OPINI
Tiga Potensi Auctor Intelectualis Kasus KM 50
Adakah operasi ini sepengetahuan atau dengan persetujuan Presiden? Jika iya, maka Presiden pun harus diseret ke muka persidangan. Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SEDIKIT demi sedikit kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI terkuak. Terakhir ditemukan mobil yang ditumpangi oleh 6 anggota Laskar FPI yang selama ini ditutup-tutupi oleh pihak Kepolisian. Konon dijadikan barang bukti. Sejak awal memang terasa sarat perekayasaan. Kasus Km 50 menjadi hutang rezim Presiden Joko Widodo yang akan terus ditagih. Tindakan brutal dengan rekayasa vulgar. Termasuk auctor intellectualis yang menjadi penentu pembunuhan atau pembantaian ini. Merujuk pada Buku Putih yang diterbitkan oleh TP3, ada tiga personal yang diduga berpeluang terbuka menjadi aktor tersebut. Dapat salah satu atau bersama-sama. Pertama, Irjen Fadil Imran. Ini berdasarkan pada keterlibatan banyak anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya. Termasuk Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella yang menjadi terdakwa. Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran bersama Brigjen Hendra Kurniawan (Karo Paminal Divisi Propam) dan Mayjen Dudung Abdurrahman (saat itu Pangdam Jaya) memimpin Konferensi Pers pada hari kejadian 7 Desember 2020. Kedua, Irjen Ferdy Sambo mantan Kadiv Propam dan Kepala Satgassus yang jelas telah melibatkan anak buahnya dalam operasi pembuntutan dan pembunuhan 6 anggota Laskar FPI. Sekurangnya 30 anggota Propam yang sebagiannya merangkap Satgassus ikut di lapangan. Pola perekayasaan Ferdy Sambo di kasus Duren tiga relatif sama dengan rekayasa kasus Km 50. Kebohongan dalam kualifikasi obstruction of justice. Ketiga, Jenderal Purnawirawan Budi Gunawan, Kepala BIN, yang telah melibatkan anggota BIN sejak di Mega Mendung melalui \"operasi delima\" yang terbongkar oleh anggota Laskar FPI. Anggota BIN pula yang terlibat kejar-kejaran di Interchange Karawang Barat yang menembak 2 anggota Laskar FPI. Komnas HAM menyebut ada instansi di luar Kepolisian yang terlibat dan itu tentunya adalah BIN. Jadi, Kepala BIN Budi Gunawan harus ikut bertanggungjawab atas peristiwa ekstra judicial killing tersebut. Ketiga aktor itulah yang semestinya dibawa ke Pengadilan HAM berdasar UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Diminta pertanggungjawaban dan dibuka berbagai komando dan perintah-perintahnya. Adakah operasi ini sepengetahuan atau dengan persetujuan Presiden? Jika iya, maka Presiden pun harus diseret ke muka persidangan. Pembantaian 6 anggota Laskar FPI adalah terstruktur dan sistematis karenanya merupakan pelanggaran HAM berat. Bukan pidana biasa. Sebagai pembunuhan politik dengan target HRS, maka selayaknya proses peradilan tidak terhenti pada pelaku di lapangan semata, melainkan harus menyeret auctor intellectualis nya. Kebenaran dan keadilan harus ditegakan baik saat Jokowi berkuasa ataupun tidak dan seluruh pembuat kejahatan harus bertanggungjawab. Apakah ia sebagai pelaku, penyerta, maupun penyuruh. Bandung, 26 Nopember 2022. (*)
Hanya People Power Atau Revolusi yang Bisa Amputasi Kejahatan Oligarki
Saat inilah kita berkonsolidasi dan bergerak: It\'s now or never .. Tomorrow will be to late – sekarang atau tidak pernah – besok atau semua terlambat (Prof. Amin Rais). Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih REZIM yang di-back up Oligarki di belakangnya mustahil dengan sukarela menyerahkan kekuasaan – dengan mempertaruhkan hidup dan mati atas kekuasaan yang sudah ada dalan genggamannya. Kekuatan mereka total sudah dalam kendali kekuatan oligarki. Rekayasa politiknya sampai ingin memperpanjang masa jabatan Presiden karena merasa presiden sudah bersenyawa dengan oligarki. Masyarakat para tokoh perubahan sampai geram dan bertekad hegemoni oligarki harus diputus dan dihentikan dengan langkah keras dan radikal. Langkah keras harus diambil karena mengganti atau mengubah rejim saat ini mustahil bisa dilakukan dengan langkah normatif atau konstitusional, tersisa hanya ada satu pilihan dengan langkah ekstra konstitusional, people power atau Revolusi. Bau busuk rekaya mereka yang tidak peduli dengan pelanggaran hukum nyata tercium oleh masyarakat. Maka rencana mengambil alih kekuasaan oligarki hanya bisa dilakukan dengan sikap dan tindakan revolusioner. Kesadaran dan cara berpikir revolusi adalah “tindakan paksa”, sesuai sikon realitas dan kondisi objektif yang memang mengharuskan tindakan keras dengan paksa. Kondisi objektif: - Para penguasa saat ini ingin terus berkuasa, sekalipun ada konstitusi yang membatasi kekuasaannya. Kodrat watak manusia yang berkuasa cenderung enggan bergeser dari zona nyaman. Sehingga, menggeser orang dari zona nyaman hanya bisa dilakukan dengan paksaan. - Indonesia telah terhempas dan jatuh ke titik nadir disebabkan oleh kekuasaan kepentingan oligarki imperialistik yang telah metamorfosis menjadi Neo Kolonialisme. - Sistem dan perilaku politik Indonesia lepas dari panduan konstitusi sesuai tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945. - Instrumen penyelenggara negara semua telah tenggelam dalam kendali remot Oligarki. - Lebih parah lagi, oligarki sudah mampu membuat UU dan atau apapun yang dikehendaki sesuai kepentingan ekonomi dan politiknya. - Indonesia dalan kondisi darurat kegelapan, karena bergerak tanpa arah bersamaan hampir semua Sumber Daya Alam dan jejaring penyelenggara negara sudah dalam kuasa suka suka. - Bebas melakukan apa saja karena sudah tidak ada GBHN dan MPR sudah lumpuh total, karena statusnya bukan lagi sebagai tertinggi negara. Mengatasi dan menghadapi rezim yang sudah kesurupan bahkan berubah menjadi tirani tidak boleh ada kompromi dan negosiasi. Bentuk dan langkah pergerakan Bung Karno pernah mengatakan, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. Perjuangan ini lebih sulit dan rumit karena lawan yang dihadapi tidak berada di luar melainkan berada di dalam tubuh kita sendiri. Rumitnya perjuangan