OPINI
Sang Raja Buta-Tuli
Roda pemerintahan semua sedang menuju jalan buntu menembus lorong terjal. Bagaikan sang raja hutan “telinga tuli, mata buta”, malah meminta penambahan masa jabatan. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih SOLITUDINEM faciunt pacem appellant (mereka menciptakan kehancuran dan menyebutnya perdamaian). Seorang Raja Hutan dalam kondisi lapar atau kenyang, yang selalu ada dalam benaknya itu adalah memangsa lawan. Karena, semua yang ada di luar dirinya itu adalah ancaman. Seorang Penguasa Tirani pasti memiliki paling tidak sifat “mata buta, telinga tuli” alias “buta-tuli” yang dalam menatap, mendengar dan memahami realitas kondisi objektif Indonesia, yang terusik berbeda pendapat, apalagi melawan, akan jadi sasaran empuk dimangsa. Indonesia sudah dilanda krisis multi dimensi yang kondisinya sudah benar-benar terjerembab ke tingkat titik nadir. Akibat ketidak-cakapan, ambisi, dan keserakahan rezim. Tidak sadar negara sudah diambang negara gagal, mengantisipasi dinamika geo politik dunia, dan gagal mengelola problematika dalam negeri. Gagalnya menjaga negara dengan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia terjepit di tengah turbulensi politik global akibat kesembronoannya. Rezim telah benar-benar kehilangan kepercayaan dari masyarakat mayoritas rakyat Indonesia. Korupsi merajalela dan hutang menggunung, keserakahan oligarki sudah menelikung. Bahwa subsidi dicabut, tarif kebutuhan dasar dan pajak melambung tinggi mencekik hidup rakyat yang daya belinya terus menurun. Gagal melindungi rakyatnya. Dalam kondisi keterpurukan ekonomi, enggan menghentikan IKN, Kereta Api Cepat Jakarta Bandung, pembangunan infrastruktur, dan proyek mercu suar lainnya yang hanya karena hawa nafsu ambisinya. Kekuasan makin pongah, arogan, penyimpangan, kekejian, ketidak-adilan, dan kebohongan justru ketika negara sedang berjalan sempoyongan. Dalam ketidakberdayakan, memposisikan polisi dipermak menjadi super body sebagai hammer memukul siapapun yang beroposisi atau melawan penguasa. Anehnya rezim ini tidak sedikitpun merasa bersalah, bahkan makin jumawa dengan macam rekayasa pencitraan, kosong rasa, dan peduli terhadap “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu” sekalipun gelombang demo sudah sampai menuntut Presiden mundur atau turun. Tidak melihat bara sekam semakin membesar dipastikan akan bisa berubah menjadi kekuatan revolusi sosial dan yang setiap saat bisa menerkamnya. Indonesia sudah miskin peradaban, kesantunan, etika dan benar-benar lepas dari nilai-nilai Pancasila. Bahkan, UUD 1945 juga sudah dimangsa. Roda pemerintahan semua sedang menuju jalan buntu menembus lorong terjal. Bagaikan sang raja hutan “telinga tuli, mata buta”, malah meminta penambahan masa jabatan. Dalam kondisi yang gawat dan rumit, beberapa pejabat tinggi negara, luluh- lantak di mamah oligarki: “In the struggle, I\'m selling myself more often than not on the highest bidder purely for thrill and money” ((Dalam berjuang, saya lebih sering menjual diri saya pada penawar tertinggi semata-mata untuk kesenangan dan uang). Negara dalam bahaya, dikawal pejabat negara kekinian “enjoy live” tidak peduli kapan lagi buka saat ini menjual diri. (*)
Prioritas!
