OPINI
Anies Didukung Rakyat, Anies Dibendung Aparat
Upaya menjegal Anies sebagai presiden, berbanding lurus dengan upaya rezim kekuasaan menyiapkan presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bahkan penundaan pemilu 2024. Semakin Anies didukung rakyat, semakin kejahatan dan teroris konstitusi menguat. Tinggal rakyat memilih, mengikuti mekanisme konstitusional atau people power? Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI SAAT demokrasi terus dibungkam dan upaya penegakan hukum semakin lemah, maka negara hanya akan mempertontonkan perilaku kekuasaan yang menindas rakyat. Tak sekadar merampas hak ekonomi dan politik, rezim juga memperlakukan kehidupan rakyat tak ubahnya seperti korban perbudakan di zaman modern. Tak ada lagi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Rakyat bagaikan populasi manusia kelas rendah yang hanya ada untuk dieksploitasi dan melayani kepentingan rezim pemerintahan. Korporasi dan partai politik mewujud oligarki, menjadi predator ganas memangsa rakyat yang miskin dan lemah. Kegagalan negara dalam membangun sistem dan kepemimipinan yang perform, membuat Indonesia dalam realitas yang jauh dari landasan Pancasila dan UUD 1945. Politik memisahkan agama dari negara, semakin mengokohkan kehidupan yang kapitalis liberalis dan sekuler. Keinginan menumpuk harta dan mengejar jabatan pada sebagian besar aparat birokrasi, membuat rakyat terus menjadi korban dari perangai tuna susila dan kebiadaban penyelenggaraan negara. Konstitusi yang diselewengkan yang diikuti perilaku para pejabat dan politisi yang hipokrit, hedonis dan materialis, membuat rakyat semakin berjarak dengan negara. Rakyat seperti hidup tanpa negara, tak ada kemakmuran dan tak ada keadilan. Berjuang dan berkorban segalanya demi mengusir kolonialisme bangsa asing di masa lalu, kini harus mengalami penjajahan oleh bangsanya sendiri. Seiring kegagalan pemerintah mengurus negara dan ditengah krisis multidimensi yang mengarah kepada resesi ekonomi. Rezim kekuasaan harus berhadapan dengan arus tuntutan perubahan dari rakyat. Sikap skeptis, apriori dan antipati publik semakin hari semakin menggelinding menjadi gelombang aksi protes dan perlawanan. Sikap difensif kekuasaan terhadap tuntutan gerakan perubahan dari rakyat, dihadapi dengan upaya keras pemerintahan menyiapkan presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bahkan mulai mengarah pada meniadakan atau penundaan pemilu 2024. Bukan tanpa sebab dan alasan pemerintah ingin melakukan semua yang penuh kontroversi dan polemik tersebut. Ada beberapa faktor yang disinyalir menjadi motif dari pembajakan konstitusi yang terorganisir, terstruktur dan masif itu. Selain masih banyaknya proyek mangkrak dan beberapa program pembangunan yang berbasis utang dan investasi yang menyertakan perjanjian atau kontrak kerjasama internasional yang harus dipertanggungjawabkan. Defisit APBN belakangan ini yang berimplikasi membuat negara tidak punya uang untuk menyelenggarakan pemilu 2024 terus mengemuka. Satu hal lagi yang tak kalah penting dan cenderung menjadi mainstream pemikiran rezim, ketika fenomena Anies yang berlimpah dukungan rakyat mulai dominan dan menguasai panggung politik pilpres 2024. Bagaimana rezim dengan segala cara mempertahankan dan terus melanggengkan kekuasaannya, harus menghadapi realitas seorang Anies sebagai capres potensial yang berasal dari luar domain dan irisan oligarki. Anies jelas dan nyata telah menjadi musuh bagi kepentingan pemerintahan yang menjadi boneka oligarki. Kebencian, permusuhan dan upaya menjegal Anies sebagai capres yang didukung rakyat, telah menjadi menu sehari-hari yang dilakukan ternak-ternak oligarki termasuk para buzzer, politisi busuk dan birokrat bermental penghianat. Boleh jadi Anies sebagai capres yang mengusung harapan perubahan yang lebih baik untuk kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Telah menjadi ancaman sekaligus figur pemimpin berbahaya bagi agenda politik dan ekonomi oligarki. Baik dalam soal mega proyek maupun investasi skala besar lainnya yang harus dilanjutkan, Anies divonis menjadi musuh dari kepentingan- kepentingan rezim yang harus disingkirkan. Sama halnya dengan prinsip asal bukan Anies, melalui ungkapan \" to be kil or tobe killed\" yang terlontar dari LBP terhadap asumsi gangguan kesinambungan kepentingan ekonomi politik pemerintah. Upaya menjegal Anies yang intens, menjadi berbanding lurus dengan agenda presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bahkan dengan penundaan pemilu 2024. Biar bagaimanapun, ada rasa kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan dari rezim menghadapi transisi kekuasaan yang akan diambil dari figur pemimpin dari luar lingkar kekuasaannya. Rezim seperti mengalami paranoid, terjangkit \"post power syndrom\" dini dan akut. Pemerintahan gagal selama ini seperti terserang virus yang mematikan terhadap kesadaran akal sehat, nurani dan moralitas. Sadar akan ketidakmampuan bertahan dan meneruskan kekuasaan untuk selama-lamanya. Syahwat presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan atau penundaan pemilu 2024, membuat pemerintah seperti sedang melakukan masturbasi politik. Memuaskan libido politik sendiri, sambil melakukan pelecehan terhadap rakyat. Menjadi psikopat dan teroris konstitusi, secara telanjang menampilkan adegan tak senonoh dan pelbagai skandal kejahatan politik yang tak ada habis-habisnya. Termasuk menjegal Anies menjadi presiden dalam pilpres 2024 mendatang, betapapun mahal ongkos sosial politiknya dan betapapun besar resikonya terhadap bangunan kebangsaan yang ada. Demi kesinambungan dan keselamatan rezim kekuasaan nantinya, segala cara harus tetap dilakukan. Termasuk fenomena Anies didukung rakyat, Anies dibendung aparat. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 15 Desember 2022/21 Jumadil Awal 1444 H.
