OPINI

Tujuh Tantangan Terbesar Indonesia 2023: Pemberantasan Korupsi (Catatan Akhir Tahun - 4)

Oleh Dr Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle HARI ini saya membahas tantangan ke empat Indonesia tahun depan, yakni  pemberantasan korupsi. Pembahasan ini menyangkut aspek struktural maupun kultural. Struktural berhubungan dengan kekuasaan, sistem legal dan \"power relation\". Sedangkan kultural berhubungan dengan moralitas, norma dan gerakan serta dinamika sosial dalam masyarakat.  Negara-negara besar selalu berhasil memperlihatkan indeks persepsi korupsi yang tinggi, pada indeks versi \"Transparancy International\" artinya penanganan korupsi sangat baik. Indonesia selalu berada pada indeks yang rendah, di bawah rerata dunia (44).  Tahun lalu indeks Indonesia mencapai 38, jauh di bawah Singapura dan Malaysia.  Transparansy International mengaitkan tingginya korupsi dengan rusaknya kebebasan sipil dan banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia di suatu negara (lihat: ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2021-korupsi-hak-asasi-manusia-dan-demokrasi/). Musuh koruptor adalah control sosial. Tapi sebenarnya ini juga berkaitan dengan ideologi. Ketika saya menulis ”Matinya Reformasi, Budaya Korupsi dan Tamatnya Nasib KPK”, 2019, disitu diperlihatkan cerita Jung Chang, seorang novelis asal China, dalam novelnya yang sangat terkenal, “Wild Swans: Three Daugters of China”, terjadi perubahan kultur pada ayahnya yang menjadi pimpinan Komunis sebuah kota di era Mao Ze Dong. Ideologi itu mengantarkan budaya baru pada ayahnya untuk masuk pada “rule of thumb” promosi karir orang bukan berdasarkan hubungan keluarga (anak, istri, ponakan, dll), melainkan berdasarkan pemahaman nilai-nilai komunis.  Di China, keberhasilan menolong keluarga, apalagi mendorong anak dan keponakan menjadi pejabat negara, menjadi kebanggaan. Budaya kita juga begitu, masih. Jung Chang menceritakan tindakan ayahnya itu, tidak menolong keluarga, membuat mereka dikucilkan keluarga. Sisi kultural ini adalah sisi yang menyangkut nilai yang dianut oleh masyarakat. Indonesia, sebagai masyarakat mayoritas muslim, seharusnya terikat dengan nilai-nilai anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Sebuah ilustrasi ajaran Islam misalnya diuraikan sebagai berikut: Ibnu Zanjuwaih (wafat 247 Hijriyah) meriwayatkan dalam bukunya Al-Amwal, ia berkata, \"Umar Bin Khattab memiliki seekor unta. Budaknya memerah susu unta setiap hari untuknya. Suatu ketika, budak membawa susu unta ke hadapan Umar. Umar berfirasat lain dan dia bertanya kepada budaknya, \"Susu unta dari mana ini?\" Budaknya menjawab, \"Seekor unta miIik negara (Baitul Maal) yang telah kehilangan anaknya, maka saya perah susunya agar tidak kering, dan ini harta Allah\". Umar berkata, \"Celakalah engkau! Engkau beri aku minuman dari neraka!\". (Sumber: Republika, 14/12/20, “Teladan2 Umar yang tak Aji Mumpung Gunakan Fasilitas Negara”). Nilai yang diajarkan pada peristiwa itu adalah tidak mencampur-adukkan barang publik dengan barang pribadi. Selain itu, sebagai penguasa utama, Umar Bin Khattab, memberikan teladan bahwa membersihkan diri dari harta haram harus dimulai dari khalifah (presiden atau raja). Rasa malu atas prilaku korupsi dalam budaya, juga seharusnya dicontohkan oleh masyarakatnya. Masyarakat yang sadar selalu menolak mengambil hak orang lain. Hal ini terlihat pada masyarakat yang tertib dalam antrian, misalnya bertransportasi atau di pusat pelayanan lainnya. Masuk perguruan tinggi negeri, melalui titipan dan sogokan, seperti yang terjadi di Unila baru-baru ini, menunjukkan kerusakan struktural dan kultural sekaligus, karena melibatkan katabelece orang yang berkuasa, dan menunjukkan calon mahasiswa yang tidak menghargai hak-hak orang lain.  Berbeda dengan masyarakat biasa, bagi seorang pemimpin, rasa malu harusnya ditebus dengan cara-cara yang luar biasa, misalnya bunuh diri, seperti yang dilakukan Roh Meehyong, eks presiden Korea Selatan, atau mengundurkan diri dari jabatan, seperti yang sering dilakukan pejabat di negara beradab. Korupsi merupakan cerita lama. Lalu dari mana kita memulai telaahan? Kita harus fokus pada korupsi yang menyangkut kekuasaan. Sebab, kekuasaan yang dibangun oleh sistem dan orang-orang yang korup akan memastikan negara itu menjadi negara gagal (failed state). Marilah kita lihat yang terbaru dari kekuasaan rezim Jokowi. Kita dikejutkan oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Menko Maritim dan Investasi, beberapa hari lalu dalam sebuah pidatonya yang menyebar luas, bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seharusnya tidak terus-menerus melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Alasannya, kita hidup di dunia, bukan di surga. Menurutnya, OTT memalukan Indonesia di dunia internasional. Operasi KPK ini padahal sejak awalnya merupakan andalan KPK untuk membongkar korupsi, karena KPK sebagai institusi memang didesain untuk bekerja “extra ordinary”. Melakukan penyadapan dan tangkap tangan adalah kekuatan KPK dibanding institusi Kejasaan Agung. Kita harus mengecam pernyataan LBP ini sebagai pelemahan pemberantasan korupsi saat ini. Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan di dunia, bukan di surga. Pernyataan LBP yang didukung oleh Mahfud MD soal KPK terbaru ini juga adalah tanda-tanda terbukanya sikap rezim Jokowi yang tidak mendukung lagi upaya pemberantasan korupsi. Dulu, Jokowi, ketika pertama kali menyusun kabinetnya,  menyingkirkan Budi Gunawan (BG) dari calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia, karena alasannya KPK memberikan rapor merah (tidak bebas korupsi) pada BG. Saat itu Jokowi memberi pesan kepada rakyat Indonesia bahwa dia akan memulai sebuah pemerintahan yang bersih, anti korupsi. KPK sebagai institusi  yang kala itu sangat dipercaya publik sebagai penyaring calon-calon pejabat negara, yang terkait bebas korupsi, menjadi partner Jokowi dalam menseleksi semua calon kabinetnya. Menyingkirkan BG kala itu tentu saja menjadi spektakuler karena BG merupakan inti dari partai pendukung utama Jokowi, yakni PDIP. Namun, kemesraan dengan KPK berangsur sirna, bersamaan dengan hilangnya tema-tema anti korupsi. Pada tahun 2019 KPK dilemahkan dengan revisi UU KPK, yang menempatkan KPK dalam kontrol pemerintah via Dewan Pengawas. KPK tidak dilibatkan lagi dalam seleksi pejabat yang bersih, bahkan KPK disterilisasi dengan isu Taliban pada tahun 2021, dan terakhir KPK terkesan diintimidasi oleh LBP.  