OPINI

Sobary dan Kemarahan Tak Berdasar, Memang Anies Salah Apa?

Oleh Ady Amar - Kolumnis  MOHAMAD Sobary, itu nama komplitnya. Saya biasa  memanggilnya dengan Kang Sobary, bahkan memanggilnya dengan panggilan lebih singkat lagi, Kang Sob. Tapi itu dulu kala. Dulu sekali, lho ya. Saya sebut dulu kala, itu karena saking lamanya, dan karenanya belum tentu Kang Sobary masih ingat perkawanan kita itu. Kang Sob, saya tetap akan panggil untuknya demikian, agar bisa tampak tetap akrab, seperti sediakala. Kang Sob memang kawan lawas, itu di sekitar pertengahan 90-an. Serius saya lupa kenal dengannya itu bermula di mana, dan bahkan lupa siapa yang mengenalkan. Bisa jadi Kang Sob pun saya rasa lupa berawal dari mana perkawanan kita itu dimulai, dan dari peristiwa apa. Jika Kang Sob pun lupa kita pernah berkawan, itu sih sah-sah saja. Wong sudah dulu kala perkawanan kita itu, lama sekali. Tapi baiklah sedikit untuk mengingat-ingatkan pada Kang Sob, bahwa jika ia ditanggap di Surabaya, acap saya membersamainya. Ditanggap itu tentu bukan dalam pentas wayang orang. Ditanggap itu ia hadir memenuhi undangan sesuai kapasitas dirinya, yang orang menyebut ilmuwan LIPI, yang aktif menulis kolom. Dan dari kumpulan kolomnya, saya yang salah satu menerbitkannya menjadi sebuah buku. Saya ambil judul buku itu dari salah satu tulisannya, \"Sasmita Tuhan\". Judul buku lalu menjadi Sasmita Tuhan: kemenangan suara moral, Risalah Gusti (1997). Saya ingat persis bukan dari terbitnya buku itu, saya berkawan dengannya. Tapi jauh sebelumnya. Beberapa kali bahkan Kang Sob tak segan-segan leyeh-leyeh di bilik kecil sederhana tempat tinggal saya, yang boleh disebut sekelas hotel melati, tapi dengan servis hati jembar penghuninya sekelas hotel bintang lima. Sering juga ia muncul di kantor, yang kebetulan bilik kecil saya, itu disekat dengan kantor, lebih tepat kantor-kantoran. Kang Sob datang duduk di kantor dan memilih komputer yang sedang tidak dipakai. Ia enjoy menulis apa yang ingin ditulisnya. Biasanya artikel untuk media cetak yang biasa ia berlangganan rutin menulis di sana. Kang Sob memang penuh canda, tapi itu juga pengamatan saya dulu kala. Dalam setiap tanggapan yang mengundangnya, sepertinya para mahasiswa dan aktivis asyik dengan candaannya yang memang menghibur. Bahkan boleh dikatakan, Kang Sob punya joke yang lebih lucu bahkan dari Srimulat. Benar-benar menghibur. Satu hal lagi yang boleh dilihat darinya, tampilannya amat sederhana. Boleh dibilang sederhana lahir batin, itu dulu. Sekarang pun tampilan dirinya tetap tampak sederhana, bahkan bisa disebut kucel. Soal kesederhanaan batinnya saat ini saya tidak tahu. Tidak bisa menilainya. Saya teramat ingat dengan Kang Sob, bahkan hal sekecil-kecilnya. Bahkan pada ketidaksukaannya pada beberapa orang, yang kebetulan bergelut di dunia ilmu humaniora yang sama dengannya. Ia ceritakan ketidaksukaannya dengan detailnya. Terkadang sampai perlu menirukan gaya orang itu. Benar-benar teatrikal. Beberapa dari mereka yang tidak disukanya, itu pun saya mengenal dengan amat baik. Saya cuma dengarkan saja keluhan Kang Sob itu, dan tentu tidak saya teruskan pada kawan yang tidak disukainya tadi. Saya simpan dalam-dalam. Sedang kawan yang tidak disukainya itu tidak sekalipun pernah bicara tidak baik tentang Kang Sob. Memang terlihat aneh, dari beberapa kawan yang tidak disukainya, karena lagak dan tampilannya, itu sampai sekarang dengan saya masih berhubungan baik. Padahal hubungan saya dengan Kang Sob, itu jauh lebih dekat dari kawan yang tidak disukainya tadi. Itulah mungkin wolak-walike zaman. Sampai pada saatnya hubungan dengan Kang Sob menjadi putus. Entah oleh sebab apa. Setelah Reformasi 98, euforia kebebasan seolah menemui puncaknya, termasuk dinamika politik kekuasaan yang begitu cepat berganti. BJ Habibie, Presiden RI ke-3, dibegal. Pertanggungjawabannya ditolak MPR-RI. Habibie memilih mundur sebagai ksatria. Penggantinya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diusung Poros Tengah, yang dimotori Fuad Bawazier (PAN). Di era Gus Dur inilah Kang Sobary diangkat sebagai Direktur LKBN Antara, menggantikan Parni Hadi. Sejak itu rasanya hubungan kami, saya dan Kang Sob, berjarak. Sulit bisa menghubunginya. Bukan cuma saya, tapi banyak kawan mengalami hal yang sama. Tidak satu pun SMS saya yang dibalasnya, pikir saya Kang Sob memang tengah bekerja serius, tak ingin mengecewakan Sang Bos, Gus Dur. Pantas saja jika ia memilih tidak perlu sampai pecah konsentrasi dengan hal lainnya, termasuk dengan perkawanan kita. Itulah sekelumit kisah perkawanan saya dengan Kang Sobary di masa lalu. Tapi melihat Kang Sobary saat ini, terus terang miris, dan buat saya terkaget-kaget. Dan itu pada penyikapannya pada Anies Baswedan yang di luar kepatutan. Saya melihat bukan seperti Kang Sob, yang sebagaimana dulu saya kenal, yang  rendah hati.  Suatu waktu seorang kawan mengirim video di mana Kang Sob bicara tentang Anies Baswedan dengan tidak ada baik-baiknya. Bahasanya kasar, dan penuh kebencian. Memangnya salah Anies itu apa ya, Kang Sob, kok sampai sebegitu jahat narasi yang sampeyan semburkan. Memang tidak pernah jelas kemarahan itu berdasar pada apa. Maka, yang muncul spekulasi menyebut, bahwa pendukung Ahok satu ini belum siuman. Belum move on dengan kekalahan jagoannya pada Pilkada DKI Jakarta (2017). Ketidaksukaan pada seseorang, itu boleh-boleh saja. Tapi disampaikan dengan tidak dengan caci maki demikian. Lalu mengundat-undat, bahwa Anies itu dulu anak buahnya. Digambarkan dengan penggambaran sarkasme amat merendahkan. Memangnya murid atau anak buah itu tidak boleh mengungguli guru atau atasannya, iya Kang Sob. Itu sih masuk jealous dengan pencapaian Anies.  Narasi yang lebih kurang sama diulang lagi di podcast Refly Harun. Mengumbar nafsu amarah tentang Anies. Lagi-lagi tidak ada penjelasan yang valid bisa diberikan, mengapa mesti uring-uringan dengan Anies itu sampai sebegitu dahsyatnya. Gaya penyampaiannya pun serasa dibuat-buat. Bicara sampai perlu mulut seperti orang sedang mengunyah lalu memeras makanan yang ada di mulut dengan geraham giginya, sampai mulut tampak monyong. Tidak cukup di situ, mulut pun perlu ditekuk ke sana kemari, agar suara yang keluar menampakkan kemarahan yang sangat. Hari ini seorang kawan di grup perkawanan WhatsApp mengirim lagi sumpah serapah Kang Sob pada Anies. Katanya, Anies itu haus kekuasaan. Intinya, Anies jangankan didukung kelompok radikal--mengindikasikan buzzer yang sitik-sitik radikal-radikul, intoleran, politik identitas, dan seterusnya--didukung jin iprit pun Anies terima. Dan, masih juga kebiasaan mengundat-undat, bahwa Anies itu mantan bawahannya. Tentu dengan yang begini-begini ini Kang Sob, Anies pastilah cuek bebek. Anies sepertinya membiarkan saja. Dan, umpatan sampeyan itu memang tak pantas direspons. Karenanya Kang Sob, janganlah terus-terusan menjegal Anies dengan umpatan tidak selayaknya. Bisa dipastikan takkan mampu mengecilkannya. Bahkan elektabilitas Anies makin membumbung tinggi, dan jenengan di hadapan publik akan terlihat kedodoran dan naif. Hidup kita ini, Kang Sob, bukan makin jauh dari kematian, tapi makin dekat. Karenanya, mengunduh kebaikan itu mestinya yang jadi konsen kita. Maka, sudahi sajalah Kang Sob, ojo diterus-teruske. Jujur saya ingin sampeyan tetap sehat. Sehat raga lan pikiran. Mari sisa hidup ini kita isi dengan kehidupan penuh berkah. Saya ingin menutup tulisan pada kawan lama saya, Kang Sobary, dengan menyitir dua paragraf dari bawah, artikel yang ditulisnya di Kompas, (27 Oktober 1996), \"Sasmita Tuhan\". Saya pastikan sampeyan lupa pada narasi yang pernah ditulis, \"jangan menjegal, kalau tak ingin terjegal\". Dengan mengingatnya, semoga njenengan bisa lebih bijak bersikap pada orang yang tidak disuka sekalipun. Betapa bahagia mereka yang tanggap terhadap sasmita Tuhan. Ketika dalam politik kita menjegal pihak lain, mungkin cucu kita pun menjegal teman sebayanya di halaman. Apa ini artinya? Artinya, mungkin, Tuhan bersabda, \"Silakan jegallah orang lain bila engkau pun ingin suatu saat terjegal-jegal.\" (*)

