OPINI

Anti Klimaks Soekarnoisme

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Terlepas pro dan kontra serta polemik di seputar kehidupan dan sejarah yang menulis tentang figurnya, Soekarno telah lama menjadi ikon dari ideologi kebangsaan yang kuat melekat pada republik ini. Sayangnya setelah setengah abad kepergiannya, pemikirannya yang masih hidup  dan biasa disebut dengan Soekarnoisme atau Marhaenisme itu, lebih kental menjadi komoditas politik oleh keluarga ataupun pengikutnya. Dipakai sebagai alat perdagangan dan transaksi kekuasaan oleh PDIP ataupun petualang politik pragmatis yang menggelutinya. Spiritnya  hanya sebatas simbol dan sekedar jargon semata. Para Soekarnois itu, justru lebih suka membunuh Soekarno berkali-kali bahkan setelah kematiannya. Kalangan nasionalis kini sedang digugat. Pada sejarah masa lalunya, maupun tindak-tanduknya di masa kini. Sempat menjadi sumber energi dan bagai api yang menyala-nyala tak pernah padam. Ideologi nasionalis sempat mencapai puncak kejayaannya,  tatkala bangsa ini dalam semangat  pergerakan kemerdekaan Indonesia. Menghidupkan revolusi Indonesia melawan penindasan dari kolonialisme dan imperialisme. Membebaskan rakyatnya dari belenggu penjajahan, tak peduli berapapun harganya tak peduli darah dan nyawa dikorbankan. Namun tak lama usai kemerdekaan dikumandangkan, nasionalisme di tangan pemimpin-pemimpin yang ego, ambisius dan cinta dunia. Telah mewujud menjadi nasionalisme yang \"chauvanistic\" dan cenderung \"facism\".  Nasionalisme yang menggantikan kolonialisme dan imperialisme itu sendiri,  melahirkan diktatorian dan otoriterian bagi rakyatnya sendiri. Kini setelah  76 tahun menghirup alam kemerdekaan, apa yang terjadi?. Nasionalisme menjadi seperti ayam sayur. Sebuah masakan yang sering menjadi ilustrasi sifat pecundang dan kekerdilan. Gagah berani mengobarkan semangat patriotis mengusir penjajahan di masa lampau, seiring waktu rakyat hanya menjadi menjadi korban dari kekuatan liberaliasi dan sekulerisasi yang sejatinya menjadi representasi kapitalisme modern. Nasionalisme nyaris tak mampu hadir atau menunjukkan keberadaanya saat negara dalam cengkeraman kekuasaan bangsa asing dan bangsa aseng. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI terus diperkosa dan teraniaya oleh ideologi yang tak pernah terpikul dan dipikur oleh naturnya Indonesia. Ekonomi, politik dan hukum begitu tak berwibawa, bahkan  kehilangan harga diri dan martabatnya,  rakyat hanya menjadi bangsa kuli di atas kuli. Simbol sekaligus jargon nasionalis yang dulu  kuat melekat pada pemimpin dan tokoh-tokoh kebangsaan terutama pada figur Soekarno. Menjadikan figur Soekarno seperti magnit yang menyatukan kekuatan revolusioner pada masanya. Kiri, kanan dan tengah sebagai istilah instrumen perlawanan mengusir penjajahan. Martchs Vorming Soekarno menyebutnya, meskipun pada akhirnya semua kekuatan yang menentang imperialisme dan kolonialisme disebutnya sebagai kelompok kiri. Dari situ domain dan irisan Soekarno tidak pernah lepas dari keyakinan dan pengaruh kekuatan kiri, yang dianggap berbasis pemikiran Karl Marx yang kemudian ditafsirkan sebagai ideologi komunis. Setelah orde lama, orde baru dan 24 tahun perjalanan reformasi. Konstelasi dan konfigurasi politik aliran dan ideologi  itu, tak pernah surut mengiringi episode panjang drama dan konflik Indonesia sejauh ini. Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno bukan hanya sebagai salah seorang  pendiri bangsa dan proklamator kemerdekaan Indonesia. Bung Karno juga menjadi presiden yang berkuasa dengan durasi cukup lama, sembari berkontribusi besar bagi dunia antara lain ikut mendirikan gerakan kekuatan non blok,  menggagas Konferensi Asia Afrika ( KAA), pidato Pancasila yang menggetarkan sebagai ideologi alternatif dunia di Sidang Umum PBB, dlsb. Performans pribadinya juga menguat dengan pelbagai julukan yang memesona seperti pemimpin besar revolusi, penyambung lidah rakyat dan penggali Pancasila. Beragam pesona pada dirinya itu pada akhirnya membuat Bung Karno terjebak pada pertarungan dan kepentingan blok barat dan blok timur yang kala  itu mengusung era perang dingin. Bung Karno harus jatuh dari kekuasaannya, ketika gagal memainkan politik luar negeri dalam rangka membangun kepentingan nasional dan menjaga keseimbangan dari pengaruh pendulum ideologi kapitalisme dan komunisme yang menguasai dunia. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang begitu dibangga-banggakan Soekarno, harus terbelenggu, porak poranda dan bahkan  mengalami kehancuran bukan karena semata sebab dampak perang dingin yang dimotori Amerika dan Uni Soviet. Negara yang kaya dan besar secara aspek geografis, geopolitis dan geostrategis, harus mengalami degradasi bahkan kemunduran peradaban akibat pertikaian dua kekuatan adidaya tersebut. Kepemimpinan berkarakter Bung Karno yang gagal menciptakan  keharmonisan dan keselarasan kehidupan politik dsn ekonomi di dalam negeri. Juga posisi tawar negara dalam pergulatan dua ideologi paling berpengaruh demi menguatkan posisi Indonesia di luar dan di dalam negeri, menjadi faktor penting yang memicu tamatnya kekuasaan Bung Karno, tragedi kemanusiaan dan Indonesia berada di titik nadir. Peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965,  menjadi indikator kelalaian kalau belum bisa dibilang kesalahan  Bung Karno, selain dari hadirnya kompetisi dan pemenang pertarungan ideologi kapitalisme dan komunisme yang berimplikasi pada  penaklukan Indonesia.  Mengulang Sejarah Konstelasi dan konfigurasi politik dan ekonomi dalam pemerintahan orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno menjelang kejatuhannya. Menunjukkan  betapa sulitnya mengatur suatu negara sekaligus tampil ekspresif dalam pergaulan internasional, sekalipun pemimpin sekelas Bung Karno. Usia kemerdekaan negara yang belum genap 20 tahun pada saat itu, membuktikan konsolidasi nasional menjadi begitu penting dan utama  ketimbang mengedepankan eksistensialis dan agresifitas pada percaturan global. Terlebih melawan negara-negara yang menjadi episentrum kapitalisme dan menyuburkan imperialisme dan kolonialisme dunia. Sikap tidak konsisten Bung Karno pada gerakan non blok yang diperjuangkannya sendiri. Membuat Bung Karno membawa Indonesia ke jurang marabahaya, dengan terlalu intim pada  negara komunis yang menjadi representasi kekuatan blok timur. Tanpa disadari Bung Karno, afiliasi politik dan ekonomi yang condong ke Uni Soviet di saat geliat perang dingin, signifikan membangun resistensi kekuatan blok barat yang diwakili Amerika dan negara-negara sekutunya. Praktis politik luar negeri yang demikian menjadikan Indonesia pada akhirnya hanya sebagai negara yang menjadi irisan sekaligus etalase konflik internasional. Indonesia bukan  hanya negara yang menarik  ditinjau karena faktor taktis dan strategis, menyangkut kekayaan sumber daya alam serta sebagai faktor stabilisator regional dan internasional. Negeri yang bisa disebut baru seumur jagung dan terlalu lama dijajah itu, telah menjadi boneka cantik yang harus direbut dan dikuasai negara-negara kapital dunia. Bung Karno, terlepas dari kekhilafannnya sebagai manusia, harus lenger dengan begitu terpuruk hingga di  akhir hayatnya. Meninggalkan hitam putih perjuangannya, hitam putih sejarahnya serta hitam putih kebaikan dan kesalahannya sebagai seorang  yang tetap juga sebagai manusia meskipun menjadi pemimpin sekaliber dunia. Bung Karno yang terlalu dalam berinteraksi dan menjadi daya dukung utama kekuatan komunis saat menampilkan karakter kepemimpinan yang anti imperislisme dan kolonialisme. Harus jatuh menghadapi teori dan politik konspirasi.  