil listrik. Caranddriver.com membandingkan total biaya kepemilikan Mini Cooper Hardtop BBM dengan Mini (Cooper) Electric. Hasilnya, Mini Cooper BBM lebih irit $7.858 untuk total biaya kepemilikan selama 3 tahun. Belum termasuk insentif tax credit untuk mobil listrik, apabila ada. Total biaya kepemilikan tiga tahun Mini Cooper Hardtop BBM sebesar $41.454 versus Mini Cooper Electric sebesar $49.312. Sedangkan selisih biaya kepemilikan selama tiga tahun untuk Hyundai Kona BBM (sebesar $39.817) versus Hyundai Kona Electric (sebesar $55.311) lebih besar lagi. Hyundai Kona BBM lebih irit $15.494. Bagaimana di Indonesia? Apakah mobil listrik lebih irit? Jangan sampai keputusan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik malah akan membebani APBN. Belum lagi memperhitungkan devisa yang terkuras, karena mobil listrik harus diimpor dari luar negeri. Sedangkan mobil BBM diproduksi di dalam negeri. Bukankah Presiden Jokowi sering mengatakan, betapa bodohnya kita harus impor terus, padahal ada produksi dalam negeri? Atau, apakah mungkin keputusan mengganti mobil dinas pemerintah dengan mobil listrik karena emisi karbon mobil listrik lebih rendah, alias lebih baik, dari mobil BBM? Pendapat ini juga tidak sepenuhnya benar, tergantung bagaimana listrik tersebut diproduksi, apakah menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) atau energi fosil seperti batubara, gas, solar? Kalau porsi EBT dalam pembangkit listrik sangat besar, seperti di Selandia Baru yang mencapai 80 persen, maka emisi karbon mobil listrik pasti jauh lebih baik, atau lebih rendah. Tetapi di Indonesia sangat beda. Indonesia bukan Selandia Baru. Bauran pembangkit listrik di Indonesia masih dikuasai energi fosil, khususnya batubara yang merupakan energi yang sangat kotor. Pada tahun 2020, porsi EBT hanya 6,13 persen, dan tenaga air 8,04 persen. Sedangkan energi fosil batubara mencapai 64,27 persen, gas mencapai 17,81 persen dan BBM (solar) mencapai 3,01 persen. Dengan komposisi bauran pembangkit listrik di Indonesia seperti ini, maka mobil BBM sepertinya jauh lebih bersih dari mobil listrik. Maka itu, pemerintah seharusnya berupaya memperbesar porsi EBT di dalam bauran pembangkit listrik terlebih dahulu, sebelum memutuskan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik, agar emisi karbon pembangkit listrik menjadi lebih rendah, dan emisi karbon mobil listrik lebih bersih dari mobil BBM. Jangan sampai keputusan mengganti mobil dinas dengan mobil listrik seperti yang terjadi pada wacana konversi kompor gas ke kompor listrik, yaitu untuk menyerap surplus listrik PLN, dan sekaligus menciptakan proyek APBN? (*)

Jangan Khawatir, Menteri Keuangan Indonesia Tidak Ada Komitmen Sama Sekali Terhadap Transisi Energi

Hal yang paling kasar dan kesannya ngecengi seluruh Menteri Keuangan Dunia adalah APBN Indonesia terus menggenjot program penjaminan negara bagi pembangunan pembangkit fosil batubara. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) APA buktinya? Silakan periksa APBN Indonesia dari waktu ke waktu, apakah ada agenda transisi energi yang dibiayai besar-besaran. Tidak ada, seupil pun kurang. Bahkan hingga RAPBN 2023 pun agenda transisi energi tidak tampak dalam RAPBN. Padahal, Menteri Keuangan adalah orang yang paling berkuasa atas APBN. Apalagi dengan UU Nomor Tahun 2020 semua kekuasaan atas keuangan negara berada di tangan Menteri Keuangan. Yang perlu diingat, agenda transisi energi adalah agenda utama G20 dan merupakan agenda yang saling melengkapi dengan COP 26. Indonesia pun telah meratifikasinya kesepakatan