OPINI

PKI dan Keppres 17 Tahun 2022

Yang jelas bukan untuk menjadikannya PKI korban. Kalau PKI korban, siapa penjahatnya yang dituduh? TNI AD, NU, Muhammadiyah, atau KAPPI, KAMI? Tentu ini akan mengorek luka lama dan bisa terjadi perang saudara. Oleh: Ir Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila KEPUTUSAN Presiden Nomor 17 Tahun 2022 banyak mendapat perhatian. Di satu sisi banyak yang curiga untuk minta maaf ke PKI yang telah melakukan pembunuhan sadis terhadap Jenderal Angkatan Darat dan Kudeta terhadap negara. Juga, oleh antek-antek PKI digoreng terus untuk menghilangkan jejak dan fakta kudeta disertai pembunuhan sadis dan menuduh orang lain untuk bertanggung jawab, kelakuan PKI, memfitnah, berdusta, dan menimpakan kesalahan pada orang lain sudah hal yang biasa dilakukan. Berbohong, berdusta itu adalah karakter PKI. Kalau kita membaca Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tersebut memang tidak ada klausul untuk menyelesaikan persoalan PKI, tetapi kita perlu waspada. Mari kita coba membaca Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Pertimbangan Keppres Presiden Nomor 17 Tahun 2022 ini ditetapkan dengan pertimbangan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah; Bahwa hingga saat ini pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu belum terselesaikan secara tuntas, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum; Bahwa untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu secara independen, objektif, cermat, adil dan tuntas, diperlukan upaya alternatif selain mekanisme yudisial dengan mengungkapkan pelanggaran yang terjadi, guna mewujudkan penghargaan atas nilai hak asasi manusia sebagai upaya rekonsiliasi untuk menjaga persatuan nasional; Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Jadi, kalau kita baca di atas yang akan diselesaikan itu pelanggaran HAM masa lalu, soal PKI tidak disebutkan, memang PKI bukan pelanggaran HAM tetapi perang saudara. PKI bukan pada1965 saja melakukan makar, tetapi pada 1946 dan 1948 juga melakukan pemberontakan di Madiun yang banyak membunuh Kiai-Ulama, Pegawai Negeri yang kemudian dimasukan ke sumur, hal ini rupanya modus yang sering dilakukan. Pada 30 September 1965 yang lebih dikenal dengan G-30-S/PKI itu juga telah terjadi kudeta sekitar pukul 13.00, Untung melalui RRI Dewan Revolusioner mengumumkan Kabinet demisioner dan kepangkatan tentara di atas Kolonel diturunkan Untung yang berpangkat Kolonel inilah kudeta sesungguhnya. Sementara simpatisan PKI menuduh Pak Harto melakukan kudeta merangkak itu ndak ada. Itu karangan dan agitasi PKI saja. Penjelasan ini disampaikan oleh Amelia Yani, putri Pak Yani. Dari cerita ini jelas bahwa PKI melakukan kudeta. PKI telah melakukan kudeta dengan membunuh jenderal-jenderal Angkatan Darat jadi PKI telah berkhianat tidak bisa negara meminta maaf. Kalau Keppres Nomor 17 Tahun 2022 untuk kepentingan PKI, dan memutar balikkan fakta menjadi korban, tentu tidak akan bisa. Sebab ada Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Isi dari TAP MPRS XXV/1966 terdiri dari empat pasal, yaitu: Pasal 1 Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3/1966, dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut diatas menjadi Ketetapan MPRS. Pasal 2 Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang. Pasal 3 Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan. Pasal 4 Ketentuan-ketentuan diatas, tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar negeri Republik Indonesia. Jadi jelas Keppres Nomor 17 Tahun 2022 yang baru dikeluarkan Presiden Joko Widodo bukan untuk menyelesaikan PKI. Tetapi, bisa untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, misal kasus Munir, Kasus KM 50, kasus banyaknya pendemo yang mati di depan KPU saat Pilpres 2019, tewasnya 800 lebih petugas KPPS. Yang jelas bukan untuk menjadikannya PKI korban. Kalau PKI korban, siapa penjahatnya yang dituduh? TNI AD, NU, Muhammadiyah, atau KAPPI, KAMI? Tentu ini akan mengorek luka lama dan bisa terjadi perang saudara. Kasus PKI secara alamiah sudah selesai, banyak anak turun PKI duduk di DPR MPR, DPRD. Juga banyak yang menjadi pejabat. Tetapi yang namanya PKI itu gak bisa menerima dan bersyukur, selalu kalau merasa kuat ingin bangkit dan menggilas Umat Islam dan mengganti Pancasila dengan Trisila, Ekasila, itu sudah tabiat PKI. Maka waspada kalau tidak ingin terjadi perang saudara. (*)

Satgasus Merah Putih Polri Terlibat Mafia Tambang?