Betapapun  fenomenal dan unik Bung Karno mengisi panggung politik perhelatan pergaulan dunia saat itu, Bung Karno adalah pemimpin yang keras kepala dan tak mudah menghentikan ambisinya. Bung Karno tetap kopeh mempertahankan dan bahkan melindungi PKI sebagai anasir komunisme internasional dalam perjalanan  pemerintahannya. Realitas itu yang membawa dampak buruk bagi Indonesia bukan hanya soal krisis ideologi, lebih dari itu melahirkan krisis multidimensi kenegaraan dan kebangsaan. Politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan  hingga keutuhan dan keselamatan Indonesia juga dipertaruhkan. Indonesia nyaris tenggelam setidaknya Pancasila, UUD 1945 dan NKRI mengalami situasi genting pada masa itu. Pemberontakan PKI tahun 1965 menghancurkan segalanya dan memulai segalanya, hingga Indonesia kekinian. Sejarah yang kemudian juga tak kalah hebatnya dalam dinamika politik dan ekonomi, yang diisi dan ditulis sendiri oleh kekuasaan orde baru. Orde lama dan orde baru telah tergusur dari pentas dan panggung  politik utama secara formal dan normatif. Namun secara substansi, keyakinan-keyakinan ideologi keduanya tak pernah mati. Orde lama yang kental dicap sebagai komunis dan orde baru yang dituduh sangat kapitalistik, merupakan kekuatan laten yang tak pernah mati hingga era reformasi bergulir. Kedua irisan ideologi besar dunia itu seakan menjadi keniscayaan bagi proses penyelenggaraan dan keberlangsungan negara Indonesia. Landasan dan semangat yang berpijak pada pengamalan Pancasila, pelaksanaan UUD 1945 dan mewujudkan NKRI sebagaimana cita-cita proklamasi, terbukti sekedar basa-basi dan menjadi pepesan kosong. Eksistensi negara tak ubahnya seperti pemerintahan kolonial, rezim berwatak militeristik dan anti demokrasi. Sementara rakyatnya hidup menderita menjadi menjadi korban distorsi kekuasaan. Rakyat Indonesia harus pasrah dan rela menjadi korban dari eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa  baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsanya sendiri. Kini setelah hampir 25 tahun reformasi bergulir, Indonesia tak berubah, tetap menjadi negara pecundang. Bahkan jauh lebih buruk dari orde lama dan orde baru. Sendi-sendi kehidupan negara yang fundamental dan prinsip telah hancur lebur.  Pancasila telah mati setidaknya mati suri, konstitusi porak poranda dan yang paling miris ketika moral bangsa pada titik terendah menghinggapi bukan saja pada aparat, pejabat dan para pemimpin, penyakit ahlak yang kronis dan akut juga telah mewabah hingga ke rakyat jelata di semua penjuru. Hipokrit, penghianatan, ketidakjujuran, perilaku sadis dan dzolim hingga cinta harta, tahta dan dunia telah meresap ke tulang sumsum dan menjadi karakter manusia Indonesia. Bangsa ini secara perlahan dan masif telah berubah menjadi bangsa pembunuh dan menghalalkan segala cara untuk memuadkan nafsu syahwat atas harta, tahta dan wanita.  Kritik Oto Kritik Soekarnoisme Antitesis Soekarno, sepertinya akan mengusik diskursus kemapanan politik dan ideologi kebangsaan yang selama ini didominasi oleh faham nasionalis. Bergenre nasionalis Soekarnois atau nasionalis, selain nasionalis religius dan religius nasionalis Marhaenis. Dengan menjadi platform kebangsaan yang sudah pasti menjadi landasan pemerintahan rezim siapapun yang berkuasa. Tak ubahnya warisan ideologi yang harus terus dipelihara dan abadi, ideologi nasionalis tak akan pernah tergantikan oleh pemahaman kebangsaan apapun. Nasionalisme yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Soekarno dan cenderung berhaluan kiri itu, seakan menjadi abadi, hidup terus sepanjang negara bangsa Indonesia ada. Tak boleh ada perdebatan lagi, tak boleh diganggu dan tak boleh dipertentangkan lagi. Konsensus nasional bervisi kebangsaan yang menjadi representasi piagam Jakarta, telah menetapkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai nilai-nilai yang baku dan mutlak bagi proses perjalanan dan eksistensi republik. Seperti yang terus hingga kini terdengar begitu bising dan hiruk pikuk dengan teriakan Pancasila harga mati dan NKRI harga mati serta  saya Pancasila dan saya NKRI. Sayangnya, semua itu hanya kamuflase dan manipulasi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Sesungguhnya praktek-praktek penyelenggaraan negara  dihidupkan oleh kekuatan kapitalisme dan komunisme global.  Metamorfosis dari perang dingin yang diwakili blok Amerika dan Uni Soviet di masa lampau, seiring waktu menampilkan kedigdayaan Amerika dan Cina di era modern. Secara hakiki,  perang dingin dalam wujud neoliberalisme masih menyelimuti  Indonesia. Nasionalisme Soekarnois atau nasionalisme Marhaenis bersama instrumen nasionals sekuler lainnya yang terbukti gagal dan mengalami kebuntuan. Pada prskteknya masih dipertahankan oleh trah entitas politik seperti PDIP dan kompatriotnya dalam pelbagai  insitusi negara baik dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun kekuatan media, organisasi massa dan stage holder lainnya. Ideologi Soekarno atau identik dengan Marhaenisme, langgeng dan terus melenggang menjadi pemilik otoritas prinsip-prinsip pemerintahan dan tata kelola negara. Tak peduli betapapun betapa nilai-nilai kapitalistik dan komunis terus menggerogoti tafsir dan manifesto pemikiran Soekarno. Kenyataannya, penyelenggaraan negara dijalankan dengan prinsip-prinsip kapatalistik dan Marxis. Selain Amerika liberal dan sekuler, Cina yang komunis dan mulai intens mengadopsi kapitalisme. Keduanya negara super power itu tak terbantahkan telah menjadi nekolim atau penjajah baru  bagi negeri yang sebagian rakyatnya memuja  mengagungkan ideologi Soekarno atau Marhaenisme, yang dulu sangat menentangnya. Sementara tak ada tempat dan waktu bagi tafsir nasionalisme yang lain, terlebih bagi Islam yang  selalu marginal yang sejatinya menjabarkan peradaban manusia dan dunia, lebih dari sekedar nasionalisme dan internasionalisme. Saatnya, rakyat membuka mata dan hati, saatnya bangsa ini sadar dari \'koma\' panjang. Bahwasanya nasionalisme Indonesia telah mengalami kebangkrutan dan kegagalan. Soekarno dengan ideologi Marhaenis boleh jadi sangat baik dalam pemikiran tapi boleh jadi sangat buruk dalam implementasinya. Secara historis dan empiris, terbukti tidak menjadi obat bagi persoalan peradaban manusia dan kehidupan dunia, khususnya bsgi rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Satu lagi hal yang paling mendasar, pentingnya memudakan pengertian nasionalisme yang lebih sederhana, segar dan menyehatkan bagi kesadaran ideologi dan politik di  bumi nusantara ini. Harus ada pengertian dan toleransi bagi semua anak bangsa, terutama  para pelaku politik dan pemangku kepentingan publik. Persefrktif ideologi dan kebangsaan tidak boleh dipaksakan seolah-olah nasionalisme itu hanya berasal dan bersumber dari pemikiran atau ideologi Soekarno. Hanya PDIP sebagai pewaris dan yang paling Seoekarnois. Termasuk tidak sempit dan picik mengaggap orang-orang Soekarnois itu mutlak paling  nasionalis,  atau sebaliknya yang nasionalis itu selalu harus Soekarnois. Terlebih ketika euforia Soekarnoisme melalui geliat PDIP justru pada prakteknya menimbulkan keterputukan bangsa. Ya, dengan situasi dan kondisi rakyat, negara dan bangsa Indonesia sekarang ini. Bisa dibilang determinasi ideologi Soekarnoisme justru berujung anti klimaks. (*)

Setelah Melanggar Konstitusi, Kini Politisasi Jadwal Pilkada, untuk Kepentingan Siapa?