Anjlok dan Menabrak

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  AKHIRNYA sinyal kegagalan proyek Kereta Cepat China mulai terasa. Kereta kerja yang terdiri dari Lokomotif Teknis dan Mesin Pemasangan Rel (ballasted) naas mengalami kecelakaan di Padalarang Kabupaten Bandung Barat. Sebelumnya ada kejadian pipa Pertamina meledak dan tiang penyangga yang roboh.  Kereta anjlok itu menyebabkan 6 korban dengan pembagian merata 2 tewas, 2 luka berat dan 2 luka ringan. Demikian keterangan pihak Kemenhub. Kereta melaju dengan cepat hingga melewati ujung rel yang belum terpasang. Menurut pihak Kepolisian yang meninggal adalah Chang Shin Shang (40) dan Chang Shin Yung (36) sedang korban luka Wang Jiji, Jie Then Chang dan Chao Qianyo. Satu belum teridentifikasi. Masih dilakukan pemeriksaan saksi-saksi. Proyek pembangunan dihentikan sementara.  Proyek Kereta Cepat Indonesia China ini sejak awal dinilai kontroversial. Mulai dari \"penyingkiran\" investor Jepang, pembengkakan biaya, hingga penggunaan dana APBN. Banyak warga yang mempertanyakan urgensi Kereta Cepat Jakarta Bandung. Luhut Panjaitan sudah berkoar akan \"membunuh\" dulu Kereta Argo Parahyangan untuk menjawab rasa khawatir Kereta Cepat ini kelak sepi penumpang.  Kereta Cepat Jokowi Bohong (KCJB). Katanya tidak akan menggunakan dana negara karena prinsip kerjasamanya B2B atau Business to Business. Akan tetapi karena terjadi  \"cost overrun\" kurang lebih 21,7 trilyun maka China menekan Indonesia untuk menambah biaya. Jokowi memberi sinyal akan menggunakan dana APBN.  Sudah tercium aroma proyek ini gagal bahkan bisa terjebak pada perbuatan korupsi jika dana APBN tersebut benar-benar direalisasikan. Menjadi bagian dari efek domino proyek gagal lainnya seperti Bandara Kertajati, Bandara Yogyakarta, proyek PSN Bendungan Bener, Jragung, Dihaji, dan Budong, Tol Laut, pelabuhan Patimban, Tol rugi Cibitung-Manado dan Tol Cisumdawu yang mangkrak.  IKN di Kaltim juga tidak memiliki kepastian karena investor Jepang kabur dan investor baru belum ada yang serius. Urusan lahan yang tidak tuntas dalam pembebasan.  Sibuk obral HGB 160 tahun, bebas pajak 3 tahun, dan diskon hingga 35O % adalah tanda bahwa Jokowi panik akibat proyek pemindahan Ibukota Negara ini terancam gagal. Rakyat memang tidak mendukung.  Anjlok Kereta Cepat Indonesia China menjadi pertanda anjloknya kekuasaan Jokowi. Ia ingin menyambung rel jabatan, tetapi kereta melaju terus dengan cepat tanpa peduli kondisi. Tidak mampu mengerem lagi dan Kereta keluar rel lalu  menabrak. Korban pun berjatuhan.  Jika rezim Jokowi tidak bisa mengerem ambisi kekuasaannya, maka kelak lokomotif akan menabrak sana sini. Lalu anjlok keluar rel dan menabrak Konstitusi.  Korban dari prinsip melaju tanpa rasa salah dan malu sudah dan akan terus berjatuhan. Radikalisme dan terorisme negara telah merenggut nyawa warga negaranya sendiri, bukan warga negara China.  Chang Shin Shang dan Chang Shin Yung telah tewas. Kita tentu prihatin. Tetapi kita akan lebih prihatin lagi jika Kereta China akan menabrak dan menewaskan Kereta Pribumi Argo Parahyangan. Demi sekedar memenuhi ambisi Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan.  Bandung, 21 Desember 2022

Penjelasan BI Soal Nomor Seri Kaesang dan Erina, Tak Masuk Akal

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN SUDAH berlalu 10 hari. Tapi, ada isu yang masih mengganjal seputar nomor seri khusus pecahan Rp100,000 yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) untuk pernikahan Kaesang Pangarep (KSP) dan Erina Sofia Gudono (ESG). Masalah ini belum kelar. Karena penjelasan BI tentang ini tidak klop. Direktur Komunikasi BI, Erwin Haryono, mungkin menganggap publik akan menerima begitu saja penjelasan dia tentang nomor seri uang Rp100,000 untuk Kaesang dan Erina. Inti penjelasan Erwin adalah bahwa tiga nomor seri, yaitu KSP251294, ESG111296, dan KSE101222 tidak dirancang. Bukan rekayasa. Menurut Erwin, ketiga lembar itu muncul secara kebetulan. Dalam arti tidak ada pengaturan yang membuat ketiga singkatan yang bisa dipakai untuk nama Kaesang Pangarep (KSP), Erina Sofia Gunodo (ESG), dan Kaesang Erina (KSE) itu cocok dengan tanggal lahir kedua mempelai dan tanggal pernikahan mereka. Klaim BI itu tak masuk akal. Seberapa besarkah probabilitas (kemungkinan) kombinasi huruf yang muncul otomatis dan pas dengan singkatan nama Kaesang serta Erina itu bisa bertemu tanggal lahir mereka? Sulit diterima kalau kecocokan itu terjadi secara kebetulan. Saya menduga penjelasan pejabat BI itu tidak dipikirkan dengan matang. Si pejabat menganggap publik akan menerima begitu saja. Barangkali semua pejabat BI menilai publik tidak memiliki daya analisis dan kritis untuk mempertanyakan sesuatu yang tak masuk akal. Seperti dilansir situs berita ‘detikcom’, Bank Indonesia (BI) menerapkan pola kombinasi berurutan (aritmetik), mengikuti urutan huruf dan angka sedemikian rupa sehingga tidak terdapat nomor seri ganda pada uang Rupiah yang dicetak Bank Indonesia. Uang Rupiah yang telah dicetak tersebut, selanjutnya disimpan di khazanah Bank Indonesia untuk menjadi persediaan uang nasional dan memenuhi kebutuhan layanan kas. \"Jadi tidak benar kalau BI melakukan pencetakan khusus. Kalau dicetak secara khusus, kitanya yang repot. Jadi memang karena sudah ada di dalam khazanah BI saja, kebetulan nomornya pas ya terus kemudian ditukarkan,\" kata Erwin.  Kebetulan? Sekali lagi, itu tidak logis. Pengkombinasian otomatis antara tiga hurup dan enam angka yang menghasilkan singkatan dan angka yang pas, barangkali memiliki probabilitas 1 per 1 juta. Bahkan mungkin 1 per 10 juta. Kenyataannya, Kaesang Pangarep yang lahir 25 Desember 1994 bisa mendapatkan kombinasi KSP261294. Erina Sofia Gudono yang lahir 11 Desember 1996 bisa mendapatkan kombinasi ESG111296. Dan, hebatnya lagi, pasangan ini bisa pula mendapatkan kombinasi KSE101222 untuk tanggal pernikahan mereka. Luar biasa sekali Bank Indonesia kita, bukan? Dahsyatnya lagi, ketiga nomor seri itu “kebetulan” masih tersimpan rapi di khazanah BI. Dan “kebetulan” belum diedarkan ke publik. Kebetulan semua. Sebaiknya, para pejabat tidak ‘asal bunyi’. Berhentilah menggunakan asumsi bahwa orang awam akan manggut-manggut saja. Berhentilah membohongi publik.  Boleh jadi saya keliru. Karena itu, para pakar matematika dan aritmetika yang membaca tulisan ini diharapkan bantuannya untuk menjelaskan kemungkinan-kemungkinan kombinasi nomor seri tiga lembar uang mahar Kaesang untuk Erina itu bisa mulus sesuai keinginan mereka. Inilah tiga kebetulan yang tampakya mendekati tingkat mukjizat. Luar biasa fantastis. Kalaupun bukan mukjizat, maka kebetulan-kebetulan itu hanya bisa dihadirkan untuk keluarga Presiden.[]