Oleh Marwan Batubara  FKN-UI Watch HARI ini, Rabu 5 Oktober 2022, untuk yang keempat kalinya, FKN, FNP, TP3 dan UI Watch, kembali menyelenggarakan acara seminar terkait Satgasus Merah Putih Polri. Tujuannya antara lain untuk memberi pemahaman kepada rakyat dan terus mengadvokasi kasus pembunuhan Brigadir Josua dan berbagai sepak terjang bernuansa kriminal yang dilakukan Satgasus, yaitu “organ” Polri yang didirikan pertama kali oleh mantan Kapolri Tito Karnavian dan yang direstui oleh Presiden Jokowi. Satgasus Merah Putih telah terlibat obstruction of justice dengan merusak tempat kejadian perkara, menghilangkan barang bukti, hingga penghalangan penyidikan. Sebagai Kepala Satgasus Ferdy Sambo yang menjadi tersangka pembunuhan berencana Brigadir Josua, diduga memobilisasi puluhan anggota Satgasus merekayasa kasus. Rekayasa sampai saat ini pun tampaknya masih berlangsung. Status Ferdy sebagai Kepala Satgasus Polri adalah sesuai Surat Perintah Kapolri Nomor Sprin/1583/VII/HUK.6.6./2022. Sprin ditandatangani Kapolri, Listyo Sigit Prabowo, pada 1 Juli 2022. Satgasus yang dipimpin Sambo membawahi sejumlah perwira tinggi (jenderal), menengah, tamtama yang totalnya sekitar 439 anggota Polri. Ternyata bukan hanya terlibat obstruction of justice, Satgasus diduga menjadi alat untuk meraup uang besar ratusan triliun Rp, baik langsung maupun tidak langsung dalam berbagai kejahatan berkategori mafia seperti perlindungan perjudian, perdagangan narkoba, peredaran miras, perizinan tambang, penanganan kasus kakap secara curang, dan lain-lain. Karena yang melakukan adalah lembaga negara, penegak hukum dan pengayom masyarakat, maka dapat dikatakan Satgasus telah melakukan ultimate crimes against the people & nation. Secara umum mafia difahami sebagai suatu organisasi yang bergerak dalam berbagai kejahatan dan kriminalitas yang melanggar hukum, serta merugikan masyarakat dan negara. Mafia melakukan tindak kriminal dengan cara tidak biasa dan sulit dideteksi publik, dengan tujuan memberikan perlindungan ilegal, mengorganisasi kejahatan, melakukan transaksi ilegal, main hakim sendiri, memainkan peran politik kotor, memberangus lawan secara biadab, mengumpulkan uang haram sebanyak mungkin, melanggar pajak, dan lain-lain. Berbagai jenis kejahatan dan kriminalitas yang umum berlaku dalam dunia mafia di atas, ternyata diyakini telah dijalankan pula oleh “Mafia” Satgasus Merah Putih. Misalnya, Pejabat Satgasus telah menjadi memimpin Konsorsium 303 sebagai pelindung bandar judi. PPATK mendeteksi dana Rp155 triliun dari judi online mengalir ke sejumlah kalangan, termasuk kepada sejumlah aparat dan pejabat negara. Sejumlah pejabat Polri diduga menerima gratifikasi berupa fasilitas privat jet milik “pengusaha” RBT. Satgasus ternyata diduga telah berperan pula untuk menjadi alat politik, baik untuk mendukung kepentingan dan agenda kekuasaan tertentu, membungkam atau menghabisi lawan politik, serta bahkan mengusung politisi atau pejabat negara/partai tertentu untuk menjadi Capres dan Cawapres. Satgasus juga diyakini telah berperan atau menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan mengamankan berbagai kepentingan oligarki. Hal yang paling mengerikan adalah keterlibatan Satgasus dalam melindungi perjudian ilegal yang melibatkan sejumlah pengusaha dan seorang pentolannya yang seolah tak tersentuh hukum. Mengapa demikian? Karena sang pengusaha ini mengorganisir kejahatan yang melibatkan uang SANGAT BESAR, ratusan triliun Rp setiap bulan, sehingga dengan itu mampu mengendalikan siapapun dalam lingkar keuasaan dan di luar kekuasaan. Satgasus Merah Putih memang sudah resmi dibubarkan pada 11 Agustus 2022. Satgasus dibentuk sesuai Surat Perintah Kapolri Tito Karnavian No. Sprin/681/III/HUK.6.6/2019, tanggal 6 Maret 2019. Satgasus ini jelas dibentuk atas restu Presiden Jokowi. Karena itu, berbagai dugaan kejahatan sistemik berkategori mafia yang diduga telah dilakukan Satgasus sudah sepantasnya juga menjadi tanggungjawab mantan Kapolri Tito Karnavian dan Presiden Jokowi. Prinsipnya, dalam tubuh Polri diduga terdapat Gank Mafia, atau “Mafia” Satgasus, yang memiliki kekuasaan yang cukup besar. Kekuasaan ini diperoleh karena diberi kewenangan sangat besar oleh Pimpinan Polri atau bahkan Pimpinan Negara! Bahwa jika kemudian terjadi penyalahgunaan wewenang, maka masalahnya tidak cukup hanya pembubaran, tetapi siapa pun pemberi wewenang, termasuk Kapolri atau Presiden, harus ikut bertanggungjawab. Apalagi jika “manfaat” keberadaan “Mafia” Satgasus ikut pula dinikmati para penentu keberadaannya! Untuk itu, audit menyeluruh Satgasus sejak mulai berdiri hingga saat dipimpin Sambo, oleh Auditor Independen, harus segera dilakukan. Rakyat mengingatkan Pak Kapolri Sigit bahwa bubar saja tidak cukup! Dana APBN yang digunakan untuk kegiatan Satgasus selama ini harus dipertanggungjawabkan. Namun yang lebih penting, peran Satgasus seperti mafia dan berbagai kejahatan dan kriminalitas yang dilakukan selama ini harus pula diusut tuntas dan diproses di pengadilan secara terbuka. Semua pihak terkait harus betanggungjawab. Sebagai penerbit surat perintah pertama kali, kita tidak tahu apakah hingga dipimpin Ferdy Sambo, kegiatan dan sepak terjang Satgasus Merah Putih masih berkaitan erat dengan atau di bawah kendali Tito Karnavian. Kita menuntut agar peran Tito dan pimpinan-pimpinan Polri setelah Tito dalam Satgasus dibuka secara terang benderang. Kita juga menuntut agar semua pihak atau pejabat yang memperoleh manfaat dari berbagai kegiatan Mafia Satgasus, hingga sampai pada pemimpin tertinggi, harus dibuka kepada rakyat. Itulah alasan utama mengapa audit Satgasus secara menyeluruh menjadi hal yang tidak bisa ditawar atau dikompromikan. Sebab kita adalah negara hukum yang beradab, menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945 dan nilai-nilai universal kemanusiaan. NKRI bukan negara otoriter tanpa hukum dan tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dikendalikan berdasar praktik-praktik mafia sesuai kepentingan oligarki kekuasaan.  Melalui Konsorsium 303, Satgasus Merah Putih tampaknya terlibat atau menjadi bagian dari mafia tambang, termasuk dalam aspek perizinan, ekspor, pajak dan lain-lain. Salah satu perusahaan tambang yang bekerjasama dengan Satgasus adalah Multi Harapan Utama (MHU) yang terlibat ekspor batubara ilegal yang merugikan negara sekitar Rp 9,3 triliun. Diduga sejumlah perusahaan lain terlibat mafia tambang yang berkolaborasi dengan Satgasus. Karena itu  rakyat menuntut agar penyelenggara negara, terutama Presiden dan DPR, segera menuntaskan kasus mafia tambang yang melibatkan Satgasus Merah Putih.[]