Pada era Jokowi jilid satu, berbagai persoalan korupsi muncul, baik dalam skala besar maupun menengah. Skala besar terkait isu “Papa Minta Saham”, dan penangkapan dua menteri Jokowi, Imam Nahrawi dan Idrus Marham. Dalam catatan Kompas 2019, malah ada lebih banyak lagi menteri/mantan menteri Jokowi yang terkait dengan masalah korupsi (nasional.kompas.com/read/2019/12/19/10474081/kaleidoskop-2019-menteri-era-jokowi-yang-berurusan-kasus-korupsi). Sedangkan skala menengah adalah penangkapan kepala-kepala daerah yang jumlahnya tetap besar. Pada era Jokowi jilid dua, korupsi sepertinya mulai subur seperti di era orde baru. CNBC melukiskan bawa hanya di era Jokowi ini jumlah uang dikorupsi hampir sama dengan kasus BLBI Orde Baru, yakni kasus Apeng, korupsi Jiwasraya, dan Asabri. (sumber: www.cnbcindonesia.com/market/20220817183001-17-364517 ini-daftar-3-kasus-korupsi-terbesar-ri-nyaris-samai-blbi/2). Di era Jokowi ini juga kejahatan terhadap orang miskin dilakukan, ketika bencana kematian datang,  yakni  dengan korupsi dana Bantuan Sosial Covid-19. Selain korupsi oleh Menteri Sosial, Menteri Jokowi lainnya juga melakukan korupsi, yakni Edhy Prabowo, Menteri KKP. Terakhir, yang menggemparkan pada tahun 2022 ini adalah PPATK temukan transaksi keuangan misterius sebanyak Rp. 183,8 T,  korupsi dalam skandal ijin ekspor minyak goreng, serta skandal korupsi dan mafia kasus dua Hakim Agung (Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh). Hakim Agung sebagai simbol “malaikat” atau perwakilan Tuhan Y.M.E di muka bumi  ternyata sudah bobrok juga. Tak kalah penting juga, jumlah harta anak-anak Jokowi, yang begitu besar menimbulkan pertanyaan, seperti yang dilaporkan Ubaidillah Badrun ke KPK, terkait dengan perolehan dana untuk pembelian saham  senilai Rp. 92 Milyar (www.tribunnews.com/bisnis/2022/01/14/perihal-pembelian-saham-rp-92-miliar-yang-bikin-putra-presiden-jokowi-kaesang-dilaporkan-ke-kpk).  Akhirnya, kini kita menyadari bahwa era Jokowi saat ini sebanding atau bahkan lebih buruk dari era Orde Baru dalam lilitan dan pusaran kasus korupsi. Sebagian besar pendukung Jokowi melihat peristiwa yang ada dari kacamata sebaliknya dan sebagian lagi melihat dengan “kacamata kuda”. Kelompok pertama berargumentasi bahwa justru di era Jokowi inilah kasus korupsi besar terungkap dan ditangani. Ini adalah prestasi Jokowi, menurutnya. Argumentasi ini sangat lemah tentunya. Sebab, dalam teori kepemimpinan, jika menteri-menteri Jokowi dan mitranya, seperti petinggi parpol melakukan korupsi, maka dipastikan ada “share responsibility” yang harus ditanggung oleh Jokowi sebagai presiden. Kelompok kedua, yang melihat dengan “kacamata kuda”, melihat bahwa yang salah pasti bukan pemerintah, melainkan keadaan. Istilah kita hidup bukan di surga, seperti yang diargumentasikan LBP, menunjukkan kondisilah yang salah. Argumen ini tentu sangat konyol. Pemerintahan SBY telah menaikkan 14 poin, dari 20 ke 34, selama 10 tahun berkuasa, index persepsi korupsi Indonesia versi Transparancy International. Sedangkan rezim Jokowi hanya menaikkan 4 poin, dari 34 ke 38, index yang sama, selama 8 tahun berkuasa.  Seandainya prestasi Jokowi bisa sama dengan SBY, atau rata-rata peningkatan 1,4 poin pertahun, maka seharusnya Indonesia akan mempunyai Indeks di atas rata-rata dunia, yakni 45,2, pada tahun lalu. Sayangnya, persoalan korupsi semakin merajalela. Sebab utama yang bersifat struktural atas merajalelanya korupsi adalah pengebirian KPK. KPK meskipun saat ini tetap diapresiasi, namun dianggap tidak lagi mempunyai tingkat “kesucian” dan sakral yang sama seperti awalnya dulu. KPK yang semula dibentuk sebagai lembaga “extra ordinary”, yang sejajar dengan pemerintah, akhirnya dikontrol oleh pemerintah melalui revisi UU KPK 2019. Misalnya, dalam kasus laporan Ubeidillah Badrun pada kasus anak Jokowi yang di drop KPK dari kasus yang layak ditindak lanjuti, serta, kasus Formula-E yang dianggap akan mentersangkakan Anies Baswedan, terjadi kecurigaan bahwa KPK mengalami intervensi dari kekuasaan. Selanjutnya, KPK juga tidak lagi menjadi lembaga yang mengkordinasikan Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam penanganan kasus korupsi. Dalam skandal minyak goreng, yang melibatkan pejabat negara dan kerugian (penderitaan) rakyat yang begitu besar, tahun ini, kepolisian dan kejaksaan agung malah terkesan “adu cepat” merespon kasus ini. Sedangkan KPK tidak terlibat didalamnya.  Sebab kedua adalah hilangnya keteladanan pemimpin. Langkah berani Jokowi menyingkirkan Budi Gunawan (BG) di awal berkuasa, memperlihatkan kesan spirit anti korupsi yang tinggi. Tapi langkah ini menjadi diragukan karena tujuan menyingkirkan BG bisa jadi bukan utamanya untuk pemerintahan bersih, karena tuduhannya BG terlibat korupsi (rekening gendut), melainkan Jokowi mungkin sekedar memperalat KPK untuk kepentingannya sendiri. Sebab, BG kemudian menang di pengadilan dalam membersihkan nama baiknya dan Jokowi kemudian memberikan jabatan kepala BIN kepada BG.  Semakin lama Jokowi berkuasa, memasuki tahun ke -9 sebentar lagi, keteladanan Jokowi semakin dipertanyakan. Jokowi terlihat membangun dinasti dan kongsi politik yang sarat dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Misalnya, selain perkawinan anak Jokowi baru-baru ini yang terkesan super mewah, ketika rakyat kesulitan makan. Kemudian anak Jokowi lainnya, Walikota Solo, mendapat previlage berhubungan langsung dengan Raja negara berdaulat Uni Emirat Arab, Mohammad Bin Zayed, untuk urusan uang ratusan milyar rupiah, yang banyak diberitakan saat ini (lihat: regional.kompas.com/read/2022/12/23/110218178/dapat-izin-dari-kemendagri-gibran-berangkat-ke-uea-tanggal-25-desember-2022?page=2). Bukankah itu seharusnya dilakukan dalam hubungan bilateral kedua negara?  Sebab ketiga adalah hilangnya ideologi. Selama pemerintahan SBY, yang mampu meningkatkan indeks persepsi korupsi begitu besar, SBY mengadopsi demokrasi ala barat di Indonesia, secara konsisten. Dia mengadopsi ideologi liberal. SBY memperkuat kontrol sosial untuk mengawasi pemerintah. Di era Jokowi, pembungkaman atas kontrol sosial dilakukan dengan masif, termasuk pemenjaraan aktifis pro demokrasi dan ulama. Namun, berbeda dengan di China era Mao Ze Dong, maupun kisah Umar Bin Khattab, yang saya singgung di awal, rezim Jokowi berjalan tanpa ideologi. Selain itu, bahkan kebanyakan lingkungan penguasa disekitar Jokowi adalah pebisnis. Cara pandang pebisnis terhadap negara sangat berbeda dengan politisi yang tumbuh sebagai kader-kader ideologi. Rizal Ramli, yang mempopulerkan istilah Peng-Peng (Penguasa-Pengusaha), menunjukkan bahwa penguasa dan sekaligus pengusaha membuat negara tersandera pada kepentingan keuntungan pengusaha itu, bukan untuk rakyat. Lalu apa yang menjadi kekhususan pembicaraan kita untuk tahun depan? Tahun depan adalah tahun politik. Kekuasaan dan segala sumberdaya berpotensi dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa. Apalagi kita sudah bahas situasi saat ini yang tanpa kontrol sosial. Kita harus bekerja keras untuk pemberantasan korupsi. Pertama, kita harus mempropagandakan dibubarkannya \"Peng-Peng\", pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa. Orang-orang bisnis harus meninggalkan bisnisnya secara total jika terjun ke politik. Begitu juga keluarga inti harus bebas dari bisnis. Tidak ada lagi penguasa yang pengusaha sekaligus. Kedua, kita harus mendorong ideologi politik ke depan yang berbasis nilai nilai sakral. Ideologi itu akan mengontrol pemerintahan agar berbasis nilai-nilai, di mana keberhasilan seorang ditentukan oleh kontribusinya pada \"public goods\" dan kehidupan sosial. Negara harus berfungsi sosial dan untuk kebaikan. Olehkarena itu, eksistensi pemerintahan bersih menjadi mutlak. Ketiga, mengembalikan KPK pada fungsi awalnya. Yakni sebagai institusi \"extra ordinary\" dalam pemberantasan korupsi dan independen. Keempat, keteladanan pemimpin harus terjadi. Pemimpin yang bersih harus diperjuangkan. Budaya anti korupsi hanya bisa dimulai jika pemimpinnya anti korupsi. Presiden harus bebas korupsi dan kabinet harus bebas korupsi, itu cita-cita kita tahun 2024.  Tahun 2023 adalah tahun penentuan nasib bangsa. Bangkit atau punah. (*)

