OPINI
Enak, Presiden Tidak Bertanggungjawab kepada Siapa-Siapa
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SAAT UUD 1945 asli masih berlaku Presiden bertanggungjawab kepada rakyat melalui MPR \"Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR\". Sebagai mandataris, Presiden bertanggungjawab kepada MPR. Pertanggungjawaban yang sangat jelas dan inilah yang dikehendaki oleh \"the founding fathers\" dalam rangka mengimplementasikan sila keempat Pancasila. Kini setelah empat kali amandemen yang menciptakan predikat \"UUD 2002\" atau \"UUD 1945 palsu\" maka Presiden menjadi leluasa berbuat tanpa harus mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada siapa-siapa. Tidak jelas pula agenda apa yang akan dikerjakan. Dahulu ada \"arahan rakyat\" melalui GBHN kini menjadi semau-maunya saja. Benar bahwa DPR adalah wakil rakyat akan tapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Ini menjadi penyebab utama Pemerintahan Jokowi menjadi amburadul kinerjanya. Presiden yang tidak bermutu itu masih ngotot pula untuk terus melanjutkan periode dengan dukungan kelompok kepentingan dan penekan amoeboid dan misterius yang bernama oligarki. Empat \"prestasi\" menonjol Pemerintah di era ini, yaitu : Pertama, sukses membungkam suara kritis DPR sebagai konsekuensi dari partai mayoritas yang terkooptasi dalam partai koalisi pemerintah. Mengubah sistem presidensial menjadi quasi parlementer dan DPR yang berfungsi sebagai \"tukang stempel\" di pinggir jalan. Kedua, sukses membungkam media. Media cetak dan televisi sakit gigi dan tidak mampu memberitakan sikap kritis kepada pemerintah apalagi suara oposisi. Demonstrasi buruh, mahasiswa, umat, dan elemen rakyat lain nyaris tidak pernah terberitakan. Rezim Jokowi sukses dalam membunuh media informasi. Hanya media sosial yang masih mampu berkelit. Ketiga, sukses membuat sepi investasi dan sibuk menumpuk hutang luar negeri. Proyek mangkrak dan mubazir menjadi fenomena dari realisasi program ekonomi. Jurang kesenjangan yang semakin menganga. Ekonomi pribumi sulit mengimbangi dominasi dan penguasaan asing dan aseng. Sumber daya alam dieksploitasi habis-habisan demi memperkaya para pemilik modal. Keempat, sukses meminggirkan kekuatan politik umat Islam. Isu terorisme, radikalisme dan intoleran menjadi senjata efektif untuk melumpuhkan. Moderasi menjadi jalan untuk sekularisasi dan de-Islamisasi. Atau sekurangnya melakukan rezimintasi faham agama melalui politik belah bambu, satu diangkat lainnya diinjak. Semua \"prestasi\" itu dijalankan tanpa kontrol dan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Karena memang Presiden pada kenyataannya tidak bertanggungjawab kepada siapa-siapa. Ini adalah produk dari road map politik yang dicanangkan untuk menggerus demokrasi dan melecehkan ideologi. Saatnya kita sadar diri untuk mengubah situasi. Presiden harus undur diri dan sistem bernegara mesti segera dibenahi. Jika tidak, rakyat terpaksa harus terus menerus memikul tandu berisi pemimpin negeri yang sudah lumpuh dan tidak mampu berbuat apa apa lagi. Sang pemimpin yang hanya bisa mengoceh dan berhalusinasi tentang ibukota dan istana baru, mobil-mobilan berteknologi tinggi, kereta cepat antrian panjang penumpang, menggali harta karun bertrilyun-trilyun, membahagiakan famili dan kroni, serta menjual negara dengan harga obral lalu mendapat untung besar. Mengoceh sendiri di atas tandu yang dipikul rakyat dengan nafas terengah-engah. Sang pemimpin itu memang beban. Bandung, 17 Oktober 2022
Wah, Ternyata Acay yang Otak-Atik CCTV di KM 50
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan TERKUAK juga secercah informasi tentang raib atau tidak berfungsinya CCTV di Km 50 sebagai TKP peristiwa tewasnya 6 anggota Laskar FPI. Ternyata dari kasus pembunuhan Brigadir J di Duren Tiga terbuka informasi tersebut. Surat Dakwaan singkat pemeriksaan AKBP Arif Rahman Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyebut keterlibatan AKBP Ari Cahya Nugraha alias Acay baik dalam kasus Duren Tiga maupun Km 50. AKBP Acay adalah anggota Kepolisian Mabes Polri yang pernah dikurung di tempat khusus tetapi tidak menjadi tersangka dalam kasus Duren Tiga. Dalam dakwaan singkat tertulis bahwa saksi AKBP Ari Cahya Nugraha merupakan tim (pengamanan) CCTV pada kasus Km 50. Pihak Jasa Marga menyatakan bahwa CCTV Jalan Tol Jakarta Cikampek Km 50 tidak dapat diakses. Temuan Komnas HAM menunjukan adanya CCTV di dekat salah satu lapak rest area Km 50 dirampas oleh pihak kepolisian. Anehnya Komnas HAM tidak menyelidiki barang bukti CCTV yang disita atau diganti oleh petugas Kepolisian tersebut. Keterangan saksi AKBP Arif Rahman Hakim yang menyebut peran AKBP Ari Cahya Nugraha alias Acay dalam kasus Km 50 dapat dijadikan sebagai bukti baru (novum) untuk mengusut kembali pembunuhan atau pembantaian 6 anggota Laskar FPI sebagaimana janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit di depan anggota DPR beberapa waktu lalu. Meskipun tanpa Novum sebenarnya sudah dapat segera diusut kembali kasus Km 50 karena : Pertama, rekomendasi Komnas HAM yang lalu belum sepenuhnya ditindaklanjuti oleh Kepolisian khususnya dalam memproses hukum penumpang 2 mobil yang membuntuti rombongan HRS dan menembak dua anggota Laskar FPI di interchange Karawang Barat. Kedua, Komnas HAM belum menggunakan hak penyelidikan pro-yustisia karena tidak mendasarkan tugasnya pada UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM yang baru dapat segera melakukan pengusutan dengan lebih seksama. Ketiga, pelaku kejahatan pembunuhan atau pembantaian peristiwa Km 50 bukan hanya dua tersangka anggota Polri saja akan tetapi lebih banyak, sebab terbukti pelapor atas kejadian Km 50 itu berubah-ubah personalnya. Belum lagi bukti keberadaan mobil Land Cruiser hitam yang ternyata sama sekali tidak diusut atau diperiksa di sidang Pengadilan. Andaipun harus ada Novum maka sekurangnya ada tiga Novum yang sudah dapat dikemukakan yaitu Buku Putih TP3, rekaman persidangan kasus Habib Bahar Smith, dan temuan terakhir AKBP Acay yang telah melakukan otak atik atau perekayasaan CCTV Jl Tol Jakarta Cikampek Km 50. Sebenarnya sudah tidak ada lagi alasan hukum untuk tidak melakukan pengusutan kembali atas kasus pelanggaran HAM berat Km 50. Sebaliknya, membiarkan atau menggantungkan kasus ini justru hanya menjadi bukti bahwa pembunuhan atau pembantaian 6 anggota Laskar FPI itu merupakan kekejian atau kejahatan kemanusiaan dari penguasa negara. Bandung, 16 Oktober 2022
Anies Baswedan dan New Hope
Saya melihat Anies adalah antitesa dari rezim Jokowi ini. Sudah lazimnya era kebosanan itu berlaku universal. Rakyat pasti ingin sikon baru. Rakyat butuh New Hope (harapan) dan Anies bisa jadi figure of change-nya. Oleh: Andrianto, Aktivis Pergerakan 98 HARI ini Anies Rasyid Baswedan tuntaskan masa pengabdian di DKI Jakarta. Sebagai kota center of Indonesia, Jakarta adalah kota terbesar dari sisi luas 505 km persegi mirip dengan luas Singapura. Dengan penduduk jika siang 12 juta dan malam 8 jutaan, maka Jakarta kota terluas dan terpadat di Indonesia. Yang mendekati Surabaya 215 km/4 juta penduduknya. Jakarta yang didirikan Fatahilah ketika berhasil mengusir kolonial Portugis, makin berkembang melampaui Demak yang saat itu ibukota Mataram Islam. Jadi ketika Belanda dipimpin admiral JP Coen menjadikan Jakarta, lantas menamakan Batavia menjadi pusat kolonial Belanda yang saat itu jadi trio kolonialis selain Portugis dan Spanyol. Jadi memang sudah historical takdirnya Jakarta jadi pusat pemerintahan yang juga pusat ekonomi. Bila merefeksi 5 tahun Anies memimpin Jakarta sudah banyak berubah wajah kemanusiannya. Tata kelola transportasi juga lebih baik. Meski problem utama kemacetan dan banjir tidak juga tertuntaskan, tetapi ini bisa debatble, mistri yang belum terpecahkan kenapa Jakarta tak bisa meniru Tokyo jadi kota Megapolitan sehingga Jakarta dengan kota satelitnya Bekasi, Bogor, Depok, bisa terkoneksi sehingga policy makers bisa komfrehensif. Menjadi Gubernur Jakarta memang special, dalam setiap survey Anies juga masuk 3 besar. Apalagi Nasdem juga sudah mendeklrasikan Anies Sebagai Bakal Capres. Saya rasa itu bagus, jauh-jauh hari masyarakat tahu bakal pemimpinnya. Apakah Anies akan launch tergantung dari persepsi kinerja Rezim Jokowi ini, bila makin terpuruk dengan isu Polri, ekonomi rupiah yang makin lunglai, demo-demo yang tiada henti minta harga BBM diturunkan, maka Anies bisa makin moncer. Saya melihat Anies adalah antitesa dari rezim Jokowi ini. Sudah lazimnya era kebosanan itu berlaku universal. Rakyat pasti ingin sikon baru. Rakyat butuh New Hope (harapan) dan Anies bisa jadi figure of change-nya. Catatan Prestasi Kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta bakal berakhir hari ini, Ahad, 16 Oktober 2022. Sejak lima tahun menjabat, beberapa karya dan pencapaian Anies menjadi sorotan masyarakat. Berikut beberapa prestasi dari Anies Baswedan selama menjadi gubernur DKI, dilansir Radaraktual.com. Pencapaian Anies merupakan suatu hal yang sangat penting sebagai bentuk pertanggungjawabannya selama ia memimpin DKI Jakarta. Berikut ini daftar prestasi yang dibanggakan Anies Baswedan selama 5 tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta: 1. Jakarta Internasional Stadium (JIS) Menjelang purnatugas Anies berhasil menyelesaikan pembangunan stadion sepak bola yang diberi nama Jakarta Internasional Stadium (JIS) berlokasi di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia membanggakan mahakaryanya ini sebagai satu-satunya stadion beratap penuh di Asia-Pasifik. Adapun JIS dibangun dengan dana APBD sebesar Rp 4,5 triliun. Menurutnya, jika pembangunan JIS sebagai bukti penuntasan janji yang telah ia sampaikan kepada The Jakmania saat lima tahun yang lalu. Stadion dengan kapasitas 82 ribu penonton itu memiliki atap yang bisa dibuka tutup secara otomatis. Meski begitu, JIS bukanlah proyek Anies sendirian selama menjabat gubernur. Diketahui proyek ini telah melewati sebanyak empat kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta. Selama proses pembangunannya, proyek ini juga sempat menuai kritik dan penolakan dari beberapa kalangan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena Pemprov DKI telah menggusur sejumlah bangunan-bangunan yang dianggap liar di kawasan tersebut, tepatnya pada 24 Agustus 2008. 