Pecat Nico Afinta dan Iwan Bule

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  TRAGEDI Kanjuruhan Malang harus menjadi pelajaran. Sanksi mesti diberikan kepada para penanggungjawab kerusuhan yang mengakibatkan ratusan nyawa melayang. 33 di antaranya anak-anak. Cara mengamankan yang membahayakan dan melanggar aturan FIFA.  Penanggungjawab utama untuk keamanan pertandingan kesebelasan dua Kota/Kabupaten di Jawa Timur Persebaya Surabaya dan Arema FC Malang adalah Kapolda Jawa Timur. Berita simpang siur menyatakan Kapolda Jatim ini ikut menonton. Benar hadir atau tidak di arena, namun seluruh perilaku anak buah di lapangan tetap menjadi tanggungjawab atasan. Irjen pol Nico Afinta ini malah pernah menyatakan penggunaan gas air mata di stadion dibenarkan, padahal hal itu jelas melanggar aturan FIFA.  Semestinya ia mundur sebagai wujud dari atasan yang bertanggungjawab. Akan tetapi nampaknya mundur karena malu atau bersalah belum menjadi budaya dari para pejabat negara di Indonesia. Termasuk aparat penegak hukum. Maju terus pantang mundur dianggap prinsip yang hebat. Karenanya tidak ada jalan lain baginya selain dimundurkan. Berhentikan Nico Afinta.  Begitu juga dengan Ketum PSSI Komjen Pol (Purn) Mochamad Iriawan atau yang lebih dikenal dengan Iwan Bule. Wujud tanggung jawab yang menurutnya dalam bentuk datang ke lokasi bukanlah tindakan sepadan. Apalagi dalam sambutannya ia mengawali dengan kalimat \"hadirin yang berbahagia\". Di tengah duka. Penyelenggaraan dan pengamanan yang buruk tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab PSSI. Nampaknya sebentar lagi PSSI pun akan mendapatkan sanksi hukum dari FIFA.  Duo penanggung jawab yang harus mundur atau dimundurkan adalah Nico dan Iwan Bule. Jika pada bangsa sendiri bersikap maju terus pantang mundur mungkin dapat dimaklum karena rakyat sudah biasa diperlakukan \"masa bodoh\" oleh para penguasa, akan tetapi pada dunia, kita harus tunjukan martabat dan karakter bangsa yang tahu malu dan tahu salah.  Nico dan Iwan Bule adalah simbol dari pertanggunghawaban tragedi atau pembunuhan 200 an warga sipil di stadion Kanjuruhan. Percuma membuat tim gabungan, yang nyatanya bukan \"tim independen\", itu jika tidak dibuktikan kerjanya dengan sikap awal untuk memundurkan Irjen Pol Nico Afinta dan Komjen Pol (Purn) Mochammad Iriawan.  Pecat Nico Afinta dan Iwan Bule. Ini adalah alif ba ta penanganan dan pengusutan.  Bandung, 6 Oktober 2022

Deklarasikan Anies, Nasdem Berpeluang Jadi Partai Besar

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa SENIN tanggal 3 oktober 2022, Nasdem resmi deklarasikan Anies. Lebih maju dari rencana awal. Semula, Nasdem bersama partai koalisi yaitu PKS dan Demokrat akan deklarasi tanggal 10 November 2022. Tepat di Hari Pahlawan.  Mengapa Nasdem, tentu atas kordinasi dan dukungan dari partai koalisi yaitu PKS dan Demokrat, memajukan jadual deklarasi Anies? Publik berasumsi ini adu cepat dengan oknum KPK yang berupaya jegal Anies. Andi Arief, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Koran Tempo membongkar upaya penjegalan itu. Partai koalisi sepakat deklarasi Anies dimajukan dan Nasdem duluan yang mengumumkan. Di hari yang sama, pidato presiden PKS mengapresiasi langkah Nasdem dengan memuji Anies sebagai calon pemimpin yang berintegritas dan punya kapabilitas. Pidato presiden PKS tak ubahnya deklarasi dalam cara dan bentuk yang lain. Di tanggal yang sama pula Demokrat juga mendukung langkah Nasdem dan mengakui bahwa deklarasi Nasdem telah dikordinasikan dengan Partai Demokrat. Ini artinya tiga partai koalisi telah sepakat untuk memulai langkah politik bersama dengan deklarasi awal oleh Partai Nasdem. Dengan deklarasi ini, relawan dan para pendukung Anies memuji langkah Nasdem. Sejumlah simpul mengirim karangan bunga, ucapan terima kasih ke Nasdem.  Para relawan dan pendukung semakin yakin ada jalan lapang bagi Anies untuk memimpin masa depan Indonesia. Genderang perjuangan telah ditabuh oleh Nasdem. Tentu atas dorongan dan dukungan PKS dan Demokrat.  Di mata para relawan dan pendukung Anies, Nasdem dapat poin besar. Simpati para pendukung Anies saat ini tertuju pada Nasdem. Nasdem dianggap pembuka jalan yang memiliki andil dan peran besar sebagai partai paling pertama yang menyiapkan kendaraan buat Anies nyapres. Dengan deklarqsi ini, mesin politik Nasdem mulai beegerak. Seluruh kader di daerah tancap gas. Mereka membuat langkah dan bergerak. Mengambil bagian dalam kerja politik untuk memenangkan Anies. Pada titik ini, mereka bertemu dengan spirit para relawan Anies. Terjadilah kolaborasi. Dan ini sangat menguntungkan bagi para kader Nasdem. Tentu juga akan menambah efektifitas kerja-kerja politik para relawan Anies.   Jika kolaborasi Partai Nasdem dengan para relawan Anies masif di lapangan, maka ini akan punya efek elektoral yamg dahsyat buat Partai Nasdem. Tersedia Sumber Daya Manusia (SDM) berlimpah yang bisa dikapitalisasi oleh para caleg DPR maupun DPRD dari Nasdem untuk menambah kursi. Mendeklarasikan Anies tidak saja diharapkan akan menghentikan manuver para oknum di KPK, tapi juga merupakan langkah cerdas dan taktis untuk menaikkan elektoral Nasdem. Kabarnya, sejak Nasdem mengumumkan nama Anies sebagai bakal capresnya, sejumlah kader dari partai-partai lain ada yang hijrah ke Nasdem. Efek elektoral Anies ke Nasdem berhasil menggoda sejumlah kader pindah partai. Kabar ini menjadi perbincangan santer di kalangan anggota legislatif. Langkah politik Nasdem dengan mendeklarasikan Anies telah membuka peluang bagi partai yang dipimpin Surya Paloh ini untuk menjadi partai papan atas. Dipresdiksi, pemilu 2024, Nasdem akan mendapat perolehan suara dua digit.  Efek elektoral ini pada akhirnya akan menjadi magnet dan godaan bagi partai-partai lain, termasuk anggota KIB yaitu PAN, PPP dan Golkar. Apalagi, KIB belum punya capres yang jelas. Ada kemungkinan KIB bubar, lalu sebagian atau seluruh anggotanya merapat ke Anies. Begitulah politik. Selalu dinamis. Kabarnya, langkah Nasdem akan segera diikuti oleh PKS dan Demokrat untuk deklarasi tanggal 10 Nopember 2022. Satu bulan kedepan. Jakarta, 5 Oktober 2022