Dekrit Presiden Tidak Taat Konstitusi Dapat Dimakzulkan
Kedua dekrit presiden Soekarno dan Gus Dur menjadi contoh nyata bahwa dekrit presiden harus taat konstitusi. Apabila tidak, maka dapat berakhir pada pemakzulan. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PERPANJANGAN masa jabatan presiden sedang berproses. Berbagai skenario sudah disiapkan dengan matang. Baik melalui MPR atau PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang), atau bahkan dekrit presiden. Ada yang berpendapat bahwa presiden dapat mengeluarkan dekrit untuk menyelesaikan segala masalah, termasuk konstitusi. Seolah-olah dekrit presiden adalah senjata pamungkas untuk menerobos hambatan konstitusi. Seolah-olah dekrit presiden merupakan hukum tertinggi, lebih tinggi dari konstitusi, dan bisa mengubah konstitusi. Tentu saja pendapat seperti ini sangat menyesatkan dan tidak benar. Pertama, konstitusi Indonesia tidak mengatur atau tidak mengenal dekrit presiden, sehingga dengan sendirinya dekrit presiden tidak sah secara konstitusi. Sebagai penggantinya, konstitusi Indonesia memberi wewenang kepada presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), dalam hal negara menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa, atau darurat. Dalam hal ini, PERPPU pada hakekatnya sama dengan dekrit presiden, tetapi terbatas hanya pada keadaan kegentingan yang memaksa, atau darurat saja. Dekrit tidak lain adalah keputusan atau perintah atau maklumat dari eksekutif, umumnya kepala negara atau kepala pemerintah. Di Amerika Serikat, dekrit presiden dikenal dengan executive order. Dalam kondisi apapun, dekrit presiden, executive order, atau PERPPU tidak boleh melanggar konstitusi, bahkan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lainnya, karena dekrit dan PERPPU hanya mempunyai kekuatan hukum setara undang-undang. Presiden sebagai pelaksana konstitusi harus tunduk kepada konstitusi. Maka itu, dekrit presiden tidak boleh melanggar konstitusi. Presiden bukan hukum tertinggi di sebuah negara. Maka dari itu, kekuatan hukum dekrit presiden lebih rendah dari konstitusi, sehingga dekrit presiden tidak bisa mengubah konstitusi. Artinya, dekrit presiden atau PERPPU tidak bisa mengubah masa jabatan presiden, atau periode jabatan presiden, atau penundaan pemilu yang harus dilaksanakan setiap lima tahun. Banyak pihak berpendapat bahwa dekrit presiden kembali ke UUD 1945 (asli) yang dikeluarkan presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 seolah-olah menjadi hukum tertinggi, di atas konstitusi, seolah-olah presiden bisa membuat perintah melebihi atau melanggar konstitusi. Maka dari itu, tidak heran banyak yang berpendapat presiden Jokowi dapat mengeluarkan dekrit presiden untuk menunda pemilu, dengan alasan keadaan darurat, atau kegentingan yang memaksa. Pendapat ini sangat salah. Dekrit presiden Soekarno 5 Juli 1959 merupakan perintah konstitusi (UUD Sementara, UUDS) ketika itu, yang berlaku mulai 15 Agustus 1950. Pasal 134 UUDS menyatakan: Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini. Setelah sekian lama konstituante tidak berhasil membentuk UUD, antara lain karena tidak pernah mencapai kuorum, ditambah pernyataan sebagian terbesar anggota-anggota konstituante untuk tidak menghadiri lagi sidang, maka konstituante tidak mungkin lagi dapat membuat UUD seperti yang diperintahkan oleh konstitusi, di mana kondisi ini berbahaya bagi negara. Oleh karena itu, dekrit presiden Soekarno 5 Juli 1959, yang menetapkan UUD 1945 sebagai UUD negara Indonesia pengganti UUDS, sebagai pemenuhan tugas konstitusi kepada pemerintah. Di lain sisi, dekrit atau maklumat presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 23 Juli 2001 yang membekukan MPR/DPR serta membubarkan partai golkar terindikasi melanggar konstitusi. Di dalam penjelasan konstitusi tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dinyatakan secara eksplisit, di bawah judul: Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden. Dekrit presiden Gus Dur nampaknya melanggar konstitusi seperti dimaksud pada penjelasan tersebut di atas, dan berakhir dengan pemakzulan. Kedua dekrit presiden Soekarno dan Gus Dur menjadi contoh nyata bahwa dekrit presiden harus taat konstitusi. Apabila tidak, maka dapat berakhir pada pemakzulan. Tidak ada negara di dunia yang menunda pemilu dengan alasan Covid-19. Pilpres AS dilaksanakan 3 Nov 2020, pemilu Belanda: 15-17 Maret 2021, pilpres Perancis: 10 dan 24 April 2022. Cuma negara otoriter yang mau menunda pemilu dengan alasan dibuat-buat. (*)
Pelajar Pancasila
Dalam prinsip bhinneka tunggal Ika, keragaman identitas kultural dihargai dan diberi ruang hidup, saat yang sama titik temu diusahakan lewat berbagai jaring konektivitas dan inklusivitas yang menguatkan shared values, common goals, common good and common culture expressions. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia SAUDARAKU, sungguh bahagia saya diundang menjadi mitra belajar para pelajar (SMP dan SMA) yang lokasinya di sekitar Kelapa Gading dalam usaha mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan. Mereka datang dari berbagai sekolah dengan keragaman latar institusi dan afiliasi keagamaan. Masing-masing masih bisa mempertahankan identitas asalnya, namun saat yang sama tersedia ruang terbuka untuk menjalin interaksi dan kerjasama lintas-identitas secara sukarela. Lewat keterbukaan ruang perjumpaan, semangat kesetaraan dan kerjasama lintas-identitas, mereka bisa berbagi kesamaan dalam nilai-kewargaan yang inklusif (civic nationalism), dengan kesadaran akan kesamaan tujuan dan kebajikan bersama (common goal and common good), serta keterpautan pada komonalitas cita-rasa dan ekspresi budaya yang bersifat nasional (cultural nationalism). Itulah hakikat bhinneka tunggal Ika. Dengan semboyan itu, kehidupan warga dalam kemajemukan bangsa Indonesia tidak mengikuti prinsip “melting pot” – yang mengharuskan kelompok minoritas dan imigran baru lebur ke dalam tradisi kelompok mayoritas. Tidak juga mengikuti prinsip “salad bowl” – yang menghargai keragaman dengan tetap membiarkannya hidup dalam kepompong identitas masing-masing secara paralel, tanpa keterbukaan ruang perjumpaan dan kerjasama lintas-identitas. Dalam prinsip bhinneka tunggal Ika, keragaman identitas kultural dihargai dan diberi ruang hidup, saat yang sama titik temu diusahakan lewat berbagai jaring konektivitas dan inklusivitas yang menguatkan shared values, common goals, common good and common culture expressions. Ibarat “taman kota” (public park), ada ruang terbuka bagi setiap orang untuk datang dan membuat acara riungan (lingkaran kelompok masing-masing); namun di sana juga ada berbagai wahana, lapangan dan kegiatan yang bisa menarik orang dari berbagai latar kelompok untuk terlibat dalam berbagai aktivitas lintas-identitas kelompok. Semoga semangat dan kerja rintisan para pelajar di sekitar Kelapa Gading ini bisa menular dan membesar apinya, demi masa depan Indonesia yang lebih baik dan bahagia. (*)
Tulisan Nyalla Benar: Tapi Mengapa Anda Usul Penundaan Pemilu?
