Ulama (Seolah) Ban Serep
Oleh Ady Amar - Kolumnis
BAN serep memang dibutuhkan. Tanpanya pastilah kesulitan yang didapat. Ban serep dibutuhkan saat sedang dibutuhkan. Jika tak dibutuhkan, ban serep cuma nongkrong saja di tempatnya. Melihat saja "kawan" lainnya, empat ban dalam roda, yang bekerja keras mengantar sang tuan ke mana pun ia berkehendak.
Ban serep serasa dicueki. Tak pernah barang sekalipun ditengok. Tempatnya pun disembunyikan, agar tak terlihat mata memandang. Adanya seperti tak adanya, sama saja. Kasihan nasibnya. Tapi pada saatnya, saat dibutuhkan, ban serep tampak sumringah, dan tak mempermasalahkan perlakuan terhadapnya. Sikapnya tulus ikhlas, tak mengundat-undat apa yang sebelum ini dialaminya, yang sebelumnya tak pernah disapa.
Kapan saat ban serep itu dibutuhkan, ia dipuja-puja bagaikan pahlawan. Puji sang juragan, bahwa tanpanya mobil tak mungkin bisa dilajukan. Dan, ia akan terlambat sampai tujuan. Rasa kesyukuran lalu muncul, dan mobil pun melaju kencang. Saat itu ia tak lagi disebut ban serep. Kehadirannya sungguh dibutuhkan. Puja-puji terus dimunculkan, tak merasa sungkan sekian lama diabaikan.
Ban serep mengingatkan pada ulama. Ya, ulama. Memang serasa tak pantas, dan bahkan bisa dikonotasikan jahat menyerupakan ban serep dengan ulama. Menyerupakan itu tentu tidak dimaksudkan menghinanya. Siapa yang berani menghina pewaris para Nabi itu, warisatul anbiya. Itu jika tidak ingin Tuhan murka karenanya. Tidak, sama sekali tak bermaksud menghina. Sekadar menyerupakan, itu tentu tidak sama dengan menyamakan ulama dengan ban serep.
Ulama, bisa pula disebut kiai atau ustadz, atau bahkan tuan guru. Itu tentang seseorang yang punya kapasitas ilmu agama memadai. Tidak semua ulama bisa "diserupakan" ban serep. Justru lebih pada ulama yang punya basis massa tidak kecil yang bisa diserupakan dengan ban serep. Dibutuhkan saat dibutuhkan. Segala cara dilakukan untuk mendekati, sowan menjadi satu keharusan.
Ulama diserupakan ban serep, itu seperti jadi keharusan didekati menjelang hajat pesta demokrasi. Pesta demokrasi lima tahunan. Dari mulai kepala desa sampai kepala pemerintahan (presiden), semua menjadikan ulama bagai ban serep untuk melaju, sebuah ikhtiar bisa terpilih. Maka, memakai jasa ban serep (ulama) menjadi keharusan. Saat-saat ini ulama ban serep mulai didatangi berbagai calon peserta pemilu. Semua minta restu-pangestu, dan karenanya doa-doa dilantunkan untuk kemenangan calon yang mendatanginya.
Ulama ban serep memang baik hati, tak pendendam, meski sekian lama tak pernah disapa apalagi ditengok. Dilepas begitu saja saat hajatan sudah selesai. Dan didatangi lagi saat dibutuhkan. Tamu tak boleh ditolak kedatangannya, itu adagium yang dipakai. Maka, nyaris tak pernah terdengar ulama menolak kedatangan tamu, apalagi pada pejabat yang datang untuk mendapat semacam jampi-jampi doa.
Pantang pula ditolak jika sang tamu, karena sudah menerima doa yang sebagaimana dihajatkan, itu memberi amplop sekadarnya--biasa dikenal dalam terminologi pesantren sebagai bisyaroh --walau itu bukan semata yang diharapkan. Tapi kalau tidak ada bisyaroh yang diberikan, ya itu kebangetan. Amplop itu pun bisa diibaratkan dengan membesihkan ban serep dilap dari debu yang menempel, karena sekian waktu tak disentuh, tak diperlukan. Memaknai itu sekadar lip service yang seperti jadi keharusan, meski bukan keharusan.