bisa diibaratkan bertempur di dalam kegelapan, sulit mengenali siapa lawan siapa kawan. Rumit dan gelapnya medan pertempuran hanya dapat diantisipasi dengan meningkatkan intuisi kepekaan yang tinggi untuk mengetahui mana kawan mana lawan. Gerakan harus bisa menyibak mana kawan lawan, penghianat, pecundang dan penjilat. Semua harus terpetakan dan harus dibabat habis tidak boleh ada kompromi dan negosiasi yang hanya akan membahayakan perjuangan negara kembali ke UUD 1945 asli. Sebuah gerakan kekuatan people power atau revolusi harus ada figur pemimpin yang mampu menghimpun, menggerakkan, menuntun, mengarahkan segenap potensi perubahan dengan sebuah gerakan riil dan berani mengambil alih kekuasaan yang ugal-ugalan, hanya sebagai boneka Neo-kolonialisme Oligarki. Semua sosok potensi tokoh nasional terbaik harus terkonsolidasi diri hingga menjadi “kekuatan kolektif yang kuat memimpin”. Karena keadaan bersifat mendesak, maka segala sesuatunya dituntut revolusioner. Dalam gerakan harus ada ruang pemikiran, rencana taktis pergerakan, logistik dan pengendalian gerakan tetap pada jalur mengembalikan arah tujuan negara sesuai pembukaan UUD 1945. Potensi pemikir dan penggerak dan penentu arah harus dalam satu kolektif kekuatan sebagai pimpinan pergerakan. Pergerakan harus mencerminkan bahwa pemilik sah kedaulatan adalah rakyat. Mengingat ucapan Soekarno: “Oleh sebab itu, sebagai anak bangsa, kita harus mempunyai kesadaran bersama, bahwa, kerusakan negara (seperti sekarang) ini, tentu, tidak dikehendaki oleh para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Soepomo, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadi Kusumi, KH Wahid Hasym dan pahlawan-pahlawan yang telah berjuang untuk melahirkan negara Indonesia ...” Saat inilah kita berkonsolidasi dan bergerak: It\'s now or never .. Tomorrow will be to late – sekarang atau tidak pernah – besok atau semua terlambat (Prof. Amin Rais). Kegelapanp dan kebuntuan negara hanya bisa diatasi dengan people power atau Revolusi. (*)
Ada Lebih dari 31 Pintu Sogok, Suap, Peras, dan Korupsi di Kemendari yang Gagal Diselesaikan Hingga Hari Ini
“Saya Buka Cakrawala dan Tergantung Presiden Apakah Ingin Perbaiki Negara Ini Atau Dibiarkan” Oleh: Natalius Pigai, Mantan Tim Asistensi Dirjen Otda Kemendagri Prof Dr. Sudarsono & Prof Dr. Johermansyah Johan KEMENDAGRI adalah kementrian yang besar yang secara langsung dan tidak langsung memimpin jumlah ASN terbanyak. Dengan postur birokrasi terbesar tersebut berpotensi menjadi sumber amoralitas. Maka untuk mengurangi kejahatan moral dalam rangka membangun dalam pemerintahan yang bersih dan berwibawa, saya perlu sampaikan berdasarkan pengamatan dan analisa di Kementerian Dalam Negeri terdapat tidak kurang dari 31 pintu masuk suap, sogok, peras dan korupsi. Potensi suap di instansi Kementerian Dalam Negeri telah berlangsung lama. Saya tidak menuduh individu akan tetapi dengan tujuan dan beritikat baik untuk menunjukkan indikasi, pintu, kran-kran kejahatan agar Kemendagri memperbaiki diri serta aparat penegak hukum dengan mudah melakukan intaian untuk menghentikan indikasi kejahatan moral sistemik ini. Sesungguhnya Presiden Joko Widodo sebagai mantan Walikota dan Gubernur paham betul, namun kita heran kenapa beliau tidak bisa menghentikan sebagai wujud nyata revolusi mental? Berikut saya sampaikan lebih dari 31 titik-titik suap, sogok, peras dan korupsi dì Kemendagri: 1. Pembuatan SK Kepala Daerah (Direktorat Pejabat Negara)/Biro Hukum. (Suap) 2. Penunjukan Penjabat Bupati, Walikota dan Gubernur. Gubernur kirimkan 3 nama selanjutnya Kemendagri memilih 1 nama. Saat itu ada lobby dan sejumlah sogokan oleh para calon yang diusul. Tempat suap di Direktorat Pejabat Negara, Dirjen Otda, Sekjen, bahkan Menteri). 3. Penjabat Gubernur, Walikota/Bupati yang mau diperpanjang setelah 1 tahun juga mesti suap. 4. saat kepala daerah yang sedang menghadapi kasus agar terhindar dari sanksi administrasi atau pemberhentian. (Suap) 5. Pemekaran Wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota di Direktorat Pemerintahan Umum dan Pimpinan Kementerian. (Suap) 6. Pembuatan Peta Wilayah bakal Daerah Otonom Baru (DOB). 7. Penambahan jumlah penduduk suatu wilayah supaya tidak diverifikasi faktual oleh Kemendagri (Suap/Peras). 8. Jual-beli KTP elektronik untuk kepentingan calon verifikasi partai, calon legislatif khususnya DPD serta Kepala Daerah Independen. 9. Penambahan dan pengurangan DAU untuk Daerah (Suap). 10. Filterisasi suatu Perda dan Perdasi. Penyuapan dilakukan agar terhindar dari pengurangan dan atau penghapusan pasal-pasal tertentu. 11. Penyuapan untuk Perda tertentu agar Kemendagri tidak menolak atau meniadakan. 12. Verifikasi Perdasus baik Aceh, DKI, DIY & Papua di Kemendagri (Suap). 13. Pengurusan batas wilayah antar Kabupaten nominalnya tergantung batas wilayah tersebut memiliki Sumber Daya Alam (Suap). 14. Kolusi persetujuan dan atau pembuatan peta wilayah (Map), pembuatan peta wilayah bisa dilakukan oleh Rekanan Direktorat di Kemdagri atau daerah yang bersangkutan. 15. Pengurusan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam yang nilainya tergantung jumlah besaran DBH yang disediakan oleh perusahaan. Makin besar dbh seperti dari sebuah Multi National Company (MNC) mencapai 1 triliun rupiah maka masing-masing kabupaten yang menerima DBH akan setor ke Kemendagri dengan nilai miliaran (Suap). 16. Pembuatan Peta (Map) areal operasi perusahaan yang melibatkan lebih dari 1 kabupatan (Suap). 17. Pengurusan Dana Alokasi Umum (DAU). (Suap) 18. Proses seleksi Sekda Provinsi, Kab/Kota jika seleksi dilakukan oleh Kemendagri maka bisa jual-beli katrol nilai. (Suap). 19. Lobby Dana Alokasi Khusus (DAK) di Kemendagri untuk pembangunan kantor Pemda dan rumah pejabat pemda. Suapnya ada 2 jenis, yakni agar daerah terima DAK dan suap agar nominal DAK-nya dinaikkan. Daerah suap ke Kemendagri dan Komisi 2 DPR RI. 20. Biaya Desentralisasi fiskal ke daerah. (Suap). 