Baku Cepat, Baku Cegat

Publik melihat kualitas kepemimpinannya di DKI Jakarta. Begitu juga hasil kerjanya. Dan bukankah para calon lawannya juga mengakui kualitas dan kapabilitasnya itu? Kalau tidak mengakui, kenapa mereka harus takut? Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior BAKU Cepat, Baku Cegat. Apakah itu yang terjadi dalam deklarasi Anies Baswedan sebagai Bakal Calon (Balon) Presiden pada Pilpres 2024 oleh Partai Nasdem? Seperti diduga banyak kalangan? Yakni, ketika Ketum Nasdem Surya Paloh memutuskan untuk adu cepat agar segera mendeklarasikan Balon Presidennya, Senin (03/10/2022) lalu. Setelah berkembangnya isu bahwa Ketua KPK Firli Bahuri sangat ngotot agar Anies segera dijadikan tersangka dugaan korupsi perhelatan balap mobil Formule E. Hal itu sebagai salah satu upaya Ketua KPK mencegat pencapresan Anies. Sebelum ada yang mencapreskan Gubernur DKI Jakarta itu. Bagaimanapun, pendeklarasian Anies Baswedan oleh Surya Paloh dan dugaan pemaksaan kehendak untuk mentersangkakan Anies oleh Firli Bahuri tak pelak menjadi isu terpanas minggu ini. Publik tentu saja segera merespon. Komentar pro dan kontra di berbagai platform media sosial karenanya juga tak henti bermunculan. Ada yang beranggapan Surya Paloh terlalu kesusu. Karena terlalu cepat mengumumkan Balon Presidennya. Memajukan tanggalnya dari tanggal 16 November yang direncanakan sebelumnya. Tapi di balik itu, ada pula yang berpandangan bahwa langkah Surya Paloh ini sangat brilian. Sebagai “king maker”, dia begitu piawai mengambil keputusan. Menjatuhkan pilihan terhadap seseorang yang menurutnya memiliki potensi paling besar untuk meraih kemenangan dalam pilpres 2024 mendatang. Dan bila itu terjadi, Nasdem tentu akan memperoleh coattail effect-nya. Yaitu meningkat tajamnya perolehan suara Nasdem, sebagai akibat dari popularitas dan elektabilitas Anies. Selain itu, bukankah ada pula yang menganggap langkah Surya Paloh ini sebagai langkah yang kontroversial dan sangat berani? Berseberangan langsung dengan keinginan penguasa. Mbalelo dari kesatuan koalisi pemerintahan yang partainya ada di dalamnya. Dan yang paling disorot, karena langkah ini bertolak belakang juga dengan keinginan Presiden Joko Widodo, khususnya, yang mengharapkan agar pilpres 2024 mendatang hanya diikuti dua pasang calon. Dan di mata publik, dua pasang calon dimaksud adalah para calon di luar Anies. Sementara, beberapa hari lalu, publik bahkan dikejutkan oleh pernyataan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Andi Arief. Dalam rekaman video berdurasi 1.52 menit – sebagaimana dikutip beberapa media Ahad (25/9) – dia membongkar strategi untuk memenangkan Ketua DPR RI Puan Maharani. Balon Presiden andalan yang digadang-gadang oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Andi mengatakan, satu-satunya cara Puan menang Pilpres 2024 adalah dengan menjegal lawan politik dan calon presiden lainnya dengan cara kriminalisasi. “Kalau PDIP menawarkan Puan Maharani, hanya satu yang bisa membuat Puan Maharani menang, semua ditangkapin aja,” katanya. Lalu, apakah dengan begitu Anies sebagai salah satu balon paling potensial akan ditangkap menggunakan KPK? Apakah tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketentuan hukum yang berlaku mentersangkakan, kemudian memenjarakan seseorang, dengan bukti-bukti yang tidak cukup? Apakah pemerintah dan partai penguasa begitu khawatir terhadap potensi seorang Anies Baswedan? Apakah dengan begitu tidak akan berpikir ulang menggunakan lembaga anti rasuah itu sebagai strategi licik untuk meraih kemenangan? Calon Nihil Kualitas Terlepas dari kasak-kusuk sejumlah pihak dalam menyongsong pilpres dan pemilu legislatif 2024 mendatang, berbagai pertanyaan tentu berkelebat di benak masyarakat Indonesia sekarang. Tapi pertanyaan paling penting bagi bangsa ini adalah bagaimana menerapkan sistem demokrasi yang benar. Setelah banyak kalangan yang tidak puas dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Buktinya, ada sebagian masyarakat yang menyebut rezim yang dihasilkan dari pemilu 2019 ini, misalnya, sebagai “rezim kardus digembok”. Seperti sering ditemukan dalam komentar-komentar warganet di berbagai platform media sosial. Terkait kotak suara yang digunakan. Yaitu yang terbuat dari kardus yang digembok. Lucu dan aneh. Tapi juga nyata. Di kalangan anak bangsa yang dapat berpikir jernih, dirasakan semakin tumbuhnya kesadaran tentang betapa pentingnya penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Baik pada 2024 maupun pemilu-pemilu selanjutnya. Yaitu bila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, dan semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semua mendapat perlakuan yang sama. Bebas dari kecurangan atau perlakuan yang tidak adil dari pihak mana pun. Bila semua itu terpenuhi, maka bolehlah kita berharap bahwa bangsa ini akan mampu menghadirkan dan menyelenggarakan sistem pemerintahan yang demokratis. Dari situ pun kita boleh berharap bisa menghasilkan para pemimpin yang kualified. Memiliki kapasitas terbaik, punya kapabilitas dalam mengatasi masalah dan merupakan sosok pemimpin yang integritasnya tidak diragukan lagi. Yang akan berjuang memajukan kesejahteraan bersama. Sehingga seluruh rakyat sejahtera. Sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Sejauh ini, amat sangat disayangkan bahwa kita terperangkap dalam sistem yang buruk. Calon pemimpin yang muncul ke permukaan tidak lepas dari kenyataan L4. Yaitu “Lu Lagi Lu Lagi”. Itu semua disebabkan adanya keterbatasan jumlah calon, sebagai akibat dari kebijakan mempertahankan Presidential Threshold 20 persen. Yang semakin memperdalam cengkeraman partai-partai besar dan koalisinya. Sementara mereka minus calon pemimpin yang berkualitas. Dengan demikian, sekarang semakin terang benderang  bahwa pemunculan nama-nama bakal calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024 mendatang begitu nihil kualitas. Karena masing-masing calon yang dimunculkan tidak diukur elektabilitas, kapasitas dan integritasnya dari segi konsep yang hendak mereka usung. Sebaliknya, pengusungan mereka hanyalah dari kuatnya dukungan partai maupun dukungan oligarkhi politik dan ekonomi. Sebab itu, pemilu 2024 dan pemilu-pemilu berikutnya akan sulit disebut sebagai pemilu yang jurdil. Bila keadaan ini tidak berubah. Pertarungan yang akan terjadi hanyalah soal-soal kuat-kuatan semata. Artinya, yang kuat akan mengalahkan yang lemah. Yang besar akan menundukkan yang kecil. Melaksanakan apa yang disebut “hukum rimba”. Karena itulah, ketika Anies tampil sebagai salah satu calon alternatif, banyak yang panik. Terutama mereka yang akan ikut bertarung dalam perebutan jabatan presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024 nanti. Sehingga ada yang mencoba menjegal langkahnya, agar jangan sampai dicalonkan. Pertanyaanya, kenapa? Tentu saja, karena selama 5 tahun memimpin DKI Jakarta, Anies sudah memperlihatkan kualitasnya. Diakui atau tidak, Anies sudah menunjukkan prestasinya. Prestasi yang tidak dimiliki para calon lawan. Masyarakat di seantero Nusantara – tak hanya masyarakat Jakarta – melihat dengan mata telanjang kenyataan-kenyataan itu. Sehingga mereka mengelu-elukannya sebagai calon pemimpin masa depan. Bahwa segala macam survei dan poling pendapat selama ini yang tidak menempatkan elektabilitas Anies pada peringkat satu ternyata dipandang publik sebagai kepalsuan dan kebohongan. Upaya sejumlah pihak yang selama ini sengaja mengerdilkan namanya, ternyata berbuah sebaliknya. Publik melihat kualitas kepemimpinannya di DKI Jakarta. Begitu juga hasil kerjanya. Dan bukankah para calon lawannya juga mengakui kualitas dan kapabilitasnya itu? Kalau tidak mengakui, kenapa mereka harus takut? Yang tidak kalah menarik, ternyata lembaga think tank seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS), termasuk Indonesia Lawyers Club (ILC), dalam surveinya belum lama ini, menempatkan elektabilitas Anies di urutan pertama. Jika pemilu diselenggarakan sekarang. Rakyat sudah sangat merindukan tampilnya pemimpin yang mumpuni. Memiliki kualitas, kapabilitas dan integritas. Yang mampu keluar sebagai pemenang dalam pertarungan adu konsep. Bukan kuat-kuatan dukungan partai atau pun oligarkhi. Jangan sampai terjebak lagi seperti beli kucing dalam karung. (*)

