OPINI

Presiden Hanya Menjadi Badut Alat Kekuasaan Bandit dan Bandar Politik

Untuk mengantisipasi tuntutan adaptasi dengan lanskap global strategis yang berkembang, perubahan atas UUD 1945 dimungkinkan dengan metode adendum, tanpa mengubah Pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PROF Salim Said mengatakan bahwa negara Indonesia sekarang ini dikuasai Oligarki. “Saya takut bahwa banyak yang dilakukan oleh Jokowi itu adalah akomodasi dia terhadap banyak group-group oligarki,” katanya. “Negara kita sekarang dikuasai oleh para Oligar termasuk Pak Jokowi. Saya tidak tahu dia sadar atau tidak,” lanjut Prof Salim Said. Dengan modal yang dimiliki oligarki, mereka bisa bersama-sama mengelola kekuasaan. Demokrasi dan Oligarki yang tidak terkendali mengarah ke tirani (Aristoteles). Kekuasaan akan menjadi hukum. Kalau itu terjadi, John Locke, Where-ever law ends, tyranny begins. Ketika hukum berakhir (mati), maka tirani mulai (berkembang). Pondasi negara hukum dan demokrasi akan mati suri. Bertambah runyam kalau PKI sudah masuk pada semua pos penyelenggaraan negara. Komunisme ini menganut faham Antroposentrism (artinya, orang yang menganggap kebenaran berdasarkan diri sendiri). Persis dengan keadaan dan kelakuan Rezim saat ini. Oligarki dan PKI baik sendiri-sendiri maupun dengan bersenyawa akan dan telah melakukan kudeta dan menghancurkan negara ini. Oligarki telah mampu membajak UUD 1945 Asli diubah menjadi UUD 2002, rezim ini sadar atau tidak telah mengubah arah negara tanpa arah. UUD 1945 itu bukan sekedar dokumen akademik, tapi ia adalah dokumen sejarah yang menjadi fondasi negara ini, telah dihancurkan. Jika UUD bisa diganti oleh MPR hasil Pemilu, maka kesesatan praktik politik akan selalu memperoleh pembenaran UUD melalui penggantian tersebut. Kita telah kehilangan norma-norma dasar negara. Ini berbahaya sekali karena kita kehilangan pedoman. Jika setiap generasi boleh mengganti kesepakatan awal pendirian negara. UUD 2002 telah membuka bagi kesalahan tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga para Bandar dan Bandit politik leluasa melakukan apa saja. Sudah cukup banyak bukti bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami deformasi serius setelah penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002. UUD 2002 dan UU turunannya telah menjadi papan lontar banyak masalah mal administrasi publik di mana UU dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan Bandar dan Bandit politik dengan segala kuasanya berakibat negara di jurang kehancurannya. Semua lembaga negara produk UUD 2002 kini jatuh menjadi alat kekuasaan  dengan dukungan para Bandar dan Bandit politik yang makin kekenyangan dalam menikmati berbagai kuasa politik kekebalan hukum dan konsesi ekonomi yang telah membahayakan negara. Presiden kini hanya menjadi badut politik yang dengan sukarela menjadi alat kekuasaan para Bandit dan Bandar politik. Seruan secepatnya negara harus mengagendakan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 asli versi Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Untuk mengantisipasi tuntutan adaptasi dengan lanskap global strategis yang berkembang, perubahan atas UUD 1945 dimungkinkan dengan metode adendum, tanpa mengubah Pembukaan, batang tubuh, dan penjelasannya. Kembali ke UUD 1945 adalah pertobatan dari kemurtadan bangsa ini. Paska mengganti menjadi UUD 2002 semua kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercengkeram Bandit, Bandar dan Badut politik saat ini adalah ekspresi para penguasa yang terkutuk. (*)

Mengapa Mesti Anies?