Audit Seluruh Tahapan Pemilu!

Bahkan, menurut saya, kepolisian harus mulai mengambil Tindakan aktif untuk membongkar skandal pemilu ini. Ini kejahatan terhadap kedaulatan rakyat, dan merupakan pengkhianatan terhadap suara rakyat. Oleh: DR. Ahmad Yani, SH, MH, Koordinator Gerakan Melawan Political Genoside (GMPG), Ketua Umum Partai Masyumi SAYA sedari awal sudah menduga, Proses dan tahapan pemilu 2024 akan dipenuhi dengan masalah-masalah serius. Berkali-kali saya telah mengingatkan KPU baik sebagai pribadi, sebagai ketua umum partai maupun sebagai bagian dari Gerakan Melawan Politik Genosida (GMPG) Bersama kawan-kawan partai lain yang tidak diikut sertakan dalam tahapan verifikasi administrasi maupun faktual. Tujuan kami mengritik itu untuk meluruskan proses demokrasi politik yang akan kita hadapi 2024 yang akan datang. Tanpa berpikir pragmatis atau kepentingan pribadi, kita harus berdiri sebagai warga negara yang ingin proses demokrasi itu berjalan secara jujur dan adil sesuai dengan UUD NRI 1945. Apa yang kami sarankan untuk segera diperbaiki oleh KPU telah menjadi masalah sekarang ini. Terbongkarnya upaya terselubung yang dilakukan oleh KPU RI sebagaimana yang diberitakan Koran Tempo, Senin 12 Desember 2022, media mainstream lainnya dan media sosial, memperlihatkan ada indikasi atau dugaan bahwa pengaturan pemilu telah dilakukan mulai dari proses awal yaitu penyusunan dan penetapan regulasi serta pendaftaran partai politik. Bagi saya masalah utama yang muncul pada awal-awal adalah masalah Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU. Sipol ini tidak memiliki legitimasi hukum apapun untuk dijadikan instrumen dalam pendaftaran, verifikasi administrasi/faktual dan penetapan partai politik peserta pemilu. Secara hukum, Penggunaan Sipol itu Ilegal dan tidak memiliki dasar hukum apapun dalam Undang-Undang Pemilu. KPU tidak bisa membuat norma tanpa perintah Undang-undang. Undang-undang Pemilu tidak memerintahkan KPU untuk mengatur sipol itu. Lebih mirisnya, Sipol diatur dalam PKPU 4 Tahun 2022 yang diundangkan pada tanggal 20 Juli 2022. Sementara Akses Sipol sudah mulai dibuka 24 Juni 2022. Bayangkan, tanpa ada aturan apapun sipol dibuka untuk pendaftaran peserta pemilu.   Karena itu, Proses input data yang dilakukan sejak 24 Juni 2022 adalah proses yang ilegal. Tanpa dasar hukum apapun partai-partai politik yang mengisi data sipol tidak menyadari bahwa instrumen itu adalah ilegal dan tidak memiliki dasar hukum. Parpol yang menggunakan instrumen sipol dalam mengisi/menginput data dan dokumen sebelum dibukanya pendaftaran partai politik yaitu tanggal 1 Agustus 2022 sampai tanggal 14 Agustus 2022 pukul 23.59 WIB adalah tindakan ilegal, tidak sah dan tidak berdasarkan hukum sama sekali dan karenanya proses yang dilakukan parpol tersebut cacat hukum/yuridis. Karena itu kami menyatakan sipol itu bukan instrumen utama untuk pendaftaran partai politik. Sebab dalam UU Nomor 7 Tahun 2017, sipol tidak disebutkan sebagai sarana untuk pendaftaran partai politik dan istilah sistem informasi partai politik pun tidak disebutkan dalam UU tersebut. Upaya hukum telah kami lakukan, upaya politik juga telah kami tempuh untuk meluruskan proses pemilu ini. Maka untuk proses politik yang demokratis, sah dan konstitusional kami mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung mengenai keberadaan Sipol ini.   Politik Genosida Pendaftaran Partai politik peserta pemilu dibuka dari tanggal 1 Agustus 2022 dan ditutup tanggal 14 Agustus 2022 pukul 23.59 WIB. Pendaftaran yang dimaksud adalah penyerahan kelengkapan administrasi partai politik peserta pemilu untuk kemudian dilakukan verifikasi administrasi oleh KPU, dalam tahapan verifikasi administrasi dan faktual, bukan dalam tahapan pendaftaran partai politik. Namun diluar dugaan, pada tanggal 16 Agustus 2022, petugas KPU telah mengembalikan tanda pengembalian data dan dokumen persyaratan pendaftaran partai politik calon peserta pemilihan umum yang tidak ditandatangani oleh Ketua KPU. Berdasarkan surat yang ditandatangani oleh petugas KPU tersebut yang berakibat kepada 16 partai politik tidak diberikan hak untuk mengikuti tahapan selanjutnya yaitu verifikasi administrasi dan faktual.  Dengan surat itu Partai Politik dinyatakan tidak dapat mengikuti tahap selanjutnya. Tentu mengherankan, tanggal 14 itu adalah penutupan pendaftaran, bukan penutupan verifikasi administrasi partai politik. Pertanyaannya darimana KPU dapat menyimpulkan bahwa partai politik memenuhi syarat atau tidak, sebelum melakukan verifikasi administrasi? Verifikasi Administrasi baru dimulai tanggal 15 Agustus sampai tanggal 14 Oktober 2022. Namun KPU dengan “jumawa” mengatakan bahwa mengenai tidak memenuhi syarat pendaftaran partai politik tanpa verifikasi, tanpa surat keputusan dinyatakan tidak dapat mengikuti tahap selanjutnya. Untuk melawan keputusan KPU yang sewenang-wenang itu, beberapa partai yang tidak diikutkan dalam verifikasi administrasi menggugat dengan mengajukan sengketa Proses  ke Bawaslu RI. Namun seperti paduan suara, Bawaslu mengatakan kami tidak memiliki objek sengketa karena KPU tidak mengeluarkan surat keputusan, padahal pada tanggal 29 Juli 2022 Ketua Bawaslu telah mengirim surat resmi kepada Ketua KPU untuk menuangkan hasil penelitian kelengkapan pemenuhan dokumen persyaratan pendaftaran partai politik calon peserta Pemilu yang dapat atau tidak dapat mengikuti verifikasi administrasi dalam berita acara. Lalu pertanyaanya apa kerja Bawaslu? Apakah membiarkan KPU melakukan Tindakan sewenang-wenang tanpa menegurnya? Harusnya Bawaslu menyampaikan keberatan terhadap apa yang dilakukan KPU yang melanggar hukum itu. Tetapi itu tidak terjadi, dan dugaan scenario untuk mengatur proses pemilu berjalan terus tanpa memperdulikan protes dan proses hukum yang diajukan. Sungguh ironis tindakan Bawaslu yang seharusnya menjadi pengawas dalam proses seluruh tahapan pemilu, tidak melaksanakan tupoksinya sebagaimana mandat konstitusi dan Undang-Undang. Untuk melawan kesewenang-wenangan itu, kami membentuk Gerakan Melawan Politik Genosida (GMPG). Enam partai yang membentuk GMPG ini mendesak KPU untuk segera jujur dan transparan dalam melakukan verifikasi partai politik. dan kami juga menuntut hak-hak partai politik yang dinyatakan gugur dalam pendaftaran itu. Mengatur Partai untuk Lolos Penting untuk dicatat pengakuan salah seorang ketua umum partai politik yang menyatakan bahwa partainya dikerjakan oleh KPU untuk lolos mengikuti tahap administrasi. Pengakuan itu bagi saya harus ditelusuri Kembali. Pernyataan ketua umum partai itu masih beredar, muncul lagi pengakuan komisioner KPU di berbagai daerah, mengaku, KPU Pusat memerintahkan KPU Provinsi, KPU Kab/Kota untuk memanipulasi data partai politik dari tidak memenuhi, menjadi memenuhi syarat. (Lihat Koran Tempo 12 Desember 2022) Perintah untuk meloloskan tiga partai, yaitu: Partai Gelora; PKN dan; Partai Garuda – yang diberitakan oleh Tempo itu adalah kejahatan pemilu yang nyata. Saya menduga, bukan hanya tiga partai itu, bahkan seluruh partai yang dinyatakan ikut verifikasi factual memperoleh kemewahan dari cara-cara curang KPU ini. Pengakuan dan pemberitaan media ini harus segera diselidiki. Jika pengakuan itu benar, bahwa ada oknum komisioner KPU ikut menjadi bagian dari partai tertentu dan membantu partai untuk lolos maka ini sungguh keji. Berbagai pengakuan belakangan ini membuktikan bahwa proses pemilu ini sudah diatur sedemikian rupa untuk menentukan siapa yang dimenangkan dan siapa yang disingkirkan. Cukup beralasan bagi saya untuk menyatakan bahwa pemilu 2024 adalah pemilu yang akan diselenggarakan dengan kecurangan yang terstruktur, masif dan sistematis. Audit dan Adili Komisioner KPU Saya kira Sipol KPU harus segera diaudit. Data-data hasil pendaftaran, verifikasi administrasi dan verifikasi faktual yang telah dilakukan harus dibuka ke hadapan publik supaya terang permasalahan ini. Pengakuan-pengakuan yang disampaikan oleh KPU di Daerah dan pengakuan salah satu ketua umum partai yang menyatakan bahwa ada permainan untuk memanipulasi data partai politik atas perintah KPU Pusat jangan didiamkan. Ini kecurangan dan pelanggaran serius. Demokrasi sedang dibajak, pemilihan umum menjadi mainan segelintir orang, suara rakyat akan diselewengkan. Pemilu ini lebih buruk dari pemilu 2019, karena kebobrokannya sudah terjadi saat mulai proses. Ini mengerikan bagi saya. Oleh karena itu, sekali lagi saya tegaskan audit investigasi sipol KPU dan hasil verifikasi partai politik. Dan saatnya dugaan koordinasi kecurangan yang dilakukan oleh KPU segera diselidiki. Ini adalah Tindakan menyalahi hukum dan harus dihukum dengan seberat-beratnya. Kita semua harus bersuara, mendesak Komisi II DPR dan Pemerintah untuk mengevaluasi KPU ini. Bahkan bila perlu mendesak DPR untuk segera membentuk Hak Angket untuk menyelidiki dugaan kejahatan pemilu yang dilakukan KPU. Bawaslu RI sebagai mitra pengawas KPU harus bersuara, harus melakukan Langkah-langkah peringatan dan menyelidiki pelanggaran ini. DKPP sebagai penjaga etika penyelenggara harus aktif untuk menemukan pelanggaran etika penyelenggara yang sudah menyengat di ruang publik ini. Bahkan, menurut saya, kepolisian harus mulai mengambil Tindakan aktif untuk membongkar skandal pemilu ini. Ini kejahatan terhadap kedaulatan rakyat, dan merupakan pengkhianatan terhadap suara rakyat. Semua harus peduli pada urusan ini, proses ini yang akan menentukan pemimpin bangsa kedepan. Ini menyangkut masa depan negara yang Panjang. Pemimpin yang dipilih dengan curang tidak akan membawa berkah. (*)