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) direncanakan serentak, artinya terjadi bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, serentak untuk kepala daerah yang sudah habis masa jabatan 5 tahunnya, agar dilaksanakan serentak di semua daerah. Tetapi, serentak bukan berarti ditunda, seperti yang terjadi sekarang. Yaitu, pilkada yang seharusnya dilaksanakan 2022 baru akan dilaksanakan 2024. Itu namanya ditunda secara serentak. Sementara itu, kepala daerah yang dipilih secara demokratis, yang masa jabatan 5 tahunnya sudah habis, diberhentikan. Dengan demikian, menurut UUD Pasal 18 ayat (4), telah terjadi kekosongan jabatan kepala daerah tersebut, seperti terjadi di DKI Jakarta. Karena, menurut konstitusi, kepala daerah wajib dipilih secara demokratis. Artinya dipilih oleh rakyat melalui pilkada, bukan ditunjuk atau diangkat oleh mendagri atau bahkan presiden. Artinya, pengangkatan Penjabat Kepala Daerah melanggar konstitusi.  Anjing menggonggong, Kafilah berlalu. Mendagri tetap menunjuk dan mangangkat Penjabat Kepala Daerah. Di samping melanggar konstitusi, pilkada serentak 2024 sepertinya juga dipolitisasi. Tahun 2024 juga tahun pemilu dan pilpres. Pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta pemilihan presiden. Anehnya, jadwal pilpres dilaksanakan lebih dahulu dari jadwal pilkada. Padahal Pilkada sudah tertunda lama sekali. Pelaksanaan Pilpres dijadwalkan Februari 2024, sedangkan pilkada dijadwalkan November 2024. Pertanyaannya, kenapa bukan pilkada yang dilaksanakan terlebih dahulu, baru kemudian pilpres? Sehingga kepala daerah yang dipilih secara demokratis tersebut bisa bersikap netral ketika pilpres.  Kalau pilpres dilaksanakan terlebih dahulu, apakah Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk pemerintah, sehingga dapat dikatakan “orang pemerintah”, dapat bersikap netral? Hampir dapat dipastikan, tidak. Sebagai “orang pemerintah”, Para Penjabat Kepala Daerah tersebut diperkirakan akan bertindak untuk kepentingan pemerintah, atau koalisi pemerintah. Politisasi jadwal pilkada seperti ini akan berdampak negatif terhadap demokrasi, menghancurkan demokrasi, menuju jurang kehancuran. (*)