Semuanya ini indikasi konkrit amburadulnya Prioritas di negara ini. Maka marilah kita paham dan sadar bahwa selama pengabaian prioritas ini terus berlangsung, sulit berharap kemajuan NKRI menghadapi masa mendatang. Oleh: Sugeng Waras, Kolonel Purnawirawan, Pemerhati Keumatan, Kebangsaan, Pertahanan dan Keamanan Negara SETIDAKNYA saya sudah pernah sampaikan kepada lima (5) delegasi Perwira Militer Luar Negeri (Singapura, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan China) ketika saya bersama rombongan berkunjung ke negaranya, untuk menjawab pertanyaanya terkait sistem pertahanan Indonesia terhadap ancaman invasi dari lugri. Yang esensinya bahwa bangsa Indonesia hakekatnya “cinta damai tapi lebih cinta kemerdekaan”! Memahami dan menyadari bentuk dan komposisi NKRI, maka hal yang paling rawan adalah jika adanya kekacauan dalam negeri bersamaaan dengan invasi dari luar negeri (lugri) itu. Dengan memperhitungkan celah-celah pulau besar yang bisa dimanfaatkan oleh lawan sebagai pintu masuk ke Indonesia, maka dengan mensinergikan kekuatan udara, laut, dan darat bersama dengan rakyat serta penguasaan dan pemanfaatan IT, maka pintu-pintu masuk itu telah dikunci dan dilatihkan secara proporsional dan fungsional setiap saat, secara bertahap, bertingkat, berlanjut, dan berkesimbungan Artinya, Indonesia telah menyiapkan kebijakan, strategi, operasional, taktis, dan teknis yang siap mencegah, menindak dan memulihkan terhadap segala kemungkinan dari AGHT (Ancaman, Gangguan, Hambatan, dan Tantangan) terhadap NKRI dalam setiap saat, bentuk, jenis, dan sifatnya. Sehingga kekuatan dan kemampuan sebesar apapun dari musuh akan dapat dipatahkan dan diusir kembali keluar dari NKRI. Inilah kesimpulan dari pertahanan dan ketahanan Perang Rakyat Semesta (PERATA) yang telah diwariskan oleh para pejuang pendahulu kita. Namun, benarkah ini masih konsisten dan konsekuen hingga kini? Ini menjadi tanggung jawab Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang juga sebagai Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Kekuatan dan kemampuan angkatan perang harus tetap menjadi fokus dan prioritas, tanpa mengabaikan pergaulan Internasional dan keseimbangan kepentingan dan tujuan negaranya. Dan, ini bisa terwujud manakala disertai persatuan dan kedamaian warga negaranya. Dan, itu juga harus ditopang dengan sifat dan watak seorang pemimpin yang cakap, cerdas, berwawasan luas, menegakkan kejujuran, kebenaran, dan keadilan yang tertanam pada dirinya sendiri serta ditanamkan kepada seluruh wargga negaranya. Bagaimana fenomena negara saat ini? Negara yang diunsuri pemerintah, rakyat, wilayah, dan pengakuan dari negara lain, serta diaspeki Idologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, hukum serta pertahanan dan keamanan nyaris tak terkendalikan. Peran, tugas dan fungsi TNI sebagai penjaga, pembela, penyelamat kedaulatan negara dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia, serta peran, fungsi dan tugas Polri sebagai pengayom, pelindung, pelayanan masyarakat dan penegakan hukum sudah jelas, begitu juga MK, MA, DPR maupun lembaga lembaga lain berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun, faktanya lalai dan ceroboh, sehingga Rencana perundang-undangan dan Undang Undang BPIP/HIP, Omnibus Law/Cipta Kerja dan juga Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru, sudah lolos, yang semuanya nyaris mengindikasikan kerja-sama, terjadi konpirasi jahat yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif yang mengkianati Pancasila dan UUD 1945. Penegakan hukum yang tebang pilih, kebohongan demi kebohongan yang menjadi solusi, pengelolaan SDA dan keuangan yang amburadul, serta penerimaan TKA yang tidak transparan, menggunungnya hutang negara, yang membebani masa depan bangsa dan negara, serta pudarnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Uraian singkat dan tidak mendalam di atas sebagai pengingat dan penekanan kembali bobroknya negara. Tapi mengapa semua tidak ada keberanian untuk melawan? Bangsa Indonesia bukan bangsa tempe yang terus-menerus mlempem, susah bersatu dan tidak ada keberanian. Forum dan Front Ormas gigih mengadakan perlawananan, namun orpol atau parpol sibuk ngurusin persiapan dan pencalonan capres dan cawapres masing masing. Di sisi lain musibah demi musibah, baik karena ulah manusia atau alam terus bergilir. Kejadian di Stadion Kanjuruan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, dan gempa bumi di Cianjur sebagai contoh konkrit. Ulah sosok Benny Ramdhani yang mengadu di depan Presiden Jokowi terkait penegakan hukum yang memutar-balikkan fakta dan berpotensi membuat kegaduhan nasional seolah dianggap sepele dan tidak ada tindak lanjut dari aparat. Semuanya ini indikasi konkrit amburadulnya Prioritas di negara ini. Maka marilah kita paham dan sadar bahwa selama pengabaian prioritas ini terus berlangsung, sulit berharap kemajuan NKRI menghadapi masa mendatang. Maka kepedulian dan kepekaan pada masalah-masalah kenegaraan melalui kegiatan keumatan, kebangsaaan, kenegaraan serta untuk membangun dan membangkitkan persatuan dan kesatuan bangsa yang berani, peka dan juga peduli, insiatif dan kreatif, berketuhanan, bermoral, proposional, profesional, bertanggung jawab, bermartabat, dan beradzab, menjadi alternatif utama dalam mengambil solusi. Bandung, 29 Nopember 2022. (*)
Menegakkan Hukum atau Hasutan Represif?