Tapi, sebaliknya justru berhasil mengendalikan oligarki. Contohnya, dia tidak surut ketika menghadapi tekanan untuk menetapkan kebijakan menghentikan perluasan reklamasi Teluk Jakarta. Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior dan Pemerhati Persoalan Publik DEKLARASI pencapresan Anies Rasyid Baswedan oleh Partai Nasdem tentu saja melahirkan pro dan kontra. Sesuatu yang wajar terjadi, ketika terjadi pembelahan di masyarakat selama ini dibiarkan saja. Apalagi Anies adalah orang pertama yang dideklarasikan sebagai Bakal Calon Presiden (Bacapres) dalam pemilu 2024 mendatang. Ketika partai-partai lain bahkan masih ragu untuk menunjukkan calonnya. Dan, hal itu diawali dengan begitu ngototnya Ketua KPK Firli Bahuri untuk menjadikan Anies sebagai tersangka dalam dugaan korupsi balap Formula E, dengan barang bukti yang tak cukup. Sehingga Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mendahuluinya dengan mendeklarasikan Anies sebagai Bacapres. Terlepas dari permainan politik di tingkat elit, masyarakat banyak ternyata melihat sesuatu yang lain pada mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Tidak terbayangkan sebelumnya, bahwa pendeklarasian dirinya sebagai salah satu Bacapres 2024 melahirkan antusiasme yang luar biasa di kalangan rakyat. Tidak hanya di ibukota Jakarta. Tapi bahkan di seantero kepulauan Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai ke Pulau Rote. Sebuah fenomena pertama yang belum pernah terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa, jutaan relawan Anies tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Fenomena itu menimbulkan pandangan yang beragam. Tapi tak dapat dipungkiri, Anies begitu digandrungi. Dia seolah dipandang bagai manusia setengah dewa yang diutus Tuhan. Saat negara sedang dalam masalah besar. Anies diharapkan rakyat sebagai tokoh yang akan melahirkan perubahan yang besar. Dari keterpurukan multi dimensi yang ada sekarang menjadi kejayaan yang dicita-citakan. Dari kehidupan rakyat yang morat-marit secara ekonomi menjadi kesejahteraan yang merata bagi semua kalangan. Bahkan, juga dari ketidakadilan penegakan hukum menjadi penegakan hukum yang adil buat semua. Dan berbagai persoalan bangsa yang sudah sangat mendesak untuk dibenahi. Suatu pemandangan yang aneh bisa kita lihat nyata sebagai bukti begitu eratnya kaitan Anies dengan hasrat rakyat banyak untuk bisa merasakan perubahan. Ketika masa jabatannya habis, misalnya, dan dia harus meninggalkan Balai Bota Jakarta, Anies diapresiasi dan dielu-elukan jutaan warga miskin ibukota. Seperti diberitakan banyak media, ribuan warga menyerbu Balai Kota DKI Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, Ahad (16/10/2022). Mereka ingin menyaksikan Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria yang hendak mengucapkan kata-kata perpisahan. Ketika tiba di Bundaran HI sekitar pukul 07.57 WIB, Anies menyapa para peserta Car Free Day yang ada di lokasi itu. Tapi menjelang kedatangannya, warga Jakarta sudah bentangkan spanduk Terima Kasih Anies di Depan Plaza Indonesia. Ada juga yang meneriakkan “Anies for Presiden”. Pemandangan itu kontras sekali dengan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) saat kalah dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017 dan mesti meninggalkan kantornya di Balai Kota Jakarta dalam kesunyian. Karena Ahok hanya mendapatkan kiriman karangan bunga oleh sejumlah kalangan. Tidak ada rakyat yang melepas dan mengelu-elukannya. Dan, bisa ditebak bahwa puluhan karangan bunga itu berasal dari orang-orang kaya yang tentu saja pemuja Ahok. Mengapa Anies? Pertanyaan ini bisa jadi datang dari mereka yang tidak suka Anies. Atau, mereka yang lebih setuju dengan statusquo yang ada sekarang. Meskipun di hati kecilnya mengakui bahwa keadaan bangsa dan negara saat ini tidak baik-baik saja. Dan tentu saja pertanyaan ini bisa dijawab oleh sebagian besar rakyat kecil yang kini terseok-seok menghadapi kenyataan beratnya beban ekonomi yang mesti mereka tanggung sehari-hari. Dalam suatu kesempatan, mantan Menteri Pendidikan di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini pernah mengemukakan pandangannya tentang kebijakan masa lalu sejumlah pemerintahan di ibukota Jakarta. “Selama bertahun-tahun di Jakarta, selalu dilakukan operasi yustisia. Untuk menjaring rakyat kecil dan orang-orang miskin dari desa yang ingin mencari penghidupan yang lebih baik di ibukota,” begitu kata Anies. Dan, pastinya mereka yang pernah tinggal dan menetap di Jakarta bisa memaklumi karena pernah menyaksikan langsung operasi yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) itu. Dapat dibayangkan, orang-orang yang miskin dan papa itu ditangkapi di terminal-terminal, stasiun-stasiun kereta dan di berbagai tempat kumuh lainnya. Mereka dikejar-kejar, digelandang dan diperlakukan secara semena-mena di suatu tempat yang layaknya disebut penjara. Mereka bukan penjahat. Mereka hanya ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi mereka kemudian dipaksa pulang kembali ke kampung halaman mereka. Mereka seolah tidak dibolehkan untuk sejenak merasakan kenyamanan ibukota yang baru ada di angan-angan mereka. Suatu kebijakan yang tidak menghargai harkat kemanusiaan mereka. Harus dimaklumi bahwa kebijakan itu sudah menjadi rahasia umum bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Bahwa penduduk luar Jakarta seolah tak berhak untuk tinggal dan menetap di ibukota. Dan ini hanyalah salah satu contoh kecil saja dari sejumlah kebijakan tentang keberpihakan Pemda DKI Jakarta kepada rakyat jelata yang papa. Menurut Anies, operasi yustisia tidak pernah dilakukan di airport-airport yang merupakan tempat kedatangan orang-orang kaya. Sehingga, begitu jelas bagaimana pemerintah DKI Jakarta memperlakukan rakyat kecil yang papa itu. Perlakuan yang sangat kontras dengan kebijakan terhadap mereka yang berpunya. Selama bertahun-tahun, persoalan ini seolah dianggap tidak masalah. Tapi di masa kepemimpinan Anies, kebijakan itu dihapuskan. “Kami melakukan perubahan terhadap kebijakan ini. Karena, menurut kami, Jakarta adalah kota untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak boleh lagi ada rakyat yang diperlakukan semena-mena,” katanya. Pengendali Oligarki Berbeda dengan Joko Widodo yang selama ini oleh Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri disebut sebagai petugas partai dan oleh sejumlah pakar politik dianggap sebagai boneka oligarki, Anies tidaklah demikian. Menurut pandangan pakar politik Eep Saefulah Fatah, selama lima tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies tidak menjadi petugas partai. Dia juga tidak dikendalikan oligarki. Tapi, sebaliknya justru berhasil mengendalikan oligarki. Contohnya, dia tidak surut ketika menghadapi tekanan untuk menetapkan kebijakan menghentikan perluasan reklamasi Teluk Jakarta. Meskipun triliunan dana disiapkan untuk menjegal Anies agar tidak lolos jadi presiden, namun para relawan yang sekarang bermunculan di mana-mana tidak mengalah. Karena dalam pandangan mereka, saat ini hanya Anies yang dapat diharapkan untuk melakukan perubahan yang mendasar. Mengapa? Karena rakyat melihat bahwa Anies telah berhasil memenuhi janji-janji kampanyenya. Tidak seperti banyak tokoh lainnya yang tidak bebas membuat kebijakan demi rakyat banyak. Terutama janji-janjinya yang telah mengubah ibukota Jakarta menjadi lebih baik. Semua itu jadi pusat perhatian rakyat Indonesia. Bukan hanya warga Jakarta. Di antaranya, Anies telah membangun Jakarta International Stadium (JIS) yang membanggakan. Stadion beratap penuh terbesar di Asia-Pasifik, yang dibangun dengan APBD Rp 4,5 triliun. Atapnya bisa dibuka tutup, kapasitasnya 82 ribu penonton. Begitu juga penyelenggaraan balap mobil Formula E yang monumental, pembangunan setidaknya 103 jalur sepeda, penciptaan aplikasi moda transportasi terintegrasi JakLingko, pelebaran trotoar yang membuat Jakarta tambah cantik dan warga merasa sangat nyaman, pembangunan sumur resapan, pembangunan taman-taman kota yang indah, penggratisan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di bawah Rp 2 miliar, pembangunan instalasi jalur kabel bawah tanah yang dinamakan Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT), dan banyak lagi lainnya. Semua itulah yang dilihat rakyat pada Anies. Mereka lalu membayangkan bagaimana kalau Anies jadi presiden. Yang dapat melakukan perubahan di banyak bidang. Yang paling mendesak, pertama, adalah membangun perekonomian bangsa dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah. Kedua, membebaskan diri dari ketergantungan kepada pihak asing mana pun. Termasuk mengembalikan seluruh Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang kian banyak jumlahnya ke negara asal mereka. Ketiga, merombak sistem penegakan hukum ke arah yang berkeadilan. Dengan meninggalkan sistem penegakan hukum yang bobrok sekarang ini. Selain itu, rakyat juga akan merasa bangga melihat pemimpin mereka mampu berbicara sekaligus berwibawa di forum-forum internasional. Mengembalikan harkat dan martabat bangsa sebagai bangsa yang setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Semua itu tampaknya untuk saat ini hanya mungkin dilakukan oleh Anies. Tidak oleh para tokoh lain yang digadang-gadang akan menjadi Bacapres mendatang. (*)

