Sampah Mengakhiri Oligarki Batubara

Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Transisi energi memang bukan pekerjaan kecil. Ia harus melibatkan seluas luasnya partisipasi masyarakat yang mestihya mendapat manfaat atas agenda internasional yang tengah dipimpin oleh Presiden Jokowi.

Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

SEJAK isue tambang ilegal menyeruak ke permukaan, mata kita terbelalak, ternyata hasil tambang ilegal membekingi banyak pejabat politik di tanah air. Tambang ilegal dibekingi orang kuat, kata Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka. Bekingan paling banyak berasal dari tambang ilegal batubara.

Padahal data menunjukkan bahwa tambang ilegal cuma 10 persen-an dari seluruh tambang tapi menghasilkan uang segitu banyaknya. Bagaimana uang tambang legal? tentu saja uangnya segunung.

Tambang batubara Indonesia memproduksi sekitar 650 juta ton sampai dengan 700 juta ton setahun. Sebagian kecil sekitar 100 juta ton dipasok ke dalam negeri untuk memenuhi 70 persen kapasitas pembangkit nasional. Sisanya diekspor ke luar negeri.

Uang hasil ekspor kelihatannya tidak disimpan di dalam negeri secara resmi. Buktinya eksploitasi dan ekspor batubara sebanyak itu tidak membawa hasil manfaat bagi stabilitas moneter, nilai tukar, APBN, keuangan nasional, apalagi buat rakyat, tidak ada!

Artinya uang hasil dari tambang batubara tidak jelas ke mana dibawa kabur. Pemerintah, DPR, Menteri keuangan, Bank Indonesia, OJK, PPATK, lembaga penegak hukum, tutup mata dengan berbagai skandal sumber daya alam.

Sampai sekarang belum ada perusahaan tambang batubara yang tersentuh hukum. Walaupun banyak pengaduan dari masyarakat, pejuang lingkungan, aktivis hak azasi yang menyampaikan fakta bahwa batubara adalah musuh utama gerakan masyarakat dalam  masalah lingkungan hidup, gerakan perjuangan masyarakat lokal, gerakan perempuan, dll.

Sekarang datanglah agenda suntik mati batubara dan pembangkit batubara. Ide suntik mati ini datang dari pemerintahan Indonesia. Presiden Joko Widodo sendiri yang memimpin transisi energi melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP) telah menetapkan target penutupan pembangkit batubara pada 2030.

Melalui kerja bersama atau kemitraan yang beranggotakan Inggris, AS, Jepang dan negara Uni Eropa (UE) lainnya, JETP telah membuat roadmap percepatan transisi energi khususnya penutupan atau suntik mati pembangkit batubara sebelum tahun 2030.

Masyarakat Indonesia lebih siap dari siapapun untuk perbaikan lingkungan. Batubara akan digantikan dengan apa? Oleh siapa? Jawabannya dengan sampah, oleh masyarakat sendiri yang didukung komunitas internasional. Langkah progresif telah dimulai oleh Walikota Cilegon Helldy Agustian dengan membangun pabrik pengolah sampah mengubahya menjadi bahan bakar, semua sampah bisa, kecuali kaca dan besi. Program yang didukung PLN ini hasilnya bahan bakar setara batubara dengan kalori 3000 sampai 4000 yang dikirim ke pembangkit PLTU Suralaya milik PLN.

Bayangkan pula jika terobosan Walikota Cilegon ini diikuti oleh semua bupati dan walikota seluruh Indonesia, maka selesailah urusan PLN dengan seluruh bandar batubara kakap pelaku utama deforestasi dan pencemaran udara di Indonesia.

Bayangkan nanti separuh pembangkit PLN PLTU saat ini akan dipasok bahan bakarnya oleh masyarakat, tukang pengumpul sampah. Ini benar-benar akan menjadi usaha rakyat, memberikan pekerjaan dan memberikan uang kepada rakyat. PLN adalah rakyat, rakyat adalah PLN. Begitulah slogannya kelak.

Ini yang namanya dengan Inclusive kalau dalam bahasa Just Energy Transition Partnership (JETP). Kalau bahasa Dirut PLN Darmawan Prasojo, ini namanya kerakyatan. Rakyat terlibat dalam perjuangan untuk ketahanan energi dan usaha memperjuangkan kedaulatan negara.

Ini adalah pelaksanaan dari sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Hankamrata), begitu yang dikatakan Dirut PLN pada acara Peresmian Pabrik Bahan Bakar Jumputan Padat TPSDA Bagendum, bahan bahar dari sampah karya masyarakat Cilegon, Rabu (23/11/2022).

Transisi energi memang bukan pekerjaan kecil. Ia harus melibatkan seluas luasnya partisipasi masyarakat yang mestihya mendapat manfaat atas agenda internasional yang tengah dipimpin oleh Presiden Jokowi.

Tanpa partisipasi masyarakat maka transisi energi akan mewariskan masalah baru yakni  pengangguran dan kemiskinan. Ia tidak akan ada bedanya dengan oligarki bandit batubara, tambang dan sawit yang meninggalkan kerusakan dan kemiskinan di wilayah operasi perusahaan mereka. (*)

306

Related Post