Yang Pantas Diselamatkan Itu Demokrasi Pancasila, Bukan Demokrasi Liberal
Dengan begitu, demokrasi nyata dalam praktiknya belum terlaksana sebab rakyat hanya sebagai kuda tunggangan yang suaranya hanya dibeli dengan sembako atau uang lima puluh ribu.
Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
KETIKA narasi mulai bergulir dan deras nya keinginan rakyat kembali ke UUD 1945 .arti nya demokrasi liberal sudah saatnya diakhiri, sebab kerusakan Negara Bangsa sudah semakin dititik nadir.
Rupanya kaum liberal juga ingin pemilu tetap berlangsung padahal jika tetap ingin pilpres, pilkada, pemilu tetap berlangsung sama artinya memperkokoh sistem oligarki.
Bahkan narasi narasi ancaman jika pemilu diundur ada gerakan untuk menyelamatkan demokrasi liberal.
Padahal perubahan itu yang diinginkan adalah mengembalikan Pancasila dan UUD 1945 kembali sebagai dasar berbangsa dan bernegara .kembali pada jati diri bangsa yang oleh pengamat dan kaum liberal menarasikan seakan mau menghabisi demokrasi liberal mereka tidak melihat musyawarah mufakat sebagai demokrasi.
Padahal musyawarah perwakilan itu lebih beartabat dari pada demokrasi banyak-banyakan suara kalah menang pertarungan dengan menghalalkan segala cara.
Perdebatan terus berlangsung dan kasak kusuk partai politik sudah mulai menghidupkan mesin partai nya untuk berebut kenikmatan kue kekuasaan pada tahun 2024.
Koalisi-koalisi mulai dibentuk strategi mengatur kekuatan mulai melontarkan hal-hal yang kadang tidak masuk akal pokoknya waton saja tanpa mampu melihat Indonesia itu apa dan bagaimana.
Isu politik identitas mulai keluar dari mulut ketua partai politik tanpa mampu mengaca padahal diri nya adalah bagian dari politik identitas skema dan arah isu politik identitas sudah jelas bagian dari Islamophobia.
Jejak sejarah ingin mereka hapus tetapi mereka lupa Indonesia dibentuk oleh berbagai macam Identitas, Suku, Ras, Agama, Golongan dan adat istiadat.
Berakar dari berbagai macam identitas itulah melahirkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk mempersatukan Identitas yang bermacam-macam itu.
Sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 bangsa Indonesia ini seakan sudah tercerabut dari akar ke Indonesia-annya, aliran pemikiran yang penuh makna tentang negara Indonesia diganti dengan Indonesia yang tanpa makna, dari Indonesia dengan sistem yang terbaik diganti dengan sistem Indonesia yang terburuk.
Presidential Threshold 20 % adalah sebuah instrumen untuk membatasi masuk nya calon pemimpin yang terbaik ,Indonesia tidak boleh dipimpin oleh orang orang yang terbaik tetapi Indonesia harus dipimpin oleh orang orang yang bisa melayani kepentingan oligarki.
Oleh sebab itu telah dibuang sistem terbaik didalam UUD 1945.
Sistem MPR dengan demokrasi konsensus yang mencerminkan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila dengan Permusyawaratan perwakilan diganti dengan demokrasi semua yang serba mahal dan bandar bandar demokrasi yang serba pecitraan dan uang untuk membeli suara rakyat dan geser menggeser caleg tentu saja serba transaksi uang.
Pemilu tahun 2019 telah mengorbankan nyawa petugas KPPS sebanyak hampir 800 orang dan biayayah yang sangat besar. Kecurangan dan kebohongan bagisn dari strategi demokrasi liberal.
Sebetulnya apa demokrasi itu? Apa masih demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan sesuai keinginan rakyat? Diganti dengan demokrasi dari oligarki, oleh ketua partai politik, dan untuk oligarki.
Sistem musyawarah perwakilan diganti dengan demokrasi post thrud.
Fenomena kebohongan yang dilakukan terus menerus akan menjadi pembenaran hal tersebut dinamakan post-truth dan istilah tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Steve Tesich melalui esainya pada harian The Nation tahun 1992.
Frasa post-truth awalnya dikenal di ranah politik saat kontes politik memperbutkan kursi parlemen dan/atau tujuan politik lain sehingga istilah ini disebut post-truth politics.
