Bupati Meranti Sebut Kemenkeu Iblis dan Setan: Inikah “Politik Pembangkangan” Pejabat Daerah terhadap Pemerintah Pusat?

Pierre Suteki dan Puspita Satyawati, Dosen Universitas Online (UNIOL) 4.0 Diponorogo

2. Protes Bupati Meranti terkait DBH migas menunjukkan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Dan ini bukanlah kasus pertama yang terjadi.

Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati, Dosen Universitas Online (UNIOL) 4.0 Diponorogo

I. PENGANTAR

Heboh! Pernyataan keras  Bupati Meranti Muhammad Adil yang menyebut pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai iblis atau setan, berbuntut panjang. Adil mengatakan Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah Kepulauan Meranti.

Tak ayal, Adil mendapat teguran keras dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, usai bertemu langsung pada Senin, 12 Desember 2022. Teguran tersebut sekaligus penegasan bahwa sebagai kepala daerah apa pun masalahnya harus menggunakan bahasa yang beretika dan menunjukkan sikap kenegarawanan (tempo.co, 13/12/2022).

Mendagri sebagai atasan dari kepala daerah (gubernur, bupati, serta walikota) sudah sewajarnya untuk mendidik dan mengarahkan bawahannya. Dan kami kira, teguran keras itu lebih dari sekadar etika saat berkomunikasi, namun sebagai bentuk peringatan keras agar kepala daerah tidak melawan, menentang, atau protes terhadap kebijakan publik oleh pusat.

Meski beberapa pengamat menilai tindakan Bupati Meranti tersebut bisa menginspirasi kepala daerah lainnya untuk mengkritik pemerintah pusat, namun sebagai pejabat mestinya harus tahu tata krama. Dalam Tap MPR No.6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Politik dan Pemerintahan telah diatur bahwa etika harus terwujud dalam perilaku politik seperti tidak arogan, tidak munafik, tidak manipulatif, dan berbagai tindakan tak terpuji lainnya.

Kata iblis tentu tidak pantas diucapkan demi memberi stempel terhadap orang lain apa pun alasannya. Selain itu menyisakan sebuah pertanyaan, benarkah tindakan Adil merupakan bentuk "politik pembangkangan" dari pejabat daerah terhadap pemerintah pusat.

II. PERMASALAHAN

Untuk menyelisik di balik ucapan Bupati Meranti yang menyebut pegawai Kemenkeu sebagai iblis dan setan, penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang melatarbelakangi Bupati Meranti menyatakan bahwa Kemenkeu berisi iblis dan setan?

2. Apakah protes Bupati Meranti terkait dengan dana bagi hasil (DBH) migas menunjukkan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah?

3. Bagaimana pola hubungan pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan prinsip kepemimpinan yang berkeadilan sosial?

III. PEMBAHASAN

A. DBH Tak Sesuai, Bupati Meranti Sebut Kemenkeu Berisi Iblis dan Setan

Cnbcindonesia.com (13/12/2022) mewartakan, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah se-Indonesia, Bupati Meranti, Muhammad Adil tampak marah saat bertemu dengan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lucky Alfirman.

Kemarahan Adil terkait besaran dana bagi hasil (DBH) produksi minyak yang kian minim diberikan oleh Kemenkeu. Padahal realitasnya, harga minyak Meranti terus meninggi di tengah terkereknya harga minyak dunia dan naiknya nilai tukar dolar AS. Jumlah minyaknya pun bertambah bahkan hampir 8.000 barel perhari. Dengan besaran produksi ini, seharusnya DBH yang diberikan sesuai.

Adil telah berulang kali menyurati Kemenkeu untuk melakukan audiensi, tetapi jajaran kementerian meminta audiensi dilakukan online. Adil lalu mengadu kepada Kemendag dan semua bisa dijalankan secara offline.

Menurut Adil, pada 2022 Meranti menerima DBH Rp 114 miliar dengan asumsi harga minyak di US$ 60 dolar per barel. Adapun tahun depan, Meranti akan mendapatkan DBH mengacu asumsi harga minyak US$ 100 dolar per barel sesuai nota keuangan. Namun kata Adil, hal di atas harus dikonfirmasi dengan susah payah ke Kemenkeu.