Political Genosida dan Perlawanan Partai Politik

Kami menggunakan istilah political genocide, karena begitu banyak institusi partai politik yang diberangus. Hampir 50 persen dari jumlah partai politik yang mendaftarkan diri diberangus. Oleh: Dr. Ahmad Yani, SH, MH, Advokat Senior, Mantan Anggota DPR RI, Ketua Umum Partai Masyumi “KALAU partai-partai politik dikubur, yang berdiri di atas nisan kuburan itu diktator” (M. Natsir, Ketua Umum Partai Masyumi 1949-1959). Kita semua berharap pemilu yang Langsung, Bebas, Umum, Rahasia, Jujur, dan Adil. Kita ingin pemilu terselenggara dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Tentu itu harapan kita semua sebagai sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dan memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terutama sekali sebagai negara hukum dan negara ber-kedaulatan rakyat. Pemilu yang demokratis dan konstitusional adalah pemilu yang bersandar pada azas dan tujuan dari pemilu itu sendiri. Dimulai dengan cara-cara yang benar dan adil sesuai hukum yang berlaku. Dengan pemilu itu, setiap warga negara diberi kesempatan untuk berkompetisi memperebutkan suara rakyat, baik dalam pemilu legislatif, senator maupun presiden dan wakil presiden. Itulah hakikat dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecuali nya”. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu institusi yang diamanatkan UUD 1945 sebagai penyelenggara pemilu sesuai amanat UU itu, seyogyanya memiliki sikap demokratis dan konstitusional, serta menyiapkan segala kebutuhan untuk terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil serta konstitusional. Namun, patut disayangkan, lembaga negara (KPU) yang disebut sebagai pelaksana demokrasi justru tidak memahami hakikat dasar demokrasi Pancasila yang telah menjadi bagian dari nilai luhur bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin kebebasan konstitusional warga negara yang telah mengikuti prosedur untuk mendirikan suatu partai politik diberangus begitu saja tanpa menggunakan instrumen hukum yang berlaku. Terlihat jelas ketika KPU, mengeliminasi 16 partai politik secara sewenang-wenang, dan tidak dapat mengikuti tahap verifikasi administrasi atau tahap selanjutnya dengan sebuah surat, bukan surat keputusan. Tentu saja ini mengherankan bagi siapa saja yang belajar hukum Administrasi. Sesungguhnya kebebasan mendirikan partai politik tidaklah mudah. Perlu biaya dan tenaga yang maksimal untuk memperoleh syarat-syarat menjadi partai politik itu. Tidak mudah seperti semudah KPU menyatakan partai politik tidak memenuhi syarat dan diputuskan tanpa proses verifikasi administrasi. Lalu dengan alasan apa KPU menyatakan bahwa partai politik yang mendaftar secara resmi dan diserimonialkan sebagai peserta pemilu itu dinyatakan tidak lolos, padahal baru mendaftarkan diri? Pada 1-14 Agustus 2022 adalah saat proses pendaftaran partai politik peserta pemilu. Namun setelah selesai mendaftar tiba-tiba KPU menyatakan 16 partai politik tidak lolos tahap pendaftaran. Darimana KPU ini bisa menilai dokumen persyaratan parpol padahal belum melakukan verifikasi administrasi. Semua ini tidak lain adalah sebuah tindakan politik pemberangusan atau yang kami sebut sebagai Political Genocide. Dengan otoritas tanpa dasar hukum, 16 partai itu dinyatakan tidak lengkap syarat dan Dukumen sehingga tidak bisa ikut tahap selanjutnya yang pada akhirnya digagalkan menjadi peserta pemilu. Tidak diterbitkan berita acara dan surat keputusan seperti biasanya tindakan administrasi kelembagaan. Hanya pemberitahuan atau Surat Tanda Pengembalian Data dan Dokumen Partai Politik Calon Peserta Pemilu, tidak ditandatangani oleh Ketua dan Komisioner KPU. Sebagaimana dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) huruf d UU 7/2017: “Ketua KPU mempunyai tugas: d. Menandatangani seluruh peraturan dan keputusan KPU”. Ketentuan pasal 11 ayat (1) huruf d, tidak dilakukan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari, melainkan oleh pegawai KPU, bukan juga Anggota KPU. Tetapi akibat hukum dari tindakan itu membuat partai-partai politik yang dinyatakan tidak lengkap berkas, tidak bisa mengikuti tahap verifikasi. Sekali lagi saya katakan, ini politik genosida, di mana kebebasan setiap warga negara untuk membentuk partai politik dan melaksanakan ketentuan UU tentang Partai Politik “dihabisi” begitu kasar. Dasar Hukum Partai Politik Partai politik adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa partai politik, maka demokrasi akan merosot menjadi tirani, dan mencegah partai politik untuk ikut pemilu tanpa alasan dan dasar hukum jelas tentu itu mewarisi sifat tirani itu sendiri. Keberadaan partai politik sebagai pilar demokrasi telah dijamin secara konstitusional melalui pasal 28 UUD 1945. Mendirikan partai politik adalah hak konstitusional setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan syarat untuk berdirinya Partai Politik. Syarat itulah yang juga menjadi syarat untuk mendaftar ke KPU. Yaitu, 100 persen tingkat provinsi, 75 persen tingkat kabupaten/kota, 50 persen tingkat kecamatan dan 1/1000 dari jumlah pemilih setiap kabupaten/kota, serta kepengurusan tingkat Pusat sampai daerah, 30 persen harus ada keterwakilan perempuan. Itulah syarat bagi partai politik untuk mendapatkan Surat Keputusan badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM. Syarat tersebut telah terpenuhi sehingga partai-partai politik mendaftar ke KPU dengan asumsi bahwa KPU lah yang akan  melakukan verifikasi administrasi dan faktual untuk partai baru sehingga dengan verifikasi itu partai dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai partai peserta pemilu atau tidak. Sesuatu yang tidak mudah bagi para pendiri partai untuk mendapatkan Surat Keputusan badan Hukum dari Menkumham, karena harus melewati proses pemenuhan syarat itu. Tentu bagi teman-teman yang mendirikan partai politik mengerti bagaimana tenaga, waktu, biaya telah dikeluarkan, namun dengan semudah itu oleh KPU dinyatakan tidak lolos disaat pendaftaran. Kami bisa maklumi kalau keputusan lolos atau tidak itu, berdasarkan hasil verifikasi yang telah dilakukan KPU. Namun, sebelum dilakukan verifikasi, langsung dinyatakan telah gugur, tanpa Surat Keputusan. Apakah ini yang dinamakan negara Hukum? Eksekusi Tanpa Keputusan Tindakan KPU sebagian besar tidak mengindahkan kaidah negara hukum. Dalam negara hukum semua harus bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Ini tidak terpenuhi, sepanjang mengenai pendaftaran dan verifikasi partai politik. Bayangkan saja, KPU membuat sebuah norma yang mewajibkan semua partai politik menggunakan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Sipol bukanlah instrumen pendaftaran partai politik, dan tidak diatur sama sekali dalam UU 7/2017. Darimana datangnya Sipol ini? Sipol itu dari Peraturan KPU RI Nomor 4 Tahun 2022 diantaranya dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Artinya, Sipol ini dapat diartikan sebagai bentuk diskresioner dari KPU, dia tidak bisa dijadikan norma yang dapat mengikat calon Partai Partai Politik Peserta Pemilu, oleh karena KPU bukanlah pembentuk norma melainkan hanya pelaksanaan norma. Karenanya, keberadaan diskresioner tersebut (Sipol) tidak boleh melampaui kewenangan, dan tidak boleh juga memunculkan atau menciptakan keadaan hukum baru yang dalam sifatnya menghalangi hak Partai Politik atau menangguhkan hak Partai Politik sebagian atau seluruhnya sementara atau permanen, yang menimbulkan beban tambahan kepada Partai Politik. Yang lebih aneh lagi dan tidak bisa diterima nalar hukum yaitu PKPU Nomor 4 Tahun 2022 baru ditetapkan dan diundangkan pada 20 Juli 2022, itu artinya hanya 11 hari sebelum pendaftaran Parpol untuk mendaftar sebagai calon Partai Politik Peserta Pemilu (P4), akan tetapi KPU telah membuka Sipol dan memberikan Akun dan pasword Sipol kepada Parpol pada tanggal 24 Juni 2022. Sebelum Parpol resmi mendaftar di KPU. Tindakan KPU tersebut jelas sekali tanpa dasar hukum atau Abuse of Power. Dengan instrumen yang tidak memiliki dasar hukum itulah, KPU menyatakan 16 parpol dinyatakan tidak lolos tahap pendaftaran. Yang lebih aneh lagi, saat menyatakan tidak lolos, KPU tidak menuangkan dalam Berita Acara sebagai sebagaimana yang menjadi Standar Operasional Prossedur Pendaftaran Partai Politik. Bahwa setiap Partai yang dinyatakan tidak lengkap dokumen pendaftaran dituangkan dalam Berita Acara. Hal itu dinyatakan juga dalam pernyataan ketua KPU pada tanggal 16 Agustus dan Surat Bawaslu kepada KPU nomor: 258/PM.00/K1/07/2022 tanggal 29 Juli 2022. Berita acara itu tidak pernah ada, tidak pernah diterbitkan dan partai politik dinyatakan gugur tanpa Surat Keputusan. Ini menyalahi asas-asas umum pemerintahan yang baik. Upaya Hukum Kami sebagian besar partai politik yang tak lolos pemilu melayangkan gugatan ke Bawaslu RI untuk melakukan sidang Adjudikasi sengketa Proses. Namun, Bawaslu menyatakan gugatan kami tidak dapat diterima karena tidak memiliki objek. Kami merasa heran dengan keputusan Bawaslu tersebut. Seharusnya dari awal sebagai pengawas, Bawaslu menegur KPU, tapi itu tidak dilakukan. Maka kami menduga KPU dan Bawaslu secara bersama-sama melakukan upaya genosida politik terhadap partai-partai ini. Seharusnya dari awal Bawaslu mengingatkan KPU untuk mentaati prosedur dan ketentuan Undang-undang dalam proses pendaftaran Partai politik itu. Ini tidak terjadi sama sekali, lalu memutuskan bahwa gugatan kami tidak memiliki objek Hukum. Begitu juga ketika kami mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN. Pengadilan TUN menyatakan bahwa Surat dari KPU itu bukan objek sengketa, karena itu bukan Surat Keputusan. Artinya, tidak memenuhi syarat sebagai keputusan bersifat konkrit, individual dan final. Karena itu, kami menyadari ini bukan hanya persoalan proses pendafataran dan verifikasi, tapi ini persoalan yang lebih mendasar, yaitu pemberangusan kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk mendirikan partai politik. Genosida Politik Tibalah kami pada kesimpulan bahwa apa yang kami alami bukanlah sekedar persyaratan parpol. Toh, persyaratan tersebut telah dinyatakan terpenuhi oleh Menkumham. Ini adalah persoalan politik dengan menggunakan instrumen kekuasaan untuk menghalangi jalannya Demokrasi yang jujur dan adil. Sistem demokrasi tidak pernah membatasi keterlibatan warga negara dalam setiap agenda-agenda politik, semasih itu dalam tidak menyalahi Hukum. Meskipun 16 Partai politik itu sudah berusaha mengikuti aturan main yang diatur dalam Undang-undang, tetap juga diberangus dengan cara-cara otoritarianisme. Dalam sejarah, pemberangusan massal itu terjadi ketika Rezim fasis di Jerman dan Komunis di Uni Soviet berkuasa. Kedua negara itu menggunakan senjata untuk memberangus lawan-lawan politik dan membunuh setiap orang tanpa proses Hukum. Dalam demokrasi dan politik, kerap kita jumpai pembunuhan dalam bentuk lain. Yaitu memberangus kebebasan dengan cara-cara seperti yang lebih halus dengan memainkan aturan hukum. Maka kami melakukan deklarasi \"Gerakan Melawan Pilitik Genocide\". Bersama 6 parpol yang dinyatakan oleh KPU dan Bawaslu tidak memenuhi syarat kelengkapan dokumen pendaftaran. Ada Partai Masyumi (Dr. Ahmad Yani), Partai Perkasa (Eko Suryo Sancoyo), Partai Reformasi (H. Syamsahril Kamal), Partai Pandai (Dr. Farhat Abbas), Partai Pemersatu Bangsa (Dr. Eggy Sujana), Partai Kedaulatan (Denni Cillah). Kami menggunakan istilah political genocide, karena begitu banyak institusi partai politik yang diberangus. Hampir 50 persen dari jumlah partai politik yang mendaftarkan diri diberangus. Tidak ada keputusan Hukum, tidak ada instrumen demokrasi dan instrumen politik yang dilewati, tetapi tetap dieksekusi tanpa putusan. Kalau bukan genosida, lalu apa yang pantas untuk dilabelkan ke KPU selaku penyelenggara pemilu seperti itu? (*)