21. Biaya pemotongan atau penarikan desentralisasi fiskal saat negara menarik kembali untuk kepentingan krusial misalnya negara mengalami defisit keuangan. (Suap) 22. Penilaian kinerja Pemda yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Suap). 23. Biaya jahit seragam Kepala Daerah saat pelantikan. Kemendagri punya rekanan penjahit beberapa penjahit di Jakarta. Saat ukur pakaian akan diantar oleh Staf Direktirat PN bersama Kepala Daerah yang bersangkutan. APBN sudah disediakan namun biasanya juga dibebankan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota Terpilih. (Peras) 24. Masuk Pendidikan dan Pelatihan di lingkungan Kemendagri (Sogok) 25. Pengurusan SK PAW Anggota Legislatif. Prosesnya seakan akan dibuat berbelit-belit sampai pada terima sejumlah uang. (Sogok) 26. Dana Pemulihan Ekonomi Daerah (PEN). (Suap) 27. Masuk STPDN/IPDN. Penentuan jatah atau quota serta kelulusan tes masuk. (Suap) 28. Kunjungan kerja pejabat Kemendagri ke Daerah difasilitasi soal akomodasi, hotel, transportasi, dan sangu. 29. Pejabat Kemendagri suvervisi ke Daerah (Sogok). 30. Hubungan Legislasi dengan Komisi 2 DPR RI terkait Anggaran dan Regulasi. (Kolusi) 31. Pembangunan fisik kantor Kemendagri, termasuk badan-badan dan STPDN (Korupsi). 32. Biaya paraf draft sebuah surat atau surat keputusan dari staf pembuat draft sampai Kepala Penanggung Jawab. (Suap) 33. Pemeriksaan fisik oleh Inspektorat sebuah proyek APBN Satuan Tugas Kemendagri Baik di Pusat maupun Daerah. (Sogok, Peras, dan Suap) 34. Pemekaran Desa saat kodifikasi wilayah sampai persetujuan. (Sogok) 35. Dll. (*)
Sistim Negara dengan Dasar Pancasila Adalah Sistem Kekeluargaan
Sudah kita rasakan ketersesatan negara ini bisa kita rasakan bagaimana mungkin 0,1% penduduk minoritas menguasai Ekonomi 80% dan 0,01% menguasai lahan 72%, ini jelas bertentangan dengan negara Pancasila. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila AMANDEMEN UUD 1945 tidak hanya menganti pasal-pasal UUD 1945 dengan diamandemen dan diubah 300 persen bukan hanya aliran pemikiran Pancasila tetapi negara kekeluargaan yang sudah menjadi kesepakatan diganti dengan sistem individualisme, maka kekuasaan bukan lagi dimusyawarahkan, justru menjadi rebutan dengan model pertarungan kalah-menang, banyak-banyakan suara, kuat-kuatan dengan model demokrasi Liberal. Bagaimana mungkin Indonesia mewujudkan “Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia” kalau UUD hasil amandemen dasarnya perseorangan Liberalisme Kapitalisme akibat semakin tidak dipahami apa itu Pembukaan UUD 1945 dan apa itu Pancasila! .....”Berdasarkan kepada ide-ide yang dikeemukakan oleh berbagai anggota dalam kedua sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) itu tersusunlah Pembukaan UUD 1945, di mana tertera lima azas Kehidupan Bangsa Indonesia yang terkenal sebagai Pancasila bangsa dan bernegara. Pembukaan UUD 1945 itu adalah pokok pangkal dari perumusan pasal-pasal berturut-turut dalam 16 (enam belas) Bab, 37 pasal saja ditambah dengan Aturan Peralihan, terdiri dari 4 (empat) pasal dan Aturan Tambahan, berhubung dengan masih berkecamuknya Perang Pasifik atau pada waktu itu disebut Perang Asia Timur Raya. Karena telah tercapai mufakat bahwa UUD 1945 didasarkan atas sistim kekeluargaan maka segala pasal-pasal itu diselaraskan dengan sistim itu. Negara Indonesia bersifat kekeluargaan, tidak saja hidup kekeluargaan ke dalam, akan tetapi juga keluar, sehingga politik luar Negeri Indonesia harus ditujukan kepada melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan segala bangsa, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi segala bangsa. Tugas Pemerintahan ke dalam negeri, berdasarkan Pancasila yang menjadi Ideologi Negara ialah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikma kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Kelima asas itu menjadi dasar dan tujuan pembangunan negara dan manusia Indonesia. Telah diutarakan di atas bahwa pada umumnya manusia Indonesia telah memiliki sifat-sifat yang melekat pada dirinya sebagai ciptaan kebudayaan dan peradaban Indonesia dalam perkembangannya sejak dahulu kala sampai sekarang. Maka tugas Pemerintah ialah terutama mengawasi agar ideologi Negara dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh seluruh Bangsa Indonesia. Karena Pancasila adalah Lima Asas yang merupakan ideologi negara, maka kelima sila itu merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan antara lima asas itu erat sekali, kait-mengkait, berangkaian tidak berdiri sendiri. Setiap warganegara Indonesia yang sadar akan ideologi negara harus dengan aktif mengambil bagian dan ikut serta dalam pembangunan susunan negaranya dan janganlah pembangunan itu melulu manjadi urusan Pemerintah belaka, yang terjadi jauh dari minat para warganegara.....” (Cuplikan dari Panitya Lima Hatta) Negara ini didirikan bukan atas dasar perseorangan, oleh sebab itu memasukan perseorangan di dalam UUD Amandemen adalah pengkhianatan sebab negara ini dasar nya semua buat semua. .....”Kebudayaan Indonesia itu ialah perkembangan aliran pikiran, yang bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia bathin. Manusia Indonesia dihinggapi oleh persatuan hidup dengan seluruh alam semesta, ciptaan Tuhan Yang Maha-Esa, di mana ia menjadi makhluk-Nya pula. Semangat kebathinan, struktur kerokhaniannya bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan antara dunia luar dan dunia bathin, segala-galanya ditujukan kepada keseimbangan lahir dan bathin itu, dia hidup dalam ketenangan dan ketentraman, hidup harmonis dengan sesama manusia dan golongan-golongan lain dari masyarakat, karena sebagai seseorang ia tidak terpisah dari orang lain atau dari dunia luar, dari segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut paut, berpengaruh-mempengaruhi. Masyarakat dan tatanegara Indonesia asli, oleh karenanya kompak, bersatu padu, hormat-menghormati, harga-menghargai, dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu kolektivitas, dalam suasana persatuan. Sifat ketatanegaraan asli