Jika ada penundaan pemilu ini berarti terjadi kekosongan kekuasaan, karena pemerintah sekarang berakhir pada Oktober 2024, berdasarkan hasil pemilu dan pilpres 2019 (5 tahun). Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network-FNN KETUA DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menulis sebuah artikel di FNN, Selasa (13 Desember 2022 15:11:23) berjudul: “Siapa Pembegal, Siapa Pelurus Bangsa?” Lebih jelasnya silakan dibaca di link: http://fnn.co.id/post/siapa-pembegal-siapa-pelurus-bangsa Narasi yang disampaikan Nyalla dalam tulisan itu semuanya benar. Tidak ada yang salah! Dan, memang, seharusnya seperti itu narasi seorang tokoh seperti Nyalla dengan jabatan Ketua DPD RI. Memikirkan masa depan bangsanya. Apalagi, Nyalla sudah menerima “wasiat” dari Pak Try (Mantan Wakil Presiden Jenderal Purn Try Sutrisno) untuk menyelamatkan Indonesia. Nyalla sendiri telah menyanggupinya. Antara lain, untuk kembali ke UUD 1945 Naskah Asli. Sudah sering saya katakan. Saya telah sampai pada suatu kesimpulan. Bahwa bangsa ini harus kembali ke Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945. Untuk kemudian kita sempurnakan bersama kelemahannya. Dengan cara yang benar. Yaitu dengan teknik addendum. Bukan diganti total 95 persen isinya, dan menjadi Konstitusi baru. Karena itu, saya memperjuangkan (dengan cara saya) untuk Indonesia dan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Tidak menjadi bangsa yang salah arah. Karena itu, saya berkampanye untuk kita luruskan kembali cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini. Tapi di tengah upaya yang saya tempuh. Tiba-tiba banyak kalangan intelektual yang menuduh saya sedang membegal konstitusi. Saya pun tertawa dalam hati. Siapa sebenarnya yang membegal konstitusi kita. Dari sebelumnya menjabarkan Pancasila, menjadi menjabarkan ideologi asing? Siapa sebenarnya (meminjam istilah dari Profesor Kaelan dan Profesor Sofyan Effendi) yang melakukan pembubaran terhadap negara Proklamasi 17 Agustus 1945? Siapa sebenarnya yang melakukan kudeta terselubung terhadap NKRI? Narasi yang disampaikan Nyalla tersebut tidaklah salah. “Tapi di tengah upaya yang saya tempuh. Tiba-tiba banyak kalangan intelektual yang menuduh saya sedang membegal konstitusi. Saya pun tertawa dalam hati. Siapa sebenarnya yang membegal konstitusi kita,” ucap Nyalla. Memang, beberapa hari belakangan ini Nyalla ramai diperbincangkan oleh warganet atau netizen di sejumlah media sosial (medsos). Di mana La Nyalla dimasukan sebagai pihak ‘Pembegal Konstitusi’ bersama beberapa pejabat. Jadi, bukan hanya kalangan intelektual yang menuduh Nyalla “membegal konstitusi”, tapi warganet juga menuduhnya seperti itu. “Saya pun tertawa dalam hati. Siapa sebenarnya yang membegal konstitusi kita,” ucap Nyalla. Jika membegal konstitusi yang dimaksud Nyalla dalam konteks Amandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002, Nyalla benar. Tapi, jika dalam konteks Nyalla mengusulkan penundaan pemilu dan penambahan 2 tahun jabatan Presiden, anak SMA pun tahu, ini jelas “membegal konstitusi”. Bahkan, lebih ekstrim lagi, Nyalla bisa disebut melakukan “kudeta konstitusi” yang wajib ditangkap. Tapi, beruntung, dia hidup di Indonesia, jika dia ada di Peru, Nyalla dan orang-orang yang ada di belakangnya bisa ditangkap polisi dan tentara. Karena mereka taat konstitusi negara. Mungkin Nyalla lupa dengan apa yang dia ucapkan saat memberi sambutan di Munas XVII HIPMI, Senin (21/11/2022). Jejak digital tak mudah dihapuskan. Ketika itu, Nyalla mengusulkan penundaan pemilu. Menurutnya, selama dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo hanya dihabiskan untuk menangani pandemi Covid-19. Selain itu, Nyalla menilai pemilu sudah dikuasai kelompok-kelompok tertentu. “Kalau kita pakai yang namanya pemilu coblos-coblosan ini, ini palsu semua ini. Ini kita sudah bisa hafal sudah dikuasai satu kelompok ini, ini nanti(nya) hasilnya sudah ditentukan di atas. Daripada buang-buang duit untuk pemilu, lebih baik ditunda saja saya bilang gitu,” kata Nyalla. Nyalla menambahkan, dua tahun masa kepemimpinan Presiden Jokowi tak menampakkan hasil kerja karena dihantam badai Covid-19. Dirinya justru menyarankan agar Presiden Jokowi menambah dua tahun masa jabatan. “Melihat Pak Jokowi udah dua tahun karena situasi Covid-19 beliau belum menampakkan hasilnya, yang sekarang saja dua tahun dilewati, ya kenapa nggak ditambah saja dua tahun lagi untuk nebus yang Covid-19 kemarin,” ujarnya. Resiko seorang pemimpin (Presiden) ya memang harus “ngurusi” rakyatnya yang terkena musibah dan bencana. Kalau gak mau ikut tangani rakyat ya jangan jadi Presiden. Presiden Jokowi hanya lebih fokus pada infrastruktur, meski akhirnya ada beberapa yang mangkrak seperti Bandara Kertajati. Usulan Nyalla