OPINI

Anies, NU, dan Jawa

Di luar itu, Anies adalah manusia kosmopolitan sebagai hasil pergulatan pemikirannya dengan ideologi-ideologi besar dunia dan pengalaman hidupnya sendiri. Itu sebabnya, kendati jauh dari Barat secara geografis, Anies disegani  karena ia berbagi perspektif demokrasi dan HAM dengan mereka. Oleh Abdurrahman Syebubakar dan Smith Alhadar, IDe (Institute for Democracy Education) SESUNGGUHNYA, identitas Anies Rasyid Baswedan berlapis-lapis. Ia seorang Jawa, Muslim moderat, nasionalis, dan kosmopolit. Saat berada di lingkungan Jawa, secara kultural Anies adalah seorang Jawa. Saat berada di tengah kaum Muslimin, ia seorang Muslim moderat yang menerima dengan tulus budaya lokal sebagai nilai-nilai yang inheren dalam keberislaman di Indonesia. Dengan kata lain, Anies Baswedan memaklumi konsep Islam kontekstual atau pribumisasi Islam yang disodorkan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur). Artinya, pada sosoknya telah berhimpun nilai-nilai Islam lokal dan universal sekaligus, terbebas dari sektarianisme dalam Islamic sphere. Bahkan, orang bisa menemukan Islam tradisional atau Islam ahl sunnah waljamaah khas NU dalam pandangan dan sikap keislamannya. Keindonesiaannya justru lebih menonjol. Ia adalah representasi warga bangsa masa kini, sosok yang lahir dari Indonesia modern yang tak dapat dipisahkan dari dinamika perkembangan global di mana Indonesia telah terintegrasi ke dalamnya. Pembagian masyarakat Indonesia masa kini ke dalam dua kubu-nasionalis dan Islamis, secara tajam tidak lagi relevan. Secara kultural, sosial, dan politik, Indonesia makin cair. Kian banyak orang Jawa, yang dulu dikelompokkan antroplog Clifford Geertz sebagai kaum abangan, secara intensif telah mengadopsi nilai-nilai Islam. Juga, pasca Nurcholish Majid alias Cak Nur mencetuskan slogan: “Islam Yes, Partai Islam No”, di mana politik bukan wilayah sakral yang mengharuskan kaum Muslim memilih parpol berbasis agama dalam politik elektoral, banyak orang Islam bermigrasi ke wilayah kultural dan memiliki preferensi politik yang beragam. Itu terlihat dari kecilnya perolehan suara parpol berbasis massa Islam dibandingkan dengan parpol-parpol nasionalis. Bahkan, sebagian Muslim dari keluarga santri justru sangat anti populisme Islam. Di antara benturan budaya, sosial, dan politik di kalangan masyarakat Indonesia era sekarang, Anies muncul sebagai sosok yang mempersatukan semua itu karena ia memang lahir dari rahim Indonesia. Dari keluarga, ia mendapatkan nilai-nilai nasionalis-relijius. Dari perjumpaannya dengan mahasiswa-mahasiswa dari seluruh Indonesia saat kuliah di UGM, selain dengan membaca banyak buku tentang sejarah Indonesia, memperluas wawasannya tentang kebangsaan Indonesia. Sedangkan mengenai pemahaman dan penghayatannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal diperoleh ketika ia kuliah S2 dan S3 di Amerika Serikat. Bahkan, ia telah bergaul dengan siswa-siswa dari segala bangsa saat menghabiskan satu tahun bersekolah di SMA di AS. Sehingga, Anies menjadi titik temu berbagai pemikiran politik dan budaya sekuler maupun relijius orang-orang Indonesia. Ia juga menjadi juru bicara Indonesia dan Dunia Islam yang otentik bagi komunitas Internasional. Anies memang telah menginternalisasi banyak nilai luhur yang dihasilkan budaya-budaya utama dunia. Dari situ terbentuk karakter intelektual, karakter moral, dan karakter kinerja-nya. Juga hasratnya belajar yang tak dapat dihentikan. Pemikiran dan sikap Anies yang melampaui primordialisme apa pun terlihat dari kepemimpinannya di Jakarta. Pemikirannya selalu kreatif dan fundamental dalam mengembangkan ibu kota di mana tujuan memanusiakan manusia menempati titik sentral. Ia berhasil menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga tanpa kecuali, tanpa membedakan satu dengan yang lain berdasarkan primordialisme. Dalam sikap, ia sangat tegas, tapi demokratis dan toleran dalam berinteraksi dengan semua golongan. Sangat bijaksana menghadapi lawan-lawannya, termasuk para influencer dan buzzer. Karakter seperti ini tidak kita temukan pada sosok-sosok pemimpin Indonesia masa kini yang umumnya mengalami defisit moral, nir kepemimpinan otentik, dan tak punya pemahaman yang mendalam tentang Indonesia itu sendiri. Di luar itu, Anies adalah manusia kosmopolitan sebagai hasil pergulatan pemikirannya dengan ideologi-ideologi besar dunia dan pengalaman hidupnya sendiri. Itu sebabnya, kendati jauh dari Barat secara geografis, Anies disegani  karena ia berbagi perspektif demokrasi dan HAM dengan mereka. Terlebih, sistem otoritarianisme RRC yang sedang dilirik dunia ketiga yang repot berurusan dengan demokrasi dan HAM. Sedangkan negara-negara Timur Tengah menaruh harapan besar padanya untuk mempromosikan pemikiran Islam moderat ke panggung internasional saat Islam di kawasan itu terlanjur dicap sebagai kekuatan destruktif bagi perkembangan peradaban dunia. Peran ini juga yang (ingin) dimainkan NU di pentas global. (*)

Mengapa Anies Selalu Disambut Meriah?