Kembalikan POLRI ke Khittahnya: Melindungi, Mengayomi, dan Melayani

Dengan melakukan Muhabalah Rakyat yang terzolimi memohon keadilan pada Allah, sehingga berbagai kejadian yang tidak patut kita lihat pada hari-hari ini diperlihatkan oleh Allah. Oleh: Anhar Nasution, Anggota DPR RI Periode 2004 s/d 2009 UNDANG-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang  Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Preambul MENIMBANG, poin b. Bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia; Niat luhur yang terkandung di dalam makna dasar Undang-undang tersebut amatlah sangat manusiawi dan humanis, seharusnya ada sebuah departemen yang khusus mensosialisasikan dan memberikan pemahaman secara terus- menerus kepada masyarakat, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara akan mencapai masyarakat madani Baldatun Toyyibatun warobbun Ghofur sangatlah mudah untuk diwujudkan. Namun, kenyataan hari ini kita dapatkan adalah sebuah lembaga kepolisian lebih mengarah kepada Militeristik dengan mengedepankan tindakan Represip melalui lembaga Brimob, Densus 88, dan belakangan oleh Tito Karnavian saat menjabat Kapolri dibentuk lagi Satgassus Merah Putih yang masyarakat tidak tahu jelas fungsi dan tugasnya. Jangan disalahkan kalau kemudian rakyat menilai berbagai kekacauan dan kerusuhan baik mulai penanganan aksi-aksi demo masyarakat, mahasiswa dan kaum buruh yang melakukan kritik kepada pemerintah yang merupakan hak-hak berdemokrasi selalu berujung pada bentrokan dan kerusuhan. Penangkapan-penangkapan kelompok yang dilabelkan Teroris begitu represif dan brutal belakangan kita dengan kasat mata menyaksikan penangkapan para Ustadz/ulama yang dilabelkan Radikal dan para aktivis yang bersuara kritis ditangkap dengan sangkaan melanggar Undang-Undang pasal karet yang membuat rasa keadilan dan kesamaan hukum di Negara ini sudah tidak didapatkan lagi oleh rakyatnya. Belakangan kita menyaksikan terungkapnya berbagai kasus yang menggradasi dan memperburuk Citra Polri sampai ke titik nadir sangatlah membuat hati kita perih dan miris. Berbagai kasus yang tidak perlu saya uraikan berulangkali kita saksikan  menjadi titik balik dari kesalahan penerapan Undang-undang yang digagas begitu sangat luhur bagaimana seharusnya peran dan tugas Polri ditengah-tengah masyarakat. Saya masih teringat ketika mengikuti Latihan Bela Negara dalam hal Kamtibmas sekitar tahun 1996 yang dilakukan oleh Binmas Polri, pelatihan Kamtibmas bagi Aktivis Generasi muda dan Mahasiswa selama 1 bulan di Kelapa Dua amat sangatlah besar manfaatnya kami rasakan. Kami sangat memahami tugas-tugas dan fungsi Polri, sehingga membuat para aktivis saat itu betul-betul menyatu dengan Polri dan secara sadar kami ikut mensosialisasikannya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Sayangnya saat ini Lembaga Binmas Polri itu nyaris tak terdengar lagi. Kalau pun ada di tingkat Kelurahan bernama Binmas yang kadangkala di setiap kelurahan di Jakarta hanya ada 2 atau 3 personil saja aparat kepolisian ditempatkan di sana dan itupun kita sering mendengar guyonan aparat yang ditempatkan di Kelurahan tersebut adalah petugas-petugas yang tidak punya prestasi dan Relasi dengan atasan. Yang seharusnya merekalah yang menjadi Etalase Polri, yang menjadi contoh teladan dit engah-tengah masyarakat yang mampu Melindingi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat. Seharusnya anggota Polri yang ditempatkan di setiap kelurahan tersebut sekurang-kurngnya 1 regu kader-kader terbaik Polri dalam bidang Kemasyarakatan dengan berbagai Disiplin Ilmu. Ironisnya masyarakat selalu ditampilkan dengan wajah-wajah bengis personil Brimob dengan senjata lengkap saat menangani aksi-aksi demo mahasiswa dan masyarakat. Wajah-wajah tegang dari Anggota Densus 88 ketika mereka menangkap orang yang dilabelkan teroris, begitu juga saat menangkap Ulama/ Ustadz dan para Aktivis. Sudah saatnya hal ini segera diakhiri, sudah banyak korban, hal-hal buruk dan berbagai rekayasa yang diciptakan mungkin hanya untuk mendapatkan tambahan anggaran APBN atau pembenaran hanya untuk mencari dana-dana talangan yang tidak sah dan melanggar Undang-undang dibenarkan dengan payung hukum Kedaruratan. Banyak sudah kesalahan dan penzoliman terhadap rakyat, ulama, dan para aktivis yang dipertontonkan pada kita hukum duniawi sudah tidak lagi bisa diharapkan rakyat, sehingga rakyat menyerahkan dan memohon turunnya Hukum Allah yang Maha Adil. Dengan melakukan Muhabalah Rakyat yang terzolimi memohon keadilan pada Allah, sehingga berbagai kejadian yang tidak patut kita lihat pada hari-hari ini diperlihatkan oleh Allah. Jangan sampai semua rakyat, khususnya ummat Islam, ber-muhabalah, sehingga kejadian-kejadian yang lebih dahsyat akan menimpa negara kita tercinta ini. Allah tidak rela limpahan Rahmad atas Bangsa ini dirampas oleh segelintir manusia-manusia Serakah yang Zolim. (*)

Menyongsong 2030, Indonesia Perlu Pemimpin Ekonom

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Ekonomi Indonesia di ujung tanduk. Kurs rupiah mendekati, bahkan tembus, Rp15.500 per dolar AS, menuju Rp16.000. Pemerintah sepertinya tidak berdaya. Ini baru tahap awal. Kondisi ekonomi akan lebih buruk di tahun-tahun mendatang, menjelang pemilu dan pemilihan presiden (pilpres) 2024. Ekonomi dunia akan masuk resesi, mungkin bisa berkepanjangan, hingga tahun 2024. Karena suku bunga dunia, termasuk Indonesia, akan terus naik hingga inflasi terkendali. Kenaikan suku bunga akan menekan ekonomi, investasi akan turun, konsumsi akan turun. Ekonomi menuju kontraksi. Apakah calon presiden yang akan ikut kontestasi pilpres 2024 menyadari bahaya ekonomi tersebut? Apakah mereka dapat mengatasinya dengan cepat? Apakah mereka siap mengatasi ekonomi yang akan masuk resesi, serta mengatasi utang pemerintah yang naik terus, mendekati Rp9.000 triliun pada akhir 2024?  Masa depan Indonesia di ujung tanduk. Sistem politik presidential threshold 20% menghalangi para calon pemimpin nasional terbaik untuk ikut partisipasi dalam pilpres. Memalukan dan sekaligus menjadi skandal besar bangsa ini. Tantangan utama Indonesia dalam beberapa tahun ke depan adalah ekonomi. Maka itu, pemahaman ekonomi sangat kritikal bagi calon presiden 2024, agar dapat membawa bangsa ini keluar dari resesi secepatnya. Salah satu orang tersebut adalah Rizal Ramli, yang memiliki semua persyaratan dan kualifikasi sebagai calon presiden. Yang tidak dimiliki olehnya hanya kuota presidential threshold 20%. Sekali lagi, sungguh memalukan, dan skandal besar, kalau Rizal Ramli tidak dapat ikut kontestasi pilpres 2024, akibat sistem demokrasi “kriminal” presidential threshold 20%. (*)