Satu hal lagi. Biasa jika akan bertamu pada ulama tertenu perlu diutus dulu hulubalang, yang juga orang yang dianggap kenal dekat dengan ulama yang dituju. Kira-kira nantinya penerimaannya bagaimana. Ada pula yang disatukan sekaligus sekian ulama di satu titik. Dan sang pejabat cukup mendatangi tempat itu, maka sekian ulama bisa dirangkulnya. Seperti biasanya, adegan puja-puji satu per satu ulama yang ada di hadapannya itu sebagai kawan lama. Nama-nama mereka satu-per satu disebutnya, meski mengingat nama-nama itu bukanlah perkara mudah.
Lalu sang pejabat bercerita tentang tugasnya yang amat berat, sehingga tak bisa sering berjumpa. Dan saat ini karena ada waktu sedikit, sambungnya, kita bisa dipertemukan. Setelah itu dengan sedikit mencari celah menunggu momen yang pas di antara sambutannya, ia sampaikan hajatnya yang akan maju sebagai Capres/Cawapres, atau apa pun jabatan yang dikehendaki. Meminta doa dan pangestu. Lalu satu ulama yang dituakan di situ yang disebut kiai utama mendoakan dengan doa super-doa khusus, dan yang lain cukup mengaminkan. Upacara doa selesai, dan lanjut seperti biasanya makan-makan bersama, sambil sesekali derai tawa muncul di tengah hidangan yang disediakan. Layaknya keakraban kawan lama yang dipertemukan kembali.
Tapi ada juga pejabat, yang santer kabarnya akan nyapres, hadir di perhelatan pengajian yang diasuh Kiai Mbeling, yang jamaahnya memang membludak. Entah kenapa nama mbeling jadi pilihan anonim namanya. Kiai yang satu ini bukan sembarang kiai, meski pada tamu siapa pun ia terbiasa menggojlok dengan canda khasnya. Kadang me- roasting sang tamu sampai gelagapan seperti orang sedang tenggelam dan timbul lalu tenggelam lagi.
Pejabat yang nekat hadir di tengah pengajiannya ini, seperti kurang mempelajari anatomi Kiai Mbeling, yang tidak sama.dengan kiai atau ulama kebanyakan, yang bisa "ditaklukkan" dengan basa-basi komunikasi ala kadarnya. Mendatangi Kiai Mbeling dengan mengandalkan komunikasi khas yang biasa dipakainya, "Ini kawan lama saya, yang sudah lama tidak bertemu." Itu tidak akan mempan "menaklukkan" hati Kiai Mbeling untuk "ibah". Pakem itu sepertinya tak bisa berubah: menggarap tamu yang hadir, dan itu jadi hiburan jamaah pengajiannya.
Kiai Mbeling tentu tidak bisa disamakan dengan ulama (seolah) ban serep, yang dibutuhkan saat dibutuhkan. Ia tetap tampil dengan ciri khasnya, siapa pun tamu yang hadir dihidangkan gojekan (kelakar) yang disesuaikan dengan perangai si tamu. Gojekan yang disesuaikan bahkan dengan perjalanan masa silam sang pejabat. Dan sepertinya itu jadi keriangan tersendiri pada batin Kiai Mbeling, saat bisa menyampaikan hajat publik yang diwakilinya. Dan, itu cukup lewat gojekan. Asyik juga lihat gesture dan mimik sang pejabat saat roasting dimainkan. Video singkatnya beredar ke sana kemari. Era sudah berubah, bukan lagi tahun 2014 dan, atau 2019, teknologi digital apa pun namanya sudah jauh berkembang, dan semua bisa hadir lewat video singkat sekalipun, momen pejabat salah tingkah tak sepatutnya, lucu meski tak menggemaskan. (*)