La Nyala Harus Menyelami Dulu Dialektika dan Dinamika Politik Jelang Dekrit 5 Juli 1959
Lha sekarang, cobalah serap dialektika dan dinamika yang berkembang antara 1952-1959 itu. Paralelkah atau malah kebalikannya dengan dialektika dan dinamika sekarang?
Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
LA Nyalla mendesak Presiden Joko Widodo keluarkan Dekrit Presiden ala Sukarno pada 5 Juli 1959? Sebaiknya La Nyalla sebagai politisi menghayati Romantika, Dialektika, dan Dinamika.
Yang orang kerap lupa, atau pura-pura nggak tahu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu pematangan proses dan uji materinya sudah dilakukan Bung Karno sejak 1956.
Jadi ibarat mau minum kopi, Bung Karno nggak ujug-ujug minta kopi ditaruh di meja, lantas srupuut. Hmm sedaap. Tidak seperti itu.
Beliau sejak 1956 mulai mewacanakan sebuah isu strategis: apakah demokrasi sebagai sarana kedaulatan rakyat yang berbasis multi partai sejak diberlakukan Bung Hatta pada November 1945 itu efektif buat penyalur aspirasi rakyat?
Selain itu, apakah pemerintahan koalisi yang jatuh bangun silih berganti bisa bertahan paling lama 6 bulan itu, apa ya punya waktu buat mikirin maunya rakyat.
Itupun Bung Karno eksperimen dulu untuk menguji dialektika dan dinamika politiknya. Dengan momentum jatuhnya kabinet Ali Sastroamijoyo II, Sukarno membentuk Perdana Menteri hasil konsensus partai-partai dan dewan nasional yang baru terbentuk untuk mengimbangi parpol-parpol di DPR sehingga masukan parpol setara dengan masukan para anggota dewan nasional. Kalau jeli, Dewan Nasional ini pengondisian Sukarno terhadap skema MPR berdasarkan UUD 1945 asli.
Setelah itu tampillah Ir. Juanda sebagai Perdana Menteri yang bukan hasil politik dagang sapi. Yang mana seterusnya eksperimen Sukarno berlanjut berupa sistem tiga Waperdam yang mana Sukarno pelan-pelan mengondisikan spirit UUD asli yaitu Kepala Negara plus Kepala Pemerintahan menyatu kembali sebagaimana skema UUD 1945 asli.
Dalam konfigurasi pada 1956 itu, tiba-tiba meletus pergolakan daerah yang dipicu para Kolonel yang nggak puas yang berkelindan dengan para politisi DPR yang tidak puas dengan skema pemerintahan Juanda yang tidak lagi sejalan dengan politik dagang sapi ala parlementer murni. Yang mana kulminasinya kemudian meletus PRRI Permesta pada 1958.
Namun akar pergolakan daerah itu bermula sejak 1956, ketika Zulkifli Lubis dengan dukungan beberapa perwira Siliwangi mencoba bikin makar terhadap Jenderal AH Nasution selaku KSAD. Tapi petualangan Zulkifli Lubis berhasil dipatahkan lewat kontra intelijennya Pak Nas, pimpinan Mayjen Achmad Sukendro.
Seluruh rangkaian kombinasi ketidakpuasan oposisi dari PSI dan Masyumi dan kumulasi ketidakpuasan para kolonel daerah termasuk Zulkifli Lubis yang setelah gagal lantas kabur ke Padang, maka Bung Karno berkesimpulan semua itu adalah gerakan Kontra Revolusioner yang terencana dan terorganisir.
Jangan lupa juga. Pada 1952, atas desakan para eksponen Proklamasi, pemerintah dan DPR didesak untuk kembali ke negara kesatuan versi Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan upaya berhasil lewat mosi integral Natsir. Dengan demikian, ini satu langkah lagi menuju pembatalan isi perjanjian Konferensi Meja Bundar Desember 1949 yang amat merugikan Indonesia.
Dengan berhasil mengubah kembali RIS menjadi NKRI, maka hal ini menjadi alas untuk melangkah ke tahap kedua, dan ini terjadi pada 1956. Indonesia secara sepihak membatalkan KMB. Sehingga selain kita tak lagi harus terikat pada isi perjanjian KMB yang merugikan Indonesia, RIS sudah beralih kembali ke negara kesatuan menurut skema 17 Agustus 1945.
Nah, di sinilah tahun 1956 jadi krusial. Sebab seiring kembalinya kita ke negara kesatuan dan pembatalan KMB, polarisasi nasional yang terbentuk kemudian adalah antara yang ingin tetap mempertahankan skema RIS yang dipayungi oleh skema uni Indonesia-Belanda sesuai skema KMB yang juga dapat dukungan Amerika dan Eropa barat vs para eksponen proklamasi 17 Agustus 1945.
Di sinilah kembalinya UUD 1945 asli merupakan respons revolusioner bukan saja karena mau-maunya Sukarno sendiri, tapi desakan seluruh eksponen proklamasi 17 agustus 1945 yang berhaluan nasionalis dan republikan.
Jadi kalau menelisik kejadian antara 1952 hingga 1956, yang berkulminasi pada meletusnya PRRI Permesta 1958, maka keluarnya Dekrit Presiden 1959 adalah langkah strategis dan revolusioner untuk membendung rongrongan anasir-anasir kontra revolusioner.
Inilah yang saya sebut kemarin. Mau ngopi kok nggak perhatian mengenai biji-biji kopi apa yang diramu buat suguhan kopi.
Saya kira itulah suasana kebatinan LaNyala ketia dia mendesak presiden mengeluarkan dekrit. Pengen ngopi tapi nggak mau kerja keras memetik dan meracik biji kopi seperti Sukarno sebelum mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959.
Lha sekarang, cobalah serap dialektika dan dinamika yang berkembang antara 1952-1959 itu. Paralelkah atau malah kebalikannya dengan dialektika dan dinamika sekarang?
Cara pandang melihat sesuatu terkondisi oleh siapa diri yang bersangkutan. Sukarno, memutuskan kembali ke UUD 1945 asli, sejatinya merupakan tindakan revolusioner merespons rongrongan orang-orang yang kontra revolusioner mengingat dialetika dan dinamika yang berkembang saat itu.
Kalau sekarang Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 asli, maka UUD 1945 asli sebagai maha karya para bapak bangsa, akan jadi alat yang bersifat kontra revolusioner.
Karena UUD 1945 asli yang sejatinya bersifat strategis, diturunkan derajatnya menjadi bersifst taktis. (*)