Ha Ha Bunga Karangan Lagi

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SAMBUTAN luar biasa masyarakat saat Anies Baswedan melakukan acara perpisahan sebagai Gubernur DKI 16 Oktober 2022 menjadi fenomena menarik. Dalam sejarah mungkin baru kali ini terjadi dan ini memberi pelajaran bagi kepala daerah siapa dan di manapun agar perjalanan jabatannya dapat diakhiri dengan baik atau \"husnul khotimah\".  Penjabat pengganti Anies sebagai Gubernur DKI yaitu Heru Budi Hartono Kepala Sekretariat Presiden penunjukannya sangat sarat kritik. Karena di samping ia \"orang Istana\" juga sebagai teman Ahok. Netralitas yang diragukan. Heru juga diduga terkait dengan kasus Sumber Waras, Tanah Cengkareng dan Mark Up pembelian Bus Trans Jakarta.  Sambutan pada Heru Budi Hartono tentu tidak seantusias perpisahan Anies Baswedan. Posisinya rentan.  Skeptisme publik dijawab dengan pernyataan Heru \"kerja kerja kerja\" mengingatkan pada slogan Jokowi pada awal menjabat. Mantan Walikota Jakarta Utara dan Komisaris BTN ini waktu itu nyaris menjadi Wagub Ahok.  Yang menarik pasca pelantikannya sebagai Pj. Gubernur DKI adalah banyaknya karangan bunga ucapan selamat. Sesuatu yang tidak lazim untuk seorang Penjabat yang baru ditunjuk dan ditetapkan secara tidak demokratis. Bukan pilihan rakyat. Bahkan mungkin hanya sebagai \"petugas Istana\". Empati, simpati atau apresiasi lewat karangan bunga menjadi karakter dari rezim pencitraan.  Teringat banyak kiriman karangan bunga di depan Markas Kodam Jaya setelah sukses \"luar biasa\" Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurahman memimpin pencopotan Baliho Habib Rizieq Shihab. Bak pahlawan Dudung diapresisi dengan karangan bunga. Apresiasi gambaran kepalsuan, rekayasa dan eforia kekanak-kanakan.  Demikian juga saat Ahok Djarot kalah di Pilgub, banjir karangan bunga ucapan terimakasih dan penghargaan. Tidak tanggung-tanggung jumlahnya hingga 1500 an karangan bunga. Netizen berkomentar bahwa karangan bunga itu dibuat oleh kubu Ahok sendiri. Dikirim oleh satu dua pemesan. Penghormatan itu dinilai sekedar pencitraan dan bohong-bohongan.  Kini Penjabat tunjukan Jokowi dan dilantik Tito Karnavian dibanjiri karangan bunga lagi. Heru Budi Hartono tidak pantas mendapat apresiasi tanpa bukti keringat untuk masyarakat Jakarta. Ia belum bekerja apa-apa, baru teriak \"kerja, kerja, kerja\".  Karangan bunga adalah cermin Istana dan orang-orang Istana yang bekerja dengan karangan, kepura-puraan, serta dibanjiri oleh prestasi palsu. Bunga-bunga itu adalah wajah dari sebuah kemunafikan. Heru Budi hanya menjadi tangan dari kepentingan rezim yang ingin mempertahankan, mengamankan atau memperpanjang kekuasaan.  Pengiriman karangan bunga rekayasa adalah kerja yang memuakkan dan menipu diri sendiri. Memperkokoh warna rezim dari hulu ke hilir yang tidak ajeg. Membohongi rakyat dengan wajah yang tidak satu. Bunga tamparan dari sebuah kebodohan. Hal buruk sebagaimana diingatkan oleh sebuah quotes : \"Aku sangat membenci orang yang memiliki dua muka, akan sulit bagiku untuk memutuskan wajah mana yang akan aku tampar terlebih dahulu\". Nah.  Bandung, 19 Oktober 2022

Keluar Dari Balai Kota, Anies Seperti Menang Pilpres

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN EDAN luar biasa. Belum lagi resmi menjadi capres, belum lagi kampanye pilpres, tapi sambutan untuk Anies Baswedan mirip seperti dia baru menang dalam pilpres. Ratusan ribu massa pendukung Anies tidak bisa mendekat ke Balai Kota Jakarta. Lapangan yang ada di depan kantor gubernur dan jalan-jalan yang berada di sekitarnya penuh dengan massa rakyat. Mereka datang dengan satu tujuan: yaitu ingin menunjukkan dukungan penuh kepada mantan gubernur itu untuk menjadi presiden 2024. Sebagaimana Anies diantarkan masuk ke Balai Kota pada 16 Oktober 2017, gubernur yang ingin ditersangkakan oleh Firli Bahuri (Ketua KPK) itu disambut meriah ketika keluar dari tempat yang sama pada 16 Oktober 2022 barusan. Belum pernah terjadi dalam sejarah kegubernuran Jakarta. Hari itu, Firli bisa membaca pesan yang langsung disampaikan rakyat kepadanya: urungkanlah niat buruk Anda. Pikiran Anda berbanding terbalik dengan nurani rakyat. Minta ampunlah Anda kepada Yang Maha Kuasa, minta maaflah Anda kepada Anis Baswedan. Menjauhlah Anda dari nafsu angkara kaum oligarki. Itu pesan pertama, pesan untuk Firli Bahuri. Yang kedua, bukan pesan melainkan ‘stern warning’ (peringatan keras) kepada para elit parpol-parpol licik agar mereka semua tidak coba-coba menyusun skenario jahat untuk menjegal Anies menuju Istana. Rakyat sudah muak dengan permainan culas Anda. Hentikanlah itu. Yang ketiga, ada pesan lantang kepada media piaraan oligarki bahwa ‘show of conscience’ (unjuk nurani) rakyat pada hari terakhir Anies di Balai Kota itu adalah imbauan santun (polite notice) agar Anda kembali ke prinsip dasar jurnalistik. Anda seharusnya menjadi bagian dari media yang mengawal demokrasi, bukan mengawal oligarki. Yang keempat adalah pesan kepada lembaga-lembaga penyelenggara pemilu/pilpres seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Mahkamah Konstitusi, dsb. Sudah cukuplah Anda bermain jorok di pilpres-pilpres yang lalu. Jangan lagi lakukan itu di pilpres 2024. Unjuk dukungan kepada Anies di Balai Kota kemarin menyiratkan peringatan bahwa kalau Anies ikut pilpres dan kalah, maka rakyat akan menyimpulkan kekahalahan itu adalah rekayasa Anda semua.  Unjuk nurani di Balai Kota beberapa hari lalu itu baru sebatas pembuka saja. Rakyat di seluruh pelosok sedang menyiapkan panggung untuk Anies. Mantan gubernur Jakarta ini punya waktu panjang untuk menyampaikan gagasan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat. Dan juga untuk mengakhiri kemelut salah kelola pemerintahan serta mengakhiri kekuasaan bayangan yang berada di tangan segelintir konglomerat rakus. Di Jakarta, selama lima tahun, Anies telah menunjukkan kemampuannya memimpin miniature Indonesia itu. Dia memperlihatkan kepemimpinan yang otoritatif, bukan otoriter. Dia membangun tradisi kepemimpinan yang dihormati, bukan yang ditakuti. Anies mengedepankan pendekatan humanisme, bukan pemanisme. Rakyat Jakarta merasakan itu. Indonesia seluruhnya menyaksikan dan mendambakan itu. Itulah yang mendorong warga luar daerah ikut berkumpul di Balai Kota Jakarta di hari purnatugas itu. Untuk menunjukkan bahwa ‘aniesthetic’ (semangat mendukung Anies) ada di mana-mana. Sekaligus mengisyaratkan kepada Firli Bahuri dan oligarki bahwa mereka, dengan rencana yang jahat itu, tidak punya tempat di negeri akal sehat. Mereka berada di pulau gersang yang terpencil. Perlahan, satu per satu, kaum Bahurian pindah ke pulau itu. Karena tidak kompatibel lagi dengan konsep egalitarianisme dan kebersamaan. Di pulau terpencil itu, mereka mengalami kontraksi pemikiran yang membawa mereka kembali ke alam primitif. Inilah yang memicu perasaan mereka bahwa merekalah penguasa di pulau terpencil itu. Mereka seratus persen benar. Merekalah penguasa di situ. Tanpa rakyat. Kecuali umat Bahurian itu saja. Sebab, rakyat Indonesia minus orang-orang yang berpikiran jahat itu memilih berada di Balai Kota Jakarta. Di situ ada suasana yang menyenangkan; suasana seperti Anies menang pilpres.[]

Hentikanlah Membodohi Masyarakat!