itupun disambut “gembira” Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Namun, Bamsoet mengaku pernyataannya soal penundaan pemilu itu hanya untuk membuka diskursus publik, seperti dilansir Sindo, Ahad (11 Desember 2022 - 12:07 WIB). Bamsoet mengelak disebut menginginkan penundaan Pemiu 2024. Bamsoet balik menuding komentar terhadap pernyataannya terlalu jauh. “Pertama, apa yang disampaikan dalam komentar berita-berita itu melintirnya terlalu jauh. Yang minta pemilu ditunda siapa? Saya hanya mengajak berpikir. Masa berpikir saja tidak boleh,” kata Bamsoet, Ahad (11/12/2022). Jegal Anies? Patut diduga, usulan Nyalla dan Bamsoet itu sebenarnya bagian dari operasi jegal terhadap Anies Rasyid Baswedan, yang namanya semakin merakyat dan tak bisa dibendung lagi oleh rezim Presiden Joko Widodo yang punya Bakal Calon Presiden yang ternyata tak bisa mengimbangi popularitas Anies. Apalagi, nama Ganjar Pranowo yang konon digadang-gadang rezim dan para oligarki tampaknya tidak laku di mata masyarakat, meski sudah dibantu oleh berbagai survei “berbayar” yang mengunggulkan Ganjar. Hingga tulisan ini dibuat, tokoh berambut putih dan muka berkerut sebagai sinyal yang disebut Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan pun masih berubah-ubah. Kalau di depan Menhan Prabowo Subianto, Jokowi menyebut, ciri tersebut ada pada Prabowo. Meski Ganjar itu kader dan “petugas” partai dari PDIP, ternyata PDIP sendiri belum juga menentukan pilihannya terhadap Ganjar, meski elektabilitasnya lebih tinggi dibandingkan Puan Maharani yang dipersiapkan maju pilpres. Ketakutan yang berlebihan atas gelombang dukungan terhadap Anies itulah, akhirnya rezim sepakat “menjegal” Anies dengan cara seperti yang diusulka Nyalla dan Bamsoet tersebut. Tujuannya cuma satu: “Jika ditunda, Anies tak akan bisa maju Pilpres 2024!” Karena Pilpres akan diselenggarakan pada 2027. Dan, bisa saja MPR membuat aturan presiden 3 periode, sehingga Jokowi bisa maju lagi pada Pilpres 2027. Jika demikian, jangan salahkan rakyat jika kemudian muncul dugaan, Nyalla dan Bamsoet sudah “terbeli” oligarki. Makanya mereka berusaha “kampanye” penundaan pemilu dan presiden 3 periode, apapun caranya. Karena, mereka sudah terikat oleh oligarki ekonomi maupun politik. Padahal, penundaan pemilu dan presiden 3 periode itu jelas-jelas merupakan upaya “kudeta konstitusi”. Jika ada penundaan pemilu ini berarti terjadi kekosongan kekuasaan, karena pemerintah sekarang berakhir pada Oktober 2024, berdasarkan hasil pemilu dan pilpres 2019 (5 tahun). Kalau pemerintah sekarang melanjutkan berarti pemerintahannya ilegal alias tidak sah, apapun alasan penundaan pemilu karena tak tersedia dana, ironis. Sementara untuk Tol dan IKN dihambur-hamburkan uang rakyat dan dengan berhutang. Sementara untuk agenda penting negara dilalaikan dengan sengaja, motifnya hanya ingin memperpanjang kekuasaan. Maka, rakyat berhak memberontak terhadap pemimpin ilegal. Pemimpin ilegal yang bukan hasil pilihan rakyat itu tidak berhak menangkap rakyat, dan akan terjadi perpecahan bangsa. Karena sebagian besar rakyat terutama umat Islam sudah tidak menginginkan rezim sekarang berkuasa lagi, apalagi memperpanjang kekuasaannya dengan cara ilegal/inkonstitusional. Apresiasi patut kita sampaikan kepada Ketua DPR RI Puan Maharani yang tak mau ikut-ikutan promosi penundaan pemilu dan presiden 3 periode. (*)
Audit Pesta Kawin Kaesang
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan KAESANG Pangarep sebagai pengusaha tentu banyak uang dan mampu membiayai pernikahannya dengan Erina Gudono. Akan tetapi pelibatan banyak aparat dan kemewahan acara yang terlihat sangat wah itu sulit untuk dipisahkan dari status dirinya sebagai anak Presiden. Kepemimpinan Presiden Jokowi pernah dinyatakan mirip dengan Khalifah Umar bin Khattab oleh kader PDIP. Sederhana dan dekat dengan rakyat. Agak melecehkan sebenarnya jika penampilannya dibandingkan dengan Umar bin Khattab yang jujur dan gagah. Demikian juga kesederhanaannya. Umar itu natural sedangkan Jokowi artifisial. Kedekatan dengan rakyat terasa dibuat-buat. Bingkisan dan kaos saja dilempar-lempar dari mobil. Kemewahan pesta perkawinan putera bungsu Jokowi membuat banyak orang geleng-geleng kepala sekaligus bukti bahwa tampilan kesederhanaan dan empati pada rakyat itu omong kosong. Ngunduh mantu iringan kereta kuda seperti upacara Kerajaan Belanda atau Inggris. Luar biasa keluarga Presiden negara Republik bergaya Raja dari sebuah negara Kerajaan. Sebelumnya terjadi pengerahan ribuan atau puluhan ribu aparat keamanan untuk mengamankan. Entah pengerahan setara pengamanan Sidang G 20 lalu itu cermin dari unjuk kewibawaan atau ketakutan? Darimana pembiayaan untuk pengerahan pasukan tersebut? Rakyat bukan usil tetapi prihatin melihat sikap