Untung Ada Firli Bahuri Yang Mau Jegal Anies Baswedan

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN  SEMUA ada hikmahnya. Ada ibrahnya. Selalu ada sisi positif di samping kentalnya tujuan negatif suatu tindakan atau kerjadian. Termasuklah upaya Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan menjadi calon presiden –yang hampir pasti akan menjadi presiden— di pilpres 2024. Ini pun ada hikmahnya. Nah, apa kira-kira hikmah di balik upaya Firli itu? Banyak hikmahnya. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sini. Hikmah yang pertama ialah bahwa deklarasi pencapresn Anies menjadi lebih awal setelah Firli, menurut laporan Koran Tempo, punya misi politik untuk menjadikan Anies sebagai tersangka korupsi Formula E. Langkah Partai NasDem mempercepat deklarasi membuat posisi Anies lebih pasti. Puluhan juta relawan pendukung pun menjadi lega. Itu yang pertama. Hikmah yang kedua, rakyat menjadi paham sempurna tentang Firli Bahuri dan tentang mengapa dia, dulu, didukung oleh Jenderal Pol Tito Karnavian menjadi Ketua KPK. Pemilihan Firli sebagai ketua KPK berlangsung pada 13/9/2019, tanpa pemungutan suara di Komisi III DPR. Waktu itu, Kapolri dijabat oleh Tito. Namun, suara bulat Komisi III memilih Firli diwarnai oleh dugaan “operasi senyap”. Hikmah yang ketiga, kita pun menjadi paham tentang konstelasi politik elit Polri di tubuh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tito sebagai Mendagri dan Firli sebagai KPK, bukanlah penempatan yang berlangsung random. Bukan suatu kebetulan. Tito mengendalikan kementerian yang sangat strategis. Lebih strategis lagi karena pileg dan pilpres 2024 akan menjadi penentu Indonesia terus berada di bawah kedaulatan Oligarki bisnis yang berkomplot dengan Oligarki politik, atau Indonesia akan kembali berada di bawah kedaulatan rakyat. Di pilpers 2019, Kapolri Tito Karnavian dan jajaran Polri sampai ke tingkat polsek dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan petahana. Polisi diperalat untuk memenangkan Jokowi. Polisi di bawah kendali Tito waktu itu berubah menjadi timses Jokowi. Bahkan lebih dari sekadar timses. Polisi juga menyalahgunakan kekuasaannya untuk tujuan ini. Analisis ini terasa melebar. Sesungguhnya tidak. Semata-mata untuk meletakkan upaya penjegalan Anies oleh Firli dalam konteks keterlibatan Polri di panggung politik praktis. Dalam arti, upaya Firli untuk menjegal Anies bukan manuver yang berdiri sendiri, konon pula mau disebut langkah hukum murni. Jelas omong kosong kalau mau disebut langkah penegakan hukum semata. Firli sendiri pun, sesuai laporan Tempo, mengakui bahwa menjadikan Anies sebagai tersangka sesudah dia dideklarasikan sebagai capres akan menimbulkan gejolak politik. Itu sebabnya dia mendesak tim penyelidik Formula E di KPK agar meningkatkan status kasusnya menjadi penyidikan. Dan Anies dijadikan tersangka mumpung belum dideklarasikan.  Firli masih tetap bisa menjadikan Anies tersangka dan kemudian menahan Gubernur DKI yang sekarang paling kuat dalam berbagai survey atau jajak pendapat itu. Cuma, risikonya sangat tinggi. Anies sudah terlanjur memiliki basis kekuatan massa pendukung yang terbentuk tanpa inisiatif dia sendiri. Jadi, begitulah kekuatan alam bekerja. Firli diutus menjadi Ketua KPK agar Anies segera dideklarasikan sebagai capres. Sekaligus, Firli juga diutus untuk menambah beban berat Polri yang bertahun-tahun ini tertanam di memori banyak orang sebagai institusi yang melakukan kesewenangan terhadap rakyat. Hari ini, semuanya terbuka secara otomatis. Kesewenangan (mantan Irjen Pol) Ferdy Sambo dan jaringan mafianya di Polri bertemu dan menyatu dengan upaya Komjen Pol Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan. Secara kebetulan, kedua polisi senior ini termasuk binaan Jenderal Pol Tito Karnavian sewaktu dia menjadi Kapolri hingga 2019. Itulah hikmah dari upaya politik Firli untuk menghalangi Anies. Terkuaklah benang merah, atau lebih tepatnya “bold line” (garis tebal), yang menghubungkan Firli-Tito-Ferdy. Jadi, untunglah ada Firli yang mau menjegal Anies. Semuanya menjadi terang-benderang.[]

