Ini Saatnya Konsolidasi Kekuatan Tokoh Nasional
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih
KONDISI obyektif Indonesia saat ini sudah mengarahkan orang harus memilih: pro status quo atau pro perubahan. Kondisi obyektif sudah tidak ada lagi jalan tengah, negosiasi atau kompromi.
Akibat telah hilangnya kedaulatan rakyat dan negara. Kedaulatan rakyat habis tak tersisa diserobot menjadi kedaulatan oligarki. Presiden, lembaga perwakilan rakyat, lembaga negara dan partai politik sudah menjadi lame duck.
Negara Indonesia itu saat ini sudah tidak ada atau tidak hadir, karena negara, rezim dan presiden saat ini hanya boneka kapitalis ( Emha Ainun Najib ). Elite penguasa telah memurtadkan bangsa ini dari Pancasila. (Prof. Kaelan).
Negara Indonesia sekarang ini dikuasai oleh oligarki dan oligarki juga telah menguasai Jokowi (Prof. Salim Said). Demokrasi dan oligarki yang tidak terkendali mengarah ke tirani. (Aristotelles).
Industri hukum diproduksi sendiri oleh DPR, Presiden, MK yang berpotensi menjadi mafia hukum ( Prof. Suteki ). John Locke: Where-ever law ends, tyranny begins. Ketika hukum berakhir (mati), tirani mulai (berkembang).
Terjadilah perpaduan I am the law: Saya adalah tiran dan l’etat, c’est moi: negara adalah saya*. Telah bermetamorfosa menjadi otoritarian dan berwajah Tirani.
Segala kebijakan, tindakan dan perilaku penyelenggara negara bukan lagi berbasis nilai (konstitusi, hukum, norma-etika) melainkan mengikuti apa kemauan penguasa dan oligarki.
Pada titik habituasi rakyat mengatakan sistem dan bentuk pemerintahan menjadi tidak penting asal masih ada keadilan, kejujuran dan kebijakan (just - fair - wise) untuk rakyat.
Lebih baik negara kembali ke sistem kerajaan dari pada system pemerintahan demokrasi yang sudah dikorupsi dan direkayasa (corrupted democracy), oleh kekuasaan saat ini. Bentuk negara Pancasila sudah di buldoser menjadi kapitalis.
Pikiran di atas bukan lagi sebatas asumsi atau hipotesis melainkan sudah menjadi tesis yang sulit untuk di bantah. Penilaian sudah final menyatakan bahwa eksistensi Indonesia sudah bukan lagi sebagai negara berdaulat atau merdeka.
Sudah menjadi kebenaran bahwa Indonesia terkooptasi atau terjajah oleh Neo kolonialisme baru sebagai representasi kepentingan asing dengan menggunakan rejim sebagai proxy imperialisme.
Kondisi obyektif Indonesia sebagaimana dinyatakan di atas itulah mau tak mau memaksa kita harus memilih dan atau menentukan pro status quo (terjajah) atau pro perubahan (merdeka).
Keadaan tidak perlu lagi memerlukan diskusi berhari hari tentang kondisi saat ini ketika Indonesia telah terkapar sekarat, membutuhkan pertolongan darurat tidak dengan cara normal tetapi perlu cara cara lintas normal.
Pilihannya pro perubahan harus bergerak cepat berjuang bersama untuk menolong Indonesia dalam kondisi sekarat atau serangan status quo yang dengan paksa akan membunuh Indonesia.
Penyelamatan kondisi obyektif Indonesia yang sedang sekarat peluangnya teramat sangat sempit, alokasi waktu yang tersedia bukan hitungan tahun melainkan bulan.
Ketika terlambat melangkah maka mau tak mau harus rela menerima kemenangan oligarki atas Indonesia, meratapi kekalahan perjuangan pembebasan Indonesia. Kita beserta anak-cucu-cicit terpaksa haru rela terjajah entah sampai kapan.
Batasan alokasi waktu yang tersedia untuk kita hanya sampai pada saat: (1) diumumkannya kepastian pelaksanaan pemilu 2024; atau (2) diterbitkannya Perppu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Rentang waktu yang tersedia bagi pergerakan perubahan (revolusi) tak mungkin melompat ke semester kedua tahun 2023. Dalam rentang sebelum batas waktu tersebut rejim dalam kondisi relatif lemah dan lengah terhadap potensi-potensi perlawanan dari luar.
Ketika salah satu dari dua opsi skenario tersebut ditetapkan dan diumumkan, artinya kekuatan rejim sudah dalam kondisi solid.
Itulah alasan mengapa peluang pergerakan perubahan relatif teramat sempit. Karena hanya tersedia selama rejim masih gonjang-ganjing di dalam oleh karena perang tawar-menawar kepentingan.
Walau sebatas selebar lobang jarum tetaplah peluang. Pertanyaannya mampukah pergerakan perubahan menerobos lobang jarum tersebut?
Di alokasi ruang waktu yang sempit dan mendesak inilah waktu atau momentum tokoh nasional secepatnya melakukan konsolidasi guna terhimpun sebuah kekuatan besar hingga mampu melakukan gerakan perubahan besar dan mendasar untuk menyelamatkan Indonesia.
Maka jika benar-benar menghendaki perubahan, tak ada lagi pilihan selain penggantian Presiden secara ekstra konstitusional Dengan kekuatan people power atau Revolusi sebagai pintu perombakan rejim. Untuk tujuan itu perihal Pemilu 2024 atau bahkan perpanjangan masa jabatan Presiden harus dihapus dari alam pikiran kita. Tidak ada Pemilu 2024, yang ada adalah REVOLUSI. (*)