Adil pun menceritakan, dirinya harus mengejar jajaran Kemenkeu hingga ke Bandung, Jawa Barat. Sayangnya, pertemuan tidak dihadiri oleh pejabat yang kompeten. Hingga Adil menyebut, “Ini uang keuangan isinya iblis atau setan.”

Perlu diketahui, Meranti merupakan salah satu daerah produsen minyak terbesar di Indonesia yang mampu memproduksi minyak mentah hingga 7.500-8.000 barel per hari, dari sebelumnya hanya di kisaran 3.000-4.000 barel per hari.

Jumlah produksi itu menurut Adil telah hampir menyamai target yang diberikan SKK Migas yaitu 9.000 barel perhari. Untuk mengejar target itu, Meranti gencar menggali sumur dari tahun ini 15 sumur, hingga 2023 sebanyak 19 sumur minyak mentah.

Tapi ternyata dengan kinerja produksi itu, ia menganggap uang hasil produksi Meranti yang diserahkan ke pemerintah pusat tidak diberikan secara benar. Sebagaimana disampaikan di atas, DBH tahun 2022 sebesar Rp 114 miliar dan tahun depan, nilainya hanya naik sekitar Rp 700 juta. Padahal, asumsi harga minyaknya US$ 100 perbarel.

Adil menilai, dana yang tidak terserahkan ini menjadi masalah karena Meranti merupakan daerah miskin ekstrem berjumlah penduduk miskin mencapai 25,68%. Padahal Presiden Jokowi telah memerintahkan penuntasan kemiskinan ekstrem pada 2024. Ia mempertanyakan, jadi kalau Meranti daerah miskin, pusat mengambil uangnya beralasan pemerataan, pemerataan ke mana? Bila tidak ada kejelasan, Adil meminta agar pemerintah tidak mengambil minyak dari Meranti.

Demikianlah latar belakang Bupati Meranti menyatakan Kemenkeu berisi iblis dan setan karena menganggap besaran DBH migas yang diterima tidak sepadan dengan banyaknya hasil produksi minyak Meranti yang diambil oleh pemerintah pusat.

B. Disharmonisasi Relasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Balik Protes Bupati Meranti

Ekonom Senior INDEF Didik Junaidi Rachbini memahami kekesalan dan kekecewaan Bupati Meranti Muhammad Adil. Menurutnya, persoalan DBH sudah berjalan cukup lama bahkan sejak orde baru sehingga keluhan ini terbilang wajar. Meski bukan berarti ucapan kasar boleh terlontar dari mulut pejabat publik, dari menghina Kemenkeu, mengancam untuk angkat senjata dan bergabung dengan negeri sebelah, serta menggugat ke mahkamah.

Didik menilai, ucapan dan tindakan seorang pejabat negara seperti ini sudah bisa dikategorikan makar. Dan jika hal ini  dibiarkan, akan banyak lagi pejabat negara yang mulai mengoyak NKRI dan kesatuan bangsa menjadi rapuh. Sehingga persoalan menjadi lebih berat lagi masalah NKRI dan makar (cnbcindonesia, 13/12/2022).

Tak dipungkiri, aroma disharmonisasi relasi antara pemerintah pusat dan daerah pun tercium dari protes Bupati Meranti ini. Terkesan terjadi persetujuan antara Bupati Meranti dengan Kemenkeu. 

Seiring penjelasannya soal mekanisme DBH, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menyayangkan pernyataan Bupati Meranti. Prastowo meminta Adil memperbaiki kinerjanya untuk memajukan daerah miskin alih-alih menyampaikan pandangan tak berdasar dan tak sesuai mekanisme kelembagaan. Ia menganggap, publik terkecoh dengan sikap Adil yang seolah heroik untuk rakyat. Padahal menurutnya, faktanya ini manipulatif karena justru pusat terus bekerja dalam bingkai konstitusi dan NKRI.