Dalam survei yang dilakukan Vox Populi dan LSI menunjukkan kepuasan warga Jakarta terhadap kinerja Anies. Nilainya tidak main-main, 83,5% dan 80% warga merasa puas. Sangat tinggi. Oleh: M Chozin Amirullah, Pemerhati Politik MULAI awal November 2022, Anies Baswedan melakukan silaturahmi kebangsaan ke beberapa daerah di Indonesia. Diawali dari Medan, lalu dilanjutkan ke Solo, Jogjakarta, Ciamis, dan Tasikmalaya. Dari beberapa kunjungan tersebut, ada satu fenomena yang sama, yaitu Anies selalu disambuat masyarakat dengan meriah. Ada satu pertanyaan yang menggelitik dari kunjungan dan silaturahmi tersebut. Apa yang membuat Anies selalu disambut begitu meriah? Padahal dia bukan pejabat negara. Dia juga bukan petinggi partai atau ormas. Bahkan dia juga bukan ketua keluarga atau ikatan alumni sebuah kampus. Bagi saya, ini satu fenomena yang menarik. Ingat, Anies sekarang adalah warga negara biasa. Bukan lagi pejabat. Tapi selalu disambut dengan gegap gempita. Saya akan coba mengurai satu per satu faktor apa saja yang membuat kehadirannya selalu ditunggu oleh masyarakat. Pertama, kerja Anies dilihat masyarakat. Meskipun Anies hanya memimpin DKI Jakarta selama lima tahun (2017-2022), tapi kinerja Anies bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Terasa hiperbolik? Tunggu dulu. Saya akan tunjukkan buktinya.  Kesungguhan Anies dalam menuntaskan janji membangun Jakarta selama lima tahun sudah dipenuhi. Bukan hanya pada status selesai, tapi dipenuhi dengan sangat baik. Dalam survei yang dilakukan Vox Populi dan LSI menunjukkan kepuasan warga Jakarta terhadap kinerja Anies. Nilainya tidak main-main, 83,5% dan 80% warga merasa puas. Sangat tinggi. Kepuasan warga tersebut tidak lepas dari kebijakan-kebijakan yang diambil Anies Baswedan. Berbagai fasilitas publik dibangun dengan menawan selama Anies menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ibukota benar-benar jadi kota dunia. Banyak sekali fasilitas publik keren yang dinikmati masyarakat. Fasilitas publik yang menawan itu, banyak yang dijadikan tempat beraktivitas. Masyarakat yang menggunakannya kemudian mendokumentasikannya dan menyebarkan ke media sosial, lalu viral. Kecantikan kota Jakarta akhirnya bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Dampaknya apa? Banyak wisatawan dari luar kota, bahkan ada dari luar negeri, datang ke Jakarta untuk menikmati fasilitas publik di Jakarta. Masih ingat Citayam Fashion Week kan? Fasilitas publik di Dukuh Atas tersebut digunakan oleh warga dari luar kota. Hebatnya lagi, Citayam Fashion Week di Jakarta menginspirasi warga kota lain untuk membuat pagelaran sejenis seperti Bandung Fashion Week, Semarang Fashion Week, Makassar Fashion Week dan lainnya. Kedua, masyarakat kita semakin rasional. Ya, masyarakat kita sekarang ini bisa menilai kinerja pejabat publik dengan rasional. Jadi, bila bagus memang dinilai bagus, bila kurang baik dinilai kurang baik. Kebijakan-kebijakan yang diambil dan dijalankan Anies selama memimpin Jakarta, terbukti berdampak positif bagi warga DKI Jakarta dan Indonesia. Hal tersebut dinilai positif oleh masyarakat. Ada banyak contoh kebijakan Anies yang kebijakannya mendapat penilaian positif dari masyarakat. Transportasi publik terintegrasi lewat JakLingko, harga pangan di Jakarta terkendali, penataan kampung-kampung Jakarta, pembangunan stadion kelas internasional, dan masih banyak lagi. Ketiga, kharisma Anies. Menurut saya, Anies adalah sosok kharismatik. Menurut sosiolog Max Weber, memang ada tipe-tipe pemimpin kharismatik, yaitu pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa. Hal tersebut menurut saya ada dalam diri Anies. Itulah tiga hal yang membuat Anies selalu disambut gegap gempita setiap berkunjung ke satu daerah. Pertanyaan selanjutnya, apakah sambutan-sambutan tersebut hanya terjadi kemarin, atau masih mungkin terjadi di lokasi-lokasi lainnya? Meminjam istilah bahasa kekinian, sambuatan Anies ke depan akan semakin pecah. (*)

Dolar AS Tidak Langka: Cadangan Devisa Lebih Dari 130 Miliar Dolar AS

BI telah menentukan pilihan kebijakannya. BI secara sadar menahan laju kenaikan suku bunga acuan jauh di bawah kenaikan The Fed fund rate. BI juga sangat paham konsekuensi dari pilihan kebijakan tersebut. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) DOLAR AS langka? Pernyataan ini tidak benar, terkesan fitnah (cari kambing hitam), bahkan terdengar seperti membodohi publik. Karena, cadangan devisa Indonesia masih sangat besar. Sangat aman. Begitu kata BI. Cadangan devisa Indonesia lebih dari 130 miliar dolar AS. Bagaimana bisa langka? Cadangan devisa tersebut sebagian besar (atau lebih tepat, semuanya) berasal dari investor asing, yang membawa dolar masuk ke Indonesia, untuk investasi di Indonesia. Sekarang, investor asing tersebut mau menarik kembali dolarnya. Mau dibawa ke negeri asalnya. Tidak banyak, hanya 16 miliar dolar AS, dalam satu tahun terakhir ini, tercermin dari penurunan cadangan devisa dari 146 miliar dolar AS (tertinggi, pada 09/2021) menjadi 130 miliar dolar AS (10/2022). Masalahnya, pemilik dolar AS lainnya tidak mau melepas dolarnya. Mereka juga mau pegang dolar AS, tidak mau pegang rupiah. Membuat permintaan terhadap dolar AS jauh lebih besar dari supply. Hal ini diperparah dengan intervensi Bank Indonesia (BI) yang membuat kurs rupiah tertahan di bawah Rp16.000. Tanpa intervensi mungkin kurs rupiah sudah tembus Rp16.000 atau Rp17.000 per dolar AS. Artinya, kurs rupiah hasil intervensi ini artifisial, tidak menarik bagi investor asing, mengingat suku bunga The Fed sudah naik cukup tinggi, dan sudah mendekati suku bunga acuan BI, dengan selisih hanya sekitar satu persen saja, sehingga pemilik dolar tidak mau melepas dolarnya. Jadi, dolar AS tidak langka. Yang langka adalah kebijakan yang tepat dalam merespons kebijakan The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat. Untuk mengatasi inflasi yang sangat tinggi, The Fed terpaksa menaikkan suku bunga acuannya cukup agresif. Selama 6 bulan terakhir suku bunga The Fed sudah naik 4 persen. Kebijakan ini diambil untuk menyelamatkan ekonomi Amerika Serikat, untuk menyelamatkan ekonomi rakyat Amerika Serikat yang daya belinya digerogoti inflasi. Tidak ada yang salah dengan kebijakan The Fed ini. Bahkan BI dan Bank Sentral lainnya, seharusnya sudah dapat memprediksi dan mengantisipasinya. Antara lain dengan menaikkan suku bunga acuan, sebagai respons atas kebijakan the Fed. Tetapi hal ini tidak dilakukan sepenuhnya oleh BI. Kenaikan suku bunga acuan BI hanya 1,75 persen versus kenaikan suku bunga The Fed sebesar 4,00 persen. Maka itu, dolar lari keluar, bukan langka. Dan kurs rupiah melemah. Begitu juga dengan ECB, European Central Bank, yaitu bank sentral untuk negara-negara pengguna mata uang euro. ECB hanya menaikkan suku bunga acuannya sebesar 2 persen, maka itu kurs euro anjlok 20%, dari sekitar 1,2 dolar AS per euro menjadi sekitar 1 dolar AS saja. Bahkan sempat di bawah 1 dolar AS. Kesimpulannya, tak ada makan siang gratis. Tidak bisa hanya mau menikmati usaha The Fed, tanpa ikut menanggung “derita” kenaikkan suku bunga acuan. BI telah menentukan pilihan kebijakannya. BI secara sadar menahan laju kenaikan suku bunga acuan jauh di bawah kenaikan The Fed fund rate. BI juga sangat paham konsekuensi dari pilihan kebijakan tersebut. Yaitu dolar AS kabur dan rupiah anjlok. Bukan dolar AS langka! Dolar Langka Sebelumnya, seperti dilansir CNN Indonesia, Jumat (18 Nov 2022 07:20 WIB), BI mengungkapkan dolar AS sedang langka di pasaran. Kelangkaan mata uang Negeri Paman Sam ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara lain. “Jadi apa yang terjadi di global sekarang ini dolar shortage,” ungkap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti saat konferensi pers BI, dikutip Jumat (18/11/2022). Menurutnya, kelangkaan ini disebabkan oleh kondisi bank sentral utama dunia, yakni The Federal Reserves (The Fed) yang menaikkan suku bunga secara agresif untuk menekan lonjakan inflasi. Kebijakan itu membuat yield obligasi AS menanjak. “Fed Fund Rate (FFR) terus meningkat kemudian juga bond yield di AS untuk dolar AS juga tinggi,” imbuhnya. Hal tersebut membuat banyak pelaku pasar yang beralih ke obligasi dan dolar AS. Tercermin dari arus keluar yang terjadi di banyak negara baik maju maupun berkembang. “Ini mendorong arus balik dolar AS dari beberapa negara emerging market termasuk Indonesia, termasuk negara maju juga di Eropa dan sebagainya itu masuk kembali ke AS,” jelasnya. Baliknya modal asing ke AS ini tercermin dari Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) yang naik 106,28 atau 11,09 persen hingga November ini. “Ini akhirnya menyebabkan adanya dolar shortage atau kelangkaan dolar di negara-negara emerging market, termasuk negara maju,\" pungkasnya. Kelangkaan dolar AS menjadi satu faktor yang menekan rupiah. Pada perdagangan kemarin, Kamis (17/11), nilai tukar rupiah berada di level Rp 15.662 per dolar AS. Mata uang Garuda melemah 63 poin atau 0,40 persen dari perdagangan sebelumnya. (*)

