Designed to Fail

Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts

Bahkan di AS negeri exportir-nya sendiri, demokrasi itu sedang sekarat oleh Trumpism. Demokrasi ala Uni Eropa justru menjerumuskan kawasan itu untuk berkonflik dengan tetangga dekatnya sendiri, yaitu Rusia.

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts

SETELAH hiruk-pikuk pencapresan Anies Baswedan oleh Nasdem, penundaan deklarasinya bersama PKS, dan Demokrat bagi pencapresan Anies, disusul keributan soal perpanjangan jabatan Presiden Joko Widodo, lalu perhelatan pernikahan Kaesang Pangarep dengan Kabinet sebagai wedding organizer-nya, kemudian dugaan maladministrasi KPU dalam verifikasi parpol peserta Pemilu 2024, maka kini apa yang tersisa dari polity as public goods bagi Republik ini?

Sekarang para elit parpol dengan mudah bermain-main dengan konstitusi, sementara angka stunting meningkat, ketimpangan spasial konsisten, kepolisian dirundung berbagai skandal tanpa penyelesaian yang jelas, dan pembunuhan warga sipil dan tentara oleh OPM kembali marak di Papua?

Sesungguhnya setelah penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002, deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin menjauh dari amanat para pendiri bangsa sudah makin jelas bagi mereka yang jeli, peka dan terlatih.

Jika UUD 1945 adalah pernyataan kehendak bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, maka kehendak itu kini makin surut karena dikalahkan oleh perang asimetris yang massif dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan asing nekolimik yang bersekongkol dengan para kaki tangan domestiknya.

Syarat-syarat budaya bagi bangsa yang merdeka itu tidak pernah berhasil wujud menjadi kenyataan. Slogan “Merdeka Belajar Kampus Merdeka” setelah 77 tahun proklamasi merupakan bukti mutakhir bahwa sesungguhnya bangsa ini baru sadar untuk belajar merdeka sekarang.

Perang asimetris tersebut dilakukan melalui 3 medan pertempuran. Medan pertempuran pertama terjadi di sektor keuangan segera setelah proklamasi melalui hutang ribawi yang disodorkan IMF.

Medan tempur kedua terjadi sejak Orde Baru melalui penarikan besar-besaran warga muda ke dalam sistem persekolahan massal paksa untuk menyiapkan tenaga kerja murah demi kepentingan investor asing.

Battle front ketiga terjadi sejak Reformasi melalui penggusuran MPR sebagai lembaga tertinggi negara musyawarah oleh partai politik melalui Pemilu langsung one-man one-vote dalam rekrutmen eksekutif.

Dengan parpol memonopoli politik secara radikal, aristektur legal politik dirancang untuk mengkonsentrasikan kekuasan ke segelintir elit parpol, sementara Pemilunya makin kompleks, dan makin mahal yang hanya diselenggarakan dan bisa diikuti oleh para bandit, bandar dan badut politik.

Perlu diingat bahwa Pemilu yang jujur dan adil hanya mungkin dilaksanakan oleh bangsa yang merdeka, bukan bangsa yang bermental jongos yang mudah diintimidasi oleh politik uang, BLT dan bagi-bagi sembako menjelang Pemilu dan hidup dari hutang. 

Bangsa yang merdeka itu adalah hasil-hasil kerja pendidikan politik. Namun segera kita catat bahwa partai politik tidak pernah melakukan pendidikan politik, bahkan partai-partai politik hanya bisa hidup dari political illiteracy dan penjongosan politik konstituen mereka.

Berbicara politik di sekolah, kampus, tempat-tempat ibadah, dan di hampir semua tempat lainnya dianggap tidak santun, kotor, dan menjijikkan. Agama dan banyak hal lain yang penting dalam kehidupan harus harus dipisahkan dari politik, bahkan ormas-ormas besar merasa risi, gamang dan takut berbicara politik.

PAN yang semula diharapkan menjadi sayap politik Muhammadiyah kini tidak jelas afiliasinya. Kini dengan KUHP yang baru, pandangan kritis masyarakat bahkan mudah dikriminalisasikan. Seperti raja, the government can do no wrong.

Prinsip-prinsip musyawarah oleh hikmah kebijaksanaan melalui MPR yang telah digusur oleh sistem demokrasi liberal ala Barat telah membuat Republik ini kehilangan akal sehat dan kemampuannya untuk beradaptasi secara cepat dan tangkas sehingga menjerumuskan bangsa ini ke tepi jurang failed state.

Bahkan di AS negeri exportir-nya sendiri, demokrasi itu sedang sekarat oleh Trumpism. Demokrasi ala Uni Eropa justru menjerumuskan kawasan itu untuk berkonflik dengan tetangga dekatnya sendiri, yaitu Rusia.

Bahkan setelah tembok Berlin runtuh, pembesaran dan perluasan NATO memberi indikasi jelas bahwa Barat bersikeras mempertahankan dominasi eksploitatifnya atas bangsa-bangsa lain yang berbeda sikap dan pandangan hidupnya.

Hutang ribawi, pendunguan massal melalui monopoli persekolahan, dan pemberhalaan demokrasi Barat are designed to fail negara dan bangsa manapun di planet ini.

Untuk menghentikannya kita perlu segera membebaskan kehidupan dari hutang ribawi, merekonstruksi Sisdiknas sebagai platform untuk belajar merdeka, dan mengembalikan politik negara musyawarah dari monopoli partai-partai politik.

Gunung Anyar, Surabaya,15 Desember 2022. (*)

357

Related Post