Prastowo lantas menyoroti rendahnya penyerapan anggaran Meranti yang menunjukkan bahwa kabupaten ini belum optimal mengelola anggaran terutama dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan yang tinggi, 25,68 persen. Ia menunjuk, dari pengelolaan APBD, sejak 2016 rata-rata serapan belanja hanya 82,11 persen. Untuk 2022 baru terealisasi 62,49 persen saja per 9 Desember 2022 (tempo.co, 11/12/2022).

Persoalan kurang harmonisnya pemerintah pusat dan daerah dalam tata kelola dana hasil produksi migas memang tak hanya terjadi kali ini. Sebelumnya, pada tahun 2014-2016, Pemprov Kalimantan Timur maupun pemerintah kabupaten/kota mengalami penurunan sumber pendapatan daerah yang cukup drastis dari dana perimbangan keuangan. Pemerintah pusat dipandang tidak adil dalam memberikan porsi dana perimbangan kepada daerah penghasil sumber daya alam (SDA).

Mengapa hal ini bisa terjadi? Sejak masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan pola hubungan pusat daerah yang cenderung sentralistik, menyebabkan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit terwujud hingga saat ini. Kesenjangan antara daerah berlanjut dengan ketidakadilan pembagian hasil alam.

Meski migas dan batu bara melimpah, Kalimantan Timur tidak dapat menikmati hasil alamnya lantaran terganjal regulasi atau peraturan perundang-undangan yang tidak memihak kepada daerah penghasil.

Sementara kondisi infrastruktur seperti listrik masih sangat memprihatinkan.  Lebih ironis lagi di Kota Samarinda, dikepung oleh operasional izin kuasa pertambangan batu bara. Akibatnya setiap hujan Samarinda banjir, bahkan lebih dari sepuluh anak tercebur dan mati sia-sia di kolam eks galian tambang.

Bagi daerah yang memiliki hasil alam seperti pertambangan, regulasi yang ada dirasa belum adil, karena DBH antara pusat dan daerah mengenai hasil tambang sangat sedikit proporsinya untuk daerah bersangkutan. Padahal dampak akibat eksploitasi tambang menimpa masyarakat penghasil SDA.

Mencermati pasal 14 huruf c UU Nomor 33 Tahun 2004, daerah hasil pertambangan umum hanya menerima 20%, sedangkan 80% untuk pemerintah pusat.

Selanjutnya pada huruf e pasal sama, daerah penghasil minyak bumi hanya menerima 15,5%, sedangkan 84,5% menjadi hak pemerintah pusat. Pasal 14 huruf f yang mengatur bagi hasil pertambangan gas bumi agak sedikit menggembirakan bagi daerah penghasil, karena proporsi yang diterima sebanyak 30,5% bagi daerah penghasil, sedangkan 69,5% menjadi hak pemerintah pusat.

Demikianlah gambaran tidak harmonisnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di balik protes Bupati Meranti. Dan ternyata ini adalah persoalan klasik terkait DBH hasil tambang yang mencerminkan ketidakadilan terhadap masyarakat di daerah.

C. Pola Relasi Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mencerminkan Prinsip Kepemimpinan yang Berkeadilan Sosial

Adanya pembedaan proporsi DBH antara sumber penghasilan satu dengan lainnya akan berakibat ketimpangan penerimaan daerah. Bagi daerah yang mempunyai SDA seperti sektor pertambangan akan merasakan ketidakadilan. Apalagi dampak negatif eksploitasi tambang cukup besar dan cukup lama dirasakan masyarakat lokasi pertambangan. Bagi daerah penghasil SDA yang cukup melimpah, merasakan kebijakan DBH sangat tidak adil.

Problematika yang muncul akibat pemberlakuan pola perimbangan keuangan antara pusat dan daerah seperti ini, khususnya dalam DBH sektor pertambangan perlu dicarikan formula tepat agar tidak terjadi ketimpangan keuangan (kesejahteraan) antara satu daerah dengan daerah yang lain, maupun ketimpangan antara pusat dan daerah.

Layak untuk menggagas sebuah pola relasi pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan prinsip kepemimpinan yang berkeadilan sosial, khususnya soal DBH sektor migas yaitu:

1. Relasi pemerintah pusat dan daerah harus terjalin baik dan harmonis dalam bingkai melaksanakan kewajiban meri'ayah (melayani) rakyat demi mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran mereka. Bukan demi kepentingan penguasa atau segelintir orang baik di pusat maupun daerah.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Imam adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.” (HR. Bukhari).

