Menemukan Titik Tengah Pilpres 2024, “Say Good Bye To Oligarchie

Isa Ansori, Kolumnis

Idealisme di dalam mengusung perubahan adalah suatu keharusan, tapi kalau dengan idealisme yang ada ternyata menimbulkan banyak korban di antara rakyat, maka jalan tengah menjadi pilihan.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis

PILPRES adalah sebuah peristiwa konstitusi yang sudah diatur dalam UUD 1945, dilaksanakan selama 5 tahun sekali dan masa jabatan dibatasi selama dua periode.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, dan anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Pasal 7. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali, diubah menjadi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Setidaknya bila merujuk pada UUD 1945, Pilpres adalah sebuah arena kontitusi untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat. Tidak boleh ada kecurangan atau memanipulasi aturan untuk kepentingan kekuasaan dan kepentingan golongan apalagi kepentingan pribadi.

Pilpres adalah arena memilih pemimpin yang berintegritas yang bertugas melayani dan menjalankan amanah kontitusi sebagaimana tertuang didalam Pembukaan UUD 1945, mencerdaskan, mendamaikan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keterlibatan pihak-pihak lain yang selama ini memanipulasi kepentingan rakyat dan ternyata hanyalah kepentingan diri sendiri dan kelompoknya mesti harus dikurangi atau dihabisi, sehingga dibutuhkan keberanian untuk mengatakan selamat tinggal pada para oligarki, “Say Good Bye To Oligarchie”.

Oligarki selama masa pemerintahan Joko Widodo mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa, sehingga mereka acapkali melakukan upaya-upaya manipulasi suara rakyat, sabotase konstitusi atas nama lembaga survey dan opini para pakar tukang dengan satu tujuan agar kekuasaan tetap berpihak pada keserakahan yang selama ini dilakukan.

Setidaknya ada dua jalan yang dilakukan dalam rangka memotong pengaruh oligarki, pertama rakyat yang mengusung isu perubahan bergotong-royong untuk menjalankan agenda perubahan yang sudah disusun.

Rakyat bisa bergotong-royong menyumbang tema perubahan yang sedang berjalan ini. Tentu saja dalam menjalankan agenda ini dibutuhkan sosok yang bisa dipercaya.

Anies Baswedan adalah satu-satunya bakal Capres 2024 yang mengusung agenda perubahan dan keberlanjutan, “Change and Continuity”. Apalagi Anies seringkali dianggap sebagai antitesa atau bahkan sintesa dari kepemimpinan Jokowi. Anies Baswedan sangat diuntungkan dengan harapan perubahan yang diinginkan rakyat.

Dana sangat dibutuhkan, karena selama ini, para Oligarki dan penguasa kotor menjalankan agenda busuknya dengan memanipulasi suara rakyat. Untuk itu setidaknya dibutuhkan energi besar untuk mengawal suara rakyat dan mencegah terjadinya cara-cara manipulatif yang dilakukan.

Yang kedua adalah dengan melakukan kompromi yang dibenarkan dalam konstitusi. Pilihannya adalah mencari dampak negatif yang paling kecil.

Dampak negatif yang dimaksudkan adalah perubahan tetap harus terjadi tapi jangan sampai mengorbankan rakyat.

Yang bisa dilakukan dalam konteks transisi kekuasaan adalah adanya jaminan keselamatan bagi para penguasa terdahulu dan tentu saja terjaminnya agenda-agenda pembangunan yang sudah dan sedang berjalan. Lalu siapa mereka para capres yang termasuk diantara kelompok ini.

Jokowi secara terbuka sudah memberi sinyal bahwa mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto. Ada juga para capres yang tidak harus mematok sebagai capres, di sana ada Erick Thohir, Sandiaga Uno, ada juga nama lain seperti Panglima TNI Andika Perkasa. Dari partai politik pemenang pemilu 2019, PDIP ada nama Puan Maharani, ada nama Airlangga Hartarto dan ada juga nama Gubernur Jawa Timur, Khofifah.

Sebagai seorang presiden, Jokowi tentunya sangat berharap di akhir masa kepemimpinannya, dia bisa meletakkan pondasi menuju Indonesia emas, sehingga sikap negarawan Jokowi sangat diharapkan. Jokowi tidak lagi sibuk “berkampanye” untuk dirinya dan calon-calon tertentu, Jokowi cukup menjadi guru bangsa yang bisa mengawal proses transisi ini dengan baik tanpa percikan darah.

Menemukan titik tengah dua kutup yang ada, perubahan dan menjamin keberlangsungan pembangunan yang sedang berjalan ini menjadi sesuatu yang harus layak untuk dipertimbangkan.

Idealisme di dalam mengusung perubahan adalah suatu keharusan, tapi kalau dengan idealisme yang ada ternyata menimbulkan banyak korban di antara rakyat, maka jalan tengah menjadi pilihan.

Jalan tengah seperti apa yang diharapkan? Dalam hemat penulis, dengan menyandingkan kepentingan perubahan dan keberlangsungan yang sedang dijalankan bisa diwakili oleh Anies dan dari kelompok Istana adalah mereka yang relatif bisa meredam kerakusan para oligar.

Pasangan Anies dan pilihan Istana yang dianggap bisa meredam keserakahan oligar, pasangan itu bisa dielaborasi seperti Anies - Ganjar Pranowo, Anies Prabowo, Anies - Sandiaga Uno, Anies - Erick Thohir, Anies - Andika Perkasa, Anies - Airlangga Hartarto atau mungkin juga Anies - Khofifah.

Mengapa Anies harus presidennya? Anies mampu membuktikan bahwa dirinya ketika memimpin Jakarta, mampu menahan kerakusan oligarki dan mewujudkan keadilan sosial bagi warga Jakarta, sehingga dengan Anies menjadi presiden, ambisi rakus oligarki bisa ditahan dan dikendalikan. Rekam jejak Anies terhadap oligarki sangat jelas.

Wapres bisa dipilih diantara nama-nama mereka yang dapat dukungan Istana atau dari partai pemenang pemilu 2019.

Hal tersebut merupakan bagian untuk menjamin bahwa program-program pembangunan yang sedang berjalan masih bisa dilanjutkan, kecuali kalau memang pembangunan yang sedang berlangsung dirasa salah jalan, maka harus dilakukan upaya-upaya perbaikan dan perubahan.

Rakyat dipersilahkan menimang-nimang, sehingga demokrasi kita bisa selamat, rakyat tidak menjadi korban dan partai politik akan menjadi saluran sehat aspirasi rakyat.

Surabaya, 15 Desember 2022. (*)

464

Related Post