Anies Membosankan, Itu Kata Anda: Faktanya?

Jika ditinjau dari rekam jejak, tentu peraih gelar PhD dari Northern Illionis University, Department of Political Science, DeKalb Illionis, Amerika Serikat itu jauh lebih unggul dibanding dengan “Rambut Putih dan Wajah Berkerut”. Oleh: Sulung Nof, Penulis MUNCUL bingkai berita yang menganggap safari politik Anies Baswedan di beberapa daerah mulai membosankan. Harap maklum, namanya juga pengamat. Benar-salah tergantung dari instrumen penilaian yang digunakan. “Publik mulai bosan dengan Anies,” ujar pengamat yang mengatasnamakan masyarakat. Itu kan menurut Anda. Faktanya, relawan dan masyarakat di setiap daerah selalu merindukan kunjungan Mantan Mendikbud RI itu. Rasa rindu itu nyata. Ibarat orang yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah, meskipun sudah pernah melakukannya, maka kerinduan itu terus hidup untuk mengulangi momen yang sama. Hal ini yang luput diamati oleh pengamat. Narasi Anies di panggung politik dinilainya masih datar/normal. Lalu apakah mantan Gubernur DKI Jakarta itu harus menentang atau perlu mengkritisi kebijakan penguasa secara frontal? Cocoknya manuver itu dilakukan tokoh oposisi. Bakal Capres Partai Nasdem yang fasih berbahasa Jawa krama inggil itu tidak punya rekam jejak dalam melakukan perlawanan secara terbuka kepada siapapun. Sikap itu konsisten dilakukan, bahkan jauh sebelum ada Pilgub DKI Jakarta. Namun, untuk memberikan pendidikan politik warga secara elegan dan terhormat, sesekali beliau beri kisi-kisi berupa sindiran maupun sentilan. Cukup berpose dengan sarung sambil membaca buku “How Democracies Die”. Geger. Alumni Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta itu jangan sampai terjebak pada irama konfrontatif. Biarkan saja beliau berjalan pada tujuan yang jelas dan konstitusional, yakni sebagai calon pemimpin Indonesia pada 2024-2029. Insya Allah. “Di mana letak perubahannya?” Ucap pengamat yang menanyakan eksistensi Koalisi Perubahan itu. Tidakkah dipahami, secara head to head sudah jelas perubahannya. Bibit, bebet, dan bobotnya juga tampak terang-benderang perbedaannya. Jika ditinjau dari rekam jejak, tentu peraih gelar PhD dari Northern Illionis University, Department of Political Science, DeKalb Illionis, Amerika Serikat itu jauh lebih unggul dibanding dengan “Rambut Putih dan Wajah Berkerut”. Apalagi jika dibandingkan dengan rekam jejak pejabat berwajah “lugu” yang selama ini sering berbohong dan mengabaikan amanah yang telah diberikan rakyatnya. Anies sudah membuktikan kinerjanya selama 5 tahun menjabat Gubernur DKI Jakarta. Semua janjinya kepada warga Jakarta telah dipenuhi Anies! Bandung, 20122022. (*)