Era post-truth dapat disebut sebagai pergerseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini dan buzer-buzer
Pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa semakin tipis pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi. Secara sederhana, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Cara menanggulangi post-truth dapat dilakukan melalui literasi digital ke masyarakat luas.
Praktik politik di Indonesia dengan pilpres, pileg langsung telah mempraktikan post truth sehingga munculnya buzer-buzer untuk membangun opini yang terus di gencarkan melalui media sosial membuat rakyat tidak bisa lagi melihat kebenaran.
Demokrasi itu sebetulnya hanya alat bukan tujuan. Apakah demokrasi itu untuk rakyat atau rakyat untuk demokrasi?
Mengganti UUD 1945 dengan UUD 2002 itu sama arti nya mengganti yang baik dengan yang buruk.
Dengan dasar negara Pancasila dan bangsa Indonesia mempunyai bermacam- macam suku, adat istiadat, berbagai macam Agama, berbagai golongan maka the Founding Fathers adalah manusia terpilih yang mempunyai pemikiran melampaui jamannya.
Tidak memilih sistem Individu, Liberal Kapitalis dengan sistem perlementer maupun Presidenseil, tetapi menciptakan sendiri sistem MPR dengan Permusyawaratan perwakilan adalah demokrasi konsensus yang bisa dikatakan demokrasi bermartabat dengan derajat yang tinggi.
Menariknya, pemikiran founding fathers kita pada 1945 mengenai model Demokrasi Pancasila itu hampir identik dengan pemikiran demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas (1982), hampir empat dasawarsa kemudian.
Bagi Habermas, demokrasi deliberatif merupakan konsep demokrasi yang dilandasi oleh mekanisme musyawarah yang mendalam, tidak didasarkan pada demokrasi voting mayoritas, tetapi menekankan pada demokrasi yang mengarah pada ketaatan bersama.
Konsep demokrasi ini memberikan konsensus untuk mengurangi gesekan kelompok minoritas yang tidak menerima keputusan demokratis.
Arend Lijphart (1999) dalam buku nya Patternd of Democracy menjelaskan untuk mendapatkan mayoritas dukungan rakyat ada demokrasi mayoritas jika di negara itu hanya ada dua partai sedang di negara yang banyak partai maka dibutuhkan demokrasi konsensus.
Demokrasi konsensus-lah sebenar nya yang lebih sesuai di Indonesia seperti yang sudah digagas oleh pendiri negeri ini dengan keanggotaan MPR bukan hanya dari unsur partai politik tetapi ada utusan utusan golongan dan utusan daerah.
Dengan model demokrasi konsensus maka keterlibatan partisipasi masyarakat melalui perwakilannya bisa terwujud maka konsep negara semua untuk semua dengan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud, dan kebhinekaan bangsa ini akan terwakili.
Sistem kekeluargaan ini dianggap oleh the Founding Fathers sangat sesuai dengan nilai nilai budaya bangsa Indonesia . Ironisnya, kita buang sistem yang baik ini, dan diganti dengan demokrasi banyak-banyakan suara, kalah-menang pertarungan yang lebih buruk dari demokrasi konsensus.
Demokrasi terpimpin menurut istilah UUD 1945 ialah “Kerakyatan Yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Demokrasi terpimpin bukanlah diktatur ,beda dengan sentralisme,dan sangat berbeda dengan demokrasi liberal yang dijalankan model pilkada, pilpres, pilsung saat ini.
Demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia sejak dulu kala.
Demokrasi terpimpin adalah demokrasi disegala soal kenegaraan dan kehidupan kemasyarakatan ,yang meliputi bidang-bidang politik, Ekonomi, Sosial,
Demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
Tetapi demokrasi semu sekarang ini dijalankan , malah jadi juru pawang menangkal masuknya sumberdaya manusia terbaik bangsa ke dalam tatanan politik. Bukannya menyaring dan merekrut orang-orang terbaik bangsa masuk ke dalam tatanan politik.
Dengan begitu hanya pemimpin yang diinginkan oleh kepentingan oligarki saja Yanga boleh ikut.
Dengan begitu, demokrasi nyata dalam praktiknya belum terlaksana sebab rakyat hanya sebagai kuda tunggangan yang suaranya hanya dibeli dengan sembako atau uang lima puluh ribu.
Apakah kebodohan ini akan terus kita lanjutkan?
Kesadaran kita berbangsa dan bernegara harus berani merobah tatanan yang salah ini kembali pada demokrasi musyawarah mufakat selamatkan Indonesia dari oligarkinya. (*)