2. Penyelenggaraan Formula E Ajang balap mobil listrik internasional, Formula E telah sukses digelar di DKI Jakarta pada Sabtu (4/6/2022) lalu. Gelaran Formula E berlokasi di Ancol, Jakarta Utara. Ajang balap ini menjadi momentum yang penting di era kepemimpinan Anies Baswedan. Anies memamerkan keberhasilan gelaran ajang balap yang masuk dalam rangkaian acara ‘Jakarta Hajatan’ pada beberapa kesempatan penting di hadapan para pejabat. Anies menyebut jika suksesnya ajang balapan mobil listrik itu telah berhasil membawa nama baik ibu kota negara ke seluruh dunia. Adapun pembangunan sirkuit Formula E menggunakan dana anggaran sebesar Rp 60 miliar. Anies mengungkapkan jika gelaran Jakarta E-Prix adalah yang tersukses selama gelaran balapan tersebut dalam sewindu. 3. Pembangunan Jalur Sepeda Pada masa pemerintahannya, Anies menggencarkan pembangunan jalur sepeda. Anies menargetkan tersedianya 535,68 km jalur sepeda pada 2026 di Jakarta. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur yang diteken pada 10 Juni 2022, yaitu Pergub Nomor 25 Tahun 2022 tentang Rencana Pembangunan Daerah (RPD) DKI Jakarta Tahun 2023-2026. Kepala Dinas Perhubungan Syafrin Liputo menyatakan pada 31 Agustus lalu Jakarta sudah mempunyai 114,5 km jalur sepeda dan jalur ini akan tambah sebapanjang 195 km lagi. Terakhir, pada tanggal 21 September lalu, Anies mengungkapkan Jakarta telah memiliki 103 jalur sepeda. 4. Aplikasi Jakarta Kini (JAKI) Sejak pandemi Covid-19 pada 2020 lalu, Anies berinovasi dengan membuat aplikasi digital Jakarta Kini (JAKI). Aplikasi ini digunakan oleh Pemprov DKI sebagai pusat informasi dalam penanganan kasus Covid-19 dan banjir di DKI Jakarta. 5. JakLingko Prestasi Anies selanjutnya berkenaan dengan mobilitas Jakarta yaitu integrasi transportasi. Dia membanggakan pencapaian Tarif Integrasi Transportasi JakLingko. Dengan JakLingko semua warga dapat menggunakan fasilitas kartu uang elektronik atau aplikasi JakLingko untuk bertransaksi pada seluruh moda. Hal ini mengingat sebelumnya mereka harus butuh kartu-kartu berbeda untuk bisa mengakses transportasi yang berbeda. Tarif JakLingko yakni maksimal Rp 10 ribu dengan tujuan ke mana saja. 6. Pelebaran Trotoar Revitalisasi trotoar di DKI Jakarta terus digencarkan di era Anies Baswedan. Hal ini dapat terlihat pada sejumlah ruas jalan, trotoar kini sudah menjadi lebih lebar ketimbang sebelumnya. Meskipun sejumlah jalanan aspal menjadi agak sempit. 7. Sumur Resapan Sumur resapan termasuk salah satu karya Anies yang sangat kontroversial. Ide dasarnya yaitu Pemprov DKI ingin membuat air masuk ke dalam tanah. Namun nyatanya, tidak semua karakter tanah di Jakarta mampu menyerap air. Pada saat pembangunannya juga menuai kritik karena menyebabkan kemacetan dibeberapa titik jalan. 8. Revitalisasi Kota Tua Batavia Anies Baswedan telah mengubah zona Rendah Emisi (Low Emission Zone/LEZ) Kota Tua. Dalam revitalisasinya itu, saat ini Kota Tua hanya dapat dilalui oleh pejalan kaki, bus TransJakarta, kendaraan listrik, pesepeda, dan bus berstiker khusus. Tapi setelah kebijakan ini diresmikan masih ada saja kendaraan yang keluar masuk ke Jl Pintu Besar Utara. 9. Gratiskan PBB di bawah Rp 2 M Pada masa jabatan Anies, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi beberapa rumah warga yang mempunyai nilai jual objek pajak di bawah Rp 2 miliar gratis. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 23 Tahun 2022 yang mengatur tentang Kebijakan Penetapan dan Pembayaran Pajak Bumi, Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Upaya Pemulihan Ekonomi Tahun 2022 ini. 10. Rumah DP Rp 0 Rumah DP Rp 0 menjadi salah satu program Anies yang menuai kontroversi. Pada masa kampanyenya, program tersebut direncanakan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Belakangan, diketahui program itu hanya ditujukan bagi masyarakat yang berpenghasilan Rp 15 juta per bulan. Namun, program tersebut hingga kini terus berusaha direalisasikan dan pada 21 September 2022 lalu Anies menyatakan jika sudah membangun sebanyak 2.332 unit hunian dengan skema DP Rp 0. Nah itulah daftar prestasi Anies Baswedan selama menjadi gubernur DKI yang menuai pujian hingga kontroversi di tengah masyarakat. (*)
Peringatan Bagi Capres Lain, Anies Menuju Politik Kebangsaan?