2. Terkait pengelolaan hasil SDA, pemerintah semestinya memahami bahwa kekayaan alam  merupakan kepemilikan umum (harta rakyat). Adapun pemerintah wajib mengelolanya dengan baik dan amanah, serta "mengembalikan" hasilnya untuk kepentingan rakyat. Sehingga pemerintah memastikan betul bahwa hasil SDA tidak akan dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak sah memilikinya.

3. Untuk menghindari kesenjangan kesejahteraan antardaerah dan antara pusat dengan daerah, pemerintah mendistribusikan DBH berdasarkan kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah, terutama kebutuhan pokok baik individual (pangan, sandang, papan) maupun komunal (pendidikan, kesehatan). Pun kebutuhan infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, dan lain-lain yg mendorong pada terwujudnya kemaslahatan rakyat.

Maka DBH dibagi tanpa memandang daerah tersebut menghasilkan SDA lebih banyak atau tidak, atau lebih mementingkan pemerintah pusat. Tapi yang menjadi ukuran adalah jumlah DBH diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bila kebutuhan terpenuhi, kesejahteraan terwujud, masyarakat dan pejabat daerah tidak akan mengeluarkan protes.

4. Bila terjadi permasalahan; ketidakpuasan, keluhan, kekecewaan dari masyarakat, pemerintah daerah mengkomunikasikan secara baik ke pusat dan pusat mesti menanggapi secara transparan.

Jangan sampai pejabat daerah mengkomunikasikan kekesalannya tanpa etika memadai bahkan cenderung provokatif. Ini akan menjadi pembelajaran negatif bagi rakyat, dan memicu konflik dengan pemerintah pusat.

5. Jika perlu ada perbaikan regulasi, baik undang-undang maupun aturan main di bawahnya, demi memastikan bahwa tujuan negara mewujudkan kesejahteraan rakyat bisa teraih.

Demikianlah pola relasi pemerintah pusat dan daerah untuk mewujudkan kepemimpinan yang berkeadilan sosial. Dalam sistem pemerintahan bernuansa kapitalistik sekuler, penguasa memang cenderung hanya memikirkan keuntungan diri dan kroninya. "Wajar" bila rakyat atau pejabat daerah berteriak menyuarakan protes ketidakadilan. Bila menghendaki terwujudnya keadilan hakiki bagi seluruh rakyat, sistem Islam adalah alternatif pilihannya. Tinggal manusianya, mau atau tidak menerapkannya?

IV. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis mengajukan kesimpulan sebagai berikut:

1. Bupati Meranti menyatakan Kemenkeu berisi iblis dan setan karena menganggap besaran DBH migas yang diterima tidak sepadan dengan banyaknya hasil produksi minyak Meranti yang diambil oleh pemerintah pusat.

2. Protes Bupati Meranti terkait DBH migas menunjukkan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Dan ini bukanlah kasus pertama yang terjadi.

3. Pola relasi pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan prinsip kepemimpinan yang berkeadilan sosial khususnya terkait DBH migas, yaitu: relasi pemerintah pusat dan daerah harus terjalin baik dan harmonis dalam bingkai melaksanakan kewajiban meri'ayah (melayani) rakyat, terkait pengelolaan hasil SDA pemerintah semestinya memahami bahwa kekayaan alam  merupakan kepemilikan umum (harta rakyat), lalu untuk menghindari kesenjangan kesejahteraan antardaerah dan antara pusat dengan daerah, pemerintah mendistribusikan DBH berdasarkan kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah.

Selain itu, bila terjadi permasalahan,  pemerintah daerah mengkomunikasikan secara baik ke pusat dan pusat mesti menanggapi secara transparan. Jika perlu ada perbaikan regulasi, baik undang-undang maupun aturan main di bawahnya, demi memastikan tujuan negara mewujudkan kesejahteraan rakyat bisa teraih.

Pustaka

Menyoal Hubungan Pusat dan Daerah, dpmpd.kaltimprov.go.id, 17 Februari 2016. (*)

388

Related Post