Pelangi Indonesia

Clifford Geertz melukiskan etos klasik Islam kepulauan ini bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim SAUDARAKU, dalam agama cinta (rahmat bagi semesta), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta itu memeluk semuanya. Warga bangsa boleh berbeda keyakinan, tapi cinta menyatukannya. Kekuatan mencintai dengan melampuai perbedaan inilah yang kemudian melahirkan pelangi Indonesia indah. Harmoni dalam kemajemukan adalah cetakan dasar bangsa ini. Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi globalisasi keragaman. Bahkan, bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi tribalisme anti-asing, anti-perbedaan. Beruntung, Indonesia banyak makan asam garam. Bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, sudah terbiasa menerima perbedaan. Jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan penyebut bersama dalam keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi dirumuskan, perwakilan berbagai golongan terwakili, menghadirkan negara semua buat semua. Dalam napak tilas refleksi diri bisa kita kenali hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk negeri ini. Sejak zaman Majapahit, doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman agama telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma, “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Islam Indonesia sendiri, yang dianut sebagian besar penduduk, meski – seperti agama lainnya – tak luput dari sejarah kekerasan, dalam sapuan besarnya didominasi warna kedamaian dan toleransi kuat. Walau doktrin dan mazhab radikal memang selalu ada, tapi pengaruhnya relatif terbatas dan dilunakkan oleh ragam ekspresi komunitas Islam dan kehadiran ragam agama. Clifford Geertz melukiskan etos klasik Islam kepulauan ini bersifat menyerap, adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Dengan demikian terbuka lebar kemungkinan untuk melampaui perbedaan religio-kultural, memperlunak perbedaan itu dan menjadikannya pada batas toleransi yang memberi prakondisi kesiapan bekerjasama lintas-kultural. Modal sosial terpenting bangsa ini terlalu berharga untuk dikorbankan demi ambisi elit politik. Mari kita jaga dengan memperluas jaring interaksi dan kesetaraan dengan semangat bersatu dan berbagi. (*)

Fenomena Anies Baswedan & Neo-Dreyfusian di Indonesia

Oleh Darlis Aziz - Ketua KNPI Turki, dan Wakil Presiden Asian Youth Association/AYA) KOSA kata “Dreyfusiana” pertama sekali digunakan sebagai nama untuk sebuah rubrik dalam koran Pemberita Betawi di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia atau tepatnya pada tahun 1901-1903 (Y. Latif, 2003). Rubrik yang diasuh oleh tokoh pers Indonesia Tirto Adhi Surjo ini terinspirasi dari kasus seorang kapten beragama Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukan spionase dan berkhianat terhadap negaranya. Dari tuduhan itu, jabatannya dicopot, dan Alfred Dreyfus pun mendapat hukuman penjara seumur hidup dari hasil keputusan sidang Pengadilan Militer di Prancis, kemudian dia dibuang ke Guyana.  Kasus Dreyfus menyita perhatian publik Prancis. Dalam suasana kebencian, publik Prancis meneriaki bahwa Alfred Dreyfus sebagai pengkhianat. Kasus Dreyfus itu menjadi pemantik munculnya kembali rasialisme terhadap Yahudi laksana api dalam sekam, sejarah Eropa pun, khususnya Eropa Barat memuncaklah pelenyapan atas kaum Yahudi, terlebih-lebih oleh Hitler yang memusnahkan jutaan kaum Yahudi di Jerman dan luar Jerman. Tak lama kemudian, ternyata, apa yang disebutkan sebagai pengkhianatan itu adalah tidak benar, semuanya palsu belaka, rekayasa dan merupakan hasil penipuan. Akan tetapi, Dreyfus sudah terlanjur diputuskan bersalah sehingga propaganda anti-Yahudi muncul begitu kuat di Prancis. Poster-poster Dreyfus bertebaran dan tertempel di dinding-dinding kota,  dituduh pengkhianat Prancis dengan sebutan “Yudas Yahudi”. Namun, di publik Prancis itu sendiri , ternyata tidak semua orang membenci dan menuduh Dreyfus sebagai pengkhianat. Ada kelompok atau perseorangan yang membongkar bahwa tuduhan yang dialamatkan pada Dreyfus itu palsu. Sebagai protes atas keputusan Mahkamah Pengadilan Militer Prancis yang sewenang-wenang, muncullah seorang novelis terkenal yang membela Dreyfus, dia bernama Emile Zola. Dalam protesnya, Emila Zola menuliskan sebuah surat terbuka yang berjudul “J’accuse” (aku mendakwa), surat itu tertulis di halaman depat surat kabar bernama L’Aurore yang diterbitkan di Paris. Zola menuduh para anggota dinas militer ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti-bukti, memanipulasi dan menutup-nutupi fakta kasus tersebut. Dari protesnya itu, Emile Zola ditahan dan diadili dengan tuduhan memfitnah dan mencemarkan nama baik ketentaraan (militer) Prancis. Peristiwa Dreyfus itu begitu mengguncang Prancis, sehingga pemerintah yang bertanggungjawab waktu itu jatuh pada pemilihan umum 1899 dan diganti atau dimenangkan oleh pemerintahan yang progresif kemudian membebaskan Alfred Dreyfus dari penjara seumur hidup. Surat terbuka Emile Zola tadi menghasilkan kenangan dan kemudian dikenal sebagai Manifeste des intellectuels (Manifesto Para Intelektual). Surat itu juga membuat perpecahan di kalangan Pengarang Prancis menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu Dreyfusard/dreyfussian (yang membela Alfred Dreyfus) dan kubu kedua adalah Anti-Dreyfusard (yang anti terhadap Alfred Dreyfus). Dari polarisasi di atas, muncullah istilah intelektual. Pada