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PENCAPRESAN Anies oleh Nasdem terlalu dini, prematur. Anies belum menjadi capres yang sesungguhnya, karena belum memenuhi presidential threshold 20 persen. Artinya, masih banyak ketidakpastian, bisa berubah di tengah jalan. Namun demikian, sambutan masyarakat cukup antusias. Bahkan sangat antusias. Meskipun menuai kontroversi. Sudah ada pihak yang mengatakan atau “berpendapat” bahwa Anies akan memainkan politik identitas dalam pilpres 2024 ini. Di lain sisi, banyak pihak yang melihat “pendapat” tersebut hanya upaya membentuk opini, untuk menjauhkan pemilih. Tetapi, yang perlu diwaspadai adalah, pembentukan opini seperti ini bisa menjadi bumerang, dan berakibat fatal bagi capres lawan. Tidak efektif. Pertama, Anies dicalonkan sebagai capres 2024 oleh partai Nasdem, partai Nasional Demokrat, partai nasionalis dengan politik solidaritas. Dengan kata lain, Anies tidak didukung, atau belum didukung, oleh partai islam. Kedua, Anies didukung secara terang-terangan oleh Organisasi Masa Pemuda Pancasila, yang menganut prinsip nasionalis dan pancasilais. Bahkan Anies diberikan kartu anggota. Dalam pidatonya, Ketua Umum Pemuda Pancasila, Japto Soelistyo Soerjosoemarno, mengatakan anggota Pemuda Pancasila wajib memilih Anies. Ketiga, dan ini yang menjadi pukulan telak bagi Ganjar Pranowo dan Hasto Kristiyanto, Anies diundang untuk memberi sambutan dan sekaligus membuka acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) GMNI, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, di mana Ganjar dan Hasto merupakan alumni GMNI. Publikpun bertanya-tanya, mengapa Anies, mengapa bukan Ganjar atau Hasto? Rapimnas GMNI di Ancol pada 15 Oktober 2022 mengambil tema “Nasionalis Kolaboratif”, sejalan dengan politik solidaritas-nya Nasdem. Ketiga hal di atas menunjukkan Anies sedang menuju dan menjalankan politik persatuan, politik solidaritas, dan kolaboratif, intinya politik kebangsaan. Maka itu, lawan Anies dalam kontestasi pilpres 2024 nanti harus ekstra hati-hati. Tuduhan politik identitas akan menjadi bumerang. Karena semua itu tidak terbukti, bahkan terkesan hanya fitnah. Perlu diingat, seseorang semakin “teraniaya”, maka akan semakin populer. Maka itu, setiap capres harus mengedepankan program dalam kampanyenya nanti, bukan menyudutkan pihak lain, atau kampanye hitam yang akan menjadi bumerang. Anies sekarang ini, sebagai capres 2024, mendapat banyak keuntungan. Mendapat publikasi lebih awal dan lebih masif, dari capres-capres lainnya yang belum muncul. Kalau partai politik lainnya menunda pengumuman capresnya, maka semakin sulit mengejar popularitas Anies. (*)
Begitu Cepat Goodbener Anies Berlalu
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN SUNGGUH cepat waktu berlalu. Lima tahun silam, 16 Oktober 2017, Anies Baswedan dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta. Hari ini beliau keluar dari Balai Kota. Mandat itu berakhir. Sungguh tak terasa. Tiba-tiba saja hari ini Anies menyudahi sejarah terbaik yang dilakonkan oleh gubernur terbaik di Jakarta. Memang agak susah untuk menyadari begitu cepat Anies berlalu kalau Anda tidak keliling Jakarta. Kata orang-orang, kalau Anda punya waktu mengitari Jakarta, termasuk Old City (Kota Tua), stadion JIS, taman-taman hijau, dlsb, barulah akan terlihat betapa selama lima tahun ini begitu banyak yang dikerjakan Goodbener. Sistem transportasi yang terintegrasi membuat warga semakin mudah bepergian. Rumah-rumah susun yang terjangkau dan menjangkau banyak orang kecil, menjadi kenangan yang tak terlupakan. Pelayanan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus (special need), berjalan seperti yang disediakan di negara-negara maju. Lebih-kurang yang dilakukan Pak Gub adalah menggusur kemiskinan, bukan menggusur orang miskin. Anies berusaha membangun keadilan sosial untuk semua. Hasilnya diakui sangat fantastis. Pengakuan verbal berjubel, pengakuan resmi dengan sertifikat pun tak henti-hentinya dilayangkan. Bisakah disebut sempurna. Tetap saja belum sempurna. Dan memang tak mungkin sempurna. Namun, jauh lebih baik dari kondisi sebelum dia mengambil alih Balai Kota lima tahun yang lalu itu. Seandainya tidak ada panggilan rakyat agar dia menjakartakan Indonesia, pastilah Anies akan mengubah DKI lebih dahsyat lagi selama lima tahun berikutnya. Tapi, rakyat di segenap pelosok negeri sudah tak sabar menanti Anies duduk sebagai presiden. Hari ini, hampir di seluruh pojok Tanah Air, ratusan simpul relawan menyambut purnatugas Anies. Ratusan bahkan ribuan relawan secara simbolis menunjukkan panggialan rakyat itu. Bagi warga Jakarta, bisa dipahami betapa mereka merasa begitu cepat Pak Gubernur mereka menghabiskan waktu lima tahun. Tapi, bagi rakyat di seluruh Indonesia yang mendambakan perubahan dan kemajuan seperti yang dinikmati orang Jakarta, maka menunggu Anies duduk sebagai presiden pada 2024 terasa sangat lama. Tidak ada pilihan lain. Rakyat haruslah bersabar menunggu pilpes 2024. Bahkan, menunggu sambil senantiasa waspada. Sebab, begitu besar kekuatan jahat yang bertekad akan menjegal Anies menuju Istana. Mulai hari ini, kewaspadaan rakyat terhadap permainan kotor para elit boneka akan berada pada tingkat maksimum. Lawan-lawan politik Anies bukan orang sembarangan. Mereka memiliki kekuasaan besar dan juga duit besar. Semua bisa mereka beli dan mereka kendalikan. Rakyat tak hanya sekadar menyadari manuver jahat terhadap Anies, mereka juga siap lahir-batin untuk mengawal figur harapan itu. Pengawalan rakyat akan terlihat kasat mata ketika, mulai besok, Anies memenuhi undangan silaturahmi ke segala penjuru.[]