Rakyat Berjuang Sendiri, Hasilnya untuk Kekuasaan Partai?

Teringat tahun 1965 di Jawa Barat, bagaimana pasukan baret hijau dari Kodam Siliwangi mengawal rakyat, mahasiswa dan siswa yang demo Tritura dan membubarkan PKI. Oleh : DR. Ir. Memet Hakim, Alumnus UNPAD, Pengamat Sosial, Ketua Umum APIB GNPR (Gerakan Nasional Pembela Rakyat) gabungan ratusan ormas dan relawan yang dimotori oleh PA 212 dan GNPF sudah beberapa kali unjuk rasa ke Istana. Dengan tiga tuntutan: Turunkan harga BBM, Turunkan harga lainnya dan Tegakkan supremasi hukum. Tidak digubris oleh pemerintah. Terakhir pada unras 411 GNPR merubah tuntutannya menjadi tunggal, yakni: Turunkan Jokowi! Pada kegiatan tersebut Buruh dan Mahasiswa juga turut serta dengan tuntutan tunggal yang seragam Turunkan Jokowi. Presiden Jokowi dinilai sebagai sumber ketidak-beresan di negeri ini, banyak “bohongnya”. “The King of The Lip Service” menurut BEM UI. Tiga tuntutan GNPR agar harga-harga diturunkan dan tegakkan supremasi hukum. Dengan dinaikannya harga BBM telah membuat kemiskinan dan penderitaan rakyat bertambah, PHK di mana-mana sebagai akibat kebijakan yang salah. Melalui beberapa kali unras GNPR yang didukung oleh masyarakat, sama sekali tidak digubris oleh penguasa. Sehingga tuntutan mundur kepada Presiden Jokowi sangatlah wajar. Aksi GNPR memang mewakili kebanyakan rakyat, mereka berjuang menyuarakan ketidakadilan karena DPR sebagai parlemen wakil rakyat sudah tidak bisa diharapkan. Fraksi di DPD RI dan DPR RI bersikap “membebek” dan “berdiam diri” membiarkan rakyat semakin miskin dan bergerak sendiri. Mereka Partai Politik asyik masyuk dengan mainannya sendiri. Alangkah tidak terpuji dan tidak bermartabatnya sikap tersebut. Partai hanya mengambil keuntungan dari penderitaaan rakyat. Mereka sangat pragmatis. Prinsip usaha dari peluang kekuasaan mencari untung sebesar mungkin dengan modal dan resiko sekecil mungkin. Partai telah bergeser dan tidak lebih hanya alat kekuasaan semata. Sementara para aktivis, ulama, dan tokoh yang kritis menyuarakan penderitaan rakyat mereka biarkan dikriminalisasi oleh penguasa, dituduh radikal, intoleransi, bahkan dituduh teroris dan ditangkap dengan alasan yang semena-mena. Para buzzer sewaan para penguasa menyerang para aktivis dan tokoh kritis dengan sebutan Kadrun dan memaki-maki dengan kosa-kata binatang. Sudah tidak peduli penderitaan rakyat masih saja menyerang yang berjuang untuk rakyat. Partai dan elit politik hanya mampu membuat baliho, menyebar spanduk bendera dimana mana, menyebar bantuan dengan bungkus kampanye terselubung. Mendekat Pemilu mereka rajin berkunjung ke Pesantren. Tiba tiba tampak soleh dan solehah bersarung, berkopiah, berkerudung.  identitas Islam mereka pakai dengan murah. Sebaliknya mereka juga menyatakan jangan, ada politik identitas. Munafik lebih tepat untuk label mereka. Penulis menyakini memang tidak semua elit politik, sebagian mereka yang lurus hanya terikat dengan sistim fraksi. Namun jika saja ada yang cerdik dan berani “mendukung” gerakan rakyat memperjuangkan aspirasinya baik secara personal maupun partai atau sayap partai, mereka akan mendulang simpati dan suara rakyat. Di sinilah seharusnya partai pro rakyat berada, berjuang bersama rakyat. Dulu jaman memperjuangkan “kemerdekaan” rakyat yang dipimpin oleh para ulama berjuang, bersimbah darah dan berkorban harta “melawan kekuasaan” para penjajah Belanda. Sekarang ini melalui sistem demokrasi kriminal, jual-beli jabatan. Partai yang full berdaulat. Berkoalisi mendukung penguasa untuk mendapatkan kue kekuasaan, melupakan rakyat yang memilihnya. Sekarang di jaman “mengisi kemerdekaan” rakyat yang “miskin dan menderita“ karena dijajah bangsa sendiri. Siapa yang memperjuangkan? Partai? Rakyat yang berunjuk rasa dipimpin oleh Ulama melalui GNPR bergerak turun ke jalan. Tanpa dukungan partai. Tapi jika berhasil seperti dulu Proklamasi kemerdekaan. Setelah itu partailah yang rebutan kekuasaan. Akankah pola ini terjadi lagi? Teringat tahun 1965 di Jawa Barat, bagaimana pasukan baret hijau dari Kodam Siliwangi mengawal rakyat, mahasiswa dan siswa yang demo Tritura dan membubarkan PKI. Begitu juga terjadi di daerah lain. TNI masih bersama rakyat. Bukan dalam arti slogan. Sekarang bisakah terjadi? Rakyat yang telah dibela oleh kekuasaan, saat ini kembali bersuara dan ingin merdeka lagi tanpa bantuan partai atau TNI. Sejarah yang akan berbicara kelak, apakah partai dan TNI akan berjalan masing-masing atau bersama rakyat. Bandung, 21 November 2022. (*)