itu masih dapat terlihat dalam suasana desa, baik di Jawa, maupun di Sumatera dan kepulauan-kepulauan lain. Rakyat desa hidup dalam persatuan dengan pemimpin-pemimpinnya, antara golongan-golongan rakyat satu sama lain, segala golongan diliputi oleh semangat gotong-royong, semangat kekeluargaan. Kepala desa atau kepala rakyat berwajib menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat dan harus senantiasa memberi bentuk kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu, kepala rakyat yang memegang adat, senantiasa memper-hatikan segala gerak gerik dalam masyarakatnya dan untuk maksud itu senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya, agar supaya pertalian bathin antara pemimpin dan rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara. Para pejabat negara, menurut pandangan tatanegara asli, ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat dan para pejabat negara berwajib memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam masyarakatnya. Jadi menurut pandangan ini negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral, ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada suatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan se-seorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamat-an hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.....” Pandangan ini mengenai susunan masyarakat dan negara berdasar ide persatuan hidup dan pernah diajarkan oleh Spinoza, Adam Müler, Hegel dan lain-lain di dunia barat dalam abad 18 dan 19 yang dikenal sebagai teori integralistik. Berdasarkan kepada ide-ide yang dikemukakan oleh berbagai anggota dalam kedua sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu tersusunlah Pembukaan UUD 1945, di mana tertera lima azas Kehidupan Bangsa Indonesia yang terkenal sebagai Pancasila.....” (Kutipan Panitya 5 Hatta) Sudah kita rasakan ketersesatan negara ini bisa kita rasakan bagaimana mungkin 0,1% penduduk minoritas menguasai Ekonomi 80% dan 0,01% menguasai lahan 72%, ini jelas bertentangan dengan negara Pancasila. Apakah kita sebagai bangsa akan membiarkan keadaan seperti ini? Ayo berjuang terus kembali pada tatanan Negara Berdasar Pancasila dan UUD 1945. (*)
La Nyala Harus Menyelami Dulu Dialektika dan Dinamika Politik Jelang Dekrit 5 Juli 1959
Lha sekarang, cobalah serap dialektika dan dinamika yang berkembang antara 1952-1959 itu. Paralelkah atau malah kebalikannya dengan dialektika dan dinamika sekarang? Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI) LA Nyalla mendesak Presiden Joko Widodo keluarkan Dekrit Presiden ala Sukarno pada 5 Juli 1959? Sebaiknya La Nyalla sebagai politisi menghayati Romantika, Dialektika, dan Dinamika. Yang orang kerap lupa, atau pura-pura nggak tahu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu pematangan proses dan uji materinya sudah dilakukan Bung Karno sejak 1956. Jadi ibarat mau minum kopi, Bung Karno nggak ujug-ujug minta kopi ditaruh di meja, lantas srupuut. Hmm sedaap. Tidak seperti itu. Beliau sejak 1956 mulai mewacanakan sebuah isu strategis: apakah demokrasi sebagai sarana kedaulatan rakyat yang berbasis multi partai sejak diberlakukan Bung Hatta pada November 1945 itu efektif buat penyalur aspirasi rakyat? Selain itu, apakah pemerintahan koalisi yang jatuh bangun silih berganti bisa bertahan paling lama 6 bulan itu, apa ya punya waktu buat mikirin maunya rakyat. Itupun Bung Karno eksperimen dulu untuk menguji dialektika dan dinamika politiknya. Dengan momentum jatuhnya kabinet Ali Sastroamijoyo II, Sukarno membentuk Perdana Menteri hasil konsensus partai-partai dan dewan nasional yang baru terbentuk untuk mengimbangi parpol-parpol di DPR sehingga masukan parpol setara dengan masukan para anggota dewan nasional. Kalau jeli, Dewan Nasional ini pengondisian Sukarno terhadap skema MPR berdasarkan UUD 1945 asli. Setelah itu tampillah Ir. Juanda sebagai Perdana Menteri yang bukan hasil politik dagang sapi. Yang mana seterusnya eksperimen Sukarno berlanjut berupa sistem tiga Waperdam yang mana Sukarno pelan-pelan mengondisikan spirit UUD asli yaitu Kepala Negara plus Kepala Pemerintahan menyatu kembali sebagaimana skema UUD 1945 asli. Dalam konfigurasi pada 1956 itu, tiba-tiba meletus pergolakan daerah yang dipicu para Kolonel yang nggak puas yang berkelindan dengan para politisi DPR yang tidak puas dengan skema pemerintahan Juanda yang tidak lagi sejalan dengan politik dagang sapi ala parlementer murni. Yang mana kulminasinya kemudian meletus PRRI Permesta pada 1958. Namun akar pergolakan daerah itu bermula sejak 1956, ketika Zulkifli Lubis dengan dukungan beberapa perwira Siliwangi mencoba bikin makar terhadap Jenderal AH Nasution selaku KSAD. Tapi petualangan Zulkifli Lubis berhasil dipatahkan lewat kontra intelijennya Pak Nas, pimpinan Mayjen Achmad Sukendro. Seluruh rangkaian kombinasi ketidakpuasan oposisi dari PSI dan Masyumi dan kumulasi ketidakpuasan para kolonel daerah termasuk Zulkifli Lubis yang setelah gagal lantas kabur ke Padang, maka Bung Karno berkesimpulan semua itu adalah gerakan Kontra Revolusioner yang terencana dan terorganisir. Jangan lupa juga. Pada 1952, atas desakan para eksponen Proklamasi, pemerintah dan DPR didesak untuk kembali ke negara kesatuan versi Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan upaya berhasil lewat mosi integral Natsir. Dengan demikian, ini satu langkah lagi menuju pembatalan isi perjanjian Konferensi Meja Bundar Desember 1949 yang amat merugikan Indonesia. Dengan berhasil mengubah kembali RIS menjadi NKRI, maka hal ini menjadi alas untuk melangkah ke tahap kedua, dan ini terjadi pada 1956. Indonesia secara sepihak membatalkan KMB. Sehingga selain kita tak lagi harus terikat pada isi perjanjian KMB yang merugikan Indonesia, RIS sudah beralih kembali ke negara kesatuan menurut skema 17 Agustus 1945. Nah, di sinilah tahun 1956 jadi krusial. Sebab seiring kembalinya kita ke negara kesatuan dan pembatalan KMB, polarisasi nasional yang terbentuk kemudian adalah antara