Jenderal Dagang Narkoba, Catatan Delapan Tahun Revolusi Mental Jokowi
Saatnya kini Kapolri mendekatkan diri jajarannya pada ulama, Pendeta, pusat-pusat ibadah dlsb, untuk mengasah akhlak. Mengasah akhlak akan menjauhkan manusia dari serakah maupun kebendaan belaka. Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle JENDERAL polisi bintang dua dan baru saja ditunjuk menjabat Kapolda Jawa Timur, jabatan prestisius, Teddy Minahasa, menjadi pedagang narkoba, yang berhasil dibongkar pihak kepolisian di Jakarta. Ini berita terheboh sepanjang sepekan ini, disamping soal isu ijazah palsu Joko Widodo alias Jokowi, yang menjadi perbincangan publik. Bersamaan dengan munculnya berita Teddy Minahasa, beberapa perwira polisi yang diundang Jokowi ke Istana Negara, ditemukan 8 Kapolda sedang positif mengkonsumsi narkoba. Situasi ini berbarengan dengan laporan media bahwa terjadi peningkatan peredaran narkoba saat ini. Bahkan, setelah rezim Jokowi mengumandangkan \"War on Drugs\". Luar biasa hancurnya moral polisi kita. Harapan atas keberadaan polisi semakin mengecil. Presiden, anggota DPR dan masyarakat ramai-ramai mengecam polisi selama beberapa bulan belakangan ini. Setidaknya sejak kasus Ferdy Sambo, sebagaimana merujuk CNN Indonesia dalam berita \"Ramai Kritik Kasus Polri: Sambo, Kanjuruhan Hingga Teddy Terseret Sabu\", (15/10/2022), baik anggota DPR oposisi (Demokrat) maupun pendukung pemerintah (PDIP) melihat polisi seperti tiada harapan lagi bagi perbaikan bangsa. Dalam berita ini bahkan presiden pun sepertinya sudah putus harapan. Bagi Jokowi tentu saja lebih mengerikan. Sebab, reputasi Jokowi sebagai pemimpin sebuah negara yang akan menggelar perhelatan G20, yang bulan depan akan dilangsungkan di Indonesia, dapat pula dipertanyakan dunia. Bagaimana mungkin mengamankan sebuah event raksasa jika pengamanan dilakukan oleh polisi yang kini justru perlu diamankan? Revolusi Mental Yang Gagal Dalam tulisan saya dua bulan lalu berjudul \"Rektor Koruptor dan Gagalnya Revolusi Mental\", saya telah membahas kegagalan revolusi mental ini. Kembali pada kesempatan ini saya mengutip makna revolusi mental yang dimaksud Jokowi, yakni \"suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala\" (sumber situs Keminfo) dan \"Revolusi mental Jokowi” ditandai dengan prinsip integritas, etos kerja dan gotong royong. (situs Kemendikbud). Melihat pengertian di atas sudah sepantasnya Jokowi bercermin bahwa revolusi mental itu sudah jauh dari harapan. Keinginan Jokowi yang disampaikan pada polisi di Istana kemarin, yakni jangan bermewah-mewah diantara penderitaan rakyat saat ini, seperti pepatah mendulang air ke muka sendiri. Sebab, dengan besarnya kekuasaan polisi dalam naungan Jokowi, tentu artinya itu cermin diri Jokowi sendiri, sebagai sebuah kesatuan. Persoalan Ferdy Sambo, pembantaian Kanjuruhan dan terakhir kasus Teddy Minahasa, menunjukkan bahwa spektrum kerusakan mental yang luas pada kepolisian kita. Sehingga selama 8 tahun pemerintahan Jokowi, baik ketika polisi memakai istilah Promoter lalu kini, Presisi, sebagai acuan (budaya) kerja mental mereka semakin terpuruk. Tentu saja kita mengapresiasi masih adanya elit-elit polisi yang tetap berani melakukan perbaikan, seperti dalam kasus Sambo, di mana diberitakan ada jenderal berbintang 3 mengancam mundur jika Sambo tidak di penjara (lihat: \"Diminta Buka Sosok Jenderal Bintang 3 yang Ancam Mundur di Kasus Sambo, Mahfud: Saya Tidak Bisa Dipaksa\", Kompas, (22/8/2022). Atau keberanian Polda Metro Jaya membongkar jaringan penjual narkoba yang melibatkan Jenderal Teddy, dan juga tentu Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang mendukung reformasi kepolisiank (misalnya juga ketika langkah cepat Kapolri mencopot Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta terkait dengan kasus Kanjuruhan). Namun, segelintir elit polisi yang ingin perubahan ini pastinya menghadapi hambatan yang sangat besar, baik karena kerusakan mental tadi maupun tantangan eksternal dari pihak-pihak yang berhasrat menjadikan kepolisian hanya sebagai alat, baik para bandar, cukong-cukong dan juga para politisi. Revolusi Akhlak Bila Jokowi sudah menyaksikan sendiri kemerosotan mental polisi, khususnya terkait statemen-statemennya ketika menerima kedatangan seluruh perwira polisi kemarin di Istana, maka sesungguhnya perlu dicari jalan keluar yang tepat. Pembenahan struktur polisi agar berorientasi pada pelayanan masyarakat bisa dilakukan oleh Jokowi dan Kapolri secara sistematis. Namun, itu tidak akan berhasil jika perombakan kultural tidak dilakukan. Perombakan kultural ini hanya bisa dimulai dengan sebuah tobat besar-besaran dan dilanjutkan dengan memperbaiki moral atau akhlak polisi. Sebagai penegak hukum polisi harus masuk pada pepatah \"membersihkan yang kotor tidak mungkin dengan sapu yang kotor\". Polisi harus mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka harus jadi teladan. Mereka harus bersyukur atas apa yang mereka peroleh sebagai rezekinya. Nasihat Jokowi untuk tidak silau dengan kemewahan, dalam situasi yang serba memuja benda saat ini, hanya bisa dilakukan dengan mendekatkan diri pada ajaran agama. Polisi harus dekat dengan ulama, kyai, Masjid, Pendeta, Gereja dan lain-lain