radikal dan intoleran pada penderitaan rakyat di tengah kehidupan yang semakin berat. Bencana yang terjadi di timur dan di barat. Biaya untuk acara ini perlu dijelaskan baik besaran maupun sumber pendanaan. Apalagi para Menteri ikut terlibat dalam penyelenggaraan. Adakah nuansa korupsi dan kolusi? Karena menyangkut jabatan, maka wajar jika rakyat menuntut adanya audit atas acara \"gila-gilaan\" tersebut. Penghelatan akbar itu dilakukan orang yang oleh pendukung atau pemujanya disamakan dengan Khalifah Umar Ibnul Khattab. Dulu Umar ibnul Khattab pernah dicurigai melakukan perbuatan tidak adil atau korupsi. Pidato Umar saat itu menyinggung soal ketaatan pada pemimpin. Seorang pendengar protes dan menyatakan tidak akan taat sebelum Khalifah menjelaskan dugaan penyimpangan atas kebijakannya. Pemerintah melakukan pembagian kain secara merata dan sama. Rakyat, aparat maupun pejabat. Umar yang berbadan besar layak dicurigai karena memakai kain yang justru berbeda ukuran dengan pembagian lainnya. Umar dituduh korupsi. Tanpa harus meminta pembuktian kepada pemrotes, Khalihah mencari puteranya Abdullah Ibnu Umar. Diminta puteranya memberi kesaksian tentang baju atau kain Umar. Ternyata kain besar itu adalah gabungan hak Umar dan milik Abdullah Ibnu Umar yang diberikan kepada ayahnya. Kini Jokowi dituntut dan harus diperiksa darimana dana yang digunakan untuk membiayai pernikahan Kaesang itu, adakah terselip atau tercebur dana negara? Pernikahan adalah masalah pribadi yang bukan urusan kenegaraan. Atau ada dana \"sumbangan\" pengusaha yang bermotif kolusi dan beririsan dengan korupsi? Jokowi dan keluarga harus menjelaskan. Nyatakan siap untuk diperiksa oleh auditor independen. Pernikahan mewah dengan melibatkan pasukan aparat keamanan dengan jumlah besar bukan saja tidak lazim tetapi juga menyakiti rakyat yang sedang menghadapi permasalahan berat. Jokowi adalah pemimpin yang buruk. Sulit untuk dapat diteladani. Bandung, 14 Desember 2022
Anies Belum Daftar Capres Tapi Sudah Dilantik Oleh Rakyat Jadi Presiden
Apalagi Prabowo gak muda lagi. Maka beliau lega akan mengusung ARB jadi Presiden sesuai ekspektasi rakyat ingin ARB menjadi presiden dari pada si tukang nonton film bokep. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung TAK disangka tak dinyana baru kali ini Bakal CAPRES yang didukung rakyat mayoritas benar-benar ditakuti oleh lawan-lawannya atau lebih jelas oleh para haters-nya terutama penghuni Istana dan Oligarki. Terbayang jika mereka kalah oleh Anies Rasyid Baswedan (ARB), bakal nginap di hotel pordeo bersama keluarganya. Itulah yang kini menjadi bayang-bayang menyeramkan bagi mereka tiap hari tiap menit. Terbayang nasib mereka seperti di Malaysia saat Anwar Ibrahim menang jadi Perdana Menteri. Sudah dihambat ARB baik dengan cara halus dan kasar tapi tetap gak mampu membendung dukungan rakyat kepada ARB. Dari Aceh sampai Papua jutaan manusia berebutan mau bersalaman dengan ARB. Itu yang menyebabkan oligarki dengan cuan-nya mencari-mencari orang yang dari aktivis Islam yang menjadi politisi Islam menyerang ARB dengan tuduhan ARB gak punya etika karena curi start kampanye. Politisi ini tiba-tiba dia jadi dungu bin tolol. Kapan ARB kampanye. Kan pendaftaran Capres belum dimulai nanti November 2023 baru dibuka pendaftarannya. Apa gak boleh ARB silaturrahim dengan pendukungnya dan dikerubutin jutaan pendukungnya? Kalau setiap ARB datang berkumpul jutaan manusia pendukungnya jangan kalian Iri Hati. Itu karena kalian dan calon dari Istana dan oligarki gak laku di mata rakyat. Itu karena junjungan kalian selama mau hampir 2 periode ini Tukang Tipu dan Koruptor. Lantas mau 3 periode? Sana lanjutkan di hutan IKN. Kalau di Indonesia gak bisa karena itu melawan konstitusi. Ini yang juga menyebabkan Istana dan oligarki jadi resah dan gelisah. Dicoba dibenturkan Surya Peloh dan Nasdem dengan ARB. Dengan melempar isu bahwa ARB gak bakalan lolos kalau ARB gak rebut jadi ketua umum Nasdem. Itu analisa basi kalau seperti itu. Kalau partai lain gak mau dukung ARB, maka biar Gerindra dan Nasdem yang dukung ARB. Kalau itu terjadi lewat semua. Cukup satu putaran. Itu tidak mustahil terjadi. Ingat bahasa Prabowo Subianto dulu janji timbul tenggelam bersama rakyat. Prabowo lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dari pada kepentingan pribadi. Apalagi Prabowo gak muda lagi. Maka beliau lega akan mengusung ARB jadi Presiden sesuai ekspektasi rakyat ingin ARB menjadi presiden dari pada si tukang nonton film bokep. Prabowo ingin meninggalkan nama baik dan menebus kesalahannya karena bergabung bersama rezim. ARB jika berpasangan dengan Prabowo maka tamatlah rezim dan pendukungnya. Tunggu ini insya’ Allah akan terjadi. Wallahu A\'lam ... (*)
Siapa Pembegal, Siapa Pelurus Bangsa?