Interaksi Simbolik Kunjungan Mensesneg dan Calon Panglima TNI

Sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, penunjukan Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Oleh: Selamat Ginting, Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (UNAS), Kandidat Doktor Ilmu Politik SIAPA yang akan menduduki posisi Panglima TNI pengganti Jenderal Andika Perkasa? Bisa dilihat dari aktivitas Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno. Jika Mensesneg mengunjungi Mabesad, maka yang akan menjadi Panglima TNI adalah KSAD Jenderal Dudung Abdurachman. Jika Pratikno mengunjungi Mabesal maka KSAL Laksamana Yudo Margono yang akan menjadi Panglima TNI. Begitu pun jika mengunjungi Mabesau, KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo yang jadi Panglima TNI. Kunjungan Mensesneg dalam ilmu komunikasi sejalan dengan teori interaksi simbolik. Teori yang memiliki asumsi manusia membentuk makna melalui proses komunikasi. Teori interaksi simbolik berfokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki individu berdasarkan interaksi dengan individu lain. Setahun lalu, misalnya. Mensesneg Pratikno mengunjungi Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad) menemui Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. Saat itu Andika menjadi salah satu calon Panglima TNI. Kunjungan bermakna interaksi simbolik tersebut, saat itu dibungkus dengan alasan Mensesneg melihat fasilitas baru di Mabesad. Bahkan, Pratikno membantah pertemuan itu berkaitan dengan bursa Panglima TNI. Beberapa hari setelah itu, DPR mengumumkan surat presiden tentang calon Panglima TNI sudah diserahkan Sekretariat Negara kepada Ketua DPR. Hasilnya, Jenderal Andika yang ditunjuk menjadi Panglima TNI. Hal itu berlaku jika di masa normal. Artinya tidak ada percepatan pergantian Panglima TNI. Berbeda ketika Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo akan digantikan Marsekal Hadi Tjahjanto. Saat itu diam-diam Mensesneg menyerahkan surat presiden kepada Ketua DPR. Artinya ada hal rahasia, Gatot Nurmantyo dicopot lebih cepat tiga bulan dari usia pensiunnya. Gatot mestinya diganti pada Maret 2018 dipercepat pergantiannya menjadi Desember 2017. Maknanya Presiden Jokowi sudah merasa tidak sejalan dengan kebijakan Jenderal Gatot sebagai Panglima TNI. Jadi dilakukan dengan operasi intelijen atau rahasia agar Jenderal Gatot tidak mengetahui keputusan politik Presiden Jokowi. Setidaknya dalam sepekan ini, publik bisa melihat gerakan komunikasi politik yang akan dilakukan Mensesneg Pratikno. Apakah ia akan mengunjungi Mabesad, Mabesal, atau Mabesau? Atau jangan-jangan menggunakan pola komunikasi interaksi simbolik yang berbeda. Yang jelas, tiga kepala staf angkatan memenuhi syarat sesuai UU TNI, calon Panglima TNI akan diambil dari tiga kepala staf angkatan atau yang pernah menjadi kepala staf angkatan. Sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, penunjukan Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Jadi, siapa pun perwira tinggi bintang empat yang akan ditunjuk oleh Presiden Jokowi harus siap melajsanan tugas baru. Begitu pun yang tidak dipilih harus siap menerima keputusan politik ini. Tidak boleh matranya \'ngambek\', karena pimpinannya tidak ditunjuk menjadi Panglima TNI. Ini bukan hanya semata-mata urusan pergiliran, tapi lebih dari itu, untuk kepentingan organisasi TNI. Bahkan lebih penting dari itu hakikat ancaman menjadi alasan utama untuk menentukan siapa yang paling pas untuk menjadi Panglima TNI. Sebagai penjaga kedaulatan negara, TNI harus tetap solid. (*)

Antara Mubahalah Bambang Tri dan Sumpah Presiden Jokowi

Sumpah Presiden itu merupakan “perjanjian” langsung dengan Allah SWT selaku pencipta. Namun, apakah Jokowi “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”? Oleh: Juju Purwantoro, Advokat/Tim Kuasa Hukum Gus Nur & Bambang Tri USTADZ Sugi Nur Raharja alias Gus Nur dan Bambang Tri telah ditangkap dan ditahan oleh Bareskrim Polri sejak 13 Oktober 2022. Penyidik menganggap mereka telah dengan sengaja di muka publik melakukan praktik bersumpah dengan memanfaatkan simbol ajaran agama Islam, dan berusaha meyakinkan publik dengan materi sumpah yang mengandung dusta. Hal tersebut, menurut penyidik, termasuk sebagai tindakan penyalahgunaan agama terkait penodaan atau penistaan terhadap ajaran agama Islam. Sesungguhnya Mubahalah merupakan ajaran dan keyakinan individu umat muslim, adalah bagian dari syariat Islam. Tujuan mubahalah mereka adalah, karena meyakini tentang ketidak-absahan ijazah sekolah Presiden Joko Widodo yang ditulis dalam bukunya “Jokowi Under Cover”. Mubahalah biasanya adalah sebagai bentuk peringatan, atau \'shock theraphy\' kepada pihak lain agar tidak mudah berbohong dalam sesuatu hal. Terasa aneh, jika ada pihak yang mempersoalkan/intervensi tentang Mubahalah. Apalagi sampai menjadikannya sebagai materi penodaan agama atau tindak pidana kejahatan. Hal itu justru tampaknya sebagai upaya kriminalisasi terhadap ajaran kepercayaan (aqidah) Islam. Padahal tentang mubahalah kita dapat mengacu \'QS. Ali Imran\' (ayat 61) ; “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” Mubahalah sendiri dilakukan dengan niat yang tulus, juga tidak diatur dalam hukum formal atau suatu Undang-Undang, dan hanya dilakukan secara fundamental sesuai syariat Islam (nonformal). Sangat mungkin, ada pertentangan kepentingan (conflict of interest) dan pertentangan hukum (conflict of law) jika ustadz Gus Nur dan Bambang Tri dipersoalkan secara hukum dan menjadikan mereka sebagai tersangkanya. Dengan mubahalah menunjukkan keyakinan akan kebenaran, dan komitmen kesiapan seseorang menerima laknat Allah jika dusta, dasarnya adalah norma keagamaan. Penyidik dalam hal ini tampak tendensius (obstruction of justice), karena menganggap mereka melakukan tindak pidana penodaan agama sesuai pasal 156 a KUHP. Seyogiyanya dalam menentukan ada tidaknya unsur pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama harus dipenuhi dengan adanya keterangan ahli agama Islam yang  representatif dan independen, misalnya ahli yang mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pengalaman selama ini  juga belum pernah ada  seseorang, bahkan ada tokoh nasional yang melakukan mubahalah tidak berakhir di jeruji penjara. Apalagi tuduhan penyebaran pemberitaan bohong, sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat, tampak sangat mengada-ada dan dipaksakan, terpenting bagaimana mereka bisa ditahan. Keduanya disangkakan Pasal 156 a huruf a KUHP tentang Penistaan Agama, Pasal 45 a ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan. Kemudian, Pasal 14 ayat 1 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana tentang penyebaran pemberitaan bohong sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat. Sumpah Presiden Bagaimana dengan Sumpah Presiden dan Wakil Presiden? Apakah jika tidak dipenuhi sumpah atau janjinya selama menjabat bisa dikenakan pasal sebagai Penistaan Agama dan Penyebaran Berita Bohong? Cobalah simak isi Sumpah Presiden dan Wapres saat Jokowi dan Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wapres pada 20 Oktober 2019 di depan MPR RI. Pengucapan sumpah atau janji dilakukan secara bergantian. “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa,” ujar Presiden Jokowi. Setelah itu giliran Ma\'ruf Amin yang mengucapkan sumpah atau janji. “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Wakil Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa,” ucap Ma\'ruf. Setelah itu, keduanya menandatangani berita acara pelantikan. Selain Presiden Jokowi dan Ma\'ruf Amin, seluruh Pimpinan MPR juga ikut menandatangani berita acara pelantikan. Sebanyak 689 anggota MPR hadir dalam Sidang Paripurna. Acara Pelantikan Presiden 2019 ini diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelah itu prosesi pelantikan dilanjutkan dengan mengheningkan cipta untuk para pahlawan bangsa. Dalam pelantikan tersebut hadir pula tamu kenegaraan dan utusan dari negara-negara sahabat. Sumpah Presiden itu merupakan “perjanjian” langsung dengan Allah SWT selaku pencipta. Namun, apakah Jokowi “menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”? Silakan rakyat yang menilai janji presiden tersebut dengan 689 saksi di MPR yang bisa dimintai keterangan oleh penyidik. (*)