Jum’ah Mubarak: Mengenal Madinah

Singkatnya bangsa/negara yang bernama Madinah itu adalah aktualisasi dari cita-cita Qur’ani untuk membentuk “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Gafhuur”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation ADA dua kubu ekstrim dalam tubuh Umat Islam dalam memandang negara kebangsaan (nation state). Kubu pertama melihatnya bahwa Rasulullah diutus sebagai Rasul dalam arti yang terbatas. Rasulullah tidak mengurus kehidupan dunia secara umum, apalagi negara kebangsaan secara khusus. Kubu kedua kemudian hadir dengan konsep kenegaraan yang spesifik. Bahkan lebih jauh mengaitkan segala hal dalam agama dengan bentuk negara spesifik itu. Penganut paham kedua ini terjatuh ke dalam paham, salah satunya paham “khilafah” dalam arti sempit. Kedua golongan itu memiliki argumentasi referensi keagamaan (ayat atau hadits) yang seringkali memiliki penafsiran yang dipaksakan. Sehingga pada akhirnya penafsiran itu cenderung menyalahkan, bahkan mengkafirkan dan “menerakakan” pendapat yang tidak sejalan. Jika kita ikuti secara dekat perjalanan hidup (sirah) Rasul akan didapati bahwa perjalanan hidup beliau imemang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan publik (jama’ah). Dalam artian bahwa beliau adalah seorang nabi dan rasul yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan agar kehidupan manusia sesuai dengan ajaran Ilahi (Al-Qur’an dan Sunnah). Kehidupan di sini tentunya dimaknai secara utuh (kaffah) atau menyeluruh (syamil). Baik secara pribadi-pribadi (individual) dan jamaah (kolektif). Juga pada aspek fisikal (material duniawi) dan aspek ruhiyah (spiritual ukhrawi). Sebuah pemahaman kehidupan yang tidak parsial. Rasulullah memulai hidup dan perjuangannya di Mekah. Sekitar 13 tahun beliau berjuang untuk menata kehidupan manusia pada tataran pribadi (individual) tadi. Hal yang paling menonjol pada fase ini adalah pembentukan “hati” manusia dengan konsep Tauhid: “Laa ilaaha illallah”. Fase selanjutnya dimulai dengan perpindahan Rasulullah dari Mekah ke kota Yatsrib. Perpindahan ini dikenal dalam sejarah dengan hijrah (migration). Pada umumnya Ulama menyebut penyebab Hijrah ini karena kesulitan dakwah di Mekah. Alasan yang menurut saya kurang relevan. Karena Dakwah memang tidak pernah disikapi dengan hamparan karpet merah. Rasulullah diperintah hijrah bukan karena kesulitan/tantangan dakwah di Mekah karena dakwah pastinya tertantang. Juga seorang Rasul tidak akan menghindar dari tantangan dakwah itu. Beliau diperintah hijrah karena memang fase dakwah selanjutnya, fase dakwah, akan segera dimulai. Fase dakwah selanjutnya yang dimaksud adalah fase penataan kehidupan “jama’i” (kolektif) dengan membangun komunitas (Umat/bangsa). Tempat di mana komunitas ini terbentuk dan berkembang dikenal dengan “daulah” (negara). Karakter bangsa dan negara inilah yang akan  dibahas secara singkat. Berganti dari Yatsrib ke Madinah Hal pertama yang menjadi perhatian kita adalah penggantian nama kota itu dari Yatsrib menjadi “Madinah”. Apa Urgensi perubahan nama ini? Apa arti Madinah dan relevansinya dalam membangun komunitas (ummah/bangsa dan negara? Kata Madinah ternyata memiliki makna dan konotasi yang dahsyat. Pada umumnya Umat menerjemahkan kata ini secara sederhana dengan “kota” (city). Kota yang dipahami sebagai sebuah tempat dengan karamaian, gedung-gedung pencakar langit, bahkan dengan kehebatan sains dan teknologinya. Ternyata kata Madinah tidak sekedar berarti kota. Tapi memiliki makna yang lebih luas dan mulia, lebih dari sekedar sebuah kota. Apalagi jika kota itu sekedar terimajinasikan dengan kota-kota besar dunia, seperti New York, London, Paris, dan Tokyo misalnya. Kata Madinah merupakan derivasi dari kata “daana-yadiinu-diinun”. Dari kata ini terlahir ragam konotasi dengan makna-makna yang saling terkait. Saya ambil beberapa makna penting saja dari kata “diin” ini. Pertama, kata diin mengandung makna “agama dan ketaatan”. Lihat misalnya firman Allah di Surah An-Nisa ayat 125: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-(Nya).” Pada makna ini tegas bahwa negara yang dicita-citakan oleh Islam itu adalah negara yang terbangun di atas agama dan ketaatan. Satu hal yang memaknai itu pada realita bahwa hal pertama yang dilakukan Rasulullah di Madinah adalah membangun masjid. Tentu masjid di sini dipahami tidak sekedar pada pemaknaan ritual. Tapi lebih kepada simbolisasi bahwa negara/bangsa itu adalah “masjid” yang secara literal diartikan “tempat sujud”. Dan sujud itu diartikan sebagai “ketaatan”. Maka negara adalah tempat untuk taat kepada Pencipta. Kedua, kata diin juga mengandung makna keteraturan dan tanggung jawab. Diin itu bermakna aturan yang mengatur kehidupan manusia dan konsekwensinya dipertanggung jawabkan. Diin dihadirkan untuk memberikan pengaturan kepada kehidupan manusia yang cenderung “chaotic” (kacau balau) akibat dorongan hawa nafsu yang pada ghalibnya tak terkendali. Pada makna ini jelas bahwa ummah (bangsa/negara) yang dibangun oleh Rasulullah itu adalah bangsa dan negara dengan aturan (Konstitusi) yang solid, serta memiliki pertanggung jawaban yang jelas. Itulah yang kemudian teraplikasikan dalam bentuk Konstitusi Madinah yang dikenal dengan “Piagam Madinah” (the Charter of Madinah). Piagam Madinah ini diakui oleh banyak ahli sebagai Konstitusi Sipil (civic constitution) yang pertama dalam sejarah manusia. Ketiga, kata diin juga bermakna “tamaddun” atau peradaban (civilization). Dengan demikian Madinah dimaknai sebagai tempat di mana peradaban itu terbentuk dan berkembang. Sehingga kota yang bernama Madinah itu sejak awalnya dimaksudkan untuk menjadi tempat di mana Umat/bangsa menjalani hidup kolektifnya dengan peradaban. Umat (bangsa/komunitas) yang civilized (berperadaban) itu tentunya ditandai (characterized) oleh banyak hal. Tapi semua itu tersimpulkan dalam dua kata; social justice. Di sebuah negara yang berperadaban itu nilai-nilai keadilan sosial ditegakkan secara jujur dan konsisten. Pada kehidupan yang berperadaban  itu terjadi kesetaraan dalam segala hal; ras, gender, kesetaraan peluang (equal opportunities) di segala lini kehidupan; ekonomi, politik, dll. Dan pastinya bangsa yang berperadaban (civilized nation) itu adalah bangsa yang secara terus menerus mengupayakan kemakmuran yang berkeadilan. Singkatnya bangsa/negara yang bernama Madinah itu adalah aktualisasi dari cita-cita Qur’ani untuk membentuk “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Gafhuur”. Tapi pastinya, hal itu hanya akan terwujud jika dibangun dengan nilai-nilai “diin” (ketaatan, keteraturan, dan berperadaban). Kemajuan pembangunan sebuah bangsa/negara secara fisikal tanpa “diin” justeru boleh jadi diakui sebagai bangsa/negara perperadaban (civilized) tapi tidak beradab (uncivilized). NYC Subway, 10 Nopember 2022. (*)

PKS Istiqamah Dukung Anies

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa BEREDAR isu PKS tidak dukung Anies. Namanya juga isu. Itu hal biasa. Apalagi kalau ada operasi untuk memisahkan PKS dari Anies, maka media dan medsos menjadi instrumen yang efektif untuk membangun opini.  Menurut sejumlah sumber dari kader PKS, ada operasi untuk membangun kesan bahwa PKS tidak mendukung Anies. Ada dua target. Pertama, supaya para pendukung PKS kecewa dan ini efektif untuk menahan laju elektabilitas PKS yang sedang naik. Kedua, untuk membenturkan PKS dengan Anies, agar optimisme para pendukung Anies menurun. Dua alasan ini, masuk akal juga. Isu lainnya, PKS ditawari dua posisi menteri. Dan dua kementerian itu saat ini dijabat oleh kader Nasdem. Tidak saja tawaran menteri, kabarnya PKS pun ditawari logistik untuk kampanye di pileg 2024. Namanya juga isu. Benar salahnya masih harus diklarifikasi. Yang pasti, isu ini mencoba menghadap-hadapkan PKS dengan Nasdem. Padahal, keduanya sedang membangun koalisi dan memperkuat hubungan politik menghadapi pilpres 2024. Lebih dari separoh konstituen PKS dukung Anies (Survei Litbang Kompas). Selama ini, PKS termasuk partai yang konsisten mengakomodir aspirasi pemilihnya. Karena iti, konstituen PKS sangat militan dan berhasil menjadi mesin politik yang terus bekerja sepanjang musim. Selain PDIP, hanya PKS yang konstituenya solid dan terlihat bekerja secara masif. Hampir 10 tahun PKS mengambil jarak dengan pemerintahan Jokowi. Salah satu faktor utamanya karena konstituen PKS menginginkan partai dakwah ini ambil peran sebagai oposisi. Sampai di sini kita memahami cara PKS istiqamah (konsisten) menjaga konstituennya dengan secara sungguh-sungguh memenuhi aspirasi mereka. Logika normal, hampir tidak memungkinkan PKS, di ujung masa puasanya, akan bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Ibarat orang puasa, 5 menit jelang berbuka, lalu batal. Ini pasti akan menjadi penyesalan seumur hidup. Jika nekat, sama juga PKS bunuh diri. Lihat rekam jejaknya,  sepertinya PKS tidak akan melakukan tindakan sekonyol itu. Mengapa PKS tidak jadi deklarasi tanggal 10 nopember? Ini pertanyaan yang ramai di pekan ini. Mungkin bahasa yang lebih tepat bukan tidak jadi. PKS belum secara resmi menyatakan akan deklarasi tanggal 10 Nopember. Soal waktu, masih menjadi perbincangan diantara tiga parpol yang berencana akan mengusung Anies Baswedan. 11 November adalah hari milad atau ulang tahun Partai Nasdem. Partai Nasdem menggelar acara tanggal 9-11 November. Tentu ini tidak saja bagi PKS, tapi juga bagi Demokrat, 10 Novenber adalah waktu yang kurang tepat untuk deklarasi bersama. Kedua partai ini, yaitu PKS dan Nasdem akan merasa lebih nyaman deklarasi di luar hari yang bisa dikait-kaitkan dengan ulang tahun Nasdem. Adab Jawanya: gak mau gangguin hajat Nasdem. Deklarasi \"Koalisi Perubahan\" hanya soal waktu. Yang pasti, tiga parpol yaitu Nasdem, PKS dan Demokrat memiliki satu kesepakatan bersama yaitu usung Anies sebagai capres 2024. Soal ini clear dan mereka kompak. Andi Arief, ketua Bappilu Demokrat ngetwit: \"hanya burung hantu yang bisa menggagalkan koalisi Nasdem, PKS dan Demokrat\". Dan Mardani Ali Sera, salah satu petinggi PKS juga bilang: lebih cepat lebih baik.  Dilihat dari perkembangan yang kita baca, ketiga parpol yang rencananya akan mengusung Anies tampaknya solid. Kabarnya, hanya tinggal 10 persen lagi tim kecil yang mereka bentuk akan mematangkan dan menuntaskan semua persiapan. (*)