sesuai dengan agamanya. Apabila moralitas polisi sebagai penegak hukum mendapatkan kepercayaan rakyat, melalui perbaikan akhlak, maka cita-cita Jokowi dalam Nawacita, menciptakan Indonesia yang aman dan nyaman tentu dapat terjadi. Penutup Kepolisian kita diambang kehancuran moral dan mental. Jokowi telah mengundang seluruh perwira polisi ke Istana kemarin lalu dan memberi petuah agar jajaran polisi tidak silau kemewahan, bekerja jangan terlalu menjelimet seperti yang digambarkan Presisi, dan kembali menjadikan polisi untuk kepentingan rakyat. Semua kejadian terakhir, Sambo, Kanjuruhan, dan kasus Teddy Minahasa, menunjukkan Revolusi Mental Jokowi telah gagal. Jokowi dan Kapolri harus bekerja keras untuk mereformasi kepolisian agar kembali pada fungsinya, mengayomi rakyat. Namun, Jokowi dan Kapolri hanya bisa menyelesaikan masalah struktur, seperti memperbaiki renumerasi, jenjang karir atau lainnya, namun tanpa perbaikan kultural, yakni akhlak dan moral, langkah ini tidak akan merubah banyak. Saatnya kini Kapolri mendekatkan diri jajarannya pada ulama, Pendeta, pusat-pusat ibadah dlsb, untuk mengasah akhlak. Mengasah akhlak akan menjauhkan manusia dari serakah maupun kebendaan belaka. Jajaran elit di sekitar Kapolri maupun para penasehatnya harus mengalami perombakan, ke arah perbaikan akhlak tadi. Langkah jajaran Polresta Malang yang melakukan Sujud memohon ampun beberapa hari lalu, paska Tragedi Kanjuruhan, perlu dijadikan contoh awal yang perlu diapresiasi. Semoga perbaikan institusi Kepolisian dapat berlangsung sukses. (*)
Strategi Antitesis Versus Membebek, Sah dan Bagus
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PEMILIHAN Presiden (pilpres) 2024 masih lama. Tapi temperatur pilpres sudah memanas. Beberapa nama bakal calon presiden sudah disebut. Ada nama Prabowo Subianto, ketua umum Partai Gerindra, yang dinobatkan capres 2024 oleh Gerindra dan PKB. Kedua partai ini sudah memenuhi kuota presidential threshold 20 persen. Penunjukan capres dari Gerindra dan PKB ini biasa-biasa saja, tidak mengundang heboh. Memang seharusnya seperti itu, karena pilpres adalah peristiwa normal yang berulang setiap lima tahun. Kemudian NasDem membuat kejutan, menunjuk Anies Baswedan sebagai Capres 2024, tanpa koalisi dengan partai lain, sehingga belum memenuhi kuota presidential threshold 20 persen. Pencapresan Anies langsung menjadi sorotan publik, menjadi magnet berita. Mungkin karena Anies dianggap sebagai simbol di luar kekuasaan. Bahkan sepertinya dimusuhi. Itu persepsi publik. Meminjam bahasa Zulfan Lindan, Anies dapat dikatakan sebagai antitesis Jokowi. Ungkapan yang sangat tepat, jujur dan mengandung kebenaran yang sulit dibantah. Tapi kejujuran dan kebenaran tersebut malah “dikriminalisasi”. Beredar surat dari pengurus NasDem bahwa Zulfan Lindan dinon-aktifkan dari kepengurusan partai. Dengan kata lain dipecat. Padahal, menurut Zulfan Lindan, yang bersangkutan sudah mengundurkan diri dari susunan pengurus partai sejak April 2020. Pilpres 2024 merupakan kontestasi anak bangsa untuk memajukan Indonesia, dan pasti terjadi setiap lima tahun sekali. Kontestasi pilpres 2024 ini tidak ada hubungan dengan Jokowi, karena Jokowi sudah tidak bisa lagi menjadi calon presiden 2024. Artinya, masa Jokowi sudah berakhir. Histori. Seperti juga SBY. Ini fakta yang harus disadari dan diterima oleh semua orang. Untuk memenangkan pilpres 2024, calon presiden dan partai pengusung bebas memilih strategi, bagaimana membawa Indonesia menjadi lebih baik di masa depan. Mereka bisa memilih melanjutkan program pembangunan ekonomi, sosial dan politik ala Jokowi. Atau mereka bisa memilih jalan yang sangat berbeda dengan yang sekarang dilaksanakan Jokowi. Artinya, antitesis Jokowi. Atau, capres lain mungkin mau kombinasikan jalan baru dan jalan lama. Semua bebas memilih strategi. Setiap pergantian pemerintahan umumnya juga diikuti dengan pergantian kebijakan, agar dapat lebih memajukan bangsa dan negara. Apakah mau memilih strategi antitesis, atau strategi “membebek”, itu pilihan masing-masing capres dan partai pengusung, dan akhirnya rakyat yang akan menentukan. Selamat berkontestasi pemilihan presiden 2024. Selamat merayakan pesta demokrasi, kalau masih ada. (*)
Gaduh dari Duren 3 ke Kanjuruhan hingga Ijazah dan Narkoba
Kekuasaan diperebutkan dengan menghalalkan segala cara. Merusak sistem negara yang berdasar Pancasila. Oleh: Ferry Is Mirza DM, Wartawan Utama, Sekertaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim SILIH berganti terjadi kegaduhan di NKRI ini. Diawali bulan Juli peristiwa Duren 3 pembunuhan Brigadir Joshua yang ditembak oleh Irjen Pol Ferdy Sambo dan Bharada Elizer. Lalu, disusul 1 Oktober, tragedi Stadion Kanjuruhan 132 Aremania-Aremanita nyawanya terenggut akibat gas air mata yang ditembakan aparat Brimob Polda Jawa Timur. Lalu, mencuat gugatan ijazah milik Joko Widodo yang menurut pelapornya, Bambang Tri, diduga kuat aspal. Karuan saja beritanya membuat gonjang-ganjing kendati masih dalam proses di meja hijau. Belakangan, Bambang Tri pun ditangkap aparat polisi. Dan, kegaduhan yang seru terjadi Jumat kemarin (14/10/2022). Beberapa media online mainstream menurunkan berita tanda tanya berjudul Irjen Tedi Minahasa Ditangkap? Diduga terkait Narkoba. Karuan saja heboh lah... Pasalnya pada waktu bersamaan – Jumat siang itu – semua pejabat jajaran Polri dari Mabes, Mapolda hingga Mapolres dipanggil Presiden