Mengubah Euforia Menjadi Militansi Rakyat Pada Anies

Ini bukan piala dunia dimana skill berbalut ketangguhan dan kesabaran tim bermain sepak bola bisa menjadikannya juara. Ini tentang pseudo demokrasi atau malah ketiadaan demokrasi. Ini tentang kekuasaaan yang memiliki kekuataan uang yang bisa membeli partai politik, DPR, TNI-Polri, MK dan KPU. Kekuatan uang yang bisa membeli segala-galanya di republik ketika Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang menaunginya. Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  DUKUNGAN rakyat yang terlihat dari antusias dan sambutan luar biasa saat safari politik Anies ke pelosok Indonesia,  tidak serta-merta menjadi modal yang cukup bagi Anies mengikuti kontestasi pilpres 2024. Selain mengupayakan partai politik yang akan mengusung capresnya, Anies juga harus berhadapan dengan kekuatan politik  yang terstruktur, sistematik dan masif. Rezim kekuasaan menjadi satu-satunya dan faktor utama yang bisa menjegal Anies menuju kursi presiden pada pilpres 2024  mendatang, meskipun dukungan rakyat deras mengalir ke Anies. Wacana presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan, menjadi indikator bahwa Anies tidak diinginkan, menjadi ancaman  dan bahkan sangat berbahaya bagi kesinambungan kekuasaan rezim yang semakin terindikasi otoriter dan diktator. Anies terus menjadi target dan sasaran tembak dari upaya fitnah dan pelbagai pembunuhan karakter, agar bisa dipastikan gagal mencalonkan diri menjadi presiden. Dari semasa menjabat gubernur Jakarta hingga menjadi rakyat biasa, Anies tak pernah berhenti diterpa sikap kebencian dan permusuhan penguasa beserta para cecunguknya dan ternak oligarki lainnya. Kalau perlu, hanya untuk bernapas saja, akan ada serangan ke Anies dari para buzzer yang dipelihara rezim pemerintah  yang menjadi boneka oligarki. Memahami dan menyadari konstelasi yang seperti itu, Anies harus mampu melakukan kerja-kerja politik yang terarah, terukur dan sangat diperlukan yang anti mainstream. Tak cukup hanya dengan melakukan agenda-agenda konvensional dan formal, apalagi cuma  seremonial. Anies tak harus percaya sepenuhnya terhadap mekanisme demokrasi sekalipun prosedural dan konstitusional. Hanya dengan pendekatan normatif,  rezim yang menguasai institusi-istitusi negara baik  partai-politik, DPR RI, TNI-Polri dan MK hingga KPU, Anies bisa disingkirkan dengan seolah-olah sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Betapapun Anies mengantongi simpati, empati dan euforia rakyat sekalipun, Anies tak boleh melihat itu sebagai sebuah jalan mulus menuju pilpres yang cenderung paling panas dan beresiko tinggi pada keberadaan dan eksistensi NKRI ke depannya. Banjir dukungan rakyat terhadap Anies harus dikelola secara lebih radikal, fundamental dan revolusioner. Motivasi dan tujuan Anies dalam kontestasi pilpres, tidak boleh sebatas hanya agar dapat memenangkan pesta demokrasi akbar itu. Anies juga harus mulai menyiapkan diri bagaimana setelah lolos pencapresan dan menjadi presiden serta bagaimana kepemimpinannya bisa melakukan upaya  penyelamatan dan perbaikan negara baik secara struktural maupun kultural. Termasuk menghadapi rongrongan oligarki baik dari partai politik maupun korporasi. Seperti menjebol dan membangun, Anies membutuhkan pengabdian total lebih dari sekedar kerja keras dan prestasi untuk memperbaiki kerusakan akut pada republik yang telah berkali- kali membunuh Pansasila dan UUD 1945. Bersama oligarki, rezim dengan kekuatan uang dan hampir semua institusi dan aparaturnya yang dapat dibeli, bisa dipastikan mampu menjegal Anies. Melumpuhkan dan meniadakan Anies dalam pusaran politik pilpres 2024,  bukanlah hal yang mustahil dan sulit bagi kekuasaan. Uang telah menjadi falsafah dan dasar negara, menjadi panutan bagi siapapun, utamanya politisi dan birokrasi dalam mengatur dan mengelola negara. Pemimpin-pemimpin dan pejabat formal yang hipokrit, khianat dan tak ubahnya sebagai penjahat konstitusional yang menguasai Indonesia  yang sejatinya ulama dan umat Islam sebagai pemilik saham terbesarnya. Uang adalah segala-segalanya, jabatan adalah alat efisien dan efektif untuk meraihnya. Begitulah maindset penguasa yang untuk mewujudkannya, harus berpakaian,  bergaya sekaligus berjiwa kapitalistik dan komunis. Anies yang telah menjadi bola panas dan liar bagi politik mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan oleh rezim boneka. Dituntut untuk cerdas dan piawai mengorganisir energi rakyat untuk melawannya. Dukungan rakyat yang kental berasal dari arus bawah  baik dari masyarakat umum maupun partai politik, harus bisa membangun kekuatan politik rakyat menjadi gerakan perubahan. Bersama kekuatan oposisi lainnya,  utamanya pemimpin dan tokoh pergerakan serta basis umat Islam yang militan, Anies akan mampu  melewati belenggu demokrasi  dan perangkap oligarki menuju peran kepala negara dan kepala pemerintahan yang didukung dan mendukung rakyat. Tinggal bagaimana orang-orang disekeling Anies bisa menjadi dapur pemikiran dan supooting sistem yang andal,  yang kuat secara konseptual dan praksis guna melakukan kerja-kerja dan gerilya politik yang elegan menghadapi pilpres 2024. Meminjam pemikiran hukum kekekalan energi Newton, bahwasanya energi tidak bisa dihilangkan atau disingkirkan. Energi hanya bisa dipindahkan atau disalurkan. Equivalen dengan ilmu dan pengetahuan scientis itu, maka energi rakyat juga hasus dipindahkan atau disalurkan ke wadah yang tepat. Menghadapi pilpres 2024 yang penuh tipu daya dan siasat oleh oligarki,  Anies harus mengelola kekuatan rakyat mengantisiapasi mekanisme demokrasi prosedural yang penuh kecurangan, penghianatan dan kejahatan kostitusi. Jika perlu menyiapakan sekoci, merespon sewaktu-waktu karena keadaan harus menyiapkan diri demi menyalurkan energi atau kekuatan rakyat,  untuk memimpin negeri ini dengan atau tanpa pemilu 2024.  Atau dengan menggerakan people power di luar ranah demokrasi prosedural sekalipun. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 20 Desember 2022/26 Jumadil Awal 1444 H.