Rezim Ini Semu dan Hanya Bayangan

Keduanya mendatangi tempat menyampaikan duka bagi VIP. Di situ keduanya menaruh bunga dan menuliskan ucapan duka cita. Jarak tempat duka bagi VIP dan lokasi tragedi sekitar 300 meter, masih di wilayah Itaewon. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih BAGAIMANA bisa mengubah dunia, jika tak bisa mengubah diri (kita) sendiri? “Kemarin aku merasa pintar, karenanya aku ingin mengubah dunia. Sekarang aku lebih bijaksana, maka aku mulai mengubah diriku sendiri.” (Jalaludin Rumi) Setelah mampu memimpin diri, dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab. Pemimpin bukan hanya mengikuti kemauan dirinya sendiri, tapi juga kemampuan mendidik rakyat mengenali yang hak dan bathil yang benar dan yang zalim. Kemampuan menggerakkan untuk perubahan ke arah harmoni hidup yang selaras, serasi dan seimbang. Bukan mengubah menjadi tirani dan otoriter. Pemimpin harus dapat mengaktifkan kepada perbuatan, tetapi bukan hanya menyerukan perbuatan, tetapi mengetahui untuk apa berbuat dan ke mana arah perbuatannya. Tujuan kebaikan adalah kebaikan untuk hidup bersama keluar dari kubangan krisis dan kegelapan. Rela dan ikhlas menginvestasikan potensi kemampuan dan kebajikan diri ke dalam mekanisme dan kelembagaan politik yang bisa memengaruhi perilaku masyarakat, untuk menolong dirinya dari kesulitan, penderitaan hidup yang berkepanjangan. Kini, rakyat Indonesia harus bisa keluar dari situasi gelap. Sebagai pejuang perubahan tidak boleh hanya termangu menunggu dan menunggu sang juru selamat, sedangkan juru selamat akan datang dari dirinya sendiri, sebagai modal moral perjuangan politiknya. Tak pernah ada kata terlambat, tak ada kata sebentar lagi, waktumu untuk berangkat berjuang antara hari ini dan besok. Bahkan rentang waktu itu terlalu panjang ketika waktu kematianmu tinggal beberapa menit, setelah sekian lama menyia-nyiakan waktu hanya untuk menunggu. Rezim ini semu dan hanya bayangan, kering dari makna karena telah lepas dari Pancasila dan UUD 1945. Negara ini butuh perjuangamu untuk bebas dari kegelapan, kembali ke UUD 1945 asli untuk bisa hidup normal kembali. Tidak ada yang bisa menolong kita, kecuali diri kita sendiri. Berjuang untuk meraih kemerdekaan hakiki. Meski rakyat punya perwakilan di Senayan, toh mereka lebih memikirkan diri mereka sendiri. Tak peduli rakyat tercekik. Suara rakyat nyaris tak pernah bisa didengar, apalagi diperjuangkan. Lihat saja sang pimpinan DPR dan Ketum partainya, keduanya lebih memilih ke lokasi Tragedi Itaewon di Kota Seoul, Korea Selatan, ketimbang ke Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, yang menelan korban tewas 135 orang. Ketua tokoh politik itu juga mengekspresikan rasa duka atas tragedi tersebut dengan menaruh bunga pada Kamis (10/11/2022). Kedatangan keduanya dipersiapkan oleh protokoler DPR, KBRI Seoul, dan pihak Korea Selatan. Keduanya mendatangi tempat menyampaikan duka bagi VIP. Di situ keduanya menaruh bunga dan menuliskan ucapan duka cita. Jarak tempat duka bagi VIP dan lokasi tragedi sekitar 300 meter, masih di wilayah Itaewon. Keduanya membawa nama sebagai pimpinan DPR dan Ketum partai ketika mengucapkan bela sungkawa. Sedangkan korban akibat penembakan gas air mata di Kanjuruhan nyaris tak dapat ucapan bela sungkawa sama sekali, apalagi didatangani oleh keduanya, padahal jangka waktu perjalanan sekitar 1,5 jam saja dari Jakarta. Itulah kenyataan yang terjadi di sekitar kita hari-hari ini. Ironis bukan? Miris sekali. Selamat jalan “Pahlawan Aremania”! (*)

Jangan Memilih Penggurus yang Bolak-Balik Istana, Apalagi Jadi Ketua Umum!

