Menteri Luhut Juga Gagal Tata Seribu Tambang Ilegal

Natalius Pigai, Mantan Komisioner Komnas HAM

Sebagian dari mereka adalah perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya tidak hanya di Indonesia, namun juga di belahan lain dunia. (Sumber: Hanan Nugroho, Bappenas 2020).

Oleh: Natalius Pigai, Mantan Komisioner Komnas HAM

SAYA menolak hanya Kepolisian dan Bareskrim yang disalahkan. Pemerintah  dan Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan gagal tata 1.000 tambang ilegal (Pertambangan Tanpa Izin, PETI) dan cenderung Komprador dengan MNC.

Sudah sepatutnya rakyat menekan pemerintah sebagai sumber utama dari masalah tata kelola tambang.

Tanpa aparat Kepolisian wilayah tambang ilegal telah menjadi tempat-tempat yang berbahaya dari kejahatan: transaksi ilegal, kriminal, narkoba, alkohol juga prostitusi dan perdagangan PSK (pekerja seks komersial).

Para pelaku memiliki jaringan yang kuat diantara 1.000 titik tambang ilegal. Terdapat mobilisasi ilegal barang, orang, juga jasa.

Pemerintah telah gagal kelola sumber daya ekstraktif seperti tambang. Padahal Indonesia itu sebagai negara produsen dan pengekspor bahan-bahan tambang seperti Batubara, Timah, Bauksit, Nikel, Tembaga, maupun Emas.

Terdapat fakta pula bahwa Indonesia juga tempat yang ramai dengan kegiatan pertambangan rakyat skala kecil yang masih dikenal sebagai Pertambangan Tanpa Izin (PETI).

Namun, Pemerintah dalam hal ini Menko Luhut gagal revitalisasi kegiatan pertambangan rakyat yang sebagian telah berusia ratusan tahun. Akibatnya merugikan negara karena statusnya yang tanpa izin, tidak membayar royalti, menyebabkan keresahan sosial dan merusak lingkungan.

Jumlah Pertambangan Ilegal mereka ini mencapai lebih dari 1.000 lokasi di berbagai daerah di Indonesia, dan kegiatan mereka menjadi gantungan hidup bagi sekitar 2 juta warga Indonesia.

Hasil-hasil pertambangan di Indonesia yang sebagian (besarnya) kemudian diekspor tersebut diproduksi di pertambangan-pertambangan modern berskala besar seperti Freeport Indonesia (tembaga) di Papua, Vale (nikel) di Sulawesi Selatan, PT Aneka Tambang (bauksit; dulu di pulau Bintan-Kepulauan Riau, dan sekarang di Kalimantan Barat. Selain itu, PT Timah (timah) di Bangka Belitung, PT Kaltim Prima Coal atau Adaro (batubara) di Kalimantan Timur, dst.

Sebagian dari mereka adalah perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya tidak hanya di Indonesia, namun juga di belahan lain dunia. (Sumber: Hanan Nugroho, Bappenas 2020).

Keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Maritim dan Investasi yang membawahi Kementerian Pertambangan dan Energi dimana perusahan miliknya, PT Toba Sejahtera, diduga ikut berinvestasi juga dalam pengelolaan Tambang cenderung subjektif dan menyalahi aturan hukum dan moral. (Sumber: Walhi dan Kontras 2021).

Oleh karena itu rakyat seharusnya menekan pemerintah agar menata kembali pengelola hak tambang secara profesional supaya bermanfaat untuk negara, rakyat, pemda, pekerja, pengusaha juga kelestarian lingkungan tetap terjaga. (*)

364

Related Post