Pura Mangkunegaran, Istana Bukan untuk Nikahan

Jokowi sebagai seorang Presiden dan Bhre Cakrahutomo sebagai seorang Adipati mestinya dapat memberi keteladanan tentang implementasi nilai-nilai norma-etika. Oleh: Jlitheng Suparman, Budayawan Solo SANGAT disesalkan jika Joko Widodo akan benar-benar menyelenggarakan ngundhuh mantu di Pura Mangkunegaran. Lebih disesalkan lagi ketika Mangkunegoro (MN) X yang bernama asli Bhre Cakrahutomo, sedemikian dengan mudah mengijinkan Pendhapa Ageng Mangkunegaran dipakai untuk ngundhuh mantu Kaesang. Jokowi yang kebetulan menjabat sebagai Presiden RI, dan Bhre Cakrahutomo yang kebetulan menjabat sebagai MN X, kedua-duanya kita berharap jangan sampai miskin wawasan sejarah dan norma etika. Pura atau Kadipaten Mangkunegaran bukanlah kadipaten “manca negari”, kadipaten kecil yang berada di bawah kekuasaan otoritas kerajaan yang lebih besar. Pura Mangkunegaran statusnya juga kerajaan setara dengan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Lahan dan struktur bangunan situs Pura Mangkunegaran memang tidak seluas dan sebesar Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Namun, otoritas politik Mangkunegaran di kala itu boleh dikata sejajar dengan dua kerajaan yang disebutkan belakangan. Bahkan di masa awal-awal keberadaan Mangkunegoro I sangat ditakuti oleh Pakubuwono III dan Hamengku Buwono I, juga VOC. Intinya, Pura Mangkunegaran secara kesejarahan juga merupakan sebuah kerajaan. Pendhapa Ageng Mangkunegaran statusnya sama dengan Pendhapa Ageng Sasana Sewaka Keraton Surakarta maupun Yogyakarta, yakni sebagai Istana. Sama dengan Istana Merdeka di Indonesia sekarang. Istana itu bukan tempat tinggal maupun milik pribadi. Istana merupakan kantor, tempat kerja, ruang kerja resmi Raja ataupun Presiden. Statusnya sebagai asset negara bukan hak milik privat. Sesuai statusnya sebagai Istana, sudah tentu pemanfaatannya hanya untuk kegiatan resmi kenegaraan. Kegiatan-kegiatan pribadi sebenarnya tidak bisa diselenggarakan di situ. Sejauh pengetahuan belum pernah terjadi Istana dipakai untuk resepsi mantenan. Kalau pun memang pernah terjadi berarti pemegang otoritas bersangkutan tak mengerti atau sengaja menyalahgunakan otoritasnya. Pura Mangkunegaran, Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, dan keraton-keraton setara lainnya di Indonesia sekarang ini memang sudah tidak lagi memiliki otoritas politik. Keberadaannya sebatas institusi (cagar) budaya. Sebagai sebuah cagar budaya terdapat nilai-nilai yang mesti dijaga supaya eksistensinya sebagai representasi jejak peradaban tetap lengkap. Unsur-unsur kesakralan dan kewibawaan sebagai sebuah kerajaan harus dilestarikan. Itulah mengapa sampai saat ini, seperti misal Sasana Sewaka Keraton Surakarta sama sekali tidak digunakan untuk kegiatan lain selain seremoni adat-tradisi resmi kerajaan. Dari uraian di atas, maka rencana Jokowi ngundhuh mantu di Pura Mangkunegaran layak disesalkan. Pertama, hajat pernikahan merupakan urusan ranah pribadi. Dari itu ngundhuh mantu tidak selayaknya diselenggarakan di Pendhapa Ageng Mangkunegaran yang statusnya secara historis-kultural merupakan Istana Kerajaan. Kedua. Dalam konteks Republik Indonesia, Jokowi memang berkedudukan atau menjabat sebagai Presiden. Namun dalam kontek sosio-historis-kultural terkait dengan eksistensi Pura Mangkunegaran, Jokowi selaku pribadi statusnya adalah sebagai kawula atau rakyat biasa. Yang bestatus Raja atau Adipati saja tidak boleh seenaknya menggunakan fasilitas Pendhapa Ageng untuk urusan pribadi, apalagi orang yang berkedudukan sebagai rakyat biasa. Ketiga, jika perhelatan ngundhuh mantu tetap dilaksanakan, kita masyarakat dan bangsa Indonesia sungguh semakin kehilangan keteladanan dalam hal menjaga dan menjalani norma-etika dalam berperikehidupan di segala bidang. Jokowi sebagai seorang Presiden dan Bhre Cakrahutomo sebagai seorang Adipati mestinya dapat memberi keteladanan tentang implementasi nilai-nilai norma-etika. Keempat, kenekatan penyelenggaraan ngundhuh mantu di Pura Mangkunegaran hanya akan mempertontonkan perilaku arogansi penguasa. Dumeh Presiden, dumeh Mangkunegoro, lantas dapat berbuat seenaknya tanpa peduli norma etika. Tindakan tersebut juga dapat dikategorikan pelecehan budaya. Bagaimana pun Pura Mangkunegaran sebagai sebuah representasi jejak peradaban berstatus Kerajaan keberadaannya beserta struktur nilai yang terdapat di dalamnya, tetap harus dihormati. Presiden Joko Widodo maupun KGPAA Mangkunegoro X sebagai bagian dari wong Jawa yang katanya berkepribadian adi luhung, jangan sampai mempertegas sinyalemen “wong Jawa ilang jawane”. Jadi, kalau dipaksakan bisa merusak tatanan karaton karena Jokowi hanya Kawulo (rakyat). Semoga. Sukoharjo, 21 Nopember 2022. (*)