Dugaan Abuse of Power KPU Harus Dituntaskan

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa KPU sedang disorot. Publik kecewa dan curiga terhadap kinerjanya. Sedari awal, banyak tuduhan bahwa KPU tidak netral. KPU dianggap tangan panjang dari elit kekuasaan. Ada pihak tertentu yang diduga telah menitipkan sejumlah pesan kepada KPU:  meloloskan parpol tertentu dan menghadang parpol lainnya. Memenangkan capres-cawapres tertentu, dan menggagalkan calon lainnya. Kecugiaan ini menggaung sudah lama di media dan medsos. Meledak ketika Indonesia Corruption Watch (ICW) dkk membongkar tudingan bahwa sekjen KPU bermain. Tidak hanya ICW, seorang wanita bernama Mischa Hasnaeni Moein juga membuat kesaksian. Videonya viral dan menggemparkan. Perempuan yang dijuluki Wanita Emas ini menuding ketua KPU bekerja untuk memenangkan Ganjar-Erick di pilpres 2024. Tudingan ini seperti menguatkan rumor sekenario pemenangan Ganjar-Erick yang telah lama ramai jadi perbincangan publik di seantero jagat maya. Selain isu capres‐cawapres (Ganjar-Erick) yang akan dimenangkan, KPU juga dituduh diberikan tugas untuk menyelamatkan sejumlah partai. Partai Gelora dan Partai Kebangkitan Nasional (PKN) ikut disebut-sebut. Dua partai ini dituding mendapat rekomendasi untuk diloloskan. Ini perintah, kata oknum di KPU yang dituding oleh ICW, dkk. Siapa yang memberi perintah? Telunjuk publik langsung otomatis mengarah ke penguasa. Karena logika publik menganggap, tidak ada yang bisa mengendalikan KPU kecuali yang punya kekuasaan  Diduga pula Partai Umat besutan Amien Rais menjadi partai yang dipesan untuk digagalkan. Tidak boleh ada dan ikut kompetisi di pileg 2024. Saya  masih dianggap menakutkan, seloroh Amien Rais. Kata ICW dkk, ada 7 KPUD Provinsi dan 12 KPUD Kabupaten telah mengikuti arahan KPU Pusat. Menurut temuan, 7 KPUD Provinsi dan 12 KPUD Kabupaten diduga dipaksa untuk bermain curang dalam proses verifikasi data parpol. Dikembalikan ke publik, lebih percaya KPU atau ICW dkk? Ini baru dugaan. Ini baru tuduhan. Ini persepsi publik yang dibangun oleh pengakuan-pengakuan sejumlah pihak bahwa ada oknum KPU yang beroperasi  menunaikan tugas dari pihak tertentu untuk melakukan kecurangan. Media bahkan telah menyebut nama jelas oknum KPU itu. Siapa? Dugaan ini semakin kuat ketika ada sejumlah pihak yang mengaku diintimidasi \"masuk rumah sakit\" jika tidak mengikuti instruksi dari KPU pusat. Ngeri... Apa yang dimaksud \"masuk rumah sakit\"? Dilukai? Dibunuh? Publik kemudian menerka-nerka tafsir \"masuk rumah sakit\" itu.  Jika tuduhan ini benar dan terbukti, maka KPU betul-betul sudah terpapar dan teramputasi. KPU dianggap tidak lebih dari agen dan petugas yang akan mengatur siapa pemenang dan siapa yang harus dikalahkan. Mendesain siapa yang dijaga dan siapa yang harus disingkirkan. Rusak sekali. Parah! KPU punya hak jawab atas semua tuduhan itu. Akan tetapi, proses hukum dan etik mesti ditempuh. Ada pihak yang telah melaporkan KPU. Ini harus diproses dan dilakukan investigasi. Ada dugaan \"abuse of power\". Bahkan tuduhan ancam mengancam ini bisa diproses secara pidana jika pihak yang diancam melaporkan ke polisi. Jika semua tuduhan itu betul, maka para oknum KPU harus diganti. Pelanggar hukumnya harus diproses hukum. Jika tidak terbukti, KPU harus melaporkan balik kepada pihak penuduh sebagai pencemaran nama baik. Supaya clear dan harus tuntas. Ujung kasus ini harus jelas. Mana yang benar dan mana yang salah.  Yang perlu dipahami, ini bukan semata perseteruan antar dua pihak. Ini bukan hanya soal oknum. Ini menyangkut kredibilitas komisioner KPU. Ini menyangkut kualitas proses pemilu. Ini akan mempengaruhi secara signifikan hasil pemilu. Pada akhirnya, ini akan berpengaruh terhadap nasib masa depan bangsa.  Kasus ini tidak boleh berhenti di isu dan berita media. Tidak boleh selesai dengan mediasi dan klarifikasi. Ini tidak bisa diselesaikan dengan somasi dan permintaan maaf antar pihak. Publik berhak terlibat dalam kasus ini. Rakyat butuh kepastian. Rakyat butuh kejelasan, agar ada jaminan pemilu 2024 jurdil. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai pihak yang mendapat laporan harus segera menggunakan kewenangannya untuk menelusuri laporan itu. DKPP harus panggil para pihak yang dituduh mengaku akan memenangkan bakal capres-cawapres tertentu. Namanya masih ingat kan? Panggil juga oknum yang diduga main ancam terhadap sejumlah KPUD Provinsi. DKPP dituntut bersikap tegas dengan memberikan sanksi bagi mereka yang ternyata terbukti bersalah. Gak boleh memble. DKPP tidak boleh masuk angin. DKPP mesti menuntaskan kasus dugaan \"abuse of power\" yang dilakukan para oknum KPU. Prosesnya harus betul-betul transparan. Harus terang benderang.  Komisioner KPU hendaknya juga muncul ke publik dan memberi penjelasan terkait dugaan ancam mengancam itu. Juga dugaan bahwa KPU akan memenangkan bakal capres-cawapres tertentu. Bukan hanya membantah, tapi memberikan bukti dengan melaporkan balik pihak yang dianggap melakukan pencemaran nama baik itu. Rakyat butuh hasil investigasi dari pihak ketiga. Sekali lagi, harus clear. Tidak boleh menguap. Komisionir KPU harus menjamin bahwa KPU netral. Tidak hanya dalam ucapan, tapi harus mampu meyakinkan publik dengan realisasi kinerja-kinerja berikutnya yang menunjukkan integritas dan profesionalismenya. Para penuduh mesti dilaporkan balik jika KPU yakin bahwa tuduhan itu salah dan fitnah. Ini masalah serius. Ini menyangkut persepsi publik terkait integritas dan kinerja KPU. Pada akhirnya ini akan berpengaruh terhadap hasil pemilu yang akan amat berpengaruh bagi nasib dan masa depan bangsa. Tuduhan adanya kasus \"abuse of power\" dalam bentuk ancam mengancam dan segala indikator kecurangan tidak boleh terdengar lagi kedepan, setelah semua proses etik dan pidananya tuntas. Jika tidak, kerja KPU bukan saja berpotensi menciptakan kegaduhan tapi juga dapat memicu konflik horisontal. KPU akan terus menjadi obyek tuduhan kecurangan dan caci maki publik. (*)