Komunisme, Kaum Trotsky dan False Flag Operation Asing

Ternyata bukan saja kelompok-kelompok Islam saja yang sering jadi korban False Flag Operation. Melainkan juga para kader komunis yang katanya hebat-hebat itu. Oleh: Hendrajit, Wartawan Senior, dan Pengkaji Geopolitik PAGI netizen. Sekarang ngobrol sedikit tentang komunisme ya. Pada 1924 bapak komunisme Rusia Vladimir Ulyanov Lenin meninggal. Penggantinya, bertarunglah dua putra mahlota, Stalin dan Trotsky. Punya mahzab berbeda dalam menjabarkan marxisme/leninisme. Dan punya kepribadian bertolak belakang sebagai sosok pemimpin. Pada kurun waktu itu, China belum jadi komunis, karena Mao Zhe Dong baru berhasil berkuasa pada 1949. Makanya ketika pada 1922 komunisme di Indonesia mulai menguat, dan bahkan menyusup ke Sarikat Islam, para kader komunis seperti Muso, Darsono dan Alimin, ketika mengklaim dirinya sebagai komunis pro Moskow, sebetulnya nggak jelas menganut garis politik Stalin atau Trotsky. Dalam situasi demikian, seringkali di internal PKI sejak 1920an sering kebalik-balik dalam pemetaan ideologi maupun faksi politik. Misalnya, ketika PKI memutuskan melancarkan pemberontakan Prambanan 1926 maupun Madiun 1948, yang kebetulan para aktornya sama, bertumpu pada Muso-Alimin, mengaku sudah dapat restu Moskow. Yang berarti direstui Stalin. Tapi apa benar begitu? Waktu saya baca buku karya George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, Indonesianist generasi pertama itu menemukan sebuah dokumen yang mana Stalin mengecam kebijakan komunisme di Indonesia. Dalam pidatonya pada 1925, hal ini berarti setahun sebelum meletusnya pemberontakan Prambanan Stalin berkata: “Komunis di Jawa terlalu menilai tinggi potensi revolusioner dari gerakan pembebasan dan terlalu rendah menilai pentingnya aliansi antara kelas pekerja dan borjuis revolusioner dalam melawan imperialisme. Tampaknya, kaum Komunis Jawa mengidap penyimpangan ini, karena telah berbuat kekeliruan, yaitu mengibarkan slogan pemerintahan Soviet di negerinya sendiri. Hal ini merupakan penyimpangan ke arah kiri, yang akan memencilkan Partai Komunis dari massa dan akan mengubahnya menjadi suatu sekte.” Para kader komunis Indonesia yang dalam masa pertumbuhan awalnya dibina para kader sosialis demokrat Belanda seperti Snevliet dan Bars, sama sekali tidak membaca dinamika internal di Soviet era Stalin. Alhasil, para kader PKI seperti Alimin dan Muso, langsung menuding Tan Malaka sebagai kaum Trotsky ketika menentang keputusan Alimin dan Muso berontak pada 1926. Tan menentang karena dipandang belum matang. Artinya, Tan dalam hal ini menilai garis politik dan strategi yang ditempuh Alimin-Muso sejatinya justru menganut garis pro Trotsky, yang beroposisi dan berseberangan dengan garis Stalin. Namun Alimin dan Muso, ibarat maling teriak maling, mencap Tan sebagai Trotsky. Hanya karena mereka beranggapan pemberontakan Prambanan 1926 sudah direstui Moskow. Sehingga karena Tan menentang, berarti Tan itu Trotsky. Padahal kalau baca pidato Stalin yang dikutip Kahin tadi, Moskow justru menentang. Bahkan Stalin menggunakan istilah penyimpangan ke kiri. Ternyata bukan saja kelompok-kelompok Islam saja yang sering jadi korban False Flag Operation. Melainkan juga para kader komunis yang katanya hebat-hebat itu. Menyangka bekerja sama dengan sekutu, eh belakangan mereka nyadar telah kerjasama dengan musuh. Ketika Alimin dan Muso menuding Tan Malaka Trotsky, padahal justru Alimin dan Muso itu yang menganut garis politik dan strateginya Trotsky. Lantas apa ciri khas kaum Trotsky itu? Nah Tan sendiri rupanya malah tahu sekali ciri khas buruk kaum Trotsky: 1. Kaum kiri yang umumnya orang-orangnya besar mulut. Orang sekarang bilang Omdo. Omong doang. Nggak ada action-nya. 2. Orang-orangnya tidak punya ketetapan hati dalam berpolitik. Tidak istiqomah. Mudah terombang-ambing oleh kejadian. 3. Meski di permukaan galak, radikal, namun dalam kebijakan yang diambil, seringkali malah menguntungkan kapitalisme. Alhasil malah masuk dalam skema kapitalisme global. 4. Dan, yang paling fatal, kata Tan, kaum Trotsky itu hakekatnya nggak percaya terhadap kemampuan sosialisme untuk mengalahkan kemaha-kuasaan kapitalisme. Buat Tan, model begini ini merupakan penghianatan terhadap perjuangan sosialisme. Justru atas dasar itulah Tan kemudian mendesak para founding fathers kita, termasuk Presiden Sukarno, agar ketika mulai berunding dengan Belanda, bertumpu pada prinsip “Merdeka 100 Persen”. (*)

Imajinasi Liar dari Gerombolan Liar: Tidak Ada Anggaran (Uang) Pemilu

Kalau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, tidak memberikan uang yang sudah dianggarkan tersebut, maka berarti kementerian keuangan melakukan pembangkangan terhadap UU APBN dan konstitusi. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) RENCANA mempertahankan masa jabatan Joko Widodo terus bergulir. Baik dengan cara memperpanjang masa jabatan presiden maupun mengubah periode jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode. Semua ini tentunya melanggar konstitusi, dan masuk kategori sebagai kudeta konstitusi, seperti dimaksud di dalam artikel “Threats to democracy in Africa: The rise of the constitutional coup”, seperti dimuat di situs the Brookings Institute: https://www.brookings.edu/blog/africa-in-focus/2020/10/30/threats-to-democracy-in-africa-the-rise-of-the-constitutional-coup/ Artinya, Indonesia sedang meniru beberapa negara di Africa, mengancam demokrasi melalui kudeta konstitusi, untuk mempertahankan kekuasaan, menuju negara otoritarian dan tirani. Rencana ini sengaja disuarakan tanpa etika dan moral, secara sistematis, diorkestrasi oleh ketua umum partai politik, menteri, dan akhir-akhir ini pejabat tinggi negara, DPD dan MPR. Berbagai macam alasan penundaan pemilu dikaji, termasuk skenario brutal. Seperti kompensasi masa jabatan karena pandemi Covid-19 selama 2 tahun, atau menciptakan keadaan darurat, kegentingan memaksa, agar presiden dapat menerbitkan PERPPU atau dekrit menunda pemilu. Yang semuanya ilegal karena melanggar konstitusi. Karena Perppu atau dekrit presiden wajib taat konstitusi. Seperti diuraikan di dalam tulisan ini: https://www.watyutink.com/berpikir-merdeka/amp/pr-5036063087/dekrit-presiden-tidak-taat-konstitusi-dapat-dimakzulkan. Kemudian, alasan pemerintah tidak ada uang (anggaran) digulirkan. Alasan ini sangat primitif. Kalau dijalankan maka pemerintah secara nyata melanggar konstitusi. Pertama, pemerintah tidak pernah tidak ada uang, karena pemerintah mempunyai kekuasaan menarik pajak dan mencetak uang. Total belanja negara dalam APBN 2023 sebesar Rp 3.061 triliun. Anggap saja belanja negara 2024 sekitar Rp 3.000 triliun juga sehingga total belanja negara untuk dua tahun (2023-2024) mencapai Rp 6.000 triliun. Artinya, anggaran pemilu Rp 120 triliun relatif sangat kecil, hanya 2% dari belanja negara. Kedua, anggaran pemilu harus dianggarkan di dalam APBN. Kalau tidak dianggarkan berarti pemerintah melanggar perintah konstitusi untuk menyelenggarakan pemilu setiap 5 tahun, yang jatuh tempo pada 2024. Artinya, pemerintah membangkang perintah konstitusi, melanggar konstitusi, dapat dimakzulkan. Ketiga, kalau anggaran pemilu sudah dianggarkan dan diundangkan dalam UU APBN, maka pemerintah, dan KPU sebagai penyelenggara pemilu, wajib menjalankan perintah UU APBN. Artinya, wajib menyelenggarakan pemilu. Kalau tidak, maka berarti keduanya membangkang perintah UU APBN, dan membangkang perintah konstitusi, karena UU APBN merupakan perintah konstitusi secara langsung. Sejauh ini, pemerintah sudah menganggarkan biaya penyelenggaraan pemilu dalam APBN, baik untuk KPU maupun Bawaslu. Perkiraan realisasi anggaran belanja KPU untuk tahun 2022 mencapai Rp 2,35 triliun. Anggaran KPU untuk tahun anggaran 2023 ditetapkan Rp 16 triliun. Sedangkan perkiraan realisasi anggaran Bawaslu untuk tahun 2022 mencapai Rp 1,79 triliun, dan anggaran tahun 2023 ditetapkan Rp 7,1 triliun. Jumlah anggaran 2023 ini lebih besar dari indikasi awal kementerian keuangan yang memperkirakan anggaran KPU dan Bawaslu masing-masing-masing sebesar Rp 14 triliun dan Rp 5,5 triliun: https://m.bisnis.com/amp/read/20220817/10/1567743/sri-mulyani-anggaran-pemilu-2024-rp14-triliun-bawaslu-rp55-triliun Dengan demikian, tidak ada alasan KPU dan Bawaslu tidak ada uang untuk menyelenggarakan pemilu. Kalau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, tidak memberikan uang yang sudah dianggarkan tersebut, maka berarti kementerian keuangan melakukan pembangkangan terhadap UU APBN dan konstitusi. Maka dari itulah, alasan menunda pemilu karena tidak ada uang merupakan imajinasi liar, dari segerombolan liar pihak-pihak yang mau melakukan kudeta konstitusi. (*)