Namun, yang terjadi kemudian, menurut Luhut, kalau tidak ada suntikan dari APBN, proyek kereta cepat terancam mangkrak. Maka, melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021, pemerintah membolehkan APBN membiayai KCJB. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economic and Policy Studies-PEPS) JUDUL berita @kompascom menarik, dapat diartikan “hentikanlah membodohi masyarakat: Kalau B to B, artinya tidak pakai duit APBN. Kalau pakai duit APBN, maka jangan ngotot klaim B to B”. Ironi Kereta Cepat: Ngotot Diklaim B to B, Tapi Pakai Duit APBN Kompas.com – (26/05/2022, 10:41 WIB). Semakin membodohi masyarakat, semakin terlihat diri sendirilah yang bodoh. Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah berkali-kali menegaskan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah murni bisnis alias business to business (B to B). Disebutkan, proyek kereta cepat yang menghubungkan Padalarang dan Halim ini digarap oleh konsorsium terdiri dari beberapa perusahaan milik negara dan perusahaan dari China, untuk kemudian membentuk perusahaan patungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).  Hal ini sekaligus menepis tudingan adanya jebakan utang China dalam mega proyek tersebut. Luhut mengatakan, Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah investasi jangka panjang. “Itu adalah utang produktif. Ada yang bilang hidden debt. Itu yang bilang hidden debt saya text, kau datang kemari tunjukin hidden debt-nya di mana,” tegas Luhut dalam keterangannya, dikutip pada Kamis (26/5/2022). “Wong saya yang nangani kok. Hidden debt kalau dibilang G to G, ini tidak ada. Itu B to B,” tambahnya. Meski menuai banjir kritik dan dinilai melanggar janji, pemerintah bergeming dan tetap mengucurkan duit APBN untuk menambal pembengkakan biaya investasi Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCKB). Namun demikian sampai saat ini, baik pemerintah maupun pihak KCIC masih kukuh menganggap proyek ini B to B.  Mengutip Antara, proyek pembangunan KCJB) tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari pemerintah terkait Penyertaan Modal Negara (PMN) dan komitmen pendanaan dari China Development Bank (CBD). “Masuknya investasi pemerintah melalui PMN kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemimpin konsorsium (leading consortium) KCJB tersebut bisa mempercepat penyelesaian pengerjaan proyek setelah sempat tersendat akibat pandemi Covid-19,” ungkap Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi dalam keterangannya. Menurutnya, struktur pembiayaan KCJB adalah 75 persen dari nilai proyek dibiayai oleh CDB dan 25 persen dibiayai dari ekuitas konsorsium. Dari 25 persen ekuitas dari ekuitas itu, sebesar 60 persen berasal dari konsorsium Indonesia karena menjadi pemegang saham mayoritas. Dengan demikian, pendanaan dari konsorsium Indonesia ini sekitar 15 persen dari proyek, sedangkan sisanya sebesar 85 persen dibiayai dari ekuitas dan pinjaman pihak China, tanpa jaminan dari Pemerintah Indonesia. PMN yang akan dialokasikan pemerintah sebesar Rp 3,4 triliun, digunakan untuk pembayaran base equity capital atau kewajiban modal dasar dari konsorsium. Sedangkan pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dolar AS atau setara Rp 64,9 triliun. Dalam beberapa kesempatan, baik Presiden Joko Widodo maupun para pembantunya, berungkali menegaskan bahwa proyek KCJB adalah murni dilakukan BUMN. Menggunakan skema business to business. Biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman dari China. Dana juga bisa berasal dari penerbitan obligasi perusahaan. “Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk business to business. Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi,\" kata Jokowi dikutip dari laman Sekretariat Kabinet pada 15 September 2015. “Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan bahwa kereta cepat itu tidak gunakan APBN,” ucap Jokowi menegaskan. Jokowi menegaskan, jangankan menggunakan uang rakyat, pemerintah bahkan sama-sekali tidak memberikan jaminan apa pun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah. Hal ini karena proyek kereta cepat penghubung dua kota berjarak sekitar 150 kilometer tersebut seluruhnya dikerjakan konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis. “Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan yang namanya b to b, bisnis,\" tegas Jokowi kala itu. Namun, yang terjadi kemudian, menurut Luhut, kalau tidak ada suntikan dari APBN, proyek kereta cepat terancam mangkrak. Maka, melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021, pemerintah membolehkan APBN membiayai KCJB. Apakah ini berarti penyimpangan dari skema business-to-business menjadi business-to-goverment? Bagaimana kalau nantinya proyek kereta cepat ini rugi? Apakah akan pakai dana APBN lagi, untuk menambal kerugian tersebut? Perlu diingat, banyak proyek kereta cepat di China mengalami rugi operasional sangat besar, dan proyek KCJB itu diperkirakan juga akan mengalalami rugi operasional yang cukup besar. (*)

Gue Lepas Anies untuk Jadi Presiden

Biar orang lain dan dari daerah lain teriak-teriak politik identitas, Anies di Jakarta telah bekerja membangun toleransi, kesetaraan, dan keadilan. Adil buat semuanya. Semua warga negara tanpa terkecuali. Oleh: Alex Wibisono, Aktivis Tinggal di Kota Depok RAKYAT Jakarta menangis. Haru setelah ditinggal Anies Baswedan. Selama ini, Anies jadi kebanggaan warga Jakarta. Selain Ali Sadikin, Gubernur DKI yang legend itu. Lima tahun sudah, Anies membersamai rakyat Ibu Kota. Banyak perubahan, walaupun banjir hujatan. Tapi, Anies tidak pernah membalasnya. Goodbener. Begitulah harusnya seorang pemimpin. Sadar kritik dan hujatan. Gue demen banget. Rakyat Ibu Kota pun puas. Bahkan sangat puas. Ingin lagi Anies memimpin Jakarta untuk kedua kali. Hal mudah jika Anies mau. Rakyat Jakarta pasti mendukungnya. Seandainya kagak ada partai yang mengusung, rakyat Jakarta siap kumpulkan KTP. Sekejap kilat akan terkumpul. Mudah, pakai banget. Jadi calon independen. Sepertinya ada tugas yang lebih besar. Anies harus urus Indonesia. Inilah amanah yang harus diambil. Kalau bukan Anies, siapa lagi? Rakyat Jakarta harus ikhlas. Mereka telah melepas Anies hari Ahad kemarin. Tangis haru mewarnai pelepasan itu. Selesai satu tugas, tugas lain yang lebih besar menunggu di depan mata, kata Anies. Anies mengajak semuanya untuk bersama-sama. Untuk bergerak dan melangkah ke depan. Ambil tanggung jawab bersama. Warga Jakarta tahu apa yang dimaksud oleh Anies. Spontan mereka teriak Anies Presiden. Anies tidak lagi urus Jakarta, tapi urus Indonesia. Anies tidak hanya urus 10,6 juta warga, tapi 275 penduduk Indonesia. Rakyat telah meminta kepada Anies untuk jadi presiden 2024. Ini dibaca dari elektabilitas Anies dalam berbagai survei. Selalu berada di tiga besar. Nasdem lalu menangkapnya, kemudian tanggal 3 Oktober kemarin deklarasikan Anies. Rencananya Demokrat dan PKS menyusul deklarasi pada 10 Nopember bulan depan. Kalau PPP dan PAN menunggu Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bubar. Sepertinya kagak lama lagi. Lu percaya omongan gue. Semua orang tahu, ada pihak yang kuat sekali untuk mengahalangi Anies. Mereka berupaya jegal Anies. Tapi rakyat berada di belakang Anies. Puluhan hingga ratusan ribu massa yang kemarin hadir di Bundaran HI sampai Jl. Merdeka Selatan siap back up Anies. Siap kawal Anies. Siap bekerja bersama Anies menuju pilpres 2024. Belum lagi massa pendukung Anies yang berkumpul di setiap daerah. Mereka ikut serta melepas Anies dari kabupaten masing-masing. Seperti di Semarang, mereka melepas Anies dari kawasan Simpang Lima. Ada pula yang di gedung seperti para pendukung Anies di Solo. Anies percaya bahwa mereka pendukung setia. Mereka ikhlas. Anies meminta mereka untuk luruskan niat dalam melangkah. Ikhlas niat untuk membangun Indonesia yang berkeadilan. Dan, memperjuangan kesetaraan diantara semua warga negara. Itulah pesan terakhir Anies di Jalan Merdeka Selatan. Biar orang lain dan dari daerah lain teriak-teriak politik identitas, Anies di Jakarta telah bekerja membangun toleransi, kesetaraan, dan keadilan. Adil buat semuanya. Semua warga negara tanpa terkecuali. Dari manapun berasal, suku dan agama apapun, warga berhak mendapatkan hak untuk diperlakukan setara oleh negara. Diawali kesetaraan itu di Jakarta, lalu untuk Indonesia. Dipimpin Anies, DKI Jakarta teduh dan damai. Indonesia pun akan merasakan hal yang sama jika orang seperti Anies ini menjadi pemimpinnya. Depok, 17/10/2022. (*)