Reshuffle dan Pemantik Gerakan

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  ISU reshuffle muncul kembali. Semakin kencang setelah salah satu partai koalisi Pemerintah Partai Nasdem mengajukan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Anies tidak disukai bahkan cenderung dimusuhi oleh Istana. Segera setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies, PDIP langsung menemui Jokowi. Konon minta agar Menteri yang berasal dari partai pimpinan Surya Paloh itu agar segera diganti.  Selama periode kedua, Jokowi sudah tiga kali melakukan reshuffle yaitu bulan Desember 2020, bulan April 2021 dan terakhir Juni 2022. Saat meresmikan pengembangan Stasiun Manggarai tahap 1 (26/12) Jokowi ditanya oleh awak media soal reshuffle. Jawabannya singkat- singkat seperti  \"ya dengar\", \"oke\", \"cluenya.. ya udah\", \"mungkin\" atau menggerakkan tangan. Ketika ditanya kapan ? jawabannya \"ya nanti\" adapula dengan angguk-angguk kepala.  Ada tiga Menteri Nasdem yang jadi gunjingan untuk diganti yaitu Menkominfo Johnny G Plate, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.  Wakil Ketua Umum Partai Nasdem  Ahmad Ali menyatakan meski reshuffle adalah hak prerogatif Presiden namun pertimbangannya harus berdasar kebutuhan bukan alasan politis atau lainnya.  Tiga dampak politik yang mungkin akan terjadi jika Jokowi melakukan reshuffle kabinet dengan mengganti Menteri yang berasal dari Partai Nasdem baik seluruh maupun sebagian, yaitu : Pertama, hak prerogatif Presiden itu menjadi slogan  semata sebab faktanya penggantian Menteri berdasarkan keputusan tekanan politik. Adalah PDIP yang gencar menekankan soal reshuffle. Terakhir Ketua DPP PDIP Djarot Saeful Hidayat yang meminta agar Presiden Jokowi mengevaluasi dua Menteri asal Nasdem.  Kedua, jika terjadi reshuffle maka suasana politik akan memanas. Nasdem yang merupakan partai koalisi Pemerintah berubah menjadi kekuatan oposisi. Bahayanya, Partai Nasdem yang diduga banyak mengetahui hal ikhwal Istana termasuk borok-borok di dalam akan melakukan manuver aksi bongkar-bongkar. Semangat restorasi menemukan momentum.  Ketiga, rakyat akan membaca dengan jelas kezaliman Jokowi kepada Anies Baswedan. Reshuffle yang disebabkan Partai Nasdem mendukung Anies adalah kebijakan naif, brutal dan bodoh. Berpolitik tidak elegan. Menjadi bukti atas kebohongan Istana yang katanya tidak ikut melakukan intervensi politik. Faktanya kewenangan partai politik digerus dan didikte oleh Istana.  Jika Jokowi tidak hati hati dalam mengambil keputusan mengenai reshuffle khususnya terhadap partai koalisinya, maka guncangan politik akan terjadi. Tiga partai oposisi PKS, Partai Demokrat dan Partai Nasdem bukan sekadar menjadi  kutub bagi dukungan Capres, tetapi lokomotif dari perlawanan rakyat terhadap rezim yang dinilai zalim, sewenang-wenang dan kriminal.  Ujungnya jangan harap Jokowi dapat mengakhiri jabatan dengan baik. Dua tahun ke depan adalah waktu yang krusial untuk membangun stabilitas politik.  Reshuffle Kabinet dapat menjadi pemantik dari sebuah  gebrakan dan gerakan.  Bandung, 28 Desember  2022

Ibarat Baju, Partai Ummat Kekecilan Buat Amien Rais

Oleh Dimas Huda - Wartawan Senior FNN KOMISI Pemilihan Umum atau KPU meloloskan Partai Ummat pada tahap verifikasi administrasi ulang di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara (Sulut) sebagai calon peserta Pemilu 2024. Setelah tahap ini, Partai Ummat akan menjalani tahap verifikasi faktual untuk menentukan lolos atau tidaknya partai besutan Amien Rais ini sebagai peserta Pemilu 2024. Sebelumnya, KPU sempat memutuskan Partai Ummat tak memenuhi syarat sebagai partai peserta Pemilu 2024. Mereka tak memenuhi syarat di beberapa kabupaten kota di Sulut dan NTT. Partai Ummat sempat melayangkan gugatan ke Bawaslu terkait keputusan itu. Kemudian, Bawaslu memutuskan Partai Ummat diberikan kesempatan untuk mengikuti verifikasi ulang dan faktual selama sembilan hari, yaitu mulai 21 sampai 30 Desember 2022 untuk memenuhi sejumlah syarat sebagai calon peserta Pemilu 2024. Kini, Partai Ummat punya peluang besar untuk lolos. Sudah barang tentu ini salah satunya karena  hebatnya Amien Rais. Gerakan tokoh reformasi ini sungguh lincah dan terukur. Di luar itu, taji Amien memang masih tajam. Tengok saja bagaimana Amien bergerak menyelamatkan Partai Ummat agar tak layu sebelum berkembang. Sehari sebelum pengumuman hasil verifikasi faktual partai oleh KPU, Amien Rais membuat pernyataan bahwa ada upaya penjegalan terhadap partainya untuk ikut Pemilu 2024. Dia menduga ada kekuatan besar dari rezim penguasa politik yang berusaha menyingkirkan partainya. Benar saja, pada saat diumumkan pada Rabu, 14 Desember 2022, dari 18 partai, 17 di antaranya lolos. Hanya Partai Ummat yang gagal verifikasi faktual. Tuduhan Amien Rais ini langsung membuat Istana meradang.  Presiden Joko Widodo mengeluh. \"Itukan sebetulnya urusan KPU, urusan KPU itu,\" ujar Presiden Jokowi menjelaskan bahwa Istana tak ikut campur perihal lolos tidaknya partai politik. Pernyataan presiden ini disampaikan saat memberikan pidato HUT ke-16 Partai Hanura di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (21/12/2022). Sekendang sepenarian, Wakil Presiden Ma\'ruf Amin juga gerah. \"Kalau tidak lolos berarti memang tidak didukung oleh cukup (persyaratan). Jadi, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, karena sudah garis tangannya begitu, garis tangan namanya itu,\" ujar Ma\'ruf Amin di Nusa Dua, Bali, Jumat 23 Desember 2022. Respon RI-1 dan RI-2 tampaknya menjadi amunisi bagi Partai Ummat untuk menekan KPU. Hasilnya ya itu tadi: Partai Ummat berkesempatan besar untuk ikut Pemilu 2024. Kita tahu, Partai Ummat penting buat Amien Rais. Bisa jadi ini menjadi pertaruhan bagi politisi senior tersebut setelah dirinya hengkang dari partai yang didirikannya: Partai Amanat Nasional atau PAN. Bisa dibilang, Partai Ummat bagi Amien adalah sebagai penegasan tentang ideologi politik dirinya. Kini ia dengan tegas berada di kanan. Naga-naganya Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini sudah letih mengenakan baju nasionalis. Soalnya, sejak awal PAN terbukti gagal merangkul kaum nasionalis. Inilah yang membuat di masa tuanya, Amien mendirikan Partai Ummat yang berasaskan Islam Rahmatal Lil Alamin.  Ya. Jika kita menengok perjalanan politik Amien, kita bisa bilang partai ini akan menjadi partai pertobatan bagi Amien Rais. Lazimnya orang Jawa, makin tua memang makin mendekat kepada Sang Pencipta. Amien Rais kelahiran Surakarta, 26 April 1944. Empat bulan lagi usianya sudah 79 tahun. Sudah sepuh.  Pertobatan Amien Rais Lalu untuk apa dia bertobat? Pada saat reformasi, tokoh-tokoh politik Masyumi sempat menggadang-gadang Amien Rais untuk memimpin partai Islam. Kala itu, mereka mendirikan Partai Bulan Bintang atau PBB. Mereka ingin menduetkan Amien Rais-Yusril Ihza Mahendra. Upaya ini gagal karena Amien menganggap ibarat baju, format PBB terlalu sesak buat dirinya.  PBB mengambil banyak aspirasi dari Masyumi dan kemudian belajar dari pengalaman-pengalaman Masyumi. Masyumi lahir dari ide besar yakni Isilamic modernization.  Kala itu, tokoh eks Masyumi kecewa berat. Padahal, semula Amien sendiri datang ke rumah tokoh Masyumi Anwar Harjono. Mereka bertangis-tangisan menyatakan siap berdampingan dengan Yusril memimpin PBB. Kala itu Yusril tengah berada di Banyuwangi, Jawa Timur.  Yudi Pramuko dalam buku “Sang Bintang Cemerlang” (1999) menceritakan dialog antara Yusril dengan Anwar Harjono, saat Yusril diberitahu tentang upaya para pendiri PBB untuk menyatukan Amien-Yusril.  “Saudara Yusril,” ujar Anwar Harjono serius, “Pak Amien Rais sudah datang dan perkembangan sudah mencapai 90%. Alhamdulillah, Pak Amien Rais menjadi Ketua, dan bagaimana kalau Saudara menjadi Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang?”  Tanpa ragu-tagu Yusril menjawab, “Kalau semua orang menerima, InsyaAllah saya terima.”  Semua tokoh Islam, dalam pertemuan yang dihadiri beberapa pimpinan organisasi Islam, menyatakan setuju dengan komposisi ideal itu. Ketua umum Amien Rais dan Sekjen Yusril.  Sayangnya, beberapa jam kemudian usai sholat Jumat di masjid PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya Jakarta, Amien membuat peryataan pers seraya mengatakan dirinya tidak sesuai duduk sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Ibarat baju, format PBB terlalu sesak buat dirinya. Kegagalan memadukan kedua tokoh, Amien-Yusril, sebagai “dwitunggal” mengecewakan tokoh-tokoh Masyumi. “Memang ada inti perbedaan di antara kami, saya ingin membentuk partai yang berasaskan Islam, sementara Pak Amien Rais ingin membentuk partai yang multiagama, multi-etnis,” ujar Yusril.  “Pak Amien Rais bilang PBB platform-nya kekecilan, ibarat baju sesak dipakai, memang saya katakan bahwa PBB ini partai tertutup, soalnya tidak ada di dunia ini partai yang sesungguhnya terbuka, semua partai itu aliran, kalau tidak ada aliran, orang tak membuat partai,” tambah Yusril mengomentari kegagalan tandem dirinya dengan Amien.  Selanjutnya, seperti kita tahu Amien mendirikan PAN dan menjadi ketua umum partai itu. Yusril memimpin PBB. PAN berhasil menempatkan wakil-wakilnya di DPRRI sampai sekarang. Sedangkan PBB gagal.  Kalkulasi Politik  Secara kalkulasi politik, langkah Amien Rais mendirikan Partai Ummat sungguh aneh. Soalnya, ia membidani partai Islam, di saat partai sejenis tengah terpuruk. Aneh bin ajaibnya keterpurukan partai Islam itu justru di saat hijrah tengah menjadi tren.  Pemilu 2019 adalah Pemilu paling sulit bagi partai Islam dan berbasis Islam. Tengok saja perolehan suara PKS, PBB, dan PPP, serta partai berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN. Partai-partai ini hanya mengoleksi 29,05% suara. Ini adalah angka kecil bahkan terkecil dalam sejarah Pemilu di Indonesia.  Perolehan angka 29,05% itu adalah dari hasil penjumlahan perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7,21%, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4,52%, Partai Bulan Bintang (PBB) 0,79%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 9,69%, dan Partai Amanat Nasional (PAN) 6,84%.  Partai nasionalis justru mengantongi suara signifikan. Total suara partai nasionalis menguasai 70,95%. Selama ini, pilihan politik pemeluk Islam menyebar dan terbanyak justru dijatuhkan ke parpol nasionalis.  Dari data KPU, perolehan suara partai-partai Islam dan yang berbasis massa Islam terus menurun pasca-reformasi. Bahkan jauh sebelum itu. Pada Pemilu 1955 parpol Islam meraih suara 43,7%, lalu pada 1999 menurun drastis menjadi 36,8%. Meski sempat meningkat kembali pada Pemilu 2004 dengan presentase 38,1%, namun Pemilu 2009 turun tajam dengan hanya mendapat 29,16%.  Gap curam kembali terjadi pada Pemilu 2009. Jika keterpilihan gabungan parpol Islam 29,16% pada tahun itu, gabungan elektabilitas parpol nasionalis mencapai 70,84%. Nahasnya, Pemilu 2009 seolah menjadi “kuburan” bagi partai yang berideologi Islam. Dari enam partai politik berideologi Islam yang ikut serta dalam Pemilu--PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, dan PMB--hanya 2 partai yang lolos aturan parliamentary threshold 2,5%, yakni PKS dan PPP.  Peneliti LSI Denny JA, Ikram Masloman, menilai tren penurunan perolehan suara partai Islam seiring dengan terjadinya proses sekulerisasi politik. \"Pemilih ini saleh secara agama dan ritual. Tapi secara politik, menurut mereka, agama tidak serta-merta sakral kemudian muslim memilih partai muslim,\" katanya suatu ketika.  Nah, di saat paceklik seperti itu Amien mengibarkan partai Islam, Partai Ummat. Kalau bukan untuk pertobatan, rasanya sulit berharap partai ini menjadi besar di kemudian hari. Bahkan, baru akan ikut pemilu saja Partai Ummat sudah tertatih-tatih. Jika NTT dan Sulut tak lolos dalam tahab verifikasi faktual, maka kita bisa bilang: Ibarat baju, Partai Ummat memang kekecilan buat Amien Rais. (*)