iklim COP 26 tersebut dan Indonesia sekarang adalah ketua G20. Penentu segala kesepakatan dalam G20 adalah pertemuan Menteri Keuangan bersama Gubernur Bank Indonesia dan gubernur bank sentral seluruh negara anggota. Dalam pertemuan inilah semua agenda utama G20 disepakati lalu ditandatangani oleh presiden dan dibawa pulang ke negara masing masing. Sekarang tiga agenda utama G20, yakni pemulihan ekonomi pasca Covid, digitalisasi dan transisi energi. Agenda ini adalah agenda yang merupakan program lanjutan dari kesepakatan sebelumnya, yang urut dari sejak pertemuan awal G20. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani yang menjabat sekarang sudah mengikuti pertemuan G20 sejak organisasi ini didirikan pertama di AS, lalu di London dan seterusnya. Semua kesepakatannya menteri keuangan Indonesia terlibat dalam menentukannya. Lalu, apa yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Indonesia? Semua agenda dibawa pulang, lalu kemudian disimpan di dalam laci, lalu Menteri Keuangan tidak mengerjakannya dan kembali ke agenda yang lain, jauh dari semua yang disepakati di internasional. Sebenarnya agenda siapa yang dikerjakan Menteri Keuangan Indonesia? Ini patut kita pertanyakkan. Kalau agenda rakyat tampaknya bukan, tapi kalau agenda internasional juga tampaknya bukan. Apakah dia bekerja untuk sekelompok orang di dalam negeri? Mengabdi pada sekelompok orang kuat dan super kaya. Kelompok 1 persen orang? Bayangkan, sebentar lagi Indonesia akan menggelar pertemuan puncak G20 di Bali, dan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani sangat bangga karena dia berada di meja utama dalam seluruh rangkaian pertemuan G20 Indonesia Presidency. Sri Mulyani duduk di meja paling terhormat, bukan saja sebagai tuan rumah, namun lebih dari itu. Tapi, di belakang para pemimpin dunia, Menteri Keuangan Indonesia malah merencanakan RAPBN 2023 untuk tetap terus menggenjot eksploitasi SDA fosil, terutama batubara melalui deforestasi untuk menopang keuangan pemerintah. Hal yang paling kasar dan kesannya ngecengi seluruh Menteri Keuangan Dunia adalah APBN Indonesia terus menggenjot program penjaminan negara bagi pembangunan pembangkit fosil batubara. Ini demi agar pengusaha batubara terus bisa mengakses uang perbankan BUMN. Lah gunanya Menkeu memimpin pertemuan menteri keuangan dan bank sentral dunia itu untuk apa? Meok aja? (*)

Pasca Deklarasi, Serangan ke Anies Makin Masif: Waspadalah!

Tetap para relawan dan pendukung Anies harus waspada. Waspada, waspada dan waspada. Antisipasi segala kemungkinan. Kan masyarakat semua sudah pada tahu kelakuan mereka. Siapa mereka? Ah, lagak pilon aja lu. Oleh: Alex Wibisono, Aktivis Tinggal di Kota Depok KAGAK ada cara lain kalahkan Anies Rasyid Baswedan. Serang, serang, dan serang terus. Fitnah, fitnah, dan fitnah terus. Jegal, jegal, dan jegal terus. Kalau masyarakat dijejali fitnah terus-menerus, lama-lama bisa percaya juga. Banyak yang sudah percaya. Sekali dua kali kagak percaya. Tapi, kalau sudah 100x akan percaya. Ini yang dilakukan para buzzer itu. Pesaing Anies kagak diunggulkan. Kagak siap untuk beradu gagasan, beradu prestasi, beradu rekam jejak. Kagak siap. Panik. Maka, satu-satunya cara ya serang Anies. Serangannya berupa fitnah. Ini lebih efektif. Juga, serangan SARA. Kadrun, itu SARA bro. Pasca deklarasi Nasdem yang diikuti silaturahmi dengan lautan massa dari kader Demokrat, ini akan membuat para pesaing semakin panik. Mereka akan tingkatkan serangan. Semua peluru sudah mulai dimuntahkan. Waspada bro! Semua hasil kerja di DKI Jakarta akan