Dua orang ini mau disingkirkan oleh penguasa dari Istana. Dan yang 13 harus jeli memilih siapa jadi Ketum dan Sekumnya. Jangan ada titipan-titipan dari Istana laknat, harus si fulan yang jadi Ketum. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ketua LDK PWM DKI MUKTAMAR Muhammadiyah di Solo tidak akan lama lagi digelar. Pesan-pesan dari para kader Muhammadiyah atau yang lainnya demi kelangsungan hidup Independensi, Mandiri dan Tak Bisa Dibeli pihak luar terus menggema. Salah satu itu yakni dari Ayahanda Prof. Dr. H Moh. Amin Rais MA, mantan Ketua Umum Muhammadiyah. Video beberapa menit untuk mengingatkan peserta Muktamar yang diawali sehari sebelum Muktamar dengan Tanwir memilih para calon yang disodorkan tiap-tiap wilayah dari seluruh Muhammadiyah kemudian dibawa ke Muktamar untuk dipilih 13 orang yang akan jadi nakhoda secara kolektif kolegial. Tetapi tetap dari 13 orang akan dipilih siapa yang jadi Amir untuk membawa berlayar kapal besar bernama Muhammadiyah. Nah, di sinilah masuk wanti-wanti dari pesan Ayahanda Moh. Amin Rais (MAR). Jangan memilih pengurus apalagi, jadi ketum Muhammadiyah orang yang suka Bolak Balik di Istana. Kita tidak tahu siapa orang yang dimaksud Ayahanda MAR. Tapi, orang juga sedang mengira-ngira siapa orang tersebut. Sudah pasti tidak lain dan tidak bukan mereka yang secara de facto dan de yure yang menjadi orang nomor satu dan nomor dua di Muhammadiyah itulah yang dimaksud Ayahanda MAR. Ini bukan apa-apa. Ayahanda MAR mengingatkan saja demi kelangsungan hidup Muhammadiyah agar tetap kelihatan dakwah Amar Makruf dan Nahi Mungkarnya. Memang menjadi Ketum dan Sekum di Muhammadiyah benar-benar cukup seksi. Karena, nama besar Muhammadiyah menjadi Ketum dan Sekum juga terangkat jadi besar. Sehingga siapa saja yang dekat dengan kedua orang ini bakal dijamin aman tentram hidupnya. Jabatan akan datang secara bertubi-tubi bila dekat dengan kedua orang sakti mandraguna ini di Muhammadiyah. Contoh kasus seperti Sambo di Rumah Sakit Islam Campaka Putih. Karena bagian dari klan Ketum maka dia dapat kemudahan menjadi Ketua Majelis PKU dan memegang tujuh jabatan yang lain, yang seharusnya salah satu jabatan itu dipegang seorang dokter karena itu wilayah kedokteran tapi dokter itu Lewat kalah sama dokter pakai S alias Dokterandus (Drs). Pernyataan Ayahanda MAR itu gak main-main. Seorang Imam mujtahid dulu yang kalau dipanggil penguasa ke Istana, beliau gak mau, akhirnya beliau dicambuk. Sampai kulit belakangnya sama tebalnya dengan kulit tumit yang kalau jalan gak pakai alas kaki. Bukan apa-apa, menurut sang Imam, kalau Ulama sudah ke Istana rezim, apalagi makan uang rezim gak bakalan independen dan tajam lagi dalam berfatwa. Padahal fatwa ulama itu salah satu kekuatan jema\'ahnya. Kalau Ulama sudah sering duduk ngopi dengan penguasa, maka sang ulama itu akan terhalang penglihatan alias buram melihat persoalan-persoalan umat. Ini yang menyebabkan Muhammadiyah jadi mandul melihat penderitaan umat melalui politik dan kekuasaan. Bahkan, ada larangan kalau ada kasus yang mau dibela jangan bawa-bawa nama Muhammadiyah. Sudah kayak Muhammadiyah punya keturunan nenek moyangnya saja. Kalau pakai nama yang lain, pihak aparat gak mau memproses. Tetapi, kalau nama Muhammadiyah karena Muhammadiyah besar maka aparat mau tidak mau memprosesnya. Hal ini pernah terjadi, ada seorang kader yang melapor kepada kepolisian atas pencemaran dan penghinaan Islam oleh si murtadin yang saat itu jadi pendeta. Wah, kader tersebut diomelin habis-habisan oleh pimpinan pusat melalui pimpinan wilayahnya. Tapi saat si pendeta ingkrah dihukum para pengurus memuji-muji bahwa kader tersebut hebat. Jadi, kepada para Muktamirin jelilah dan harus terang matanya serta pakai hati yang dalam saat memilih pengurus yang 13 itu. Pilihlah yang gak disukai rezim laknat seperti Ayahanda Anwar Abbas dan Ayahanda Busro Muqoddas. Dua orang ini mau disingkirkan oleh penguasa dari Istana. Dan yang 13 harus jeli memilih siapa jadi Ketum dan Sekumnya. Jangan ada titipan-titipan dari Istana laknat, harus si fulan yang jadi Ketum. Muhammadiyah itu sudah ratusan tahun hidup dan berpengalaman, jangan dirusakin dengan orang-orang yang pro Istana. Umat masih sangat membutuhkan Muhammadiyah. Jangan jauh dari umat dan berharap dari penguasa. Apalagi penguasa yang penuh dengan kepalsuan. Ijazah palsu, bahkan orang tuanyapun palsu. Selamat bermuktamar. Nasrun Minallah wa Fathun Qoriib wa Basysyiril Mukminin. Wallahu A\'lam ... (*)