yang ingin tetap mempertahankan skema RIS yang dipayungi oleh skema uni Indonesia-Belanda sesuai skema KMB yang juga dapat dukungan Amerika dan Eropa barat vs para eksponen proklamasi 17 Agustus 1945. Di sinilah kembalinya UUD 1945 asli merupakan respons revolusioner bukan saja karena mau-maunya Sukarno sendiri, tapi desakan seluruh eksponen proklamasi 17 agustus 1945 yang berhaluan nasionalis dan republikan. Jadi kalau menelisik kejadian antara 1952 hingga 1956, yang berkulminasi pada meletusnya PRRI Permesta 1958, maka keluarnya Dekrit Presiden 1959 adalah langkah strategis dan revolusioner untuk membendung rongrongan anasir-anasir kontra revolusioner. Inilah yang saya sebut kemarin. Mau ngopi kok nggak perhatian mengenai biji-biji kopi apa yang diramu buat suguhan kopi. Saya kira itulah suasana kebatinan LaNyala ketia dia mendesak presiden mengeluarkan dekrit. Pengen ngopi tapi nggak mau kerja keras memetik dan meracik biji kopi seperti Sukarno sebelum mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Lha sekarang, cobalah serap dialektika dan dinamika yang berkembang antara 1952-1959 itu. Paralelkah atau malah kebalikannya dengan dialektika dan dinamika sekarang? Cara pandang melihat sesuatu terkondisi oleh siapa diri yang bersangkutan. Sukarno, memutuskan kembali ke UUD 1945 asli, sejatinya merupakan tindakan revolusioner merespons rongrongan orang-orang yang kontra revolusioner mengingat dialetika dan dinamika yang berkembang saat itu. Kalau sekarang Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 asli, maka UUD 1945 asli sebagai maha karya para bapak bangsa, akan jadi alat yang bersifat kontra revolusioner. Karena UUD 1945 asli yang sejatinya bersifat strategis, diturunkan derajatnya menjadi bersifst taktis. (*)
Menyikapi Musibah
Mari hentikan mengumbar kesalahan orang, apalagi dalam situasi kesulitan dan kesedihan. Jangan mengumbar paradoks. Merasa beragama tapi berhati dan berkarakter kasar. Oleh: Ali Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation ADA satu kebiasaan yang barangkali kurang, bahkan tidak pantas, dari sebagian orang di saat terjadi sebuah musibah di sebuah tempat. Kebiasaan itu adalah mengumbar atau mengekspos kesalahan-kesalahan (walau itu benar adanya) dari orang-orang yang tertimpa musbah. Musibah gempa bumi yang memporak-porandakan Cianjur misalnya saat ini banyak dikaitkan dengan berbagai (apa yang dianggap) kesalahan dan dosa-dosa penduduk setempat. Ada dua kemungkinan yang terjadi di sini. Pertama, apa yang disebut-disebut itu memang benar. Kedua, apa yang disebut-sebut itu tidak benar atau minimal tidak semuanya benar. Mana pun dari dua kemungkinan itu, benar atau tidak, menyebar-luaskan kesalahan dan dosa-dosa orang lain adalah kesalahan itu sendiri. Apalagi ketika orang-orang itu sedang berada dalam situasi yang sulit dan menyedihkan. Menyikapi musibah dengan cara mengumbar kesalahan orang-orang yang sedang kesulitan menggambarkan karakter yang tidak berakhlak. Karakter yang demikian itu paradoksikal dengan ajaran Islam dan ketauladanan baginda Rasulullah SAW. Bahkan tanpa disadari bisa menjadi sebuah kezholiman kepada mereka yang sedang berduka. Yang seharusnya disadari adalah bahwa Islam adalah agama “rahmah”. Agama yang mengedepankan hati nurani yang penuh kasih sayang. Anggaplah memang benar bahwa di daerah itu banyak dosa dan kesalahan. Secara akhlak Islam menyikapinya bukan dengan mengumbar dosa dan kesalahan itu. Justeru sebaliknya menghadirkan solusi. Dan harusnya disadari bahwa “sitrul Muslim” (menutup aib sesama Muslim yang dianggap pendosa itu adalah bagian dari akhlak mulia. Allah SWT sendiri menyikapi para pendosa dengan kasih sayang: “katakan (wahai Muhammad), wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas, jangan putus asa dari kasih sayang Allah. Sungguh Allah mengampuni semua dosa. Sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Karenanya menyikapi kesalahan dan dosa mereka yang bersalah dan berdosa bukan dengan menyebarkan. Tapi sekali lagi justeru disikapi dengan kasih sayang dalam bentuk mengajak kembali ke jalan Allah seraya menutupi kesalahan-kesalahan itu. Kebiasaan mengumbar kesalahan orang lain justeru boleh jadi cara Allah menampakkan Karakter sebagian orang. Bahwa jeli melihat kesalahan orang kemungkinan justeru bentuk dari kegagalan melihat kesalahan dan dosa diri sendiri. Orang yang gagal melihat kesalahan dan dosa-dosanya akan merasa suci dan cenderung melihat kesalahan dan dosa orang lain. Lebih jauh kebiasaan yang demikian ini merupakan indikasi arogansi keagamaan. Perasaan lebih dalam beragama jelas dilarang oleh agama Islam: “Laa tuzakkuu anfusakum” (jangan sucikan dirimu sendiri). Justeru ketika ada kesalahan dan dosa yang terjadi di manapun harusnya menjadikan kita merasa bersalah. Jangan-jangan hal itu terjadi karena kelengahan dan hilangnya tanggung Dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar dari Umat ini. Tapi yang lebih penting lagi harusnya di saat-saat musibah menimpa Saudara-Saudara kita bukan ditumpuki dengan beban tuduhan dosa dan kesalahan. Justeru yang harus dibangun adalah rasa simpati dan empati, feelings their feelings (ikut merasakan luka dan duka yang mereka rasakan). Dan yang terpenting jika memang kesalahan dan dosa itu adalah realita (benar adanya) maka Islam selalu hadir sebagai solusi. Sikap Islam yang bijak adalah mengajak dan mendoakan semoga melalui ujian musibah itu mereka kembali mendapatkan hidayah dan kembali ke jalan yang lurus. Mari hentikan mengumbar kesalahan orang, apalagi dalam situasi kesulitan dan kesedihan. Jangan mengumbar paradoks. Merasa beragama tapi berhati dan berkarakter kasar. Doakan Saudara-Saudara kita di Cianjur. Semoga Allah menguatkan dan memudahkan untuk mereka. Tidak saja dalam menghadapi masa-masa sulit ini. Tapi juga dalam upaya menangkap hikmah-hikmah dari musibah yang menimpa mereka. Amin! Ci-Batam, 25 Nopember 2022. (*)
Inikah Mafia Hukum: “Mencopot” Hakim MK Seperti Cara Me-recall Anggota DPR?