Kabinet Muhammadiyah Lebih Pancasilais Daripada Kabinet Maju

Menjadi Presiden dan para pembantunya dalam Kabinet Maju, semua maju untuk mendapatkan fasilitas sebesar-besarnya. Dan, mereka bisa masuk dalam kabinet maju harus dengan segala cara. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PEMILIHAN langsung versi Pilpres atau Pileg adalah sistem untuk pemilihan pemegang jabatan politik di mana pemilih secara langsung memberikan suaranya untuk suatu kandidat atau pasangan calon, yang mereka inginkan agar mereka tersebut dapat terpilih. Untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden memiliki prosedur yang rumit, panjang dan berdarah-darahm bahkan banyak membawa korban kematian. Tanpa dipanjangkan analisa mengenali prosesnya, yang berakhir dengan kekecewaan, baik soal transparansi sampai indikasi kuat manipulasi suara macam-macam praktiknya. Sampai harus bersengketa di peradilan Mahkamah Konstitusi (MK). Tentu berbeda pemilihan pimpinan Ormas (Muhammadiyah) untuk 13 nama dengan pemilihan Presiden hingga berlanjut untuk pemilihan para pembantu presiden (para menterinya) Sistem Pemilihan di Muhammadiyah berjalan dengan kawalan sistem dan manajemen yang kokoh, rapi, terstruktur penuh nilai religius, kemanusiaan dan keadaban, terwujud persatuan yang kokoh, tersirat permusyawaratan perwakilan penuh hikmat kebijaksanaan dan terasa rasa keadilan untuk semuanya yang jadi dalam muktamar. Berakhir dengan damai, tidak ada kubu-kubuan, tidak ada tim sukses. Tidak ada kampanye terselubung, tidak ada serangan fajar/subuh apalagi serangan di malam buta. Bebas dari transaksi uang, sama sekali tak tercium. Semua proses berjalan dengan wajar, singkat, terbuka dalam suasana keakraban, persahabatan ukhuwah yang tulus, ikhlas bahkan sangat mengharukan ketika teman-teman ormas lain bahkan dari kalangan umat agama lain ikut membantu untuk suksesnya muktamar berjalan lancar dan sukses. Terlintas dalam pikiran: mungkinkah sistem Pemilu Muhammadiyah ini diadopsi untuk pilpres tingkat negara Indonesia. Kita tahu pemilu dan pilpres kita itu terlalu rumit, panjang, penuh intrik, berdarah-darah sampai timbul korban anggota TPS hingga ratusan orang.. ngeri dan mengerikan. Terlalu bertele-tele dengan biaya mahal. Dampak politiknya masyarakat terbelah dan melahirkan konflik tanpa ujung. Sangat berbeda dengan proses pemilihan di Muhammadiyah. Dalam muktamar ada peserta resmi dan peninjau. Yang luar biasa ada  penggembira. Peserta penggembira ini jauh lebih besar datang dari seluruh penjuru tanah air. Mereka datang dengan penuh gembira, hebatnya dalam ukhuwah tercipta rasa satu tidak ada rasa berbeda dengan para peserta resmi muktamar sekalipun fungsi dalam muktamar pasti berbeda. Para penggembira datang dengan biaya sendiri-sendiri penuh rasa bangga karena rasa memiliki Muhammadiyah. Mereka bukan pendukung salah satu calon ketua, tidak punya hak suara, tidak punya hak bicara, hanya punya hak untuk bergembira. Mereka gembira dengan jaminan adanya budaya bersih, jujur, dan damai di Muktamar Muhammadiyah. Bersih muktamar, bersih niat, pikiran, dan bersih fisik di lingkungan muktamar. “Kembali bayangan terjadinya pemilihan Presiden yang bisa sedamai pemilihan kabinet Muhammadiyah”. Bayangan itu kembalinya fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara untuk memilih Presiden dengan kawalan sistem yang ketat dari virus praktik seperti transaksi politik, intervensi kekuatan dari luar, selain murni pilihan sesuai pilihan rakyat. Ketika negara sudah kembali Presiden dipilih oleh MPR, masing masing anggota MPR harus terikat dengan suara dari daerah pilihannya seperti peserta muktamar Muhammadiyah yang sejak seleksi sampai pemilihan 13 nama pasti suara murni dari masing masing daerahnya. Tidak bisa dipengaruhi oleh kekuatan dari luar, apalagi dibeli suaranya. Apa itu bisa diadopsi oleh MPR, jawabnya pasti bisa. Prosesnya benar ada dan dijiwai oleh moral dan perilaku dari nilai-nilai Pancasila. Prestasi demokrasi dan pengamalan Pancasila musyawarah (melalui Pemilihan yang bersih dan jujur) Muhammadiyah telah membuktikan, tanpa harus gembar-gembor dan cuap-cuap “sayalah paling Pancasilais”. Kualitas kabinet Muhammadiyah sangat terjaga dan dijamin kualitasnya, karena lagi-lagi ada persyaratan melalui mekanisme yang ketat dalam AD/ ART yang tidak bisa direkayasa untuk lompat pagar. Nama nama calon kabinet Muhammadiyah yang tidak memenuhi persyaratan AD/ART pasti tereliminasi dengan sendirinya. Hasil pilihan kabinet Muhammadiyah disambut gembira oleh semua peserta yang hadir dalam Muktamar dan seluruh kader dan anggota Muhammadiyah di seluruh tanah air. Tersisa setelah muktamar terakhir satu tekad bersama bekerja membawa Muhammadiyah yang berkemajuan, “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”  Dengan sistem pemilu seperti itu, Muhammadiyah bisa menghindari banyak virus yang merusak organisasi. Termasuk tidak mungkin terjadi, misalnya, seseorang tokoh tiba-tiba jadi pimpinan, hanya bermodalkan popularitas atau kekuasaan. Jadi pimpinan terpilih sebagai pimpinan (kabinet) Muhammadiyah sudah terseleksi secara ketat, berjenjang, transparan. Hampir tidak mungkin terjadi kasus \'”salah pilih\'”. Termasuk tidak bisa “menjual” Muhammadiyah dalam pemilu atau pilpres. Sebab Muhammadiyah lebih sebagai kumpulan para pengabdi. Maka tidak terpilih pun tidak masalah karena semua dalam semangat yang sama yaitu mengabdi menghidupi Muhammadiyah, bukan mencari hidup dari Muhammadiyah. Yang membedakan antara kabinet Muhammadiyah dengan Kabinet Maju rezim ini dan sangat mencolok adalah: kabinet Muhammadiyah tidak ada keuntungan finansial apa pun untuk menjabat ketua umum dan pengurus Muhammadiyah. Juga tidak mendapat fasilitas. Sebaliknya mengejar sebagai Kabinet Maju tak beda mengejar fasilitas yang harus diraihnya. Menjadi Presiden dan para pembantunya dalam Kabinet Maju, semua maju untuk mendapatkan fasilitas sebesar-besarnya. Dan, mereka bisa masuk dalam kabinet maju harus dengan segala cara. Bahkan, saya suka menyebut kabinet maju saat ini adalah kabinet persengkongkolan hasil persengkokolan sejak awal proses pemilihan yang sangat miskin dan kering dari nilai-nilai Pancasila. (*)