Bunda Merry Pahlawan Kita

Keraguan Yaqut maupun rezim Jokowi atas dominasi Islam di Indonesia yang bersifat historis terjadi karena banyak hal, bisa politik maupun pemahaman yang salah. Oleh: DR. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle BUNDA Merry, begitu namanya, baru divonis bebas oleh hakim di Kotabumi, Lampung Utara, kemarin. Banyak yang tidak mengetahui cerita tentang itu, mengapa dia disidang di pengadilan. Orang-orang lebih banyak mendengar berita perempuan berkerudung yang bawa pistol ke Istana sendirian mau menyerang atau perempuan berkebaya merah, terkait sensasi sexual alias porno berbasis tradisionalitas dan originalitas, yang menjadi trending topic maupun banyak diberitakan media online maupun dibincangkan di medsos belakang ini. Ceritanya, pada awal tahun ini, sekitar Maret, Bunda Merry melakukan demonstrasi mengecam Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas Staquf, yang membandingkan suara Adzan dengan “gonggongan anjing”. Bunda Merry, sebagai kordinator aksi, memimpin demo ke kantor kementerian agama Lampung Utara, meminta Yaqut meminta maaf kepada umat Islam. Demo ini merupakan salah satu demo dari gelombang yang sama di berbagai wilayah Indonesia, karena mereka menganggap suara adzan sangat biadab jika dibandingkan dengan gonggongan anjing. Dari semua demo yang ada, hanya Bunda Merry di Lampung ini yang akhirnya dipidanakan dan sempat dipenjarakan. Namun, Alhamdulillah kemarin hakim memvonis Bunda Merry tidak bersalah, setelah jaksa menuntut penjara 7 bulan. Aktivis Perempuan Bunda Merry bebas demi hukum dari segala tuntutan pada sidang putusan PN Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara (Lampura), Rabu 9 November 2022. Dalam amar putusan perkara Nomor 190/Pid. Sus/2022/PN Kbu, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Andi Barka, mengadili terdakwa Merry, SAg binti Almarhum Supandi, menyatakan terdakwa Merry tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Suara Adzan vs Gonggongan Anjing Hari ini orang-orang memperingati hari pahlawan. Rujukan hari pahlawan entah kenapa ditujukan pada sejarah perjuangan 10 November 1945 di Surabaya. Padahal, banyak sekali perlawanan rakyat atas penjajahan yang telah terjadi. Terlepas dari sejarawan memilih tanggal dan tempat ini, sejarah itu merujuk pada pekik Allahu Akbar! Cnn.com (10/10/20), pada tulisannya, “Peran Islam dalam Hari Pahlawan, Pertempuran 10 November”, memuat antara lain, “Pekik takbir Bung Tomo saat pertempuran 10 November hingga saat ini masih dikenang membangkitkan semangat para pejuang”. Tentu saja peran ulama, khususnya KH Hasyim Asy\'ari, yang mengeluarkan fatwa Jihad melawan Belanda dan Sekutu, saat itu, lebih penting lagi. Nah, pentingnya takbir itu dalam kemerdekaan kita tidak bisa dibantahkan. Dan takbir itu selalu didengungkan dalam suara Adzan setiap pagi, siang, dan malam dari corong-corong Masjid. Sehingga, merdunya suara Adzan adalah warisan sah dari keberadaan Indonesia. Bagaimana soal anjing? Anjing adalah binatang peliharaan non muslim, pada umumnya. Baik itu digunakan sebagai penjaga rumah dan toko, maupun “pet” (peliharaan). Mayoritas umat Islam menganggap anjing binatang haram, meski derajatnya tidak seperti babi. Dalam ajaran Islam, setiap orang (Muslim) yang dijilat atau terkena anjing, harus membasuh bagian yang terkena dengan menyamak campuran air dan tanah. Ajaran ini adalah sebuah keyakinan yang pasti. Mayoritas mazhab Islam, kecuali Maliki, meyakini hadist yang mengatakan bahwa malaikat tidak akan turun ke rumah yang di dalamnya ada anjing. Kemarahan umat Islam terhadap Yaqut Qoumas saat dia membandingkan suara Adzan dengan suara gonggongan anjing untuk menjelaskan perlunya toleransi beragama di Indonesia tentu saja mengganggu akal sehat. Pertama, mayoritas rakyat Indonesia yang beragama Islam tidak mengerti atau menyadari pergeseran asset atau penguasaan asset strategis pertahanan, khususnya di perkotaan, terhadap keberadaan anjing vs Masjid. Menurut penelitian sebuah universitas di Jakarta, beberapa tahun lalu, misalnya, memang disebutkan bahwa hanya 5 pengembang besar yang menguasai lahan-lahan perumahan di Jabodetabek. Penguasaan ini tanpa disadari seringkali mengubah peta demografis, di mana penghuni baru mungkin membawa anjing dan tidak berafiliasi dengan Masjid. Penduduk lama, yang umumnya berbatasan dengan kawasan perumahan, umumnya masih hidup berbasis wisdom lama, yakni membuat Masjid sebagai syiar agama. Namun, tentu saja suara dari Masjid tersebut dapat mengganggu orang-orang komplek perumahan. Sebaliknya, di dalam kompleks perumahan, umumnya Masjid diatur suara Adzan dan pengajian lainnya terbatas pada Masjid saja. Sudah menjadi kasus umum dalam pengembangan perumahan posisi Masjid dibuat tidak menonjol. Penonjolan tempat publik umumnya mal, cafe, sport center, dan lain sebagainya, yang mengedepankan simbol hidup duniawi. Kontrol atas tanah yang umumnya diwajibkan untuk fasilitas sosial dan umum biasanya dikendalikan pengembang bukan pemerintah. Sehingga, secara total sebenarnya sebuah permukiman besar adalah pemukiman yang dikendalikan pengusaha dibanding pemerintah (daerah). Untuk fakta dan peristiwa pergeseran kawasan-kawasan strategis perkotaan di Indonesia, sebagaimana diuraikan di atas, kementerian agama jangan terjebak pada realita yang sesungguhnya belum tentu membawa keadilan terhadap eksistensi “Adzan”. Menteri Agama harus berani mengoreksi berbagai ketidakpatutan pergeseran sosial yang menghilangkan dominasi sosial umat Islam, apalagi membiarkan posisi umat Islam yang semakin “Underdog”. Saya tidak perlu mengungkapkan banyaknya Masjid yang bersifat historis telah rubuh karena para pengembang membuat desain perumahan yang menyingkirkan Masjid. Rubuhnya Masjid itu paralel dengan hilangnya atau merosotnya fungsi Masjid dalam masyarakat di situ. Kedua, seharusnya pembanding suara Adzan tidak harus gonggongan anjing. Dalam salah satu tema yang berani diusung rezim Joko Widoao pada G20 adalah transformasi digital. Jika rezim ini berani menawarkan isu “digital life” pada dunia, sepantasnya isu ini ditawarkan juga pada pengembangan syiar Islam. Suara Adzan yang berbasis “voice” bisa disubtitusi dengan platform baru yang berbasis digital, untuk keperluan syiar, jika pemerintah melakukan intervensi pada pembiayaan dan edukasi. Untuk negara yang mengklaim banyak uang, tentunya pendekatan persuasif kepada rakyat lebih dibutuhkan daripada membangkitkan kemarahan. Namun, semua ini tergambar dari keberpihakan pemerintah atas suara Adzan. Sebagaimana tema artikel ini, suara Adzan adalah bersifat historis dibanding suara gonggongan anjing dalam keberadaan masyarakat kita. Beberapa Catatan yang Baik Beberapa waktu belakangan ini kita melihat langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang cukup revolusioner dalam mendekatkan diri pada ulama. Terlihat bahwa Kapolri berusaha mencari atau mencari kembali value atau moralitas bangsa yang hilang, setidaknya di institusi kepolisian. Bahkan, dalam sebuah pesannya terkait larangan tilang manual kendaraan bermotor baru-baru ini, kapolri menitipkan pesan agar polisi di semua lapisan mendekatkan diri pada agama dan ulama/pendeta. Di daerah misalnya, kita melihat Kapolda DIY Irjen Pol Suwondo Nainggolan mengikuti langkah Kapolri dengan sowan ke ulama seperi Emha Ainun Najib alias Cak Nun untuk silaturahmi. Ini adalah terobosan luar biasa, karena Cak Nun adalah simbol oposisi utama terhadap rezim ini. Langkah tersebut tentunya akan menghubungkan kembali spirit moral pada penegakan hukum ke depan, sekaligus mendorong pihak kepolisian memaknai tema-tema Islam dalam urusan sosial sebagai bagian sejarah sah bangsa kita. Sehingga, misalnya, tidak perlu polisi langsung mempidanakan Bunda Merry dalam kasus yang seharusnya didekati dengan “restorative justice”. Tentu saja langkah ini perlu diikuti dengan membatasi berkembangnya isu-isu terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme yang dipaksakan, atau digunakan untuk politik atau salah persepsi terkait dengan isu ini. Penutup Dus, Bunda Merry telah membuka mata kita tentang kepahlawanan. Dia telah menghubungkan pentingnya suara Adzan yang berisi takbir dengan imajinasi kita atas peristiwa 10 November 1945 dulu, di mana pekikan Takbir menjadi simbol Indonesia Merdeka. Dominasi suara Adzan terhadap suara gonggongan anjing merupakan simbol sosial bahwa keberadaan umat Islam di Indonesia haruslah dominan, bukan dalam pengertian kuantitatif, melainkan juga kualitatif. Kualitatif artinya penguasaan umat Islam atas asset-asset strategis perkotaan maupun kekayaan alam lainnya. Itu sebagai konsekuensi perjuangan umat Islam melawan penjajahan selama ratusan tahun. Keraguan Yaqut maupun rezim Jokowi atas dominasi Islam di Indonesia yang bersifat historis terjadi karena banyak hal, bisa politik maupun pemahaman yang salah. Pertanyaannya adalah apakah kita akan mengingkari sejarah kita sebagai sebuah bangsa? Kita harus tetap memilih eksistensi Adzan dan Takbir. Perempuan seperti Bunda Merry yang membela eksistensi Adzan adalah pahlawan kita. Biarlah orang-orang lain memilih Rara Pawang hujan atau si Kebaya Merah sebagai pahlawan mereka. Selamat Hari Pahlawan, Merdeka! (*)