awalnya, istilah itu merupakan cemoohan yang mengandung konotasi negatif. Kubu Anti-Dreyfusard, memakai istilah intelektual untuk menunjukkan kepada para penulis dan selebritis yang berorientasi pasar yang memiliki keterkaitan dengan kubu Dreyfusard. Namun, efek tuduhan-tuduhan yang tidak benar itu dari kubu anti-Dreyfus, kaum Dreyfusard semakin memperteguh kelompoknya. Bahkan, akibat sikap antipati dari kaum anti Dreyfusard, memberikan kesadaran kepada mereka (Dreyfusard) sebuha nama dan kesadaran akan identitas mereka yang baru. Sejak saat itu, kata intelektual bukan hanya isitlah yang populer, melainkan mengandung makna baik, juga suatu model baru bentuk keterlibatan dalam kehidupan publik dan juga peran baru untuk diaktualisasikan (Eyermean, 1994: 24-53). Melihat peristiwa tersebut dari kacamata fenomena Anies Rasyid Baswedan (ARB) hari ini seakan mendapatkan kesamaan dimana residu dari polarisasi tajam dari pemilu 2019 lalu masih terasa dan seakan menemukan titik kulminasinya; meskipun mau tidak mau satu pihak yang diklaim merupakan representasi ‘kelompok kanan’ belum tentu ‘benar-benar kanan’, demikian juga yang mengklaim juga belum tentu mau diklaim sebagai ‘kelompok kiri’, yang sudah pasti adalah semuanya ingin menjadi kelompok yang dianggap paling tengah (pancasialis). Isu Politik Identitas Residu peristiwa 212 dan Pilpres 2019 telah menciptakan identitas politik baru yang berbeda dari sebelumnya kosa kata “politik identitas” menjadi populer dan sering diulang-ulang dalam wacana politik sehari-hari dalam ruang publik di tanah air. Kata ‘kadrun’ dan ‘kampret’ misalnya menjadi representasi utama untuk pendukung 2 capres yang bertarung pada 2019 lalu. Politik identitas, Menurut Judy Rebick, seorang aktivis politik feminis terkemuka Kanada, politik identitas adalah politik dari kelompok-kelompok yang termarginalisasikan dalam pencariannya untuk menemukan bahasa agar bisa mengartikulasikan ketidakpuasan sosial mereka. “Politik identitas lahir ketika identitas menjadi basis bagi pemikiran politik, bahkan kadang kala menjadi basis bagi politik itu sendiri” (Rebick, 1996: 31).  Sasaran utama dari politik identitas pada awalnya adalah positif dalam rangka merespons hak dan representasi politik terutama kaum minoritas dan terpinggirkan. Namun semakin ke sini pengejewantahannya justru semakin tidak substantif bahkan cenderung kepada arena pertunjukan simbolik dan gagah-gagahan semata. Bahkan yang lebih parah adalah pihak mayoritas yang seharusnya berada pada posisi yang ‘menang’ justru menjadi bulan-bulanan dan berada di pihak yang ‘dipaksa harus kalah’ atau secara gamblang sebagai mayoritas yang bermental minoritas. Politisasi atas simbol-simbol Islam tampaknya merupakan residu yang bersifat menular dari apa yang pernah disebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom ‘mayoritas dengan mentalitas minoritas’, yang lahir karena posisi ironis Islam di negeri ini: Mayoritas besar orang Indonesia menganut agama Islam. Dari sudut pandang kuantitatif, Indonesia bahkan bisa dianggap sebagai ‘negara Islam’ terbesar di dunia. Namun, sikap-sikap mental dari ummat Islam di negeri tersebut menunjukkan sikap-sikap mental yang khas dari sebuah kelompok minoritas. Hal ini terutama disebabkan oleh fakta bahwa dalam medan politik, sepanjang sejarah abad-abad yang lalu, para wakil ummat Islam secara konsisten lebih diposisikan sebagai orang luar (Wertheim 1980: 1) Kalau kita kembali ke kasus Dreyfus di atas, ada satu poin yang sama yang bisa kita tarik sebagai kesamaan antara kasus Dreyfusard (pendukung Dreyfus) dan Anisers (untuk pendukung Anies Baswedan), para penyokong Dreyfus yang yakin Dreyfus tidak bersalah dikarenakan tidak adanya alat bukti yang meyakinkan bahwa Kapten Dreyfus bersalah namun ia tetap dihukum penjara seumur hidup. Namun efek massa yang lahir dari pembelahan antara ‘Dreyfussard’ dan ‘anti-Dreyfussard’ itu telah melahirkan sebuah kosa kata baru yaitu “intelektual” dan “non-intelektual”. Pelabelan dengan kosakata “intelektual” kepada para pendukung dreyfus ini pada awalnya adalah berkonotasi negatif, namun seiring jalan para ‘intelektualis’ pendukung Dreyfus ini semakin meng-gelombang dan menciptakan dentuman Tsunami politik di Prancis di awal abad-19 itu. Prancis dimenangkan oleh oposisi progressif yang didukung oleh para pengikut ‘intektualis’nya Dreyfus dan berhasil menggulingkan kekuasaan yang ‘zalim’ pada waktu itu karena ke semena-menaan melakukan kriminalisasi terhadap sang Dreyfus yang berpangkat Kapten itu.  Fenomena ARB akhir-akhir ini memiliki kesamaan (untuk tidak mengatakan mirip) dengan kondisi itu. Berbagai peristiwa mulai dari 212, Pilpres 2019, dan peristiwa kriminalisasi juga diikuti oleh kesemenaan penegakan hukum di tanah air akhir-akhir ini telah menciptakan satu gelombang frekuensi yang sama di kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan pasca Jokowi. Dan frekuensi itu bertemu dalam sosok ARB. ARB telah menjadi representasi baru masyarakat sipil untuk memperjuangkan perubahan. Upaya berbagai pihak untuk menjegal Anies (termasuk KPK) misalnya telah membangunkan raksasa tidur akal sehat ala “dreyfussard” setidaknya bisa kita lihat dari ‘Turun Gunung’-nya SBY, Obrolan rakyat maya (media sosial) dan juga terakhir Deklarasi Nasdem yang mempercepat pengumuman Capres 2024, kemarin. Nah, tinggal kita saksikan apakah fenomena Anies ini berhasil mengulangi kesuksesan Dreyfus atau tidak? (*)