Malapetaka Negara, KA Cepat Jakarta Bandung!

Padahal bunga pinjaman dari Jepang 0,1%, jauh lebih ringan dari China yang 2% jauh lebih mahal pertahunnya. Oleh: Sugengwaras, Aktivis JANGAN hanya berpikir cebong kampret, Anies-Prabowo, Ganjar-Ahok atau Erick-Puan saja, sistem dan perangkat pemilu/pilpres 2024 juga terindikasi sarat penyelewengan yang lebih parah, disamping proyek-proyek pemerintah yang mangkrak dan membengkak di bawah tekanan China yang diamini oleh para pengkianat negara di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo! Itulah sebabnya dilahirkan secara haram dan keburu UU KUHP yang penuh kontroversial dan sunsang baik proses, prosedur, mekanisme dan dinamika persidanganya, yang rencananya digunakan sebagai alat gebuk dan pembunuh demokrasi untuk menyengsarakan rakyat Indonesia! Gagalkan dan Lenyapkan UU KUHP Ciptaan Para Pengkianat Negara! Tidak usah ragu dan tidak perlu takut, lawan dan musnahkan UU KUHP yang baru, daripada NKRI hancur dan luluh-lantak! Saya yakin TNI-POLRI tak akan mau masuk perangkap yang kesekian kalinya! Kita sayang dan mencintai TNI-POLRI, tapi tunggu dulu untuk para pimpinan yang mengawakinya! TNI-POLRI sebagai Garda terdepan dan Benteng terakhir negara, harus benar- benar paham dan sadar terhadap peran, fungsi dan tugasnya yang dilandasi doktrin-doktrin yang ada untuk menjaga, membela dan mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan segala isi di atasnya, keamanan dan keselamatan rakyat serta keseimbangan dan keharmonisan hubungan dengan negara negara lain didunia bersama komunitas dan elemen elemen bangsa lainnya. Itulah yang harus dipahami, disadari dan disikapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dalam menuju kejayaan dan kesejahteraan Indonesia! Saya kerucutkan perihal KA Cepat Jakarta Bandung. Akhir tender diperebutkan oleh Jepang dan China yang dimenangkan oleh China karena lebih murah. Namun dalam perjalanannya dengan akal bulusnya ternyata biaya jauh lebih mahal (membengkak) dibanding Jepang. Padahal bunga pinjaman dari Jepang 0,1%, jauh lebih ringan dari China yang 2% jauh lebih mahal pertahunnya. Belum lagi dalam konsorsium Indonesia China, telah terjadi pembengkakan konsesi dari 50 tahun menjadi 80 tahun oleh China. Siapa yang salah, siapa yang lemah, siapa yang bodoh, siapa yang rugi dan siapa yang menderita? Pikir sendiri..... Secara detail, baca ulasan para pengamat! Bandung, 27 Desember 2022. (*)

Kok The Week Mirip Dhewek?