Fosil Kepahlawanan

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  BETAPA hebatnya merayakan hari pahlawan di tengah negara diselimuti mentalitas penjahat dan penghianat. Di masa lalu penjajahan melahirkan semangat pembebasan. Kini di alam kemerdekaan, kehidupan rakyat tak ubahnya seperti dalam zaman kolonial. Tak ada lagi nasionalisme dan patriotisme, yang ada hanya bagaimana mengejar jabatan dan materi. Memiliki dan menikmati kekayaan harta benda secara berlebihan,  untuk diri sendiri,  keluarga dan kelompoknya yang tak habis hingga tujuh turunan. Semakin banyak orang teriak saya Pancasila, semakin banyak bermunculan orang gila. Semakin banyak orang teriak saya NKRI semakin banyak orang tanpa nurani. Saya cinta Indonesia hanyalah tipu daya. Saya cinta keberagaman hanyalah kedok keculasan. Semua hanyalah seolah-olah, semua hanyalah kamuflase. Slogan keberadaban yang berbusa-busa diucapkan, tak pernah hadir dalam tindakan. Kebenaran dan keadilan telanjang dikangkangi kejahatan. Kemanusiaan telah kalah oleh maraknya perilaku kesetanan. Kemungkaran seakan telah menjadi keharusan, terlebih bagi para penyelenggara negara. Kewenangan dan kesempatan menjadi modal besar yang melahirkan penyimpangan  kebijakan. Negara yang telah menyediakan kekuasaan, memicu orang berbondong-bondong memburunya demi harta dan jabatan. Tak peduli bagaimana cara meraihnya, tak peduli pada prosesnya dan tak peduli pada apa yang akan  dikorbankan untuk mendapatkannya. Semua demi keinginan, semua demi kesenangan dan semua demi mumuaskan hawa nafsu yang berkepanjangan. Masa bodoh dengan semua orang, masa bodoh dengan lingkungan sekitar, masa bodoh dengan apa yang terjadi pada negara dan bangsa. Korupsi tak terbendung dan semakin merajalela, kekerasan dan pembunuhan marak mengancam setiap nyawa anak bangsa. Intimidasi, teror dan ancaman telah menjadi bahasa sehari-hari. Isu, intrik, dan fitnah keji yang  mencerai-berai habitat sosial, menguat mewujud pola interaksi yang seiring waktu menyebabkan disintegrasi bangsa. Harga diri dan kehormatan menjadi barang murah. Negara tak ubahnya menjadi tempat berhimpunnya populasi tuna sosial. Ego sentris dan rivalitas yang tidak sehat, terus-menerus membentuk bangunan sistem yang mengokohkan personal dan kelompok yang bersifat, agresor, imperior dan berwatak kanibal. Menang atau kalah, kaya atau miskin, mulia atau hina, dibunuh atau membunuh. Seperti itulah orang dan sistem menyatu, distorsi angkuh menguasai negara sembari mengubur sisi-sisi ketuhan dan kemanusiaan pada bangsanya. Rakyat yang memiliki kedaulatan yang sesungguhnya, seketika berubah menjadi pelayan. Sementara wakil rakyat yang seharusnya mengemban amanat, berpesta pora menikmati peran sebagai majikan. Para petinggi negara yang menyandang pejabat dan politisi pelacur, bersama korporasi bertabiat haram jadah asyik dan orgasme memeras keringat, air mata dan darah rakyat kecil. Bagi penyelenggara negara yang hipokrit itu, luka dan penderitaan rakyat merupakan tontonan yang menghibur mereka. Bagai berada di kolosium yang megah,  rezim dan elit partai politik dari atas kursi VIP di singgasana, menyaksikan dan menikmati pentas panggung  pertarungan gladiator sesama budak yang saling meniadakan. Begitulah kekuasaan, menampilkan perilakunya menikmati kemewahan hidup yang diperoleh dari menukar nyawa rakyatnya sendiri. Kepahlawanan perlahan dimaknai dan dirasakan sebatas dongeng. Berupa cerita masa lalu tentang keberanian dan pengorbanan menegakan kebenaran dan keadilan. Menjaga kesucian dan kehormatan diri, keluarga dan masyarakatnya dari tangan-tangan yang lalim, kini hanyalah kenangan yang tak mungkin kembali. Semua kisah-kisah nyata tentang nasionalisme dan patriotisme itu, tenggelam dan terkubur sebagai sejarah belaka. Tak ada catatan yang tertinggal, tak ada  pesan yang tersampaikan, tak ada semangat dan nilai yang dibanggakan. Kepahlawanan para nenek moyang dan generasi terdahulu, nyaris tak berbekas dan tak mampu memberi pelajaran bagi manusia sesudahnya. Warisan trasidional namun bermartabat dan berkeadaban, kini terganti oleh modernitas yang ponyah dan barbar. Bangsa pemberani sebagaimana dilukskan sejarah, telah berubah menjadi bangsa pengecut. Terbatas materi namun kaya pada nilai-nilai spiritual, kini terhempas oleh dominasi  hasrat pada kekayaan yang sejatinya berujung miskin jiwa. Boleh jadi, kemanusiaan dan ketuhanaan sulit dihadirkan di negeri sendiri. Meskipun berhasil menggali Pancasila, UUD 1945 dan NKRI dari bumi nusantara. Faktanya, kepahlawanan di republik ini telah lama menjadi fosil, hanya meniiggalkan jejak yang sulit dijumpai apalagi dinikmati. (*)