Apakah perlu Revolusi? Apakah perlu People Power? Dengan jalan apa kita memperbaiki kerusakan akut negeri ini? Anda punya solusi? Katanya kita punya Pancasila, bukan? Sanggupkah Pancasila menjadi solusi? Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo PRESIDEN Jokowi telah melantik Guntur Hamzah menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 23 Nopember 2022 di Istana Negara, Jakarta Pusat. Pelantikan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 114 P Tahun 2022 Tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi yang diajukan DPR yang ditetapkan 3 November 2022. Guntur menggantikan Hakim MK Aswanto yang sebelumnya diberhentikan oleh DPR RI. Sebagaimana diketahui, pada tanggal 29 September 2022 Rapat Paripurna DPR RI menyetujui untuk tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto sebagai Hakim MK yang berasal dari usulan DPR. Sebagai pengganti, DPR menunjuk Sekjen MK Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi yang berasal dari usulan DPR. Coba kita bayangkan pertanyaan yang mengemuka dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad sebagai pemimpin Rapat Paripurna DPR, Kamis (29/9/2022). “Sekarang perkenankan kami menanyakan pada sidang dewan sidang terhormat, apakah persetujuan untuk tidak akan memperpanjang masa jabatan Hakim Konstitusi yang berasal dari usulan DPR atas nama Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi yang berasal dari DPR tersebut, apakah dapat disetujui?” Lalu apa alasannya DPR “mencopot” Aswanto yang seharusnya masih bisa menjabat hingga tahun 2029? Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengungkapkan alasan Aswanto diberhentikan dari jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi meski masa pensiunnya masih panjang. Bambang Pacul menjelaskan bahwa Aswanto merupakan hakim konstitusi usulan DPR. Tetapi, menurut dia, Aswanto menganulir undang-undang produk DPR di MK. Bambang Pacul mengatakan: “Tentu mengecewakan dong. Ya bagaimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh.”. Aneh bukan? Bukankah salah satu tugas MK secara umum untuk menganulir atau membatalkan suatu UU jika memang terbukti melalui persidangan di MK bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945? Saya mendapat kesan bahwa “pencopotan” hakim MK Aswanto merupakan bentuk intervensi legislatif terhadap lembaga yudikatif secara terang-terangan dan sekaligus menunjukkan betapa DPR itu sangat arogan karena mencopot hakim MK yang konon “mewakili” DPR seperti “mencopot” anggota DPR dari suatu partai dengan cara “recall”. Inikah yang disebut Demokrasi? Ini yang disebut Negara Hukum? Saya yakin, bukan cermin negara hukum dan demokrasi tetapi negara kekuasaan, dan cenderung terjadi “abuse of power”. Mestinya disadari oleh DPR dan juga Partai Politik bahwa jika seseorang telah terpilih dan menjadi anggota dalam suatu badan negara, ia tidak lagi menjadi wakil mutlak yang harus selalu satu kata, satu warna dalam menyikapi sebuah kebijakan negara. Artinya yang terpenting anggota tersebut menjalankan tugasnya dengan baik sekalipun tidak sesuai dengan harapan pengusul awalnya. Jika model recall ini dilanjutkan, prinsip negara hukum dan demokrasi pasti akan berantakan dan setiap anggota (MK, DPR) yang dipilih atau diusulkan rentan untuk dicopot lantaran sikap anggota dianggap tidak sesuai dengan pengusul (DPR, Partai). Dulu saya pikir MK ini lembaga yudikatif yang berisi Dewa-Dewa hukum dan mampu bertindak objektif sesuai dengan kapasitas keilmuan ketatanegaraan. Atas kasus ini kita bisa memetik pelajaran bahwa patut diduga bahwa MK pun menjadi alat permainan politik DPR dan Presiden. Jika kedua lembaga ini bersatu, siapa yang bisa mengalahkan? Apalagi telah terbukti melalui penelitian dosen-dosen Trisakti (2020) bahwa ada sekitar 22,01 % putusan MK tidak dipatuhi bisa oleh Presiden dan DPR atau pihak lain terkait. Ketika kedua lembaga ini bersatu, anggota hakim MK bisa berbuat apa karena sebagian mereka pun dianggap Utusan dari DPR dan Presiden yang ternyata harus Tunduk, Patuh dan Menyerah kepada Tuannya jika tidak ingin dicopot dan atau tetap diperpanjang masa jabatannya. Mafia Hukum yang juga melibatkan Presiden, DPR dan MK pun boleh jadi telah dipraktikkan di negeri ini. Atas kasus “pencopotan” hakim Aswanto yang diduga lantaran begitu berani menganulir produk DPR, khususnya yang terakhir berupa UU Cipta Kerja, kita pun bisa menduga bahwa kasus ini hanya Puncak Gunung Es. Artinya, sangat mungkin putusan-putusan MK di masa lalu sangat mendapatkan intervensi dari DPR maupun Presiden. Perkara sengketa pemilu 2019, UU Cipta Kerja, UU Pemilu (soal Presidential Treshhold) yang sudah puluhan kali diuji namun MK tetap berpendapat hal itu merupakan Open Legal Policy dari DPR dan Presiden, patut diduga kuat terjadi Intriks politik hingga konspirasi gelap yang sebenarnya mencerminkan keadaan adanya Industri Hukum yang dibangun sendiri oleh DPR, Presiden dan MK yang berpotensi menjadi Mafia Hukum. Mengingat kondisi hukum dan politik negeri ini sudah rusak, saya kira memang sudah saatnya dilakukan Restorasi Kepemimpinan Nasional agar kembali kepada The Truth and Justice. Kerusakan sudah begitu akut, maka harus dilakukan perubahan yang Radikal, Extraordinary, bukan perubahan yang biasa, baik inkremental maupun Cut and Glue. Apakah perlu Revolusi? Apakah perlu People Power? Dengan jalan apa kita memperbaiki kerusakan akut negeri ini? Anda punya solusi? Katanya kita punya Pancasila, bukan? Sanggupkah Pancasila menjadi solusi? Sanggupkah Pancasila menunjukkan Kesaktian-nya yang setiap tanggal 1 Oktober kita peringati? Anda yang mengaku “Saya Pancasila” saya tantang sekarang! Jika tidak mampu, maka benar statement yang saya sematkan pada judul buku saya bahwa Pancasila 404: Not Found. Tabik...!!! Semarang, Jumat: 25 Nopember 2022. (*)
Menunda Pemilu adalah Kejahatan Politik
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan KEBIJAKAN licik atas kekhawatiran terhadap terjadinya keguncangan rezim oligarki adalah penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden. Wacana awal yang pernah dilempar dahulu dan dibantah kini nampaknya semakin diseriuskan. Baik melalui opsi Dekrit Presiden maupun amandemen UUD. Kebijakan licik bernuansa panik dan frustrasi rezim ini disebabkan tiga faktor, yaitu : Pertama, negara gagal menyiapkan dana Pemilu dengan seribu alasan. Intinya karena buruknya manajemen keuangan dengan pemilihan prioritas pembangunan yang salah dan dipaksakan. IKN baru dan proyek infrastruktur mangkrak atau sia-sia telah menyedot dana APBN. Kondisi keuangan menjadi morat-marit. Kedua, rezim tidak memiliki kepastian akan keberlangsungan kekuasaan atau kepanjangan tangan untuk melanjutkan. Capres Ganjar Pranowo skeptis untuk dimajukan dan dipastikan berhadapan dengan PDIP, Prabowo tidak bisa dipegang karena elektabilitas hanya berbasis survey sedangkan pilihan pahit dimana Jokowi maju sebagai Cawapres justru sangat kontroversial dan terkesan memaksakan. Ketiga, penjegalan terhadap figur Anies Baswedan selalu gagal. KPK dan fitnah buzzer membentur tembok. Turun dari jabatan sebagai Gubernur bukan kehilangan panggung, justru panggungnya semakin luas. Bergerak lebih