dibongkar-bongkar. Ratusan kilometer jalur sepeda, satu lubang aspal saja ditemukan, akan jadi viral. Akan diulas berulangkali. Apalagi kalau ada yang pura-pura jatuh di dekat lubang. Wow. Akan digoreng sampai kering. Jakarta International Stadium (JIS), ada satu pengemis di pintu gerbangnya, akan jadi framming berita. Seoleh JIS kotor dan kumuh. Padahal, boleh jadi pengemis dikirim oleh oknum. Namanya juga drama. Begitulah polanya selama ini. Akan terus begitu. Lu pasti paham. Masyarakat perlu lu kasih tahu juga. Biar paham. Yang ada di otak mereka adalah menyerang. Hari ke hari cari obyek yang bisa jadi bahan menyerang. Cari terus. Ubek-ubek sampai ketemu. Karena, hanya itu yang mereka punya. Kagak punya yang lain. Adu cakep, kalah. Adu gagah, kalah. Adu otak, kalah. Adu kesantunan, kalah. Adu prestasi, apalagi. Adu elektabilitas, ya berkompetisi aja dengan fair. Kagak usah main serang dan main fitnah. Cemen lu. Makin lu banyak fitnah, itu tandanya calon lu kagak punya prestasi. Kagak punya yang bisa dibanggain. Kalau kagak punya, kenape maksain nyapres. Pensiun aje dah... husnul khatimah bro. Serahkan Indonesia kepada ahlinya. Aman dan damai negeri ini. Adil dan sejahtera bro. Rumornya, pada tanggal 16 Oktober nanti, ada ratusan karangan bunga yang dikirim ke Balaikota DKI. Isinya hujat Anies. Waduh, ngeri kali. Semoga aja ini hoaks. Semoga ya. Hoaks, hoaks, hoaks. Semoga. Biar kagak bikin gaduh. Kagak pantes. Kagak elok. Bisa kualat pada rakyat. Namanya juga rumor. Desas desus. Kalau ternyata nanti bener, siapa kira-kira yang kirim ya? Tetap para relawan dan pendukung Anies harus waspada. Waspada, waspada dan waspada. Antisipasi segala kemungkinan. Kan masyarakat semua sudah pada tahu kelakuan mereka. Siapa mereka? Ah, lagak pilon aja lu. Bro, atu yang gue mau kasih tahu lu. Dengan segala cara Anies mau dijegal. Itu intinya. Selama ini, mereka halalkan segala cara. Lu dan para pendukung Anies mesti siap-siap hadapi mereka. Jangan pakai emosi. Tetap taat hukum dan santun. Itu ajaran Anies Baswedan. Depok, 8/10/2022. (*)

Mengapa Kembali ke UUD 1945?

Contoh mutakhir maladministrasi publik adalah bagaimana pemerintah ini memberikan HGB 160 tahun untuk menarik investor IKN. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts SAAT komitmen bacapres Anies Rasyid Baswedan untuk kembali ke UUD 1945 dipertanyakan, pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, gagasan untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli adalah keinginan besar tentara. Selanjutnya dia mengatakan bahwa persoalan Republik ini bukan hanya soal rancangan UUD, tetapi praktik nyata politik. Baik Orde Lama ataupun Orde Baru adalah bukti nyata bagaimama UUD 1945 ditafsirkan dan dipraktikkan sesuai agenda sesat Soekarno dan Soeharto. Ini pernyataan yang sulit dibantah, tapi menyembunyikan kesalahan yang berbahaya. Seperti MPR hasil reformasi bisa seenaknya menggganti UUD 1945, restu Refly seperti mengatakan anak-anak boleh mempertanyakan status akad nikah ayah ibunya sendiri. Pembentukan negara seperti dinyatakan dalam keseluruhan UUD ‘45 adalah hasil kesepakatan agung para pendiri bangsa. Oleh Al Qur\'an, negara itu disebut sebagai mitsaaqan ghaalithan, setara dengan aqad nikah. Kita boleh saja tidak suka dengan siapa ayah ibu kita, tapi kita sebagai anak hasil aqad nikah itu tidak punya pilihan kecuali menerima aqad nikah itu apa adanya. Perubahan aqad bisa dilakukan dengan addendum untuk merespons dinamika disruptif global, regional dan nasional. Fitrah negara kepulauan bercirikan Nusantara dengan