Karena memang faktanya Konstitusi kita telah berubah. Dan perubahan itu makin deras diikuti dengan lahirnya puluhan Undang-Undang yang tidak bermuara kepada cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini. Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia SUDAH sering saya katakan. Saya sudah datangi lebih dari 300 kabupaten/ kota di Indonesia. Saya temukan persoalan yang hampir sama: Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat daerah dan Kemiskinan Struktural yang sulit dientaskan. Sudah sering saya katakan. Penyebab persoalan tersebut ada di hulu. Ada di koridor fundamental. Yaitu Konstitusi kita yang telah meninggalkan konsep yang didisain para pendiri bangsa. Yang telah meninggalkan Pancasila. Sudah sering saya katakan. Ada dua sistem ekonomi yang bisa dipilih. Mau memperkaya segelintir orang. Atau memperkaya negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sudah sering saya katakan. Sistem demokrasi yang dipilih para pendiri bangsa adalah sistem terbaik untuk Indonesia. Karena demokrasi yang berkecukupan. Lengkap. Semua elemen ada di Lembaga Tertinggi. Ada wakil parpol, ada wakil daerah, ada wakil golongan. Sudah sering saya katakan. Para pendiri bangsa sudah mengingatkan. Sistem demokrasi liberal ala barat, tidak cocok untuk Indonesia. Apalagi menjabarkan ideologi individualisme dan liberalisme. Karena hanya akan memberi karpet merah bagi neoliberalisme yang berwatak kapitalis predatorik. Karena membiarkan hal itu, artinya kita memberi ruang bagi neo kolonialisme dalam bentuk baru. Itu artinya kita telah membegal tujuan dari lahirnya bangsa dan negara ini. Seperti tertuang dalam naskah Pembukaan Konstitusi kita. Sudah sering saya katakan. Saya telah sampai pada suatu kesimpulan. Bahwa bangsa ini harus kembali ke Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945. Untuk kemudian kita sempurnakan bersama kelemahannya. Dengan cara yang benar. Yaitu dengan teknik addendum. Bukan diganti total 95 persen isinya, dan menjadi Konstitusi baru. Karena itu, saya memperjuangkan (dengan cara saya) untuk Indonesia dan bangsa ini agar tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Tidak menjadi bangsa yang salah arah. Karena itu, saya berkampanye untuk kita luruskan kembali cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini. Tetapi di tengah upaya yang saya tempuh. Tiba-tiba banyak kalangan intelektual yang menuduh saya sedang membegal konstitusi. Saya pun tertawa dalam hati. Siapa sebenarnya yang membegal konstitusi kita. Dari sebelumnya menjabarkan Pancasila, menjadi menjabarkan ideologi asing? Siapa sebenarnya (meminjam istilah dari Profesor Kaelan dan Profesor Sofyan Effendi) yang melakukan pembubaran terhadap negara Proklamasi 17 Agustus 1945? Siapa sebenarnya yang melakukan kudeta terselubung terhadap NKRI? Siapa sebenarnya yang menghilangkan Sila Keempat dari Pancasila? Siapa sebenarnya yang meninggalkan mazhab kesejahteraan sosial, sehingga Oligarki Ekonomi semakin membesar? Dan siapa sebenarnya yang berkontribusi merusak kohesi bangsa ini akibat Pilpres Langsung? Silakan dibaca dalam beberapa buku yang telah terbit dan beredar. Salah satunya buku karya Valina Singka Subekti. Judulnya “Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945”. Setahu saya, intelektual adalah orang yang mampu melihat keganjilan-keganjilan yang tidak pada tempatnya. Untuk kemudian menawarkan solusi. Dengan tujuan meluruskan keganjilan-keganjilan tersebut. Sehingga seorang intelektual tidak hanya berhenti melihat keganjilan saja. Karena kalau hanya melihat saja, kita akan terjebak dalam menara gading. Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Indonesia yang kaya raya akan Sumber Daya Alam tetapi rakyatnya miskin, maka kita bukan intelektual. Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Sumber Daya Alam di Indonesia hanya dinikmati segelintir orang dan orang Asing, maka kita bukan intelektual. Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa pembangunan ternyata tidak mengentas kemiskinan, tetapi hanya menggusur orang miskin, maka kita bukan intelektual. Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa yang terjadi saat ini bukan membangun Indonesia, tetapi hanya pembangunan yang ada di Indonesia, maka kita bukan intelektual. Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa platform E-commerce hanya dipenuhi produk impor, sementara anak negeri hanya menjadi penjual, maka kita bukan intelektual. Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Indonesia perlahan tapi pasti menjadi negara yang menjabarkan nilai-nilai individualisme dan liberalisme, sehingga ekonominya menjadi kapitalistik, maka kita bukan intelektual. Jika kita tidak merasakan keganjilan bahwa Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi sudah kita tinggalkan sejak Amandemen tahun 1999 hingga 2002, karena kita telah mengganti 95 persen lebih isi dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli, maka kita bukan intelektual. Apakah semua paradoksal tersebut karena kesalahan Presiden Jokowi? Tentu bukan. Karena siapapun presidennya, harus taat dan bersumpah menjalankan Konstitusi dan Peraturan perundangan yang berlaku. Karena memang faktanya Konstitusi kita telah berubah. Dan perubahan itu makin deras diikuti dengan lahirnya puluhan Undang-Undang yang tidak bermuara kepada cita-cita dan tujuan lahirnya bangsa dan negara ini. Jadi, sudahlah, jika Anda masih ingin mengikuti Pilpressung tahun 2024 ala demokrasi liberal silakan. Pekerjaan mengembalikan Negara Indonesia untuk berdaulat, mandiri, adil dan makmur memang berat. Biar saya saja bersama teman-teman yang mau. Jakarta, 12 Desember 2022. (*)