Wah, Beneran: Jokowi dan Polisi Dikulitin, Nih!

Kepolisian menjadi semakin penting bagi Jokowi. Ketika Polri terjun lebih dalam ke politik untuk mengamankan pemerintah, ia juga menuai lebih banyak manfaat. Oleh: Made Supriatma, Peneliti Tamu di Institut ISEAS–Yusof Ishak, Singapura PADA Juli 2016, Presiden Joko Widodo mengangkat Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri. Dengan menunjuk Tito Karnavian yang relatif muda, Jokowi mewariskan beberapa generasi pejabat senior kepolisian yang sudah memiliki hubungan baik dengan elit politik Jakarta. Karnavian terbukti menjadi sekutu presiden yang andal, mengawasi kasus-kasus penting terhadap kritikus pemerintah seperti Robertus Robet, seorang aktivis hak asasi manusia yang menyanyikan lagu yang mencerca militer dalam sebuah demonstrasi, dan Dandhy Laksono, seorang pembuat film dokumenter pembangkang. Bantuan polisi terlihat dalam kasus Muhammad Rizieq Shihab, seorang ulama dan kritikus vokal Jokowi. Rizieq adalah orang di balik demonstrasi 2016 yang bertujuan menggulingkan mantan Gubernur Jakarta Basuki \'Ahok\' Tjahaja Purnama dengan alasan bahwa ia telah menista agama Islam. Habib Rizieq akhirnya didakwa berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang membawanya ke pengasingan diri di Arab Saudi. Penggunaan UU yang meragukan ini secara ekstensif telah memicu klaim bahwa pemerintahan Jokowi telah beralih ke otoritarianisme. Dukungan polisi juga terlihat selama pencalonan kembali Jokowi pada 2019. Meskipun polisi tidak secara terbuka berkampanye untuk Jokowi, dukungan mereka adalah bagian dari keberhasilan pemilihannya di daerah. Politisi di Sumatera Selatan secara terbuka mengakui kepada saya bahwa polisi membantu menstabilkan harga karet yang jatuh, dengan beberapa pengusaha di Lampung mengingat bahwa mereka diminta oleh petugas polisi untuk mendanai kelompok sukarelawan pro-Jokowi. Jokowi telah memberikan konsesi politik kepada polisi dalam masa jabatan keduanya, seringkali mengesampingkan tentara dalam prosesnya. Elit polisi diangkat ke beberapa posisi penting dan strategis yang sebelumnya dipegang oleh jenderal militer dan biasanya dianggap sebagai domain tentara. LSM HAM Kontras mencatat, sebanyak 30 pensiunan atau jenderal polisi aktif memegang posisi strategis di pemerintahan Jokowi, termasuk di kementerian, lembaga pemerintah, dan duta besar. Ombudsman Indonesia juga melaporkan bahwa 25 petugas polisi duduk di dewan perusahaan milik negara dan anak perusahaannya. Pensiunan atau perwira polisi yang menjabat kini memimpin Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Urusan Logistik (BULOG), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Yang paling kontroversial, mantan Komisaris Jenderal polisi Firli Bahuri adalah ketua KPK saat ini, yang telah lama menjadi duri di pihak kepolisian, mendakwa beberapa jenderal polisi. Kepolisian juga diuntungkan dengan peningkatan anggaran dan penambahan personel. Belanja negara untuk kepolisian mencapai Rp 107 triliun (US$ 7 miliar) pada 2020, naik dari Rp 94,3 triliun (US$ 6,3 miliar) pada tahun sebelumnya. Pada 2020, jumlah personel polisi meningkat 27.012 atau naik 5,7 persen dari 2018. Peningkatannya signifikan: dari 2016-2018 polisi hanya menambah 1.898 personel. Saat ini, polisi sekarang kira-kira berukuran sama dengan tentara. Kepolisian menjadi semakin penting bagi Jokowi. Ketika Polri terjun lebih dalam ke politik untuk mengamankan pemerintah, ia juga menuai lebih banyak manfaat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa polisi semakin berperan ganda, baik sebagai aparat keamanan maupun sebagai instrumen politik. (*)

Setelah Anies Capres Partai NASDEM

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SEDIKIT kejutan dari Partai Nasdem dengan mempercepat pengumuman Capres yang diusung oleh partainya. Dari tiga nama yang dinominasikan yaitu Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo, akhirnya ditetapkan Anies Baswedan Gubernur DKI sebagai Capres yang didukungnya. \"Why not the best\" kata Surya Paloh memberi alasan.  Banyak warga masyarakat yang menyambut gembira pengumuman tersebut. Tidak bisa disangkal pengelompokan pendukung Anies Baswedan cukup banyak, jika tidak disebut terbanyak, dibandingkan relawan Puan, Ganjar atau Prabowo. Apalagi Erik Thohir dan Cak Imin. Memang Anies secara obyektif dibanding calon di atas nampaknya lebih mumpuni baik dari kapasitas kecendekiawanan, relijiusitas, pengalaman birokrasi, maupun catatan prestasi kerja sebagai Kepala Daerah.  Menurut Surya Paloh pengumuman lebih cepat ini tidak berkaitan dengan pemberitaan soal kejar-kejaran antara pencapresan Anies dengan agenda penyingkiran Anies lewat kerja KPK. Koran Tempo memberitakan nafsu Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri untuk segera mentersangkakan Anies Baswedan dalam kasus Formula E. Satgas Penyelidikan KPK sendiri tidak menemukan bukti yang cukup.  Skenario pasca pencapresan Anies Baswedan oleh Partai Nasdem, antara lain : Pertama, Partai politik yang sudah diketahui masyarakat mendukung Anies Baswedan, yaitu PKS dan Partai Demokrat segera menyusul untuk mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden. Koalisi tiga Partai sudah cukup memenuhi syarat bagi Anies Baswedan untuk menjadi Calon Presiden pada Pemilu 2024. Kedua, \"King Maker\" Jusuf Kalla tentu juga akan berupaya mengkonsolidasikan dukungan KIB untuk Anies Baswedan. Dan jika berhasil, maka Anies akan mendapat dukungan Partai dengan koalisi besar. Di samping Partai Nasdem, PKS, Partai Demokrat, juga Partai Golkar, PAN dan PPP. Dengan gemuruh rakyat yang ingin perubahan, kemenangan Anies menjadi di depan mata.  Ketiga, bahaya Anies bagi oligarki akan menyebabkan skenario nekad Istana yaitu dengan memaksakan KPK untuk menetapkan status tersangka. Meski berisiko menguatnya api \"people power\" namun otoritas berharap disain curang menghadapi Pemilu 2024 dapat dijalankan. Dua pasang Capres/Cawapres sebagai kepanjangan tangan oligarki dirancang untuk bertarung.  Keempat, keputus-asaan Istana dalam menghadapi tidak terbendungnya arus dukungan kepada Anies Baswedan menyebabkan Jokowi melakukan politik bumi hangus. Ini ia lakukan dengan pengkondisian chaostik yang tidak memungkinkan Pemilu dilakukan 2024. Lalu perpanjangan masa jabatan Presiden hingga 2027. Kelima, keputus-asaan pula yang memungkinkan opsi Jokowi mundur pada tahun 2023. Triumvirat akan menjabat selama sebulan. MPR akan memilih pasangan sesuai aturan Konstitusi hingga 2024. Pasangan Prabowo-Puan terbuka untuk berkompetisi ke depan dalam kedudukan sebagai status quo. Oligarki memiliki mainan baru.  Namanya juga skenario, semua serba mungkin. Hanya saja skenario kejutan adalah Jokowi yang dipaksa mundur oleh gerakan people power. Maka akan ada perubahan yang mungkin tidak dapat dijalankan penuh ketentuan Konstitusi semisal kedudukan triumvirat. Ini akibat dari Presiden dan kabinetnya sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat.  Pada skenario ini selain Anies Baswedan dapat pula muncul tokoh-tokoh seperti LaNyalla Mattalitti, Rizal Ramli, atau Gatot Nurmantyo.  Pengumuman Anies Baswedan oleh Partai Nasdem adalah bagian dari suatu kecerdasan politik yang memiliki spektrum luas.  Tapi yang jelas Pemerintahan Jokowi memang  tidak menunjukkan adanya semangat untuk mengakhiri jabatan dengan baik. Orientasinya pada \"perpanjangan\" kekuasaan.  Indonesia sedang mengalami masa kegelapan (dark time). Era Pemerintahan Jokowi adalah era cerita tentang duka cita. Fenomena Anies menjadi secercah harapan untuk perubahan. Dimulai dari penetapan Capres oleh Partai Nasdem pada tanggal 3 Oktober 2022. Bandung, 5 Oktober 2022