Bengis: Jika Negara Hukum Berubah Menjadi Negara Polisi

Itu yang harus dirumuskan dengan standarisasi yang tepat sehingga hukum tidak lagi diperdagangkan. Hukum dagang boleh, dagang hukum jangan. Hukum Industri harus dipelajari, industri hukum jangan. Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo HAMPIR genap 4 bulan, publik di semua lini telah disibukkan dengan proses penanganan dan pengungkapan pembunuhan Brigadir Joshua di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Hari ini, Senin, 17 Oktober 2022 Tim majelis hakim yang diketuai YM Wahyu dan beranggotakan Morgan dan Alimin mulai menyelenggarakan sidang kasus pembunuhan berencana sekaligus obstruction of justice dengan terdakwa Ferdy Sambo dkk. Dalam berkas dakwaan, lima tersangka disangkakan melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 56 ke-1 KUHP. Mereka adalah Ferdy Sambo, istri Ferdy Sambo Putri Candrawati, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma\'ruf. Sementara dalam kasus obstruction of justice, selain Ferdy Sambo ada juga Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria, AKBP Arif Rahman, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto yang dijerat dengan Pasal 49 jo Pasal 33 dan/atau Pasal 48 Ayat 1 jo Pasal 32 Ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE. Selain itu, mereka juga dijerat Pasal 55 Ayat (1) dan/atau Pasal 221 Ayat (1) ke-2 dan/atau Pasal 233 KUHP. Pada awal pengungkapan kasus, tampak terkesan bahwa penanganan kasus ini tidak dilakukan secara PRESISI sesuai dengan tagline transformasi POLRI PRESISI yang merupakan abreviasi dari PREdiktif, responSIbilitas, dan transparanSI berkeadilan. Narasi yang dibangun sejak awal akhirnya porak-poranda begitu Brigadir E \"speak up\" bahwa dirinya bukan satu-satunya pelaku (penembak) dan ada yang memerintahkan menembak serta terungkapnya fakta-fakta hukum lainnya. Dalam kasus ini terkesan tampak begitu jelas bahwa substansi dan prosedur hukum tidak lagi diakui keberadaannya di negara hukum sekalipun oleh penegak hukum itu sendiri, yakni polisi. Belum selesai persoalan Sambo, di awal bulan Oktober 2022 terjadi tragedi kemanusiaan yang juga terindikasi aparat pengamanan (polisi) terlibat dalam terbunuhnya 132 suporter sepak bola Aremania di stadion Kanjuruhan, Malang. Belum tuntas penyelesaian tragedi Kanjuruhan, lagi-lagi muncul peristiwa baru soal perdagangan narkoba seberat 5 kg sabu-sabu yang ini malah melibatkan seorang Kapolda dan bawahannya secara terstruktur. Intinya, atas peristiwa hukum akhir-akhir ini, banyak oknum polisi yang justru terlibat dalam tindak kejahatan atau juga dikenal criminals in uniform hampir terjadi di semua lini kehidupan. Boleh jadi, polisi memang dipakai sebagai alat untuk menjalankan kejahatan dengan tujuan merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara oleh pihak-pihak tertentu. Apakah polisi ingin mengubah negara hukum (rechtsstaat/law state) menjadi negara polisi (police state)? Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Demikian pula antar sesama warga negara, juga memiliki persamaan di depan hukum. Bila tidak ada persamaan hukum dalam sistem ketatanegaraan dan sistem peradilan di Indonesia, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada prinsipnya \"Equality Before The Law\" adalah tidak ada tempat bagi \"backing\" yang salah, melainkan undang-undang merupakan \"backing\" terhadap yang benar. Sistem peradilan pidana di Indonesia ditengarai telah lama menjadi industri hukum sebagaimana disinyalir oleh Menkopolhukam Mahfud MD dalam forum ILC pada 11 Februari 2020. Ia menemukan praktik hukum di mana orang yang benar dibuat salah dan orang salah dibuat benar. Juga, praktik pengalihan perkara dari pidana ke perdata dan/atau sebaliknya. Bahkan katanya, ada polisi yang membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri agar dapat menceraikan istrinya. Ini merupakan sindiran tajam terhadap praktik yang diselenggarakan, baik oleh polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Maka, tidak heran jika saat ini penegakan hukum lebih berorientasi pada untung-rugi (Dagang) dengan mengabaikan persoalan kebenaran dan keadilan. Keadaan ini persis dengan pernyataan William T. Pizzi tentang trials without truth.  Bilamana praktik-praktik industri hukum oleh oknum-oknum penegak hukum di negeri ini benar adanya dan terus dibiarkan, maka akan memunculkan adanya berbagai corporation atau perusahaan dan perbisnisan di dunia hukum, di antaranya: 1. Police Corporation 2. Prosecutor Corporation 3. Court Corporation 4. Prison Corporation dan 5. Advocate Corporation Bukankah begitu logika sederhananya? Yang terakhir akan terjadi: Indonesia Corporation. Bila demikian adanya, maka sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi adalah tinggal hubungan bisnis antara Produsen dan Konsumen. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas Profit bukan Benefit. Itukah yang diinginkan, ketika Negara Hukum Kesejahteraan Sosial kita akan bermetamorfosis menjadi Negara Industri Hukum? Polisi khususnya sebagai garda terdepan penegakan hukum pun tidak boleh menjadi agen industri hukum ini karena ketika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal tersebut yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan \"kejahatan-kejahatan politiknya\", maka di saat itulah negara ini telah menjadi Police State. Kita tentu tidak menghendaki keadaan yang demikian terjadi di negeri ini. Menyimak praktik hukum yang tengah terjadi, mungkin ada benarnya tentang Industri Hukum yang sempat viral seperti yang disebutkan Menkopolhukam. Saya kemudian berkhayal mungkinkah dalam industri hukum ini kita peroleh justice dalam proses trial-nya atau justru yang akan muncul adalah: trial without justice? Industri hukum dapat terjadi di semua lini penegakan hukum ketika setiap lini tersebut berupaya memperjualbelikan kebenaran dan keadilan. Sanksi pidana mungkin juga tidak mempan, maka kata kuncinya adalah Akhlak! Akhlak yang mana? Ukurannya apa? Itu yang harus dirumuskan dengan standarisasi yang tepat sehingga hukum tidak lagi diperdagangkan. Hukum dagang boleh, dagang hukum jangan. Hukum Industri harus dipelajari, industri hukum jangan. Kita tidak ingin rechtsstaat (negara hukum) berubah menjadi police state (negara polisi) karena hanya akan melahirkan industri hukum yang bengis. Tabik...! Semarang, Senin, 17 Oktober 2022. (*)