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  THE Week Magazine yang beredar di Inggris dan Amerika pada edisi 24 Desember 2022 membuat cover bertema \"The Faces of 2022\". Dalam Cover tersebut terdapat karikatur beberapa Kepala Negara dan tokoh yang sedang menikmati hidangan hari Natal \"Christmas Double Issue\". Di meja besar duduk Raja Charles, PM Inggris Rishi Sunak,  Presiden Ukraina Zelensky, PM China Xi Jinping, Aktor Will Smith dan lainnya. Presiden Rusia Putin tampak di luar sedang marah-marah. Menendang boneka salju. Ada juga foto dinding Queen Elizabeth.  Yang menarik di antara pemimpin dunia yang merayakan hari natal tersebut ada seseorang yang mirip Presiden RI Joko Widodo. Duduk berdampingan dengan PM China Xi Jinping yang berpenampilan kalem, berwibawa dan bermasker. Sementara di sebelahnya adalah pasangan Charles dan Camilla.  Orang seperti Jokowi itu terkesan rakus, jorok dan primitif. Rakus karena di piringnya penuh makanan yang dilahap sendiri, jorok di samping kotoran juga di kepalanya ada laba-laba dan kodok. Primitif karena yang dimakan adalah hewan kalajengking.  Menurut yang juga beredar di medsos orang seperti Jokowi itu adalah Matthew Hancock Menkes Britania Raya yang mengundurkan diri bulan Juni 2021 akibat skandal moral. Sebelumnya aktivis Partai Konservatif ini menjabat  sebagai Menteri Digital, Budaya, Media dan Olahraga.   Matt Hancock bulan lalu ikut dalam program I\'m A Celebrity..Get Me Out of Here dan sukses menjadi finalis Raja Hutan bersama Owen Warner dan Jill Scott. Selama di hutan tentu ia makan segala untuk survive. Hancock pernah ikut atraksi menyelam dan berfoto bersama kodok di kepala.  Masalahnya adalah karikatur Matt Hancock dalam The Week itu ternyata mirip Jokowi, termasuk kerut di keningnya. Wajar orang bertanya apa benar itu Jokowi yang dimaksudkan. Hebatnya ia duduk di sebelah PM China yang selama ini disorot kedekatannya.  Jokowi memang hobby memelihara kodok. Gaya kodok itu melompat-lompat. Berada di dua alam darat dan air. Kodok jarang ditemukan di tempat bersih kadang ia hidup di semak-semak dan area lembab. Kebanyakan orang jijik melihat kodok.  Laba-laba yang menempel di kiri kepala orang seperti Hancock atau Jokowi itu bukan sembarang laba-laba tetapi jenis tarantula hitam yang beracun. Sifat laba-laba atau tarantula itu menjebak, menjerat dan memangsa. Entah apa yang ada dalam bayangan karikaturis sehingga di kepala harus menempel tarantula hitam.  Yang dimakan dalam tusukan garpu adalah kalajengking. Berbeda dengan makanan kepala negara lain. Ada yang makan ayam, bercengkrama, membawa kue serta berebut trophi. Dengan didamping Xi Jinping ia asyik memakan kalajengking. Makanan di piringnya pun aneh ada seperti bola mata.  The Week membuat kejutan untuk profil yang memungkinkan orang mengasosiasikan dengan Presiden Republik Indonesia. Belum ada penjelasan resmi The Week siapa dimaksud orang disebelah Xi Jinping itu.  Karikaturis bisa mengeles untuk proteksi hukum. Bila ia diserang oleh Hancock ia bisa bilang itu Presidency G-20, begitu juga sebaliknya. Lagi pula di Indonesia sulit untuk melaporkan penghinaan sebagaimana ketika Tempo menampilkan bayangan Jokowi berhidung panjang. Itupun ternyata dibenarkan oleh Dewan Pers.  Nah karikatur The Week yang menjadi Cover edisi \"The Faces of 2022\" menjadi cermin dari bacaan dunia tentang wajah dan karakter pemimpin yang buruk. Orang terhormat yang bergaul atau berperangai buruk. Ada kotoran kodok, adapula laba-laba dan kalajengking.  Mengapa mirip Jokowi ? Jokowi adalah penggemar kodok dan pendukungnya disebut cebong. Jokowi pernah meresmikan produk truk \"laba-laba\" Mitsubishi.  Jokowi pula yang tahun 2018 menyatakan jika ingin kaya maka beternaklah kalajengking. Racunnya mahal. Apakah kebetulan atau sengaja sebagai \"Christmas Double Issue\" ?  Karena itu sekedar karikatur maka jawabannya, entahlah !.  The Week hanya memberi tempat bagi bacaan dan tafsiran dhewek.  Bandung, 27 Desember 2022

Tak Mustahil Prabowo Akan Dukung Anies

Sementara di sisi lain, dukungan Istana juga tak pasti. Apalagi, jika nyanyian Hasnaeni Moein terkait skandalnya dengan Hasyim Asyari, Ketua KPU, itu benar, maka dapat dipastikan Prabowo bakal kandas lagi untuk kali ketiga. Oleh: Yarifai Mappeaty, Pemerhati Masalah Sosial Politik, Tinggal di Makassar NYARIS semua kawan-kawan di Garindra yang saya temui, meradang, tak terima Anies Baswedan menjadi Capres. Bahkan, Anies dianggap manusia yang tak tahu membalas budi, bak kacang lupa kulit. Tak hanya itu, malah ada yang menyebut Anies pengkhianat. Kata mereka, setelah didepak dari kabinet pada 2016, Anies bukan sesuatu dan tidak pernah menjadi seperti sekarang ini, kalau bukan karena Prabowo. Kalau dipikir-pikir, tidak salah, tetapi tak sepenuhnya benar. Saya sebenarnya sangat bisa memahami perasaan kawan-kawan itu, kendati pihak lain menyebutnya lebai. Maklum, saya saat pernah bersama mereka. Setidaknya, dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, kami sama-sama berjibaku memenangkan Anies Baswedan – Sandiaga Uno, meski saya hanya semacam baut kecil dari sebuah mesin pemenangan yang bernama “Roemah Djoeang  Anies – Sandi”. Karena itu, sedikit banyaknya saya mengetahui, merasakan dan mengalami perjuangan pada Pilkada DKI kala itu. Mulai dari saat Prabowo memutuskan memasangkan Anies dengan Sandi untuk diusung Partai Gerindra, hingga dinyatakan secara resmi sebagai pemenang. Namun, perlu dicatat bahwa Prabowo melakukan itu dalam kerangka semangat perjuangan oposisi. Bahwa Jusuf Kalla kemudian disebut-sebut juga punya andil di dalamnya, itu hal lain. Tapi keputusan jadi tidaknya pasangan Anies – Sandi maju di Pilkada DKI 2017, tetap saja ada di tangan Prabowo. Tak ada seorangpun yang bisa membantah hal itu. Saya masih ingat pada sebuah diskusi kecil dengan kawan-kawan Gerindra ketika Anies – Sandi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. “Apa kira-kira Anies tidak ikut nyapres pada 2019, mengikuti jejak Pak Jokowi?” lontar seorang kawan. “Lihat saja nanti,” sambut seorang kawan lainnya. “Sebab meskipun Anies telah berjanji menyelesaikan lima tahun di Jakarta, tapi tidak ada yang bisa menjamin kalau Anies tetap konsisten, tidak tiba-tiba berubah pikiran lalu ikut nyapres?” sambungnya.   “Kalau Anies melakukan itu, ia tidak hanya mengkhianati Pak Prabowo, tetapi juga mengkhianati rakyat Jakarta,” kata saya menimpali. Namun terbukti kemudian kalau Anies dapat memupus kekhawatiran kawan-kawan itu. Ia membuktikan komitmennya untuk tetap memimpin DKI Jakarta. Padahal tak kurang partai politik mencoba datang menggodanya. Bahkan, konon, Prabowo sendiri menawarinya untuk menjadi pasangannya. Tapi Anies tetap bergeming tak ingin mengkhianati rakyatnya. Itu konteks Pilpres 2019. Pasca itu, konteksnya berubah, terutama setelah Prabowo memutuskan memilih bergabung dengan Istana. Prabowo mengambil langkah itu, mungkin karena prihatin melihat kondisi bangsa ini sedang tercabik-cabik oleh Pilpres. Namun motif sesungguhnya, hanya Prabowo sendiri dan segelintir elit Gerindra yang tahu pasti. Tetapi pilihan itu, bukan tidak punya konsekuensi. Lebih dari separuh dari pendukung Prabowo meninggalkannya karena kecewa dan merasa dikhianati. Apakah Prabowo menyadari hal itu? Tentu saja. Tapi itulah harga yang harus ia bayar dengan amat sangat mahal. Bayangkan, massa pendukung Prabowo di luar Gerindra itu adalah massa pemilih PKS, Demokrat, PAN, dan PPP,  jumlahnya mencapai 38 juta. Jumlah itu equal dengan 56% dari total pemilih Prabowo – Sandi pada Pilres 2019, yang mencapai 68 juta. Lalu, kemana perginya massa sebesar itu? Satu-satunya alternatif bagi mereka adalah Anies Baswedan. Mereka pun mulai menyebut-nyebut nama Anies semenjak itu. Mula-mula samar, tapi lama kelamaan nyaring juga. Merekalah yang menyuarakan nama Anies hingga beresonasi di suluruh penjuru tanah air. Bukti terjadinya peralihan dukungan sejumlah besar massa kepada Anies bisa terbaca pada survei di penghujung 2021. Dapat dipastikan bahwa massa besar itu nyaris seluruhnya adalah eks-pendukung Prabowo. Tidak hanya itu, sepanjang 2022, dukungan massa kepada Anies tetap terus mengalir, seiring dengan meningkatnya apresiasi publik terhadap kinerja Anies di Jakarta. Sedangkan Prabowo, terjadi sebaliknya. Memandang relasi Prabowo – Anies pada konteks Pilpres 2024, tentu saja semangatnya sudah tak sama dengan Pilpres 2019. Diakui atau tidak, Anies saat ini lebih dilihat sebagai tokoh utama oposisi, sedangkan Prabowo adalah bagian dari Istana. Konteks semangat itulah yang sulit dipahami oleh kawan-kawan itu, sehingga saya berbeda melihat Anies yang mereka anggap mengkhianati Prabowo. Mengkhianati bagaimana kalau memang sudah berseberangan sejak awal? Dan, Prabowo sendirilah yang memilih pergi – menyeberang, sedangkan Anies sendiri tak kemana-mana. Lalu, siapa mengkhianati siapa? Lagi pula, faktor relasi Prabowo – Anies terlalu dominan jika dilihat sebagai hubungan pribadi. Padahal, urusan suksesi kepemimpinan nasional tersebut adalah masalah bangsa dan negara, bukan urusan pribadi Prabowo dan Anies. Di situlah naifnya kawan-kawan itu, sehingga wajar saja kalau ada pihak menilainya lebai. Coba, taruh misalnya, Anies tak pernah ada, maka, apakah eks-pendukung Prabowo itu akan kembali? Saya yakin, tidak. Mereka akan tetap mengalihkan dukungannya atau tidak memilih sama sekali. Begitulah cara rakyat akhirnya menghukum sosok pemimpin yang dianggap khianat. Jika situasinya tetap begitu, maka pada akhirnya Prabowo akan mengalami situasi yang dilematis dalam menghadapi Pilpres 2024. Sebab di satu sisi, dukungan massa kepada dirinya terus menurun, menurut survei yang sengaja dipublis maupun yang tidak dipublis, tapi hanya beredar secara terbatas di kalangan tertentu. Sementara di sisi lain, dukungan Istana juga tak pasti. Apalagi, jika nyanyian Hasnaeni Moein terkait skandalnya dengan Hasyim Asyari, Ketua KPU, itu benar, maka dapat dipastikan Prabowo bakal kandas lagi untuk kali ketiga. Karena itulah, saya memiliki keyakinan bahwa tidak mustahil Prabowo akan mendukung Anies. Mengapa tidak? Toh diantara mereka tidak ada masalah. Anies sangat menghormati sosok Prabowo. Sedangkan Prabowo sendiri tak pernah terdengar bicara buruk tentang Anies. Dan, satu-satunya jalan bagi Prabowo agar dapat dimaafkan oleh puluhan juta massa yang pernah ditinggalkan adalah kembali bersama mereka mendukung Anies. Makassar, 27 Desember 2022. (*)