keragaman hayati dan budaya yang luar biasa, serta dengan bentang alam seluas Eropa ini meniscayakan pemerintahan maritim yang kuat serta desentralisasi. Jika Prof. Kaelan UGM saja mengatakan bahwa sejak penggantian UUD ‘45 menjadi UUD 2002 bangsa ini telah murtad, maka bisa dikatakan juga bahwa kita telah menjadi bastard yang lahir di luar nikah. Penting segera untuk disadari bahwa kehidupan kita bukan soal infrastruktur dan gedung-gedung megah pencakar langit serta pabrik-pabrik saja, tapi juga serangkaian jalinan janji-janji dan kesepakatan-kesepakatan. Begitulah kesetiaan pada janji dan kesepakatan para pendiri bangsa tersebut merupakan nilai penting dalam kehidupan bersama ini yang ditandai dengan  kemajemukan. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar slogan kosong, tetapi amanah yang mensyaratkan kesetiaan. Praktik politik tidak bisa menjadi alasan mengapa UUD 1945 bisa diganti dengan UUD 2002. Jika UUD bisa diganti oleh MPR hasil Pemilu, maka kesesatan praktik politik akan selalu memperoleh pembenaran UUD melalui penggantian tersebut. Kita akan kehilangan norma-norma dasar negara. Ini berbahaya karena kita kehilangan pedoman. Jika setiap generasi boleh mengganti kesepakatan awal pendirian negara, maka kita seperti membangun rumah pasir yang tidak kunjung selesai. UUD ‘45 bukan sekedar dokumen akademik, tapi ia adalah dokumen sejarah yang menjadi pondasi negara ini. Sinyalemen bahwa kembali ke UUD ‘45 itu keinginan tentara adalah tidak benar. Dwi Fungsi ABRI adalah praktik politik Orba seperti dwi fungsi (atau malah multi fungsi) polisi adalah praktik politik rezim Jokowi. Jika dwi fungsi ABRI itu adalah hasil tafsir Soeharto, banyak maladministrasi publik seperti dwi fungsi polisi adalah buah dari kesalahan tata kelola yang lahir dari UUD 2002. Benar sinyalemen Prof. Sri Edi Swasono bahwa deformasi besar-besaran  kehidupan berbangsa dan bernegara adalah fitur orde reformasi yang paling nyata. Contoh mutakhir maladministrasi publik adalah bagaimana pemerintah ini memberikan HGB 160 tahun untuk menarik investor IKN. Kembali ke UUD 1945 adalah pertobatan dari kemurtadan dan kebastardan bangsa ini. Hingga itu terjadi, maka semua kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercengkram bandit, bandar dan badut politik saat ini adalah ekspresi para munyuk yang terkutuk. Ngawi, 8 Oktober 2022. (*)

My Pertamina Dikubur Bersama Kompor Induksi?

Padahal isu digitalisasi adalah isu yang sebangun dengan isu perubahan iklim. Lihat saja di G20 yang saat ini Indonesia selaku ketuanya, isu soal perubahan iklim dan digitalisasi menjadi agenda utama forum internasional yang anggotanya negara dengan GDP terbesar di dunia. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) MASING masing negara dan perusahaan memiliki masalah yang berbeda-beda dengan penggunaan energi fosil. Sehingga bisa memiliki strategi yang berbeda serta beragam untuk mencapai net Zero Emission. Demikian juga dengan Indonesia yang memiliki perusahaan negara yang memproduksi energi fosil, yakni Pertamina. Sebagai perusahaan terbesar di negara ini, dapat mengambil tindakan yang lebih beragam dalam mencapai komitmen net Zero Emission tersebut. Salah satunya komitmen besar yang dapat dibangun Indonesia adalah melalui digitalisasi konsumsi energi fosil BBM dan LPG. Mengapa pendataan melalui digitalisasi berkaitan dengan net Zero Emission? Kita mulai dari analisis sederhana mengapa pendataan konsumsi BBM dan LPG dapat dikatakan sebagai komitmen besar? Karena dengan pendataan itu maka konsumsi BBM dan LPG di Indonesia