Hentikan Usulan Dekrit Kembali ke UUD 1945 Asli Era Presiden Jokowi

Dengan kembali ke UUD 1945, seolah rezim mengikuti aspirasi rakyat, ternyata telah dimodifikasi dalam rencana rekayasa politik dengan cara membonceng kekuatan aspirasi rakyat tersebut untuk mempertahankan kekuasannya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih ASPIRASI usulan mengembalikan UUD 1945 ke naskah asli untuk kemudian disempurnakan dengan adendum, akan dikemas seolah-olah untuk melawan Oligarki dan merontokkan UUD 2002. Justru oleh penguasa momen ini akan dijadikan bargaining posisition dengan perpanjangan masa jabatan Presiden. Dibungkus ide dalam kemasan seolah Presiden akan memenuhi aspirasi masyarakat. Dekrit kembali ke UUD 45 asli dengan adendum, dengan perpanjangan masa jabatan Presiden 2 atau 3 tahun, akan nyasar ke Pasal 7 UUD 45 naskah asli yang menyebutkan: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” Interpretasi kalimatnya jelas: setelah masa jabatan pertama (5 tahun), dapat dipilih kembali (untuk masa jabatan 5 tahun ke-2 ), hanya sekali lagi, akan diubah boleh dipilih berkali-kali. Dalam rancangan adendum UUD 1945 asli, menjadi tidak ada pembatasan jabatan Presiden. Seorang Presiden, bisa menjadi Presiden berkali-kali tanpa ada batasan periode jabatan, seperti yang terjadi dalam era Rezim Soeharto. Ide ini sangat mungkin juga mengikuti dan terinspirasi dari sukses Xi Jinping yang akan bisa menjadi Presiden China seumur hidup. Ide kembali ke UUD 1945 asli ini justru akan menjadi makanan dan santapan Oligarki, Presiden kembali berkali-kali dan tanpa perlu mengadakam Pilpres. Kekuatan finansial oligargi dipastikan akan mem-backup proses politiknya. Gambaran skenarionya agar mudah ditangkap dan dipahami masyarakat luas, seperti ini. Bahwa: Presiden Jokowi mengeluarkan dekrit yang isinya kembali ke UUD 1945 asli. Pemilu hanya untuk memilih Partai Politik, seperti pada era Orba. Pilpres cukup via MPR di mana syaratnya tidak ada lagi batasan 2 (dua) periode jabatan Presiden. Jokowi maju Capres lagi dan dimenangkan secara aklamasi oleh MPR RI. Masyarakat luas tidak boleh lengah oleh manuver beberapa pejabat negara yang dengan cara apapun termasuk tawaran amandemen terbatas setelah kembali ke UUD 45 asli, sepanjang akan dilaksanakan pada era Jokowi akan membawa konsekuensi yang berbahaya. Sebelumnya telah saya tulis tercium Prediksi jahat perpanjangan masa jabatan Presiden, bukan asal-asalan tanpa referensi dan data yang dimiliki oleh Kajian Politik Merah Putih, itu jebakan politik akan terjadi kalau kita tidak waspada. Dengan kembali ke UUD 1945, seolah rezim mengikuti aspirasi rakyat, ternyata telah dimodifikasi dalam rencana rekayasa politik dengan cara membonceng kekuatan aspirasi rakyat tersebut untuk mempertahankan kekuasannya. Siklus pemilu dan Pilpres jangan sampai ada penundaan sekalipun muncul serangan seolah-olah Pilpres mendatang akan mendatangkan kecurangan yang sama seperti Pilpres sebelumnya dan macam-macam narasi yang akan menyerang dan berusaha menunda Pilpres yang akan datang. Apapun pilihannya adalah pilihan terbaik jangan melakukan Dekrit kembali ke UUD 45 asli pada era Presiden Jokowi dengan konpensasi akan menambah masa jabatannya. Para pejabat negara yang secara terang-terangan mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan pemilu 2024, sejatinya mereka itu adalah para “pengkhianat” konstitusi. Mengapa? Karena sebenarnya mereka itu sudah tahu adanya konstitusi yang mengatur tentang pemilu maupun pilpres. Mereka bukannya “buta-tuli”. Mereka masih bisa baca bisa dengar juga. Entah kalau mereka sudah “buta-tuli”. (*)