Posko Pilihan Rakyat (PPR) Berdiri untuk Melawan Kudeta Konstitusi
Gagasan PPR (Posko Pilihan Rakyat) ini dicetuskan untul pertama kali oleh Tamsil Linrung, wakil ketua MPR dari DPD. Gagasan ini diawali oleh kekhawatiran adanya upaya \"kudeta konstitusi\" yang sedang digaungkan oleh elit dan kelompok tertentu. Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa MULAI viral ajakan untuk membuat posko buat Anies Baswedan. Posko itu dinamai \"Posko Pilihan Rakyat\" (PPR). Setiap relawan didorong untuk menjadikan rumahnya sebagai Posko buat Anies. Posko ini diharapkan menjadi rumah perjuangan untuk memenangkan Anies pada Pilpres 2024. Gagasan PPR (Posko Pilihan Rakyat) ini dicetuskan untuk pertama kali oleh Tamsil Linrung, Wakil Ketua MPR dari DPD. Gagasan ini diawali oleh kekhawatiran adanya upaya \"kudeta konstitusi\" yang sedang digaungkan oleh elit dan kelompok tertentu. Mantan Ketum PB HMI MPO 1988-1990 dan mantan kader Ansor Sulawesi Selatan ini mengajak kepada seluruh relawan untuk lebih serius dan sungguh-sungguh memperjuangkan Anies. Tidak saja semangat dan militansi, tetapi perlu kerja totalitas dan taktis. Setiap relawan diharapkan tidak bekerja setengah-setengah, karena apa yang dihadapi Anies dalam pilpres 2024 tidaklah ringan. Ombak yang menghadang Anies kedepan semakin besar dan boleh jadi banyak kejutan. Kompetitor Anies bukan hanya kandidat calon presiden, tetapi ada pihak-pihak di luar kandidat yang juga berupaya menggagalkan pemilu digelar tahun 2024. Bahkan ada upaya juga mendorong UUD diamandemen kembali agar presiden dipilih oleh MPR. Ini namanya kudeta dan rekayasa konstitusi. Mengapa amandemen UUD diwacanakan jelang pemilu? Publik semakin paham apa yang direncanakan oleh mereka yang mewacanakan tunda pemilu tersebut Wacana amandemen UUD dalam rangka penundaan pemilu dan pemilihan presiden oleh MPR adalah bagian dari ombak yang diduga terus digaungkan untuk menjegal Anies. Semakin besar gelombang dukungan kepada Anies, upaya untuk menjegal Anies digalakkan semakin masif. Maka para relawan harus siap-siap untuk menghadapi semua kemungkinan. PPR (Posko Pilihan Rakyat) menjadi tempat untuk berkumpul para relawan, sharing ide, mengatur strategi untuk membuat langkah-langkah taktis memenangkan Anies. PPR juga menjadi agen informasi bagi rakyat yang ingin bertanya dan mengenal siapa sosok Anies, keluarganya, rekam jejaknya, prestasinya dan visi perubahan apa yang akan ditawarkan Anies untuk Indonesia masa depan. Tidak kalah pentingnya, PPR menjadi pusat konsolidasi bagi relawan dalam rangka menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi pra dan pasca pilpres. Di PPR, langkah-langkah reaktif dan proaktif digodok dan dipersiapkan. Tamsil Linrung mengawali rumahnya di Bintaro untuk menjadi PPR (Posko Pilihan Rakyat) yang pertama kali. Siapapun bisa datang ke posko ini, baik relawan maupun masyarakat umum yang ingin bergabung dan memberi dukungan kepada Anies Baswedan. PPR terbuka untuk rakyat dari berbagai golongan dan kalangan. Apa yang dilakukan oleh Tamsil Linrung dengan membuka PPR merupakan langkah strategis mengingat adanya ancaman kudeta dan rekayasa konstitusi yang diwacanakan terus-menerus oleh pihak-pihak tertentu. PPR menjadi tempat untuk melakukan konsolidasi para relawan dalam memperkuat soliditas dan basis massa. Konsolidasi ini dilakukan untuk siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi terkait pilpres 2024. PPR tidak hanya didirikan untuk sekedar memenangkan Anies pada pilpres 2024, tapi juga untuk konsolidasi massa dalam mempersiapkan perlawanan terhadap segala bentuk kudeta dan rekayasa konstitusi. Jakarta, 13 Desember 2022. (*)
Ternyata Politik Identitas Itu Dilindungi Konstitusi UUD 1945
Rupanya para pembenci Islam tidak membaca konstitusi dan memahami bagi umat Islam memilih pemimpin itu adalah ibadah yang dituntun oleh Al Quran dan Hadits. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila STIKMA terhadap umat Islam yang dilakukan oleh elit politik dengan stikma politik identitas merupakan akal-akalan yang tidak jujur. Mereka para oligarki yang biasa menghalalkan segala cara akan berbenturan dengan akhlaq yang mulia umat Islam, oleh sebab itu maka dibuatlah isu politik identitas untuk membonsai dan mengkerdilkan umat Islam. Mereka ketakutan jika umat Islam bangkit, sebab akan mengancam ketidak- jujuran dan ketidak-adilan yang selama ini mereka lakukan. Soal memilih pemimpin bagi umat Islam adalah bagian dari ibadah. Oleh sebab itu para oligarki berusaha melakukan pelemahan dan fitnah-fitnah dihembuskan bagian dari Islamophobia. Yang radikal, khilafah, teroris, politik identitas semua ini memedi yang diciptakan untuk umat Islam agar takut pada mereka. Padahal ibadah itu dilindungi oleh konstitusi UUD 1945 pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi bagi umat Islam memilih pemimpin itu bagian dari ibadah. Oleh sebab itu, ada kriteria yang diberikan oleh Rosululloh Muhammad lewat hadits-nya. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam kreteria di atas atau tidak memilih sama sekali, padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. Rupanya para pembenci Islam tidak membaca konstitusi dan memahami bagi umat Islam memilih pemimpin itu adalah ibadah yang dituntun oleh Al Quran dan Hadits. Oleh sebab itu jikalau yang dimaksud memilih pemimpin dengan kriteria Agama Islam dianggap politik identitas, maka bagi umat Islam politik identitas itu adalah ibadah dan ibadah dilindungi dan dijamin oleh UUD 1945 pasal 29 ayat 2. (*)