akan berkurang secara significant. Artinya, Pertamina dapat mengurangi emisi karbon dengan cara semacam ini. Mengapa demikian? Kita akan ulas. Di Indonesia BBM dan LPG adalah barang bersubsidi. Berarti Indonesia selalu menghadapi dua masalah besar terkait isue climate change, yakni penggunaan energi fosil dalam jumlah besar dan energi fosil yang disubsidi penggunaannya dalam jumlah besar. Dua masalah. Sebagai BBM dan LPG subsidi tentunya harganya lebih murah dari BBM umum dan LPG subsidi. Sementara sebagian besar BBM dan LPG yang dijual di Indonesia adalah BBM dan LPG subsidi bukan BBM dan LPG non subsidi. Sedikitnya 40 persen BBM yang diperdagangkan adalah BBM subsidi dan sebanyak 80 persen LPG yang didistribusikan adalah LPG 3 kg atau LPG subsidi. Menurut regulasi BBM dan LPG subsidi ini hanya dapat dikonsumsikan oleh kelompok yang berhak saja. Dengan demikian jika BBM dan LPG dikonsumsi oleh yang tidak berhak maka itu adalah ilegal. Apa yang terjadi? Konsumsi BBM dan LPG menjadi tidak terkendali. Setiap perencanaan yang dibuat pemerintah selalu salah. Kuota BBM dan LPG subsidi selalu jebol. Maka terjadi kesalahan lagi atau kesalahan ketiga yakni BBM dan LPG subsidi digunakan atau dikonsumsi secara ilegal di Indonesia. Tidak sampai dis ana kesalahannya. Ternyata BBM subsidi terutama solar banyak dimanfaatkan oleh kelompok perusak lingkungan yang menjadi musuh utama isu perubahan iklim, yakni kelompok perkebunan sawit dan pertambangan batubara. Maka terjadilah kesalahan keempat yakni BBM solar subsidi di Indonesia digunakan secara ilegal oleh kelompok penghasil emisi terbesar di Tanah air yakni pertambangan batubara dan perkebunan sawit. Mengenai kebenaran hal tersebut sebenarnya pemerintah dalam hal ini menteri ESDM memiliki datanya. Namun tampaknya mereka tidak berdaya menghadapi permainan para pengusaha batubara dan sawit. Walaupun pemerintah mengeluarkan pernyataan agar pengusaha sawit dan Batubara dilarang menggunakan solar subsidi namun hal ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh penegak hukum di lapangan. Pendatataan Dapat Menekan Emisi Karbon Program pendataan melalui digitalisasi my Pertamina sebetulnya sangat tepat untuk menekan konsumsi BBM dan LPG subsidi. Karena dengan pendataan maka hanya kelompok yang berhak yang dapat menggunakan BBM dan LPG bersubsidi dan dipastikan BBM dan LPG bersubsidi tidak lagi diselewengkan. Berapa penurunan konsumsi BBM dan LPG yang diharapkan? Paling tidak sejumlah konsumsi perusahaan sawit dan batubara ditambah ekspor ilegal ke luar negeri atau ke negara-negara tetangga yang harga BBM dan LPG-nya lebih murah dan ditambah penggunaan BBM subsidi oleh industri serta penggunaan LPG subsidi oleh kelompok masyarakat yang tidak berhak. Itu semua adalah jumlah yang sangat banyak dan significant. Dengan demikian digitalisasi pendataan melalui My Pertamina akan menjadi langkah penting bagi perusahaan Pertamina untuk mencapai komitmen net Zero Emission pada bagian hilir. Tentu saja langkah-langkah di hulu juga dikerjakan. Dengan pendataan maka usaha pemerintah di hilir seperti program komplenter melalui kompor induksi dapat terjadi secara lebih alamiah dan tidak bersaing dengan LPG. Sehingga patut disayangkan sekarang adalah program pendataan melalui My Pertamina tidak lagi bergaung. Adanya suara suara sumbang sebelumnya yang memprotes pendataan ini telah dimanfaatkan oleh banyak pihak yang tidak berhak menggunakan BBM dan LPG subsidi. Tampaknya pemerintah terus mengalah dengan mereka. Padahal isu digitalisasi adalah isu yang sebangun dengan isu perubahan iklim. Lihat saja di G20 yang saat ini Indonesia selaku ketuanya, isu soal perubahan iklim dan digitalisasi menjadi agenda utama forum internasional yang anggotanya negara dengan GDP terbesar di dunia. Jadi bagaimana ini Pak Jokowi? Apakah nasib pendataan digitalisasi melalui My Pertamina akan dikubur seperti kompor induksi? Ingat Pak Jokowi, jaman sekarang data adalah kunci! (*)