leluasa dengan dukungan riel rakyat yang terus meningkat. Anies Baswedan sulit tertandingi. Dekrit perpanjangan masa jabatan adalah cacat konstitusional dan atas kebijakan ini rakyat berhak melakukan perlawanan bahkan penggulingan. Sementara amandemen yang hanya berkaitan dengan penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan menjadi pekerjaan MPR yang terlalu sederhana dan mengada-ada. Usaha pakar hukum tata negara agar terjadi amandemen demi menghindari kevakuman kekuasaan akibat Capres yang akan berhadapan dengan kotak kosong adalah bukti adanya niat jahat. Penambahan Pasal dalam UUD 1945 yang mengatur penundaan Pemilu bukan bersandar pada kepentingan rakyat tetapi kepentingan politik penguasa. Lalu mengapa harus ada kotak kosong? Rupanya penjegalan Demokrasi sedang dilakukan dengan \"boikot\" Capres lawan Anies. Prediksi kekalahan dijawab dengan tidak melakukan perlawanan. Masalahnya adalah hal ini tidak memiliki aturan konstitusional. Akan terjadi kevakuman. Jokowi selesai sebagai Prediden dan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Ironi politik, kebingungan politik serta kejahatan politik sedang terjadi. Aspirasi rakyat untuk memunculkan pasangan yang banyak dengan penghapusan PT 20 % ditolak mentah-mentah oleh lembaga memilukan dan memalukan MK. Eh ketika pasangan hanya muncul satu \"dihajar\" juga dengan rekayasa politik pemainan hukum. Ini negara apa? Negara Kerajaan yang sudah manut pada kemauan Raja semata. Indonesia sedang dirusak bahkan dihancurkan. Rakyat tidak boleh diam dan harus terus melakukan perlawanan. Penundaan Pemilu adalah kejahatan politik. Presiden sudah tidak becus lagi mengelola negara. Bandung, 25 Nopember 2022
Bobot Politik Pernyataan La Nyalla Perpanjangan Masa Jabatan Presiden: Zero
Apakah pernyataan ini sebagai jebakan kepada Presiden Joko Widodo, karena saking frustrasi dan jengkelnya? Karena, kalau itu sampai diikuti, LaNyalla tahu rakyat pasti marah, bisa memicu perlawanan rakyat di jalanan? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PERNYATAAN LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI, membuat banyak pihak tidak nyaman. Dalam pidato di Musyawarah Nasional HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), LaNyalla membuat pernyataan Indonesia harus kembali ke UUD 1945 asli. Pernyataan ini kemudian dilanjutkan dengan kalimat yang membuat banyak pihak tersentak. Terkait usulan perpanjangan masa jabatan presiden, seakan-akan sebagai ‘hadiah’ atas dekrit kembali ke UUD 1945 asli. Apa LaNyalla ‘masuk angin’? Begitu pertanyaan publik. Atau pernyataan publik? LaNyalla memang mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat di Republik ini, sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tetapi, jabatan tinggi ini tidak ada pengaruh politik. DPD bukan pembuat undang-undang (UU), tidak ikut mengesahkan UU. Paling banter cuma diminta pendapatnya saja, mungkin juga hanya sebagai formalitas. DPD hanya diminta menampung aspirasi daerah, untuk disalurkan ke DPR atau MPR. Maka itu, secara politik, LaNyalla hampir sama dengan rakyat biasa. Bedanya, LaNyalla bisa komunikasi dengan semua lembaga negara. Cuma itu saja kelebihannya. Maka itu, pernyataan LaNyalla mengenai perpanjangan masa jabatan presiden, secara politik, tidak ada artinya, nihil: zero. Lain halnya kalau yang menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden adalah ketua partai politik. Mereka ini penentu keputusan politik di parlemen. Mereka bisa mengubah UU, mereka bisa minta diadakan sidang MPR, dan bisa mengubah konstitusi. Mungkin saja pernyataan LaNyalla karena frustrasi melihat elit politik saat ini yang hanya mementingkan kelompoknya saja, frustrasi melihat bangsa ini dikuasai oligarki dalam menentukan presiden dan wakil presiden, hingga kepala daerah. Frustrasi melihat Mahkamah Konstitusi (MK) cenderung menjadi alat kekuasaan, frustrasi melihat gugatan Presidential Threshold 20 persen dikandaskan MK. Begitu frustrasinya sampai keluar kalimat mau perpanjang masa jabatan presiden silakan saja. Apakah pernyataan ini sebagai jebakan kepada Presiden Joko Widodo, karena saking frustrasi dan jengkelnya? Karena, kalau itu sampai diikuti, LaNyalla tahu rakyat pasti marah, bisa memicu perlawanan rakyat di jalanan? Apakah seperti itu tujuannya? Hanya LaNyalla yang tahu. (*)
Indonesia Machtstaat!
Oleh Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). DALAM catatan sejarah peradaban dunia, pergumulan pemikiran tentang bagaimana seharusnya negara dikelola sesungguhnya sudah ada sejak era Yunani Kuno ketika filsuf Plato (427-347 SM) menulis dua buku dari 28 karya dialogisnya yang menggambarkan pergumulan pemikiran tentang negara harus dijalankan oleh siapa dan seperti apa? Dua buku dialogis Plato yang berjudul Politeia (republik) dan Nomoi (hukum) menggambarkan dinamika pergumulan ide itu. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa dalam Politeia Plato menekankan pentingnya aktor yang baik dalam mengelola negara. Negara perlu dipimpin oleh para pemikir yang bijak (filosof), yang mengerti tentang publik, yang mau berfikir mendalam agar negara dipandu oleh akal sehat yang mengutamakan kepentingan publik. Sementara dalam Nomoi negara mesti dipimpin oleh aturan bersama yang disebut hukum yang diproduksi dengan mempertimbangkan aspirasi bersama, aspirasi orang banyak.. Spirit Awal Hadirnya Negara Perjalanan pemikiran Plato yang diurai secara singkat dalam pengantar d iatas secara substansial menggambarkan betapa pentingnya negara dipimpin oleh para pemimpin yang berkualitas dan di saat yang sama jalannya negara harus taat terhadap konstitusi, taat pada hukum, diatur oleh aturan bersama yang mendengarkan aspirasi rakyat banyak. Karena itu kemudian Aries Toteles (384-322 SM) murid Plato yang terkemuka mengingatkan bahwa kekuasaan itu ada sesungguhnya untuk menghadirkan common good (kebaikan bersama) dan kebaikan bersama itu hanya mungkin terwujud ketika ada tindakan kolektif warga negara, ada aspirasi rakyat banyak yang didengarkan penguasa. Itulah spirit awal hadirnya negara. Selanjutnya perkembangan pemikiran politik dan hukum mengalami pasang surut hingga kemudian mengalami kemajuan pada abad pertengahan dan selanjutnya hingga abad 20. Dari munculnya gagasan demokrasi konstitusional Immanuel Kant (1724-1804 M), gagasan negara hukum J.Stalh ( 1802-1861 M)l, hingga A.V Dicey (1835-1922 M) dan seterusnya yang menekankan pentingnya human rights, supremacy of law, Equality before the law dan Due Process of Law, dimana negara mesti dijalankan dengan panduan hukum yang partisipatif dan dipegang teguh dijalankan oleh kekuasaan yang bersikap adil. Gagasan-gagasan merekalah yang kemudian mempengaruhi jalanya praktik negara hukum di Eropa Kontinental dan Anglo Amerika hingga saat ini, termasuk secara teoritik mempengaruhi negara - negara Asia seperti Indonesia. Dengan mencermati perspektif di atas secara kontemplatif dan reflektif adalah sangat tragis jika negara dipimpin oleh orang yang tidak adil sejak dalam pikiran dan menjalankan negara dengan mengabaikan undang-undang, mempermainkan undang-undang, melabrak aturan yang disepakati bersama, dan mengabaikan aspirasi rakyat banyak. Secara