Jokowi ke Istana Negara. Kasus Duren 3 yang populer dengan istilah Sambo itu berujung pemecatan Ferdy Sambo dan dicopot dari jabatan prestisius Kadivpropam Mabes Polri. Selain Sambo, ikut dipecat dengan tidak hormat dari Polri dua Brigjen dan beberapa Pamen ikut terseret dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Sedangkan, dalam tragedi stadion Kanjuruhan pasca laga Liga 1 Arema vs Persebaya yang mana korbannya masuk dalam rekor dunia karena 132 orang pria wanita tua muda yang tewas. Yang tak kalah heboh dan bikin gaduh, soal gugatan Bambang Tri atas keabsahan ijazah Jokowi yang sedang diproses meja hijau di PN Jakarta Pusat. Jika terbukti ijazahnya palsu, tentu ini bukan sekedar heboh, tapi gempa dahsyat negeri ini. Negeri ini memang banyak tetuanya. Tidak bisa sembrono berbuat nista sebab para pepunden negeri ini tidak akan mengijinkan bagi mereka yang berbuat menimbulkan aib. Kasus di tubuh Polri yang tidak ada jedahnya, mulai kasus Sambo sampai terungkap adanya Satgassus Merah Putih. Disusul ada polisi melakukan perbutan tidak senonoh. Kemudian kasus Kanjuruhan yang memakan korban ratusan manusia. Semua tidak kunjung terang seakan mbulet mencari selamat. Teranyar disusul dengan kasus Irjen Pol Tedy Minahasa yang pada tanggal 10 Oktober lalu atas Skep Kapolri ditetapkan jadi Kapolda Jatim, diduga menjadi bandar Narkoba. Tentu ini bukan bikin gaduh tapi mengerikan. Beruntung Tedy batal menjabat Kapolda Jatim, kini menghuni tempat khusus di Jl. Trunojoyo Jaksel, Mabes Polri. Pejabat yang diberi amanah bangsa ini kebanyakan memang tidak pernah jujur dan tidak mau bertanggungjawab terhadap apa yang diperbuatnya. Kegaduhan mulai Duren 3 yang drakor itu, semula Sambo ngotot istrinya diperkaos oleh alm Bigadir J. Ternyata semua yang diucapkan Sambo hoax. Begitupun soal tragedi stadion Kanjuruhan, meski masih berjalan investigasi siapa yang menjadi sebab akibat, nampaknya berliku. Juga soal dugaan ijazah palsu Jokowi menjadi perhatian yang sangat luas di negeri ini. Tentu kita tidak ingin hal ini benar terjadi. Jika benar ini aspal, tentu akan menjadi tsunami bagi negeri ini. Akan merembet ke segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pelajaran yang sangat mahal bagi bangsa ini jika pemalsuan ijazah Jokowi itu terbukti. Digantinya UUD 1945 dengan UUD 2002 ternyata berakibat “kerusakan” yang dialami NKRI begitu dahsyat. Sistem liberal dan kapitalis benar-benar mampu merusak moral bangsa ini. Kekuasaan diperebutkan dengan menghalalkan segala cara. Merusak sistem negara yang berdasar Pancasila. Pemilihan presiden (Pilpres) dengan banyak-banyakan suara, kalah-menang. Pertarungan kuat-kuatan jelas bertentangan dengan UUD\'45, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. (*)
Etika Politik Santun Anies, dan Spekulasi Pilihan Capres NasDem
Oleh Ady Amar - Kolumnis PILIHAN Surya Paloh, dan itu pilihan Partai NasDem, pada Anies Baswedan sebagai Capres yang diusungnya-- di samping prestasi yang dibuat selaku Gubernur DKI Jakarta, dan juga elektabilitas Anies yang terus menapak tinggi. Tapi agaknya ada juga pertimbangan lain, itu sepertinya jadi aspek yang tidak bisa ditawar-tawar, etika politik santun Anies. Tidak banyak politisi negeri ini yang mengedepankan etika santun dalam aksi politiknya. Hal biasa yang justru sering ditemui, adu \"pantun\" saling menyerang antarpolitisi. Publik disuguhi sikap politisi yang tidak saling menghargai satu dengan yang lain. Itu yang hari-hari ini kita temui. Anies muncul sebagai poltisi antitesa dari kebanyakan politisi yang ada. Anies tidak dibuat sempit sebagai antitesa dari Presiden Jokowi--sebagaimana politisi NasDem Zulfan Lindan menyebutnya, yang karenanya mendapat \"kartu kuning\" dari partainya. Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, juga dikenal sebagai politisi yang memegang etika politik. Ia sadar bahwa NasDem yang dipimpinnya, masih bagian dari koalisi kaninet Presiden Jokowi. Jadi memperhadapkan Anies dengan Jokowi, itu offside. NasDem memang telah resmi mencalonkan Anies Baswedan sebagai Capres 2024, (3 Oktober 2022). Dan itu sah-sah saja. Seperti juga pilihan NasDem membersamai Presiden Jokowi sampai akhir masa jabatan, (2024), itu pun sah-sah saja. Langkah NasDem itu tetap bisa disebut etika politik selayaknya. Meski telah mencalonkan Anies sebagai capres 2024, itu sama sekali tidak menelikung komitmen membersamai Presiden Jokowi sampai jabatannya berakhir. Artinya, mencalonkan Anies itu rencana masa depan NasDem, sebuah langkah persiapan untuk menggantikan Presiden Jokowi. Karenanya, NasDem jauh hari perlu menegaskan, Anies Baswedan adalah capres pengganti Jokowi. Sekali lagi, sah-sah saja pilihan NasDem itu. Sebagaimana juga sebelumnya Partai Gerindra sudah memutuskan mengusung Ketua Umumnya Prabowo Subianto, sebagai capres. Melihat pilihan politik NasDem, semestinya sama dengan apa yang dilakukan Gerindra. Tapi tidak demikian yang muncul. Setelah deklarasi capres NasDem, muncul reaksi perlawanan dari politisi lain, yang juga dari partai koalisi pendukung Presiden Jokowi. Meminta NasDem, meski tersirat, untuk meninggalkan kabinet. Itu yang santer didengungkan. Tentu itu etika politik di luar kelaziman. Etika politik santun juga dimainkan Surya Paloh, yang memang bukan politisi yang terbiasa menyerang lawan politiknya. Etika politik yang dipunya Paloh, itu mirip Anies yang tidak terbiasa saling serang dengan mereka yang