Yang Pantas Diselamatkan Itu Demokrasi Pancasila, Bukan Demokrasi Liberal

Dengan begitu, demokrasi nyata dalam praktiknya belum terlaksana sebab rakyat hanya sebagai kuda tunggangan yang suaranya hanya dibeli dengan sembako atau uang lima puluh ribu. Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila KETIKA narasi mulai bergulir dan deras nya keinginan rakyat kembali ke UUD 1945 .arti nya demokrasi liberal sudah saatnya diakhiri, sebab kerusakan Negara Bangsa sudah semakin dititik nadir. Rupanya kaum liberal juga ingin pemilu tetap berlangsung padahal jika tetap ingin pilpres, pilkada, pemilu tetap berlangsung sama artinya memperkokoh sistem oligarki. Bahkan narasi narasi ancaman  jika pemilu diundur  ada gerakan untuk menyelamatkan demokrasi liberal. Padahal perubahan itu yang diinginkan adalah mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 kembali sebagai dasar berbangsa dan bernegara .kembali pada jati diri bangsa yang oleh pengamat dan kaum liberal menarasikan seakan mau menghabisi demokrasi liberal mereka tidak melihat musyawarah mufakat sebagai demokrasi. Padahal  musyawarah perwakilan itu lebih beartabat dari pada demokrasi banyak-banyakan suara kalah menang pertarungan dengan menghalalkan segala cara. Perdebatan terus berlangsung dan kasak kusuk partai politik sudah mulai menghidupkan mesin partai nya untuk berebut kenikmatan kue kekuasaan pada tahun 2024. Koalisi-koalisi mulai dibentuk strategi mengatur kekuatan mulai melontarkan hal-hal yang kadang tidak masuk akal pokoknya waton saja tanpa mampu melihat Indonesia itu apa dan bagaimana. Isu politik identitas mulai keluar dari mulut ketua partai politik tanpa mampu mengaca padahal diri nya adalah bagian dari politik identitas skema dan arah isu politik identitas sudah jelas bagian dari Islamophobia. Jejak sejarah ingin mereka hapus tetapi mereka lupa Indonesia dibentuk oleh berbagai macam Identitas, Suku, Ras, Agama, Golongan dan adat istiadat. Berakar dari berbagai macam identitas itulah melahirkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk mempersatukan Identitas yang bermacam-macam itu. Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 bangsa Indonesia ini seakan sudah tercerabut dari akar ke Indonesia-annya, aliran pemikiran yang penuh makna tentang negara Indonesia diganti dengan Indonesia yang tanpa makna, dari Indonesia dengan sistem yang terbaik diganti dengan sistem Indonesia yang terburuk. Presidential Threshold 20 % adalah sebuah instrumen untuk membatasi masuk nya calon pemimpin yang terbaik ,Indonesia tidak boleh dipimpin oleh orang orang yang terbaik tetapi Indonesia harus dipimpin oleh orang orang yang bisa melayani kepentingan oligarki. Oleh sebab itu telah dibuang sistem terbaik didalam UUD 1945. Sistem MPR dengan demokrasi konsensus yang mencerminkan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila dengan Permusyawaratan perwakilan diganti dengan demokrasi semua yang serba mahal dan bandar bandar demokrasi yang serba pecitraan dan uang untuk membeli suara rakyat dan geser menggeser caleg tentu saja serba transaksi uang. Pemilu tahun 2019 telah mengorbankan nyawa petugas KPPS sebanyak hampir 800 orang dan biayayah yang sangat besar. Kecurangan dan kebohongan bagisn dari strategi demokrasi liberal. Sebetulnya apa demokrasi itu? Apa masih demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan sesuai keinginan rakyat? Diganti dengan demokrasi dari oligarki, oleh ketua partai politik, dan untuk oligarki. Sistem musyawarah perwakilan diganti dengan demokrasi post thrud. Fenomena kebohongan yang dilakukan terus menerus akan menjadi pembenaran hal tersebut dinamakan post-truth dan istilah tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Steve Tesich melalui esainya pada harian The Nation tahun 1992. Frasa post-truth awalnya dikenal di ranah politik saat kontes politik memperbutkan kursi parlemen dan/atau tujuan politik lain sehingga istilah ini disebut post-truth politics. Era post-truth dapat disebut sebagai pergerseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini dan buzer-buzer Pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa semakin tipis pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi. Secara sederhana, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Cara menanggulangi post-truth dapat dilakukan melalui literasi digital ke masyarakat luas. Praktik politik di Indonesia dengan pilpres, pileg langsung telah mempraktikan post truth sehingga munculnya buzer-buzer untuk membangun opini yang terus di gencarkan melalui media sosial membuat rakyat tidak bisa lagi melihat kebenaran. Demokrasi itu sebetulnya hanya alat bukan tujuan. Apakah demokrasi itu untuk rakyat atau rakyat untuk demokrasi? Mengganti UUD 1945 dengan UUD 2002 itu sama arti nya mengganti yang baik dengan yang buruk. Dengan dasar negara Pancasila dan bangsa Indonesia mempunyai bermacam- macam suku, adat istiadat, berbagai macam Agama, berbagai golongan maka the Founding Fathers adalah manusia terpilih yang mempunyai pemikiran melampaui jamannya. Tidak memilih sistem Individu, Liberal Kapitalis dengan sistem perlementer maupun Presidenseil, tetapi menciptakan sendiri sistem MPR dengan Permusyawaratan perwakilan adalah demokrasi konsensus yang bisa dikatakan demokrasi bermartabat dengan derajat yang tinggi. Menariknya, pemikiran founding fathers kita pada 1945 mengenai model Demokrasi Pancasila itu hampir identik dengan pemikiran demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas (1982), hampir empat dasawarsa kemudian. Bagi Habermas, demokrasi deliberatif merupakan konsep demokrasi yang dilandasi oleh mekanisme musyawarah yang mendalam, tidak didasarkan pada demokrasi voting mayoritas, tetapi menekankan pada demokrasi yang mengarah pada ketaatan bersama. Konsep demokrasi ini memberikan konsensus untuk mengurangi gesekan kelompok minoritas yang tidak menerima keputusan demokratis. Arend Lijphart (1999) dalam buku nya Patternd of Democracy menjelaskan untuk mendapatkan mayoritas dukungan rakyat ada demokrasi mayoritas jika di negara itu hanya ada dua partai sedang di negara yang banyak partai maka dibutuhkan demokrasi konsensus. Demokrasi konsensus-lah sebenar nya yang lebih sesuai di Indonesia seperti yang sudah digagas oleh pendiri negeri ini dengan keanggotaan MPR bukan hanya dari unsur partai politik tetapi ada utusan utusan golongan dan utusan daerah. Dengan model demokrasi konsensus maka keterlibatan partisipasi masyarakat melalui perwakilannya bisa terwujud maka konsep negara semua untuk semua dengan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud, dan kebhinekaan bangsa ini akan terwakili. Sistem kekeluargaan ini dianggap oleh the Founding Fathers sangat sesuai dengan nilai nilai budaya bangsa Indonesia . Ironisnya, kita buang sistem yang baik ini, dan diganti dengan demokrasi banyak-banyakan suara, kalah-menang pertarungan yang lebih buruk dari demokrasi konsensus. Demokrasi terpimpin menurut istilah UUD 1945 ialah “Kerakyatan Yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Demokrasi terpimpin bukanlah diktatur ,beda dengan sentralisme,dan sangat berbeda dengan demokrasi liberal yang dijalankan model pilkada, pilpres, pilsung saat ini. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia sejak dulu kala. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi disegala soal kenegaraan dan kehidupan kemasyarakatan ,yang meliputi bidang-bidang politik, Ekonomi, Sosial, Demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Tetapi demokrasi semu sekarang ini dijalankan , malah jadi juru pawang menangkal masuknya sumberdaya manusia terbaik bangsa ke dalam tatanan politik. Bukannya menyaring dan merekrut orang-orang terbaik bangsa masuk ke dalam tatanan politik. Dengan begitu hanya pemimpin yang diinginkan oleh kepentingan oligarki saja Yanga boleh ikut. Dengan begitu, demokrasi nyata dalam praktiknya belum terlaksana sebab rakyat hanya sebagai kuda tunggangan yang suaranya hanya dibeli dengan sembako atau uang lima puluh ribu. Apakah kebodohan ini akan terus kita lanjutkan? Kesadaran kita berbangsa dan bernegara harus berani merobah tatanan yang salah ini kembali pada demokrasi musyawarah mufakat selamatkan Indonesia dari oligarkinya. (*)