Negara Butuh Dwi Tunggal Latar Belakang Intelijen (Bagian-1)

Oleh Kisman Latumakulita – Wartawan Senior FNN PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2019 bisa dibilang sebagai konstetasi politik terpanas sepanjang sejarah Indonesia era reformasi. Korban yang berjatuhan tidak sedikit. Baik itu korban yang luka-luka, maupun meninggal dunia. Apalagi  tragedi di depan kantor pusat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan sekitarnya. Tragedi yang begitu dalam dan membekas di hati. Sangat susah untuk dilupakan.  Faktanya keterbelahan sosial di masyarakat begitu lebar dan mendalam. Keterbelahan yang terasa begitu nyata di masyarakat. Keterbelahan antara kubu cebong yang menjadi pendukung setia pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, melawan kubu kampret yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sampai sekarang keterbelahan sosial itu masih terasa. Meskipun harus diakui bahwa keterbelahan sosial itu situasinya tidak separah ketika Pilpres 2019 berakhir. Saat tingginya hirup-pikut dan keterbelahan antara kubu cebong dengan kampret itu, sontak publik dikagetkan dengan pertemuan dua tokoh penting negeri di Stasiun MRT Senayan pada 13 Juli 2019. Pertemuan bersejarah antara dua capres yang bebuyutan, Prabowo Subianto dengan Joko Widodo. Pertemuan yang bertujuan mendinginkan ketegangan antara kedua kubu yang terasa semakin naik eskalasinya ketika itu.  Pertemuan yang dikecam para pendukung Prabowo Subianto maupun Joko Widodo. Masing-masing punya pertimbangan dari berbagai sudut pandang. Apalagi Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan selalu tampil dengan slogan “timbul tenggelam bersama rakyat”. Namun faktanya Prabowo Subianto timbul sendiri bersama dengan kekuasaan. Prabowo menerima tawaran jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Belakangan Sandiaga Uno juga ikut masuk kabinet dengan Jokowi-Ma’ruf Amin. Sandi Uno menerima jabatan sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lengkap dan sempurna sudah Prabowo dan Sandi Uno meninggalkan para pendukungnya. Kekuasaan itu menggiurkan, gurih dan perlu ada untuk dipertahankan.  Apapun pendapat yang berkembang di masyarakat, namun pertemuan tersebut cukup bermanfaat untuk meredam ketegangan dan tensi yang tinggi ketika itu. Tokoh penting di balik pertemuan Stasion MRT Senayan adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan. Sedangkan dari kubu Prabowo ada Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian Partai Gerindra yang dikenal dekat dengan kalangan telik sandi. Pertemuan Stasiun MRT Senayan 13 Juli 2019 itu, sedikit banyak menggambarkan sikap Budi Gunawan, yang biasa disapa dengan sebutan “Bang BG atau Mas BG”. Untuk kepentingan bangsa dan negara, Bang BG punya kesenangan untuk merangkul siapa saja lawan. Merangkul siapa saja yang berbeda pendapat dengan Bang BG. Namun akan tetap menghargai siapa saja yang berseberangan pendapat dengan Bang BG.  Bang BG juga tidak segan-segan mundur satu-dua langkah untuk merangkul dan mengajak bicara lawan berbicara. Juga berdiskusi serta berunding dengan posisi yang setara. Tidak ada yang lebih tinggi. Meskipun lawan bicara sering beda pendapat dengan Bang BG. Perbedaan dalam bentuk diskursus apapun tetap dihargai Bang BG, sepanjang perbedaan itu untuk kepentingan serta keutuhan bangsa. Bang BG dalam keseharian lebih mengedepankan sikap  “ngalah” dalam berbagai hal dan aspek. Toh “ngalah” kan bukan berarti “kalah”. Tidak ada salahnya “ngalah” satu dua langkah untuk mendapatkan kemenangan. “Ngalah untuk kebaikan atau “ngalah” untuk persatuan bangsa dan negara, memang perlu ada pada setiap tokoh bangsa. Tidak berlaku menang atau kalah untuk kebaikan bangsa. Mengikuti filosofi Jawa yang bagus untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari, yaitu “Sing Waras Ngalah”.  Kemampuan dan kelebihan Bang BG dalam lobby di berbagai hal-ihwal ini, layak untuk disandingkan dengan siapan saja yang berpeluang menjadi Presiden pada Pilpres tahun 2024 nanti. Faktanya beberapa negara bisa bangkit dari keterpurukan, bahkan kembali kuat karena satu di antara pimpinan nasionalnya (Dwi Tunggal) adalah orang yang berlatar-belakang intelijen. Bang BG sudah enam tahun lebih menjabat sebagai Kepala Badan Interlijen Negara (BIN).  Bang BG menjabat sebagai Kepala BIN sejak 9 September 2016. Ketika itu Bang BG yang menggantikan Letjen TNI (Purn.) Sutiyoto, biasa disapa dengan Bang Yos. Sedangkan Bang Yos yang menggantikan Letjen TNI (Purn.) Marciano Norman menjadi Kepala BIN sejak Soesilo Bambang Yudhoyono menjabat Presiden periode kedua.   Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan politik dan ekonomi di tahun 1965, karena Kepala Badan Kordinasi Intellijen Negara (BAKIN) saat itu dijabat sendiri oleh Mayjen Soeharto. Kebetulan Mayjen TNI Soeharto yang ketika itu menjabat Panglima Kosrad langsung memimpin perlawanan kepada PKI. Dampaknya, Mayjen Seoharto berhasil melakukan konsolidasi politik melalui penyederhanaan (fusi) partai politik.  Baru pada 1971 dilakukan pemilihan umum pertama sejak Mayjen Soeharto menjabat Presiden tahun 1967 menggantikan Bung Karno. Pemilu 1971 itu diikuti oleh tiga peserta Pemilu, yaitu dua partai politik, PPP dan PDI, serta satu Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar. Hasilnya, Soeharto berhasil menjaga stabilitas politik selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Itulah kelebihan pimpinan nasional yang punya latar belakang intelijen (bersambung).