Syafruddin Prawiranegara dan Hari Bela Negara

Hari ini, 19 Desember 2022, tanggal di mana ibu kota Yogyakarta dikuasai Belanda, Syafruddin Prawiranegara, salah seorang Pimpinan Masyumi yang ada di kabinet, berinisiatif membentuk pemerintahan sementara. Oleh: Abdullah Hehamahua, Mantan Penasehat KPK HARI ini, 19 Desember, 74 tahun lalu, pesawat-pesawat terbang Belanda, menerjunkan tentaranya di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta. Padahal, Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Australia, Belgia, dan Amerika Serikat sebagai Penengah berada di Kaliurang. Tentara Belanda tanpa menghiraukan eksistensi KTN, melepaskan tembakan beruntun dari pesawat terbang. Belanda akhirnya menguasai Yogyakarta. Soekarno, Hatta, dan beberapa Menteri, ditangkap Belanda. Mereka dibuang ke Pulau Bangka. Panglima Besar Jenderal Sudirman memutuskan untuk melakukan perang gerilya. Namun, Soekarno dan Hatta, bersikap lain. Olehnya, sebelum ditangkap, keduanya dalam sidang kabinet terbatas, memberi mandat ke Syafruddin Prawiranegara untuk memimpin pemerintahan. “Saya tidak terima telegram itu,” kata Pak Syaf kepadaku dalam salah satu pertemuan Forum Nasi Bungkus, Dewan Da’wah (1981). “Lalu mengapa Pak Syaf membentuk PDRI?” tanyaku penasaran. Motif Pembentukan PDRI Pak Syaf sewaktu menjawab pertanyaanku, menjelaskan, sebagai salah seorang pimpinan Masyumi yang berada di kabinet, bertanggung jawab terhadap eksistensi Indonesia. Pak Syaf, Menteri Kemakmuran yang waktu itu dengan beberapa pejabat negara berada di Bukittingi. Pak Syaf mengatakan, sehari sebelum penaklukan Yogyakarta, PKI melakukan pemberontakan di Madiun, Pemberontakan tersebut menurut Pak Syaf, dimanfaatkan Belanda untuk mempersulit wujudnya kesepakatan dalam kegiatan diplomasi kedua negara. Olehnya, menurut pak Syaf, pemerintah Indonesia bertindak tegas. Pemberontakan PKI di Madiun tersebut dapat ditumpas. Sebab, pasukan Divisi Siliwangi yang berada di Surakarta waktu itu dikerahkan untuk menumpas pemberontakan tersebut. Pak Syaf menambahkan, Masyumi sebagai partai Islam ideologis tidak membiarkan PKI atau ajarannya berkembang di Indonesia. Apalagi sampai menguasai sistem pemerintahan. Sebab, sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas menolak komunisme. Ini karena komunisme tidak mengakui agama. Bahkan, komunisme menganggap agama sebagai candu. “Itulah sebabnya saya berinisiatif membentuk kabinet,” kata Pak Syaf menjelaskan alasan pembentukan PDRI. Padahal, beliau tidak menerima telegram Soekarno dan Hatta. Pak Syaf melanjutkan alasan pembentukan PDRI yang masih kuingat, antara lain: Tujuan perjuangan Masyumi adalah terciptanya ajaran dan hukum Islam bagi orang per orang, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara menuju ridha Ilahi. Fakta di lapangan, lanjutnya, 95 persen penduduk Indonesia waktu itu beragama Islam. Jika presiden dan wakilnya ditangkap, masyarakat dunia akan menganggap, pemerintahan Indonesia sudah tiada. Dampaknya, Belanda akan kembali menjajah. Konsekwensi logisnya, pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia pun pupus. Berarti, lanjut pak Syaf, Masyumi sukar mencapai tujuannya. Kabinet PDRI Pak Syaf  mengajak Kolonel Hidayat, Panglima tentara dan teritorium Sumatera, mengunjungi Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera, guna mengadakan perundingan. Pak Syaf bersama beberapa tokoh, di perkebunan teh Halaban yang berjarak 15 Km arah selatan kota Payakumbuh, melakukan pertemuan. Hari itu, 22 Desember 1948, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk. Pak Syaf sebagai Presiden merangkap Perdana Menteri (PM). Beliau didampingi T.M. Hassan sebagai Wakil Presiden. Anggota kabinet lainnya, antara lain: Ir. Indratjaja (Menteri Perhubungan/Kemakmuran); Ir. Sitompul (Menteri PU dan Kesehatan); Mr. Lukman Hakim (Menteri Keuangan dan Kehakiman); Mr.  Moch Rasjid (Menteri Keamanan dan Sosial). Kutanyakan Pak Syaf, mengapa tidak menggunakan istilah Presiden. Beliau dengan lugu mengatakan: (a) Saya waktu itu belum tahu ada mandat dari Presiden Sukarno kepadaku untuk membentuk pemerintahan transisi; (b) Saya terdorong oleh rasa keprihatinan sebagai Menteri di mana atasanku ditangkap penjajah Belanda. (c) Saya sebagai Pimpinan Masyumi yang adalah partai politik Islam ideologis, tidak etis untuk memproklamirkan diri sebagai Presiden. Apalagi, waktu itu saya tidak menerima telegram dari presiden yang mengamanatkan diriku membentuk pemerintahan. Pidato Melalui Radio Rimba Raya Pak Syaf mengumumkan pemerintahan baru dan menyampaikan tekadnya untuk mencapai tujuan kemerdekaan. Hal tersebut disampaikan melalui Radio Rimba Raya yang disiarkan secara luas. Pak Syaf mengingatkan diriku tentang tujuan kemerdekaan yang berada dalam alinea keempat mukadimah UUD 45. “Jangan lupa, empat dari sembilan orang perumus Pancasila dan UUD 45 adalah ulama yang merupakan anggota Masyumi,” kata pak Syaf. Saya kaget! (Di rumah, kucari dan kupelajari beberapa literatur. Ternyata, empat orang dari Panitia Sembilan yang menyusun dasar negara dan UUD adalah ulama. Orang pertama, KH Agus Salim, ulama besar waktu itu. Beliau salah seorang anggota Parleman dari Masyumi ketika Wakil Presiden, Mohammad Hatta menganjurkan pembentukan partai politik. Salah satu partai politik itu adalah Masyumi yang dibentuk  dalam Kongres Umat Islam, 7 November 1945 di Yogyakarta. Orang kedua, KH Wahid Hasyim, Wakil Ketua Majelis Syura Masyumi dari unsur Nahdiyin. Personil ketiga, Abdoel Kahar Muzzakir, juga anggota parlemen Masyumi dari unsur Muhammadiyah. Ulama keempat, Raden Abikusno Tjokrosoejoso, anggota parlemen Masyumi dari unsur Syarikat Islam). Pidato pak Syaf di Radio Rimba Raya menggelegar, tidak saja dalam negeri, tapi juga dunia internasional. Rakyat Indonesia, khususnya di Sumatera yang mendengar pidato tersebut, bangkit melakukan perlawanan dengan cara masing-masing. Bahkan, informasi tentang pidato tersebut sampai ke PBB. Jadi, sekalipun tokoh-tokoh PDRI diburu Belanda, tapi pidato Pak Syaf mendorong PBB untuk mendesak negara penjajah tersebut kembali ke meja perundingan. Hasilnya, Indonesia berdaulat pada tanggal 29 Desember 1949, rumusan Konperensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Denhaag, Belanda. Mengembalikan Mandat Sebagai Ketua PDRI Kutanyakan, mengapa pak Syaf mengembalikan mandat sebagai Ketua PDRI. Padahal, dengan jabatan tersebut, Pak Syaf bisa melakukan banyak hal untuk kepentingan umat dan bangsa. Jawaban Pak Syaf mengejutkan. Pak Syaf bilang, setelah PDRI beroperasi, beliau baru tau, ada mandat dari Presiden terhadap dirinya untuk membentuk pemerintahan transisi. Olehnya, setelah mengetahui Soekarno dan Hatta bebas, pak Syaf menganggap tugasnya selesai. Itulah sebabnya, beliau kembalikan mandat ke Soekarno dan Hatta. Pak Syaf secara resmi kembalikan mandat dalam sidang kabinet RI, 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Perilaku pak Syaf tersebut menunjukkan, tokoh-tokoh Masyumi adalah pribadi yang tidak gila jabatan. Mereka melakukan suatu kegiatan karena diperintahkan agama dan negara. Mereka menerima suatu pekerjaan atau jabatan juga karena perintah agama dan negara. Olehnya, Pak Syaf menolak jabatan jika ia bertentangan dengan perintah agama dan negara. Hal ini ditunjukkan terhadap kebijakan presiden Soekarno yang dinilainya salah. Presiden Soekarno waktu itu menunjuk Pak Syaf  menjadi formatur guna membentuk Dewan Nasional sekaligus sebagai pimpinannya. Pak Syaf  menolak. Sebab, lembaga Dewan Nasional itu tidak dikenal dalam UUDS 1950 yang berlaku waktu itu. Menurut Pak Syaf, tindakan Presiden Soekarno tersebut, terang-terangan melanggar konstitusi. Menjadi Pahlawan Nasional Chalid Prawiranegara, anak sulung pak Syaf memberitahuku, penetapan ayahnya sebagai pahlawan nasional bukan atas permintaan keluarga. Sebab, hal tersebut bertentangan dengan budaya dan karakter Masyumi sebagai partai Islam ideologis. Menurutnya, pak AM Fatwa sebagai anggota DPR-RI memintanya, mengajukan permohonan agar pak Syaf ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Pak Chalid menolak. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang melarang memberi jabatan ke orang yang meminta. Akhirnya, Pemerintah Jawa Barat yang mengajukan permohonan ke pemerintah. Almarhum AM Fatwa, dalam kontek ini mengorganisasikan sejumlah seminar tentang peran PDRI. Sebab, Presiden SBY melalui Keppres menetapkan tanggal 19 Desember 1948 sebagai Hari Bela Negara. AM. Fatwa lalu melakukan seminar di beberapa kota besar. Dimulai dari Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Seminar-seminar yang dilakukan sejak 2009 – 2011 tersebut diakhiri dengan peringatan 100 tahun pak Syaf. Penganugerahan gelar pahlawan nasional diberikan ke pak Syaf, tanggal 8 November 2011. Upacara penganugerahan dilakukan Presiden SBY di istana negara. Hari ini, 19 Desember 2022, tanggal di mana ibu kota Yogyakarta dikuasai Belanda, Syafruddin Prawiranegara, salah seorang Pimpinan Masyumi yang ada di kabinet, berinisiatif membentuk pemerintahan sementara. Sebab, kesadaran sebagai Menteri dan pimpinan Masyumi yang mau menyelamatkan pemerintahan dan negara Indonesia dari dijajah kembali, beliau membentuk pemerintahan tersebut. Tanggal 22 Desember 1948, 74 tahun lalu, dideklarasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden merangkap Perdana Menteri. Andaikan pak Syaf tidak berinisiatif membentuk PDRI, 74 tahun lalu, apakah hari ini, Indonesia sebuah negara merdeka? Apakah tanpa PDRI, Belanda melakukan Komperensi Meja Bundar (KMB) yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia, 29 Desember 1949? Apakah tanpa hasil KMB, Moh. Natsir, Ketua Fraksi Partai Masyumi mengajukan Mosi Integral.? Apakah tanpa Mosi Integral tersebut, Indonesia hari ini adalah NKRI.? Siapa yang berhak mengklaim, paling NKRI.?  Masyumi, PKI atau koalisinya. ? Semoga kita semua tahu diri! Depok, 19 Desember 2022. (*)