Tafsir Kupas Gambar Hewan di Tubuh Jokowi pada Karikatur di The Week Magazine

Mengakumulasi kekayaan dengan cara-cara keji dan menjijikkan. Tindakan itu pun berdampak merusak hingga melumpuhkan daya hidup dan tatanan kehidupan. Oleh: Jliteng Suparman, Budayawan dari Solo KODOK simbol karakter ke atas menjilat ke bawah menginjak. Karakter kodok seperti itulah yang kini sudah menjadi budaya perilaku di lingkungan rezim pemerintahan Joko Widodo. Orang meniadakan pasal malu walau harus melakukan tindakan yang rendah dan hina, untuk menjilat atasan demi kekuasaan dan kekayaan. Sebaliknya pada bawahan atau kepada rakyat tidak ada kata sungkan untuk melakukan tindakan represif, bahkan hingga membunuh demi mengamankan posisi dan kepentingan. Kodok memang menjadi ajimat utama bagi Jokowi. Tuah atau pengaruhnya membuat banyak orang agar berperilaku seperti itu. Laba-laba itu adalah hewan yang mencari mangsa dengan memasang jerat. Sebagaimana perilaku politik Jokowi. Pembiaran merajalelanya korupsi dan tindakan pelanggaran lain oleh hampir seluruh pejabat negara, bukan tanpa maksud. Demikian pula bagi-bagi posisi komisaris dan lain-lain. Semua itu merupakan jaring laba-laba untuk menjerat agar orang menjadi tunduk dan takluk. Kalajengking, hewan yang suka tinggal bersembunyi di celah-celah lembabnya dan kotor, seperti di bawah bebatuan, di celah-celah dinding, dan sebagainya. Jika ada gerak yang membuatnya terkejut atau merasa terancam maka ia akan mematukkan ekornya dan mengeluarkan bisa. Lembab dan kotor lambang kondisi kemiskinan. Simbol-simbol kondisi itu dipakai oleh Jokowi sebagai citra diri. Pemimpin berasal dari kalangan rakyat bawah, rendah hati, sederhana, merakyat dan lain-lain. Kala persembunyian, kamuflase, kepalsuannya terbongkar hingga mengancam posisinya, dia akan menjadi sangat jahat dan keji. Perilaku demikian mewabah di lingkungan rezim. Maka pada rezim Jokowi ini kriminalisasi, pembunuhan, pembantaian kepada kalangan lemah ataupun kalangan bawah menjadi identitasnya. Makan ulat dan belatung. Ulat hewan pemakan tumbuhan dan buah-buahan, belatung pemakan bangkai. Perpaduan keduanya menjadi simbol keserakahan yang luar biasa. Ibarat kata yang kaya dirampok, yang miskin diperas. Mengakumulasi kekayaan dengan cara-cara keji dan menjijikkan. Tindakan itu pun berdampak merusak hingga melumpuhkan daya hidup dan tatanan kehidupan. Disamping itu di karikatur tersebut Jokowi pakai rompi merah. Saya kira itu juga bukan tanpa maksud... tafsirnya? Terserah Anda... hehehe. Demikianlah. (*)

Sidang Pemeriksaan Saksi: Menunggu Kehadiran Saksi Pelapor Dodo Baidlowi dan Saksi Korban Joko Widodo

Keterangan Bambang Tri soal Ijazah Joko Widodo palsu inilah, yang dianggap berita bohong. Karena itu, kalau Saksi Joko Widodo tidak hadir maka tidak ada korban kebohongan. Oleh : Ahmad Khozinudin, SH, Ketua Tim Advokasi Gus Nur & Bambang Tri Mulyono HARI ini (Selasa, 27/12) adalah sidang kedua dengan agenda pemeriksaan saksi dari JPU. Pada sidang yang lalu, JPU menyatakan akan menghadirkan 5 orang saksi. Penulis saat menulis artikel ini telah berada di sekitar PN Surakarta. Penulis dengan sejumlah tim advokasi Gus Nur dari Solo, akan kembali bersidang dengan menghadirkan Terdakwa secara offline, untuk agenda pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada sidang yang lalu (29/12), kami tim Penasehat Hukum sudah meminta kepada JPU melalui majelis hakim, agar saksi Dodo Baidlowi selaku pelapor dalam perkara ini dihadirkan diawal pemeriksaan. Kami tak ingin, pengalaman Gus Nur saat dilaporkan Banser NU pada kasus sebelumnya tidak terulang. Gus Nur sudah pernah masuk penjara dengan vonis 10 bulan, karena laporan Banser NU. Saat itu, saksi pelapor dan korban ada Yaqut Cholil Qoumas (saat ini pejabat Menag) dan Sa\'id Aqil Shiroj (dahulu Ketum PBNU). Pasalnya, Gus Nur dianggap mencemarkan Banser dan NU melalui unggahan video di kanal Youtube yang potongan videonya beredar di berbagai sosial media. Dalam berkas perkara, ada BAP atas nama saksi Yaqut Cholil Choumas dan saksi Said Aqil Shiroj. Keduanya diperiksa dan diambil keterangannya di tingkat kepolisian. Hanya hingga putusan, dua saksi ini tidak pernah diambil keterangannya di persidangan. Padahal, menurut KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (pasal 1 angka 27 KUHAP). Lebih spesifik dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka semestinya tidak terbukti unsur pencemaran terhadap Banser maupun NU karena pencemaran adalah delik aduan. Karena keterangan Saksi Yaqut Cholil Choumas dan Saksi Said Aqil Shiraj tidak dinyatakan di pengadilan. Namun, anehnya Gus Nur tetap divonis 10 bulan penjara. Dalam kasus Mubahalah Ijazah palsu Jokowi ini yang dianggap menista agama, mengedarkan kabar bohong, maka saksi pelapor harus dihadirkan. Jangan sampai terulang kasus pencemaran Banser NU, tapi saksi pelapor dan sebagai korbannya tidak pernah dihadirkan di persidangan. Lebih dari sekedar itu, selain saksi pelapor Dodo Baidlowi maka saksi Saudara Joko Widodo juga harus dihadirkan. Karena konten Mubahalah Gus Nur adalah terkait keterangan Bambang Tri Mulyono yang meyakini ijazah SD, SMP, SMA dan S-1 Joko Widodo palsu. Keterangan Bambang Tri soal Ijazah Joko Widodo palsu inilah, yang dianggap berita bohong. Karena itu, kalau Saksi Joko Widodo tidak hadir maka tidak ada korban kebohongan. Yang lebih penting selain hadir di persidangan adalah Saksi Joko Widodo bisa menunjukan ijazah yang dimilikinya di hadapan persidangan, untuk memastikan Ijazah Joko Widodo asli dan Bambang Tri telah bohong soal ijazah Joko Widodo. Kalau saksi Joko Widodo tidak dihadirkan, maka tidak ada kabar bohong. Bahkan, publik berhak ikut meyakini bahwa ijazah SD, SMP, SMA dan S-1 Joko Widodo adalah palsu, sebagaimana keterangan dan keyakinan Bambang Tri Mulyono dalam Mubahalah yang dibimbing Gus Nur. (*)