Catatan dari Forum Perdamaian Dunia ke-8 di Solo

Pada kesempatan khutbah Jumat bersama peserta Forum yang beragama Islam saya menguatkan lagi bahwa konsep persaudaraan kemanusiaan bukan hal baru bagi Umat ini. Konsep ini bukan juga pertama kali dicetuskan oleh Sheikh Azhar dan Paus Franciss. Oleh: Imam Shamsi Ali, Imam di New York/US Participant DALAM tiga hari ini saya berada di Surakarta atau Kota Solo untuk dua hajatan besar. Yakni pelaksanaan Forum Perdamaian Dunia ke-8 sekaligus menghadiri pembukaan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiah yang ke-48. Bagi saya kedua acara ini merupakan kebanggaan. Muktamar Muhammadiyah membanggakan saya sebagai tamatan pesantren Muhammadiyah. Tapi Forum Perdamaian Dunia juga membanggakan karena perhelatan internasional ini diinisiasi oleh Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia. Pada catatan ini saya akan fokus pada acara Forum Perdamaian Dunia yang diinisiasi oleh Pusat Dialog antar agama dan peradaban di bawah komando Prof. Din Syamsuddin, yang juga mantan Ketua Umum Muhammadiyah dua periode. Perhelatan dua tahunan itu menghadirkan tokoh-tokoh agama, aktifis dan akademisi dunia, khususnya mereka yang bergelut di dunia sosial keagamaan, pendidikan dan kebudayaan. Saya sendiri hadir dalam status sebagai seorang Imam/tokoh agama Islam di Amerika. Walaupun sering dicantumkan sebagai peserta Indonesia karena wajah dan lisan saya yang tentunya tetap tidak berubah sebagai orang Indonesia. Hal ini juga sering disikapi oleh sebagian peserta yang belum mengenal saya, seolah saya hanyalah peserta lokal, yang biasanya disikapi biasa-biasa saja. Yang menarik adalah seorang peserta lain dari US, seorang professor wanita keturunan Korea. Beliau justeru lebih identik sebagai peserta dari Amerika. Padahal dari segi residensi di Amerika saya lebih senior (tinggal lebih lama). Beliau hanya Kebetulan orang asing (non Indonesian) sehingga lebih diidentikkan sebagai orang Amerika. Bagi saya hal ini justeru membanggakan, bahkan membahagiakan. Karena walau saya telah meninggalkan Indonesia sejak tamat pesantren (SMU) dan tidak pernah lagi tinggal di Indonesia, Saya masih tetap diterima sebagai warga Indonesia asli. Ini sekaligus menguatkan kebanggaan saya sebagai orang yang terlahir di negeri tercinta ini. World Peace Forum ke-8 Perhelatan forum dunia untuk perdamaian ini bertemakan “Human Fraternity and the Middle Path as the pillar to Peaceful, Just and Prosperous World”. Tema ini kira-kira ingin menyampaikan bahwa persaudaraan kemanusiaan (Al-ukhuwah insaniyah) dan jalan tengah (wasatiyah) adalah pilar untuk mewujudkan perdamaian, keadilan dan kemakmuran dunia. Para pembicara dengan latar belakang yang berbeda, hadir antara lain perwakilan Vatican (Katolik), Wakil Sheikh Al-Azhar (Muslim), maupun dari kalangan Hindu dan agama-agama lainnya. Bahkan pada sesi khusus membahas tentang nilai-nilai ketimuran ditampilkan pembicara dari Konghucu dan Budha. Semua pembicaraan mengarah kepada bagaimana menguatkan relasi atau persaudaraan kemanusiaan universal dan memasyarakan (mainstreaming) nilai-nilai jalan tengah (wasatiyah) demi terwujudnya perdamaian, keadilan dan kemakmuran dunia. Pada sesi pembukaan acara ini hadir juga beberapa tokoh nasional Indonesia untuk menyampaikan pandangan-pandangan tentang tema Forum. Hadir antara lain Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI), Bapak Jusuf Kalla (mantan Wakil Presiden dua periode) dan lain-lain. Walau pada semua sesi ada pembicara-pembicara yang telah ditentukan, namun semua peserta punya kesempatan untuk menyampaikan pandangan/ide berkaitan dengan tema-tema pembahasan. Sehingga relatif hampir semua peserta punya kesempatan untuk berbicara pada forum ini. Saya pribadi pada kesempatan tersebut secara singkat menyampaikan beberapa pandangan berkenaan dengan tema bahasan. Ada tiga poin penting yang saya sampaikan pada kesempatan yang sangat singkat itu. Pertama, saya menekankan bahwa pembicaraan mengenai perdamaian, keadilan dan kemakmuran menjadi hambar bahkan hampa (sia-sia) ketika kebebasan hilang dari kehidupan. Saya mengingatkan peserta Muslim khususnya bahwa esensi “Laa ilaaha illallah” adalah kebebasan hakiki. Saya secara khusus merujuk kepada konteks Palestina (yang dubesnya juga hadir sebagai peserta) yang tak kunjung mendapatkan kebebasan (kemerdekaannya). Kedua, pembahasan persaudaraan kemanusiaan (human fraternity) menjadi tidak relevan ketika dunia dengan ragam imajinasi terfragmansi secara tidak adil. Dikotomi dunia kepada Barat dan Timur, yang kemudian melahirkan peradaban Barat dan peradaban Timur bahkan agama Barat dan agama Timur merupakan bahagian dari “paradoxical behavior” (prilaku paradoks) dalam menyikapi Persaudaraan kemanusiaan itu. Masalahnya pembagian dunia itu bukan berdasarkan geografis. Tetapi, lebih kepada cara pandang yang membagi manusia kepada Barat dan Timur. Barat sebagai penggambaran kemajuan, kekuatan, peradaban, dan seterusnya. Sementara bangsa Timur (Eastern nations) adalah sebaliknya. Ketiga, berbagai terminologi yang berkembang atau dikembangkan secara sistimatis, termasuk toleransi vs extremisme, bahkan “war on terror” yang dikembangkan oleh Bush Jr pasca 9/11 di US memiliki konotasi dan pemaknaan yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Dan, karenanya terminologi-terminologi yang dikembangkan harus terdefenisikan secara jelas. Termasuk kata “middle path” itu sendiri yang diterjemahkan dari kata “wasatiyah” yang diambil dari Al-Quran. Pada kesempatan khutbah Jumat bersama peserta Forum yang beragama Islam saya menguatkan lagi bahwa konsep persaudaraan kemanusiaan bukan hal baru bagi Umat ini. Konsep ini bukan juga pertama kali dicetuskan oleh Sheikh Azhar dan Paus Franciss. Tapi justeru merupakan “Godly Declaration” atau Deklarasi Allah dalam Al-Quran (An-Nisa ayat 1 dan Al-Hujurat ayat 13). Juga deklarasi kemanusiaan universal Rasulullah SAW ketika menyampaikan khutbah wada’ di Padang Arafah berabad-abad yang lalu. Hal penting lainnya yang diperoleh dari Forum Dunia untuk Perdamaian ini adalah diluncurkan apa yang disebut “Global Fulcrum on Islamic Middle Path”. Sebuah gerakan global untuk menjadikan wasatiyah Islam sebagai mainstream beragama. Tentu sekali lagi hal ini bukan baru bagi Umat ini memang dikenal dengan “ummatan  wasathan”. Tapi ini merupakan bahagian dari keseriusan Umat untuk menyelesaikan berbagai kecenderungan radikal dalam kehidupan. Tentu tidak saja dalam kehidupan beragama. Tapi hampir dalam semua aspeknya, termasuk ekonomi dan politik. Melalui Forum Dunia untuk Perdamaian ini kita harapkan dunia akan semakin membuka mata tentang realita Islam dan umatnya. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya bahwa salah satu ancaman terhadap human fraternity adalah adanya “imaginary view of one another”. Yaitu kecenderungan menilai orang lain tidak berdasarkan fakta. Tapi lebih kepada imajinasi-imajinasi yang dikembangkan, khususnya oleh media dunia. Umat harus mengambil kendali! Udara Solo-Jakarta, 20 Nopember 2022. (*)