KPU Melakukan Unlawful Killing terhadap Partai Ummat
Karena demikian strategisnya posisi Partai Ummat, sangat tepat Pak Amien dan jajarang pengurus menuntut agar semua notulen KPU dalam proses pengesahan semua partai peserta pemilu 2024 dibuka secara transparan. Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN PENDIRI Partai Ummat (atau PU), Prof Amien Rais, protes keras. Berdasarkan infomasi A1, kata Pak Amien, Partai Ummat tak masuk daftar partai yang lolos ikut pemilu 2024 karena ada intervensi “kekuatan besar”. KPU (Komisi Pemilihan Umum) besok akan mengumumkan partai yang lolos. Vonis terhadap PU masih mungkin berubah menjelang pengumuman besok. Bisa saja KPU akhirnya menyatakan PU lolos. Tetapi, andaikata tetap dinyatakan tak lolos, siapa yang meminta intervensi dan siapa yang melakukan intervensi? Ini menarik untuk ditelusuri. Sebab, kemungkinan campur tangan “kekuatan besar” seperti yang ditengarai mantan Ketua MPR itu sangat masuk akal. Nah, siapa yang meminta intervensi agar PU dinyatakan tak lolos? Dugaan yang paling logis adalah Ketua Umum (Ketum) Partai Amanat Nasional (PAN) – Zulkifli Hasan yang sering dipanggil Zulhas. Ada beberapa alasan mengapa dugaan itu paling klop diarahkan ke Zulhas. Perlu ditegaskan bahwa ini cuma dugaan. Tentu publik boleh saja menduga. Pertama, Zulhas sangat berkepentingan agar PAN tidak tergerus di pemilu 2024. Dalam hal ini, Partai Ummat –kalau ikut pemilu 2024 – hampir pasti mampu menyedot suara PAN. Sebab, konstituen PAN dan PU berada di lahan yang sama. Bahkan, ada kemungkinan PU bisa merebut suara lebih besar dari PAN. Ini mengingat ketokohan Pak Amien Rais jauh lebih karismatis dan magnetis dibandingkan Zulhas. Kedua, selain Zulhas dengan kepentingan untuk menyelamatkan PAN, pihak yang juga tidak ingin Partai Ummat ikut pemilu adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Koalisi ini bisa disebut “Koalisi Jokowi”. Untuk kepenitingan politik Jokowi yang ingin mencapreskan Ganjar Pranowo. Sejauh ini, KIB beranggotakan Golkar (12.31%), PAN (6.84%) dan PPP (4.52%). Total 23.67%.. PAN sangat krusial bagi KIB. Kalau perolehan suara nasional PAN turun di bawah 4%, maka partai ini tidak berhak mendapatkan kursi di DPR 2024. Kalau Partai Ummat ikut pemilu maka sangat mungkin perolehan suara PAN pada pemilu 2019 sebesar 6.84% akan turun di bawah 4%. Ini artinya, Zulhas akan menghadapi “nightmare” (nasib buruk). PAN bakalan tak punya wakil di DPR RI. Tanpa anggota DPR pusat, keberadaan mereka di KIB akan gugur dengan sendirinya. Meskipun PAN masih mungkin “hidup” di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Bisa dipahami bahwa Jokowi pun tak rela PAN jatuh di bawah 4%. Karena itu, sangat pantas diduga bahwa intervensi “kekuatan besar” yang dimaksudkan Pak Amien itu adalah intervensi Istana. Ini sekaligus menjawab siapa yang melakukan intervensi. Seberapa wajib intervensi “kekuatan besar” ini dilakukan demi menyetop Partai Ummat? Jawabannya sangat wajib. Pertama, KIB tak bisa “gambling” (berjudi) mengharapkan partai lain. Kedua, kalau PU ikut pemilu, suara PPP pun bisa juga terancam. Partai Ka’bah sedang pecah berserakan. Sangat mungkin kemarahan akar rumput terhadap pimpinan PPP akan mereka tunjukkan dengan mengalihkan pilihan ke PU. Tidak mustahil PPP juga akan jatuh di bawah 4%. Menjadi lebih runyam bagi KIB jika jalan cerita ini menjadi kenyataan. PAN dan PPP terjungkal di pileg (pemilihan legislatif) 2024. KIB berantakan. Berdasarkan kalkulasi ini, dipastikan akan ada pula intervensi “kekuatan besar” untuk memaksa PKB ikut KIB. Pemilik PKB, Muhaimin Iskandar yang populer dipanggil Cak Imin, mungkin sudah punya firasat tentang itu. Dia sangat rentan. Lambung Cak Imim masih sensitif terhadap “durian kardus”. Si “kekuatan besar” tahu penyakit itu masih bisa dipakai untuk membawa Cak Imin ke klinik khusus pasien politik yang berada di gedung Merah-Putih, Kuningan. Begitulah gambaran singkat mengapa wajar diduga Partai Ummat tak diloloskan, bukan tak lolos. Partai ini mengirimkan sinyal ancaman ke mana-mana. Partai Ummat, kalau diloloskan, bahkan bisa mengacaukan skenario besar yang bertujuan untuk melanjutkan kekuasaan Jokowi. Karena demikian strategisnya posisi Partai Ummat, sangat tepat Pak Amien dan jajaran pengurus menuntut agar semua notulen KPU dalam proses pengesahan semua partai peserta pemilu 2024 dibuka secara transparan. Kalau ini tidak dihiraukan, maka KPU bisa disebut melakukan “unlawful killing” terhadap Partai Ummat. Penyingkiran tanpa dasar hukum. Dan jika dibiarkan, maka KPU akan semakin brutal. Mereka akan melakukan genosida demokrasi. (*)