substantif semuanya itu melukai rasa keadilan publik. Bagaimana dengan Indonesia? Sehari setelah Indonesia merdeka, ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bermusyawarah pada tanggal 18 Agustus 1945 sepakat mencantumkan soal bagaimana negara Indonesia dikelola khususnya dalam bagian penjelasan di bagaian sistem pemerintahan negara. Dalam bagian penjelasan tersebut pada point (1) dinyatakan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtstaat). Dalam penjelasan UUD 1945 tersebut juga dikemukakan bahwa pemerintahan Indonesia itu berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen tahun 2002 juga disebutkan dalam batang tubuh pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebelumnya ada ayat dalam pasal 1 ayat 2 berbunyi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang - Undang Dasar. Itu semua menunjukan pentingnya pemimpin yang demokratis karena kedaulatan ada di tangan rakyat (demokrasi) dan taat pada hukum yang telah disepakati bersama (rechtstaat). Hal itu menggambarkan spirit awal yang jelas bagaimana republik Indonesia berdiri dan seharusnya dijalankan. Bagaimana Indonesia Menjadi Machtstaat? Sejak awal Indonesia merdeka melalui perdebatan intelektual yang mencerahkan di BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) maupun di PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) para pendiri bangsa pada tanggal 18 Agustus 1945 akhirnya sepakat bahwa bentuk negara Indonesia adalah Republik. Hal ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.Konsep negara republik dipilih karena secara sadar para pendiri bangsa menginginkan Indonesia menjadi negara modern yang dikelola dengan cara-cara modern, mendengarkan aspirasi rakyat banyak termasuk cara-cara memilih pemimpinnya yang tidak dilakukan secara turun menurun (monarki) tetapi melalui musyawarah dan mendengarkan aspirasi rakyat, juga termasuk cara-cara mengelola negaranya harus mendengarkan aspirasi rakyat banyak (demokrasi) serta dibingkai dalam hukum dasar yang disepakati bersama dan ditaati bersama atau disebut konstitusi. Itulah spirit Republikanisme, spirit mentaati konstitusi (rechtstaat), spirit menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, spirit pembatasan kekuasaan, spirit demokrasi deliberatif (Johm Milton, Aeropagitica, 1644). Dengan merujuk pada awal pembentukan negara dan perspektif Republikanisme penulis mengambil kesimpulan bahwa Indonesia saat ini sesungguhnya memasuki episode Machtstaat (negara kekuasaan) yang sangat membahayakan masa depan Indonesia sebagai Republik. Loh, kok bisa Indonesia menjadi machtstaat atau negara kekuasaan? Secara empirik para ilmuwan dan akademisi ilmu sosial politik dan hukum yang masih independen dalam keilmuanya pada umumnya memberikan kesimpulan yang sama bahwa Indonesia pernah menjadi machstaat dan kini memasuki episode machtstaat yang paling membahayakan masa depan Indonesia sebagai negara Republik. Ada tiga episode Indonesia menjadi machtstaat , yaitu (1) episode machtstaat era Soekarno, (2) episode machstaat era Soeharto, dan (3) episode machtstaat era Jokowi. Pada era Soekarno terjadi sekitar tujuah tahun di akhir kekuasaanya dari tahun 1959 hingga 1966. Pada era akhir kekuasaan Soekarno ini negara kekuasaan (machtstaat) sangat terlihat sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959, kemudian Soekarno membubarkan parlemen hasil pemilu dan mengangkat anggota DPR-GR (1960), membubarkan Partai Masyumi dan PSI (1960), menerima diangkat sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS (1963), membubarkan Partai Murba (1965) dan seterusnya hingga kekuasaanya jatuh pada 1967. Pada era Soeharto era machtstaat terjadi secara sistemik sejak dikeluarkanya 5 paket Undang-Undang politik pada tahun 1985. Sejak keluarnya paket Undang-Undang politik itulah kekuasaan Soeharto semakin kuat mengendalikan seluruh kekuatan politik (DPR/MPR, Partai, Ormas, dll), dan dipenghujung kekuasaanya praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin subur hingga jatuh pada 1998. Pada era Jokowi machtstaat terjadi sejak tahun 2019 ketika Presiden bersama DPR tidak mau mendengarkan aspirasi ratusan ribu rakyat, mahasiswa, akademisi, para aktivis, buruh dll yang menolak revisi UU KPK hingga disahkan pada 17 September 2019. Melalui revisi UU KPK itulah KPK kini menjadi tidak independen lagi karena menjadi bagian dari lembaga eksekutif dibawah kendali Presiden. Disaat yang sama Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih terus merajalela. Negara kekuasaan juga terlihat ketika Presiden mengeluarkan Perpu No 1 tahun 2020 yang kemudian menjadi UU No.2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas sistem keuangan. UU ini membuat Presiden memiliki kewenangan yang absolute karena sepanjang tiga tahun (2020-2022) Presiden dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar Peraturan Presiden. Selain itu Keputusan yang didasari UU No.2 tahun 2020 ini tidak bisa menjadi obyek gugatan yang dapat diperkarakan di PTUN. Checks and balances hilang, apalagi koalisi pemerintah menguasai 80 % lebih suara parlemen. Negara kekuasaan juga semakin terlihat ketika pemerintah dan DPR tidak mendengarkan aspirasi rakyat yang menolak pengesahan Omnibuslaw UU Cipta kerja tahun 2020. DPR akhirnya mengesahkan UU Cipta Kerja Pada 5 Oktober 2020. Sebagai informasi UU Cipta Kerja ini dibuat atas inisiaif Presiden Jokowi, ada 79 undang-undang yang diringkas. Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 November 2021 memutuskan bahwa Omnibuslaw UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan tidak konstitusional atau inkonstitusional bersyarat. Enam bulan kemudian DPR mengesahkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3) pada 5 Mei 2022, UU P3 ini yang menjadi landasan hukum atau semacam perlindungan hukum perbaikan UU Cipta Kerja. Indonesia kini semakin menjadi Machtstaat karena intervensi kekuasaan tidak hanya terhadap legislatif tetapi juga pada lembaga yudikatif seperti terhadap Mahkamah Konstitusi. (MK), misalnya dalam kasus pemberhentian Aswanto seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diganti karena dinilai DPR Aswanto gagal mengamankan produk hukum yang dibuat DPR bersama pemerintah. Padahal MK itu wilayah yudikatif yang kemerdekaan kewenanganya dijamin konstitusi UUD 1945 untuk menguji suatau Undang-Undang produk DPR. Celakanya Presiden dengan senang hati melantik Guntur Hamzah pengganti Aswanto menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Mengapa episode machtstaat era Jokowi ini paling membahayakan masa depan Republik? Jawabanya rezim ini tidak hanya mengendalikan lembaga legislatif hingga hilang checks and balances nya tetapi juga mengendalikan lembaga yudikatif, dan lebih berbahayanya negara kekuasaan yang bersekongkol dengan oligarki ini telah menyusup dan merusak kedalam lebih dari 80 Undang-Undang hanya dalam waktu tiga tahun kekuasaanya di periode kedua ini. Pada akhirnya negara hukum (rechstaat) yang demokratis yang merupakan spirit utama negara republik yang dicita-citakan para pendiiri bangsa ini kini secara sistemik telah dirampas oleh machtstaat yang dijalankan pada episode Presiden Jokowi ini. Indonesia Machtstaat!