Sobary dan Kemarahan Tak Berdasar, Memang Anies Salah Apa?
Oleh Ady Amar - Kolumnis
MOHAMAD Sobary, itu nama komplitnya. Saya biasa memanggilnya dengan Kang Sobary, bahkan memanggilnya dengan panggilan lebih singkat lagi, Kang Sob. Tapi itu dulu kala. Dulu sekali, lho ya. Saya sebut dulu kala, itu karena saking lamanya, dan karenanya belum tentu Kang Sobary masih ingat perkawanan kita itu.
Kang Sob, saya tetap akan panggil untuknya demikian, agar bisa tampak tetap akrab, seperti sediakala. Kang Sob memang kawan lawas, itu di sekitar pertengahan 90-an. Serius saya lupa kenal dengannya itu bermula di mana, dan bahkan lupa siapa yang mengenalkan. Bisa jadi Kang Sob pun saya rasa lupa berawal dari mana perkawanan kita itu dimulai, dan dari peristiwa apa. Jika Kang Sob pun lupa kita pernah berkawan, itu sih sah-sah saja. Wong sudah dulu kala perkawanan kita itu, lama sekali.
Tapi baiklah sedikit untuk mengingat-ingatkan pada Kang Sob, bahwa jika ia ditanggap di Surabaya, acap saya membersamainya. Ditanggap itu tentu bukan dalam pentas wayang orang. Ditanggap itu ia hadir memenuhi undangan sesuai kapasitas dirinya, yang orang menyebut ilmuwan LIPI, yang aktif menulis kolom. Dan dari kumpulan kolomnya, saya yang salah satu menerbitkannya menjadi sebuah buku. Saya ambil judul buku itu dari salah satu tulisannya, "Sasmita Tuhan". Judul buku lalu menjadi Sasmita Tuhan: kemenangan suara moral, Risalah Gusti (1997).
Saya ingat persis bukan dari terbitnya buku itu, saya berkawan dengannya. Tapi jauh sebelumnya. Beberapa kali bahkan Kang Sob tak segan-segan leyeh-leyeh di bilik kecil sederhana tempat tinggal saya, yang boleh disebut sekelas hotel melati, tapi dengan servis hati jembar penghuninya sekelas hotel bintang lima.
Sering juga ia muncul di kantor, yang kebetulan bilik kecil saya, itu disekat dengan kantor, lebih tepat kantor-kantoran. Kang Sob datang duduk di kantor dan memilih komputer yang sedang tidak dipakai. Ia enjoy menulis apa yang ingin ditulisnya. Biasanya artikel untuk media cetak yang biasa ia berlangganan rutin menulis di sana.
Kang Sob memang penuh canda, tapi itu juga pengamatan saya dulu kala. Dalam setiap tanggapan yang mengundangnya, sepertinya para mahasiswa dan aktivis asyik dengan candaannya yang memang menghibur. Bahkan boleh dikatakan, Kang Sob punya joke yang lebih lucu bahkan dari Srimulat. Benar-benar menghibur. Satu hal lagi yang boleh dilihat darinya, tampilannya amat sederhana. Boleh dibilang sederhana lahir batin, itu dulu. Sekarang pun tampilan dirinya tetap tampak sederhana, bahkan bisa disebut kucel. Soal kesederhanaan batinnya saat ini saya tidak tahu. Tidak bisa menilainya.
Saya teramat ingat dengan Kang Sob, bahkan hal sekecil-kecilnya. Bahkan pada ketidaksukaannya pada beberapa orang, yang kebetulan bergelut di dunia ilmu humaniora yang sama dengannya. Ia ceritakan ketidaksukaannya dengan detailnya. Terkadang sampai perlu menirukan gaya orang itu. Benar-benar teatrikal. Beberapa dari mereka yang tidak disukanya, itu pun saya mengenal dengan amat baik. Saya cuma dengarkan saja keluhan Kang Sob itu, dan tentu tidak saya teruskan pada kawan yang tidak disukainya tadi. Saya simpan dalam-dalam. Sedang kawan yang tidak disukainya itu tidak sekalipun pernah bicara tidak baik tentang Kang Sob. Memang terlihat aneh, dari beberapa kawan yang tidak disukainya, karena lagak dan tampilannya, itu sampai sekarang dengan saya masih berhubungan baik. Padahal hubungan saya dengan Kang Sob, itu jauh lebih dekat dari kawan yang tidak disukainya tadi. Itulah mungkin wolak-walike zaman.
Sampai pada saatnya hubungan dengan Kang Sob menjadi putus. Entah oleh sebab apa. Setelah Reformasi 98, euforia kebebasan seolah menemui puncaknya, termasuk dinamika politik kekuasaan yang begitu cepat berganti. BJ Habibie, Presiden RI ke-3, dibegal. Pertanggungjawabannya ditolak MPR-RI. Habibie memilih mundur sebagai ksatria. Penggantinya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diusung Poros Tengah, yang dimotori Fuad Bawazier (PAN). Di era Gus Dur inilah Kang Sobary diangkat sebagai Direktur LKBN Antara, menggantikan Parni Hadi.