memberitakan dengan tidak sebenarnya. Membiarkan saja serangan itu, meski sampai tingkat fitnah sekalipun. Anies menjawabnya dengan kerja yang terukur. Hasil kerjanya bisa dilihat, dan itu yang mendongkrak elektabilitasnya, yang tanpa perlu rekayasa segala. Maka, pilihan NasDem pada Anies Baswedan, itu tentu dengan pertimbangan matang. Semua aspek yang bisa menuju pada kemenangan capres yang diusungnya dilihat seksama. Melihat Anies dengan obyektif, yang tampak memang paket komplit. Dilihat dari aspek manapun: intelektualitas, kepribadian dan spiritualitasnya--di atas rata-rata. Ini yang menjadikan NasDem kepincut dan jatuh hati. Langkah NasDem mencalonkan Anies Baswedan, itu langkah strategis yang dipilihnya, tentu dengan kalkulasi politik yang tidak bisa diintervensi kekuatan lain. Sebagaimana jika muncul pilihan partai lain pada kandidat capresnya, itu pun pilihan politik yang mesti dihormati. Mengapa pilihan NasDem pada Anies Baswedan sebagai capresnya, itu buat partai lain gerah dan \"memaksa\" Presiden Jokowi mengusir \"partai biru\" itu dari kabinet. Padahal tidak satu pun komitmen yang dilanggar, bahwa NasDem jelas akan membersamai Presiden Jokowi sampai masa jabatannya berakhir. Mari sama-sama melihat \"kedewasaan\" sikap macam apa yang akan diambil Presiden Jokowi, memperlakukan NasDem pasca deklarasi capresnya. Mengusir NasDem atau tetap mempertahankannya dalam barisan koalisi. Memang menjadi aneh jika NasDem mesti \"diusir\" dari barisan koalisi--itu karena pilihan capres pada Anies Baswedan--yang itu tidak dilakukan yang sama pada Gerindra. Spekulasi pun muncul menemui bentuknya, bahwa persoalan itu lebih pada capres yang diusung NasDem, itu tidak dikehendaki \"pengendali\" istana. Muncul perlakuan istana yang tidak sama antara NasDem dan Gerindra. Kita lihat saja dalam hitungan pekan atau bulan ke depan, akankah penggusuran NasDem dalam barisan koalisi benar-benar terjadi. Tapi satu hal, bahwa etika politik itu memang antitesa dari politik menghalalkan segala cara. Itu pasti. (*)
Dua Isu: PKI dan Ijazah Palsu
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Sangat memprihatinkan sorang Presiden di negeri Republik Indonesia diterpa isu dahsyat soal keturunan PKI dan ijazah palsu. Kedua isu dipicu oleh orang bernama Bambang Tri Mulyono. Publik sudah terlanjur bertanya-tanya tentang kebenarannya. Sayang Presiden sendiri yang menjadi obyek tuduhan sama sekali tidak melakukan klarifikasi. Persoalan seperti ini dibiarkan untuk menjadi gunjingan publik. Diperlukan pernyataan hukum dari Presiden sendiri. Alangkah bagusnya jika sekali-ksli Jokowi berpidato menyinggung G 30 S PKI apa bahayanya dan pentingnya rakyat untuk tetap waspada terhadap kemungkinan bangkitnya gerakan komunisme. Menjelaskan makna Tap. MPRS No XXV/MPRS/1966 Jo Tap No I/MPR/2003 Jo KUHP Pasal 107. Seluruhnya terkait PKI dan larangan menyebarkan faham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Untuk kasus asal-usul keluarga tentang apakah ibunda Presiden itu Sudjiatmi atau Sulasmi atau Yap Mei Hwa, sebaiknya dikeluarkan pernyataan sendiri bahwa Jokowi siap membuktikan bahwa ibundanya adalah Sudjiatmi. Pernyataan hukumnya yaitu kesiapan untuk test DNA atau saat membuat Surat Keterangan Waris siap menyatakan dan bersumpah dihadapan Hakim Pengadilan Agama. Tidak cukup dengan menepis bahwa apa yang dituangkan dalam buku \"Jokowi Under Cover\" itu adalah hoax, tidak berdasar bukti, atau pernyataan penolakan lainnya. Harus ada pembuktian ilmiah misalnya hasil test DNA atau sumpah decisoir. Sebagai muslim model \"mubahalah\" juga bisa dilakukan untuk meyakinkan seluruh rakyat Indonesia. Begitu juga dengan status ayah Jokowi yang bukan aktivis PKI. Untuk kasus dugaan ijazah palsu SD, SMP, dan SMA yang dituduhkan dan digugat secara perdata, tidak cukup dijawab dengan Konperensi Pers Rektor UGM dan Dekan. Pernyataan atau pembuktian hukum Jokowi adalah dengan menunjukkan kepada publik semua ijazah SD, SMP, SMA dan UGM yang diyakini aslinya. Apa susahnya ? Atau diajukan saja semua bukti keaslian ijazah tersebut di muka persidangan perdata PN Jakarta Pusat. Hal ini sebagai wujud dari pertanggungjawaban hukum untuk menuntaskan gonjang-ganjing publik. Diawali dengan pernyataan politik tentang kesiapan untuk mengajukan bukti-bukti ijazah asli yang dimilikinya itu di muka persidangan. Melalui Kuasa Hukum saja nanti diajukannya. Penangkapan dan penahanan Bambang Tri bukan solusi. Apalagi dengan tuduhan ujaran kebencian dan penistaan agama yang dinilai mengada-ada. Unsur menimbulkan keonaran juga tidak berdasar. Masalah yang memerlukan pembuktian adalah palsu atau tidaknya ijazah yang dimiliki dan digunakan oleh Jokowi itu. Hal ini yang serius menjadi ujian Presiden Republik Indonesia. Memang seperti yang dipidatokan Pak Jokowi sendiri situasi itu ruwet ruwet ruwet. Masalah asal usul keturunan dan ijazah saja terpaksa menjadi isu politik yang membuat bangsa ini semakin terpuruk. Rakyat terus menerus diterpa kegaduhan. Ternyata pemimpin yang cerdas, jujur dan transparan itu memang sangat dibutuhkan untuk memimpin bangsa dan negeri yang besar ini. Ayo sudahi isu PKI dan ijazah palsu dengan sikap yang elegan. Buktikan berdasar fakta bukan dengan bermain kata-kata atau tindakan sok kuasa. Bukan pula membungkam dan memaksa orang masuk penjara. Bukankah kita ini adalah negara merdeka yang menghormati hak-hak asasi manusia? Bandung, 15 Oktober 2022