Inikah Mafia Hukum: “Mencopot” Hakim MK Seperti Cara Me-recall Anggota DPR?
Apakah perlu Revolusi? Apakah perlu People Power? Dengan jalan apa kita memperbaiki kerusakan akut negeri ini? Anda punya solusi? Katanya kita punya Pancasila, bukan? Sanggupkah Pancasila menjadi solusi?
Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo
PRESIDEN Jokowi telah melantik Guntur Hamzah menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 23 Nopember 2022 di Istana Negara, Jakarta Pusat. Pelantikan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 114 P Tahun 2022 Tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang diajukan DPR yang ditetapkan 3 November 2022.
Guntur menggantikan Hakim MK Aswanto yang sebelumnya diberhentikan oleh DPR RI. Sebagaimana diketahui, pada tanggal 29 September 2022 Rapat Paripurna DPR RI menyetujui untuk tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto sebagai Hakim MK yang berasal dari usulan DPR.
Sebagai pengganti, DPR menunjuk Sekjen MK Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi yang berasal dari usulan DPR. Coba kita bayangkan pertanyaan yang mengemuka dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad sebagai pemimpin Rapat Paripurna DPR, Kamis (29/9/2022).
“Sekarang perkenankan kami menanyakan pada sidang dewan sidang terhormat, apakah persetujuan untuk tidak akan memperpanjang masa jabatan Hakim Konstitusi yang berasal dari usulan DPR atas nama Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi yang berasal dari DPR tersebut, apakah dapat disetujui?”
Lalu apa alasannya DPR “mencopot” Aswanto yang seharusnya masih bisa menjabat hingga tahun 2029? Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengungkapkan alasan Aswanto diberhentikan dari jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi meski masa pensiunnya masih panjang.
Bambang Pacul menjelaskan bahwa Aswanto merupakan hakim konstitusi usulan DPR. Tetapi, menurut dia, Aswanto menganulir undang-undang produk DPR di MK. Bambang Pacul mengatakan: “Tentu mengecewakan dong. Ya bagaimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh.”.
Aneh bukan? Bukankah salah satu tugas MK secara umum untuk menganulir atau membatalkan suatu UU jika memang terbukti melalui persidangan di MK bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945?
Saya mendapat kesan bahwa “pencopotan” hakim MK Aswanto merupakan bentuk intervensi legislatif terhadap lembaga yudikatif secara terang-terangan dan sekaligus menunjukkan betapa DPR itu sangat arogan karena mencopot hakim MK yang konon “mewakili” DPR seperti “mencopot” anggota DPR dari suatu partai dengan cara “recall”.
Inikah yang disebut Demokrasi? Ini yang disebut Negara Hukum? Saya yakin, bukan cermin negara hukum dan demokrasi tetapi negara kekuasaan, dan cenderung terjadi “abuse of power”.
Mestinya disadari oleh DPR dan juga Partai Politik bahwa jika seseorang telah terpilih dan menjadi anggota dalam suatu badan negara, ia tidak lagi menjadi wakil mutlak yang harus selalu satu kata, satu warna dalam menyikapi sebuah kebijakan negara.
Artinya yang terpenting anggota tersebut menjalankan tugasnya dengan baik sekalipun tidak sesuai dengan harapan pengusul awalnya. Jika model recall ini dilanjutkan, prinsip negara hukum dan demokrasi pasti akan berantakan dan setiap anggota (MK, DPR) yang dipilih atau diusulkan rentan untuk dicopot lantaran sikap anggota dianggap tidak sesuai dengan pengusul (DPR, Partai).
Dulu saya pikir MK ini lembaga yudikatif yang berisi Dewa-Dewa hukum dan mampu bertindak objektif sesuai dengan kapasitas keilmuan ketatanegaraan. Atas kasus ini kita bisa memetik pelajaran bahwa patut diduga bahwa MK pun menjadi alat permainan politik DPR dan Presiden. Jika kedua lembaga ini bersatu, siapa yang bisa mengalahkan?
Apalagi telah terbukti melalui penelitian dosen-dosen Trisakti (2020) bahwa ada sekitar 22,01 % putusan MK tidak dipatuhi bisa oleh Presiden dan DPR atau pihak lain terkait. Ketika kedua lembaga ini bersatu, anggota hakim MK bisa berbuat apa karena sebagian mereka pun dianggap Utusan dari DPR dan Presiden yang ternyata harus Tunduk, Patuh dan Menyerah kepada Tuannya jika tidak ingin dicopot dan atau tetap diperpanjang masa jabatannya. Mafia Hukum yang juga melibatkan Presiden, DPR dan MK pun boleh jadi telah dipraktikkan di negeri ini.
Atas kasus “pencopotan” hakim Aswanto yang diduga lantaran begitu berani menganulir produk DPR, khususnya yang terakhir berupa UU Cipta Kerja, kita pun bisa menduga bahwa kasus ini hanya Puncak Gunung Es. Artinya, sangat mungkin putusan-putusan MK di masa lalu sangat mendapatkan intervensi dari DPR maupun Presiden.
Perkara sengketa pemilu 2019, UU Cipta Kerja, UU Pemilu (soal Presidential Treshhold) yang sudah puluhan kali diuji namun MK tetap berpendapat hal itu merupakan Open Legal Policy dari DPR dan Presiden, patut diduga kuat terjadi Intriks politik hingga konspirasi gelap yang sebenarnya mencerminkan keadaan adanya Industri Hukum yang dibangun sendiri oleh DPR, Presiden dan MK yang berpotensi menjadi Mafia Hukum.
Mengingat kondisi hukum dan politik negeri ini sudah rusak, saya kira memang sudah saatnya dilakukan Restorasi Kepemimpinan Nasional agar kembali kepada The Truth and Justice. Kerusakan sudah begitu akut, maka harus dilakukan perubahan yang Radikal, Extraordinary, bukan perubahan yang biasa, baik inkremental maupun Cut and Glue.
Apakah perlu Revolusi? Apakah perlu People Power? Dengan jalan apa kita memperbaiki kerusakan akut negeri ini? Anda punya solusi? Katanya kita punya Pancasila, bukan? Sanggupkah Pancasila menjadi solusi?
Sanggupkah Pancasila menunjukkan Kesaktian-nya yang setiap tanggal 1 Oktober kita peringati? Anda yang mengaku “Saya Pancasila” saya tantang sekarang!
Jika tidak mampu, maka benar statement yang saya sematkan pada judul buku saya bahwa Pancasila 404: Not Found.
Tabik...!!!
Semarang, Jumat: 25 Nopember 2022. (*)