Sejak itu rasanya hubungan kami, saya dan Kang Sob, berjarak. Sulit bisa menghubunginya. Bukan cuma saya, tapi banyak kawan mengalami hal yang sama. Tidak satu pun SMS saya yang dibalasnya, pikir saya Kang Sob memang tengah bekerja serius, tak ingin mengecewakan Sang Bos, Gus Dur. Pantas saja jika ia memilih tidak perlu sampai pecah konsentrasi dengan hal lainnya, termasuk dengan perkawanan kita.
Itulah sekelumit kisah perkawanan saya dengan Kang Sobary di masa lalu.
Tapi melihat Kang Sobary saat ini, terus terang miris, dan buat saya terkaget-kaget. Dan itu pada penyikapannya pada Anies Baswedan yang di luar kepatutan. Saya melihat bukan seperti Kang Sob, yang sebagaimana dulu saya kenal, yang rendah hati.
Suatu waktu seorang kawan mengirim video di mana Kang Sob bicara tentang Anies Baswedan dengan tidak ada baik-baiknya. Bahasanya kasar, dan penuh kebencian. Memangnya salah Anies itu apa ya, Kang Sob, kok sampai sebegitu jahat narasi yang sampeyan semburkan. Memang tidak pernah jelas kemarahan itu berdasar pada apa. Maka, yang muncul spekulasi menyebut, bahwa pendukung Ahok satu ini belum siuman. Belum move on dengan kekalahan jagoannya pada Pilkada DKI Jakarta (2017).
Ketidaksukaan pada seseorang, itu boleh-boleh saja. Tapi disampaikan dengan tidak dengan caci maki demikian. Lalu mengundat-undat, bahwa Anies itu dulu anak buahnya. Digambarkan dengan penggambaran sarkasme amat merendahkan. Memangnya murid atau anak buah itu tidak boleh mengungguli guru atau atasannya, iya Kang Sob. Itu sih masuk jealous dengan pencapaian Anies.
Narasi yang lebih kurang sama diulang lagi di podcast Refly Harun. Mengumbar nafsu amarah tentang Anies. Lagi-lagi tidak ada penjelasan yang valid bisa diberikan, mengapa mesti uring-uringan dengan Anies itu sampai sebegitu dahsyatnya. Gaya penyampaiannya pun serasa dibuat-buat. Bicara sampai perlu mulut seperti orang sedang mengunyah lalu memeras makanan yang ada di mulut dengan geraham giginya, sampai mulut tampak monyong. Tidak cukup di situ, mulut pun perlu ditekuk ke sana kemari, agar suara yang keluar menampakkan kemarahan yang sangat.
Hari ini seorang kawan di grup perkawanan WhatsApp mengirim lagi sumpah serapah Kang Sob pada Anies. Katanya, Anies itu haus kekuasaan. Intinya, Anies jangankan didukung kelompok radikal--mengindikasikan buzzer yang sitik-sitik radikal-radikul, intoleran, politik identitas, dan seterusnya--didukung jin iprit pun Anies terima. Dan, masih juga kebiasaan mengundat-undat, bahwa Anies itu mantan bawahannya. Tentu dengan yang begini-begini ini Kang Sob, Anies pastilah cuek bebek. Anies sepertinya membiarkan saja. Dan, umpatan sampeyan itu memang tak pantas direspons.
Karenanya Kang Sob, janganlah terus-terusan menjegal Anies dengan umpatan tidak selayaknya. Bisa dipastikan takkan mampu mengecilkannya. Bahkan elektabilitas Anies makin membumbung tinggi, dan jenengan di hadapan publik akan terlihat kedodoran dan naif. Hidup kita ini, Kang Sob, bukan makin jauh dari kematian, tapi makin dekat. Karenanya, mengunduh kebaikan itu mestinya yang jadi konsen kita. Maka, sudahi sajalah Kang Sob, ojo diterus-teruske. Jujur saya ingin sampeyan tetap sehat. Sehat raga lan pikiran. Mari sisa hidup ini kita isi dengan kehidupan penuh berkah.
Saya ingin menutup tulisan pada kawan lama saya, Kang Sobary, dengan menyitir dua paragraf dari bawah, artikel yang ditulisnya di Kompas, (27 Oktober 1996), "Sasmita Tuhan". Saya pastikan sampeyan lupa pada narasi yang pernah ditulis, "jangan menjegal, kalau tak ingin terjegal". Dengan mengingatnya, semoga njenengan bisa lebih bijak bersikap pada orang yang tidak disuka sekalipun.
Betapa bahagia mereka yang tanggap terhadap sasmita Tuhan. Ketika dalam politik kita menjegal pihak lain, mungkin cucu kita pun menjegal teman sebayanya di halaman.
Apa ini artinya? Artinya, mungkin, Tuhan bersabda, "Silakan jegallah orang lain bila engkau pun ingin suatu saat terjegal-jegal." (*)