Meluruskan Pemikiran Rocky Gerung tentang Ideologi Pancasila

Mengganti UUD 1945 oleh para komprador yang menyebutnya amandemen itu tidak lebih dari penipuan terhadap bangsa ini. Nyatanya yang diamandemen adalah Ideologi Pancasila diganti dengan individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila SAYA pengagum Rocky Gerung, ak ada yang bisa menang berdebat dengannya dan selalu mengundang decak kagum terhadap narasi yang dibangun, logis dan argumentatif yang sulit dipatahkan. Tapi saya yang selalu mengikuti pergulatan pemikirannya ada juga yang tidak pas dan mungkin kurang luas. Soal Ideologi Pancasila, Rocky mengatakan Pancasila bukan Ideologi Negara dan sila-sila Pancasila saling bertentangan. Hal ini yang membuat Rumah Pancasila mencoba urun rembuk. Ideologi itu merupakan suatu ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi bisa dianggap sebagai visi yang komprehensif, cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama di balik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit (definisi ideologi Marxisme). Ya selama ini ideologi kalau sosialis ya Marxisme, sementara lawannya yaitu Kapitalisme dan Liberalisme. Kedua ideologi ini bicara soal manusia dan material sehingga sampai detik ini kedua ideologi tidak mampu menyelesaikan masalah dunia. Bahkan, Marxis sudah mati Rusia dengan Blok Timur – dan dunia – pada kebijakan glasnost dan perestroika, yang mengisyaratkan bahwa visi politik Marxis-Leninis sejak 70 tahun lalu telah diliputi kapitalisme pasar dan diikuti matinya Marxisme –Leninisme. Begitu juga dengan China. Kekacauan di China baru mereda saat Deng Xiaoping mengambil alih kekuasaan di PKC. Dia mulai melakukan stabilisasi politik dan ekonomi negara. Ideologi Komunis oleh Deng Xiaoping dioplos dengan burger, bisteak ala restoran Barat dan jadilah komunis yang Kapitalistik. Ideologi Liberalisme, Kapitalisme, dan Marxisme, Komunisme, kedua ideologi ini bicara tentang Manusia dengan material. Bagaimana dengan ideologi negara berdasarkan Pancasila yang katanya Bung Rocky Gerung tidak ada? Rasanya Bung Rocky perlu mendalami Pancasila sebagai Ideologi. Sebab, Pancasila tidak hanya bicara Manusia dan Material atau Alam tetapi Pancasila bicara tentang Tuhan, tentang manusia dan tentang Alam semesta. Tentang Tuhan, Manusia, Material atau Alam, tentu akan dahsyat jika saja para ilmuwan Indonesia bisa menjadikan pijakan dalam memecahkan persoalan dunia. Pancasila bukan isapan kosong bisa menjadi mercusuar dunia jika ilmuwan sekelas Rocky Gerung mampu berpijak pada bumi Pancasila dalam pergulatan pemikirannya tidak merendahkan Pancasila sebagai filsafat bernegara. Memang bukan 5 sila Pancasila itu sebagai Ideologi negara kalau 5 sila itu disebut lima prinsip bernegara atau Philoshophy Groundslag. Pemikiran paradikmatika Philoshophy tentu membutuhkan perenungan yang sangat fundamental. Desain negara berdasarkan Pancasila sebagai berikut ...”pembukaan UUD 1945 alenia ke-4. “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Visi Negara Republik Indonesia di Dalam Pembukaan Dituliskan Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur. Misi Negara Republik Indonesia ada pedoman, yang dalam Pembukaan sendiri ditentukan sebagai tujuan dan tugas bekerjanya Negara dalam kalimat keempat. Bersifat nasional, ialah ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesedjahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bersifat internasional, ”ialah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dengan demikian tujuan dan lapangan tugas bekerjanya Negara tidak hanya negatif, ialah memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian ke dalam dan keluar, atau sebaliknya bersifat positif (absolut) semua kepentingan, termasuk kepentingan perseorangan, sama sekali dipelihara oleh Negara. Akan tetapi bersifat kesatuan negatif dan positif kecuali menuju ketertiban, keamanan, dan perdamaian (tujuan negatif), juga menuju keadilan, kesejahteraan, serta kebahagian (tujuan positif). Karena arti ideologi itu adalah kumpulan ide-ide atau kumpulan gagasan- gagasan maka yang disebut Ideologi negara itu UUD 1945 dan penjelasannya. Sebab, alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 kemudian oleh pendiri negeri ini diuraikan di dalam batang tubuh UUD 1945, maka batang tubuh itulah yang disebut sebagai Ideologi negara berdasarkan Pancasila. Contoh Ideologi Pancasila tentang Ekonomi, misalnya ada di pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 itulah sistem ekonomi Pancasila. Pasal ini berisikan landasan perekonomian serta pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki negara Indonesia. Berikut bunyi Pasal 33, yang dikutip langsung dari Undang-Undang 1945: Pasal 33: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi, pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 adalah sistem Ekonomi berideologi Pancasila. Contoh lain Ideologi Pancasila tentang kedaulatan rakyat ada di pasal 1 ayat 2 UUD 1945.  Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Konsekuensi dari pasal tersebut telah menempatkan MPR sebagai organ negara yang super body dan merupakan lembaga tertinggi dalam negara. Oleh sebab itu Negara berideologi Pancasila cirinya ada 3, yaitu: 1. Adanya lembaga tertinggi negara yang disebut MPR, pelaksana kedaulatan Rakyat. 2. Adanya politik rakyat yang disebut GBHN. 3. Presiden mandataris MPR. Berdasarkan buku Serial Pemikiran Tokoh-Tokoh UGM: Prof. Notonagoro dan Pancasila “Analisis Tekstual dan Kontekstual” disebutkan bahwa etika hidup bersama ini tertuang dalam Pancasila, yang telah menetapkan dasar-dasar azasi bagi warga dan bangsa Indonesia dan juga menetapkan sikap batin bagi negara dan bangsa. Pancasila merupakan pandangan hidup dan ideologi Bangsa Indonesia. Sebagai pandangan hidup, Pancasila berperan sebagai tuntunan dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari manusia sehingga semua kegiatan akan terkendali, sedangkan sebagai ideologi, Pancasila berperan untuk mewujudkan tujuan nasional yang berupa kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Atas dasar pendapat Prof Notonagoro yang disebut Ideologi itulah Pancasila untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Di UUD 1945 itulah tujuan bernegara diuraikan. Jadi,  bisa dikatakan ideologi negara berdasarkan Pancasila itu ya UUD 1945. Celakanya UUD 1945 itu telah diganti dengan UUD 2002, maka yang diganti itu sebenarnya Ideologi Pancasila. Mengganti UUD 1945 oleh para komprador yang menyebutnya amandemen itu tidak lebih dari penipuan terhadap bangsa ini. Nyatanya yang diamandemen adalah Ideologi Pancasila diganti dengan individualisme, liberalisme, dan kapitalisme. Pancasila menurut pendapat pakar. 1. Muhammad Yamin. Adalah lima dasar yang beriri pedoman atau aturan mengenai tingkah laku yang penting dan baik. 2. Ir. Soekarno. Menurut Ir. Soekarno, Pancasila adalah isi dalam jiwa bangsa Indonesia yang secara turun-temurun telah terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila bukan hanya falsafah negara, melainkan falsafah bangsa Indonesia. 3. Prof. Notonagoro. “Pancasila adalah dasar falsafah negara Indonesia. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwasanya Pancasila merupakan dasar falsafah serta ideologi negara yang diharapkan dapat menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar kesatuan.” 4. Prof. Dr. Ruslan Abdul Ghani. Pengertian Pancasila menurutnya adalah filsafat negara yang diciptakan untuk menjadi ideologi kolektif, yang nantinya harus digunakan sebaik mungkin untuk menyejahterakan rakyat serta bangsa Indonesia. Dari uraian di atas, maka tidak benar yang dikatakan Bung Rocky Gerung, Pancasila bukan Ideologi negara. Kami dari Rumah Pancasila berharap ada tanggapan yang memadai dari pemikiran Rocky Gerung tentang Ideologi Negara berdasarkan Pancasila. (*)

Jokowi dan Kabinet yang Jauh dari Karakter Pahlawan

Oleh M Rizal Fadillah  - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  HARI ini adalah Hari Pahlawan. Mengingatkan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby memicu kemarahan Inggris yang fmengancam akan menggempur rakyat Indonesia. Ultimatum tidak diindahkan. Di bawah komando Bung Tomo rakyat Indonesia melakukan pertempuran di Surabaya. Seruan menyerah Mayor Jenderal Manserg dijawab tembakan perlawanan. Takbir Bung Tomo menggetarkan. Kyai dan Ulama turut berperang bersama pemuda dan elemen lainnya. Korban berjatuhan.  Para pahlawan telah memberi kontribusi bagi negeri. Mempertahankan kemerdekaan dari upaya penjajahan asing baik Belanda ataupun Inggris. Jepang juga tidak. Tanah tumpah darah harus dilindungi, rakyat harus disejahterakan dan perdamaian adalah dambaan. Meski untuk itu mesti berperang. 10 November 1945 telah memberi pelajaran.  Perjuangan heroik bersandar agama untuk mempertahankan kedaulatan negara adalah kepahlawanan hakiki. Parameter ini sulit untuk disematkan kepada Presiden Jokowi dan Kabinetnya. Meski tanpa harus menyebut penghianat negara tetapi kepahlawanan masih jauh panggang dari api. Tiga hal catatannya, yaitu  : Pertama, jika muslim maka membesarkan Allah adalah fondasi. Gelora takbir Bung Tomo menjadi basis keagamaan dalam bertempur. Jokowi dan Kabinetnya jauh dari penghormatan keagamaan. Jikapun ada semata seremonial atau pro forma. Umat Islam diwanti-wanti dengan isu radikalisme dan intoleransi. Mereka menutup mata bahwa Bung Tomo dan pejuang 45 itu adalah radikalis dan kelompok intoleran dari kacamata penjajah. Jokowi telah \"membunuh\" gema takbir dan mengganti dengan sinkretisme bahkan sekularisme.  Kedua, menyejahterakan rakyat lebih bersifat sloganistis. Faktanya segelintir orang yang menikmati kekayaan alam Indonesia. Pribumi kebanyakan tersisih atau terpinggirkan dalam berekonomi. Konglomerasi menjadi warna kekuasaan. Berkorban demi rakyat berbalik menjadi rakyat yang dikorbankan. Pejabat, aparat dan pemilik modal kuat menjadi kelas penikmat.  Ketiga, membela kedaulatan negara melawan ultimatum penjajah adalah kepahlawanan. Kini rasanya kedaulatan negara tergadaikan. Serbuan tenaga kerja China sangat membahayakan. Asing yang diberi kesempatan memiliki HGB 160 tahun mengejutkan. Lalu bebas pajak, insentif, serta kemudahan lain membuka celah bagi penjajahan bahkan perbudakan.  Atas nama investasi dan hutang luar negeri para pemimpin menyerah pada dikte-dikte. Hilang slogan berdiri di atas kaki sendiri, go to hell with your aid, atau usir hoa kiau dan waspada pada bahaya kuning. Semangat kemandirian dan perlawanan tidak dibangun. Pemimpin negeri  menjadi pengemis tapi korup. Rakyat diperas dengan  pajak dan biaya hidup yang terus melambung. Pahlawan model apa yang diharapkan dari rezim seperti ini?  Jika Jokowi dan angggota kabinet wafat, nampaknya tidak layak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Kasihan para pejuang sejati yang harus bersatu dengan para penikmat materi. Meski ia adalah Presiden dan para Menteri.  Selamat Hari Pahlawan. Allahu Akbar..!