Prabowo Bakal Limbung

Oleh M Rizal Fadillah - Pengamat Politik dan Kebangsaan  PILPRES 2019 Prabowo adalah harapan dan pilihan untuk perubahan. Dukungan rakyat sangat kuat bahkan terhadap hasil Pilpres pun diyakini pasangan Prabowo-Sandi adalah pemenang. Namun hasil politik berbicara lain. Pasangan Jokowi Ma\'ruf meski tidak menang tetapi berhasil dimenangkan. Prabowo dikalahkan oleh kekuasaan.  Prabowo tidak ngotot untuk menunjukkan dirinya sebagai Presiden Rakyat yang berhadapan dengan Jokowi Presiden Istana atau Presiden Oligarki. Prabowo mengalah atau menyerah atau  bahkan menjadi pecundang dengan siap menjabat sebagai Menhan. Pilihan yang tentu mengecewakan pendukungnya. Prabowo dilihat publik berubah dari maung jadi meong.  Siasat \"masuk ke dalam\" dianggap tepat oleh Prabowo dan barisannya, tetapi tidak oleh pendukung. Mereka tidak percaya lagi pada Prabowo yang semakin tenggelam di dalam \"kolam\". Penuh puja puji pada Jokowi bahkan berkategori penjilat. Prabowo yang dulu garang menggebrak mimbar untuk menyemangati pendukungnya telah hilang ditelan segumpal jabatan. Strategi menggapai kursi Presiden pada Pemilu 2024 ternyata semakin berat. Pengalaman kalah beberapa kali Pilpres tidak menjadi nilai tambah. Hasil pooling yang sering menempatkannya pada urutan teratas tidak merepresentasi dukungan riel di lapangan. Getaran nurani suara rakyat lebih mengarah kepada tokoh lain, yaitu Anies Baswedan.  Mainan survey untuk kandidat Istana atau Oligarki adalah Ganjar Pranowo. Agar publik tidak kaget, posisinya di urutan kedua. Prabowo korban mainan berada di urutan teratas. Anies yang harus \"disingkirkan\" ditempatkan ketiga. Jika fair  dan obyektif, Anies semestinya teratas. Tapi kebanyakan lembaga survei adalah institusi hoax yang terlegalisasi. Bohong pun aman-aman saja.  Prabowo yang dideklarasikan Partai Gerindra sebagai Capres menghadapi masalah besar pasca deklarasi Partai Nasdem yang mencalonkan Anies Baswedan. Tiga nama Anies, Andika, dan Ganjar diseleksi ketat dan menghasilkan Anies Baswedan. Why not  the best, kata Surya Paloh. Sudah terbaca peluang kecil Prabowo untuk menang jika ia harus berhadapan dengan Anies Baswedan.  Di tengah upaya untuk  mengecilkan Anies ternyata Centre for Strategic and International Studies (CSIS)  mendapatkan angka yang memenangkan Anies Baswedan ketika dipertarungkan \"head to head\".  Anies Baswedan menang ketika berhadapan dengan Ganjar maupun Prabowo.  Anies Baswedan (47,8 %) versus Ganjar Pranowo (43, 9 %). Sementara Anies Baswedan (48,6 %) versus Prabowo Subianto (42, 8 %). Survey diumumkan bulan September 2022 atas 1.200 responden yang tersebar di 34 Propinsi. Margin eror 2,84 % dengan tingkat kepercayaan 95 %. Prabowo bakal limbung jika Anies Baswedan lolos menjadi Capres.  Meskipun Gerindra berkoalisi dengan PDIP, tetap saja berat untuk mampu mengalahkan Anies Baswedan. Tampaknya hanya \"permainan\" KPK yang mampu mengalahkan Anies.  Namun  jika hal itu dilakukan, maka harganya sangat mahal yakni kemarahan rakyat dan pemakzulan paksa Jokowi.  Berlanjut pada tuntutan penghukuman atas dosa-dosa politik yang telah dilakukannya.  Bandung, 8 Oktober 2022