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Video viral Benny Rhamdani sangat mengejutkan, secara terang-terangan memberi pernyataan kepada Presiden akan melawan (secara fisik?), kalau pemerintah tidak proses hukum kepada kelompok masyarakat yang menyampaikan pendapat kritis kepada pemerintah, khususnya kepada Jokowi. Video yang menurutnya tidak utuh tersebut menunjukkan sifat otoriter anti kritik. Bahkan lebih jauh lagi, membujuk pemerintah untuk mengambil cara otoriter kepada masyarakat yang menyampaikan kritik. Pernyataan ini sangat bahaya. Bisa mengundang benturan horisontal sesama anak bangsa. Padahal kritik adalah bagian dari demokrasi, kritik adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Pasal 28E Ayat (3) UUD mengatakan, \"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Tetapi, menurut klarifikasi yang bersangkutan, kritik yang disampaikan ini bukan lagi sekedar kritik, tetapi upaya delegitimasi atau bahkan mau menjatuhkan pemerintah. Maka itu harus dilawan (alias “ditawur”?), kalau pemerintah tidak proses hukum, alias tangkap? Klarifikasi ini juga sangat bahaya karena dapat dianggap sebagai fitnah kepada kelompok masyarakat yang kritis. Karena itu, Benny Rhamdani harus bisa menunjukkan kritik mana yang dianggap delegitimasi atau mau menjatuhkan pemerintah? Sebagai contoh, kalau ada masyarakat yang mengatakan “pemerintah gagal memberi kesejahteraan kepada masyarakat”, apakah ini delegitimasi dan mau menjatuhkan pemerintah, sehingga harus “ditawur”? Benny Rhamdani juga mengatakan, kritik selalu dilakukan dengan pola yang sama: penyebaran kebencian, fitnah, adu domba antar suku dan agama, dan berita hoax, bahkan penghinaan dan pencemaran terhadap simbol-simbol negara, presiden, ibu negara. Sehingga menurutnya wajib “ditawur”? Untuk hal ini, Benny Rhamdani juga harus klarifikasi apa yang dimaksud dengan penyebaran kebencian, fitnah, adu domba, berita hoax, dan lainnya itu. Dan wajib menunjukkan contoh kasus yang sudah terjadi. Karena, jangan sampai yang dituduhkannya kepada kelompok masyarakat kritis ini hanya fitnah saja. Sekali lagi, inti dari pernyataan Benny Rhamdani adalah, kalau pemerintah tidak bisa menegakkan hukum kepada kelompok masyarakat kritis, maka Benny Rhamdani bersama kelompoknya siap melakukan perlawanan (secara fisik?). Kalau dicerna lebih dalam lagi, ungkapan Benny Rhamdani kepada Jokowi dapat juga dimaknai sebagai “ancaman” kepada Jokowi: kalau Anda tidak proses hukum kepada para “pengritik”, maka kami akan melawan (secara fisik?). Selain bahaya, pernyataan Benny Rhamdani tersebut dapat menjadi bumerang. Kalau pemerintah tiba-tiba menangkapi masyarakat yang menyampaikan pendapat kritis, maka masyarakat mengerti siapa dalang di belakang itu semua. Di sisi lain, pernyataan Benny Rhamdani mungkin sudah memenuhi pelanggaran Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatakan: Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi tingginya tiga tahun. Karena, pernyataan Benny Rhamdani “kami melawan” sudah bisa menerbitkan keonaran, dan yang disampaikannya merupakan berita bohong bahwa masyarakat kritis mau menjatuhkan pemerintah. (*)
Rambut Putih yang Jokowi Maksud: Basuki?
Termasuk jika nanti ada tokoh kalau sudah ketemu taipan-taipan itu pasti dia paham masalah ini. Termasuk kenapa mereka itu gak suka dengan Anies dan bakal terus membendungnya untuk nyapres. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network-FNN MENTERI Pertahanan Prabowo Subianto yang juga Ketum Partai Gerindra, kena prank Presiden Joko Widodo? Setidaknya, Gelaran Relawan bertajuk “Relawan Nusantara Bersatu” di Gelora Bung Karno, Sabtu (26/11/2022), menjadi bukti prank tersebut. Jokowi memberi kriteria Bakal Calon Presiden yang disokongnya. Cirinya: berambut putih dan keriput. Prabowo jelas tidak berambut putih. Mantan Danjen Kopassus ini juga tidak keriput. Banyak orang mengira, kriteria itu ada pada sosok Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Banyak tokoh politik maupun masyarakat, termasuk ulama dan kiai yang “terkecoh” dengan kriteria yang dimaksud Jokowi itu hingga sudah banyak pula yang mendeklarasikannya, termasuk ulama di Jambi dan sebelumnya juga banyak ulama di daerah lainnya. Ganjar sendiri sepertinya enjoy-enjoy saja dengan kriteria yang dilontarkan Jokowi di GBK tersebut. Apalagi, terhembus kabar, Ganjar itu didukung oleh Taipan alias Oligarki Indonesia dengan kucuran dana yang tidak terbatas. Ini yang akhirnya juga membuat marah PDIP. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto langsung bereaksi keras atas penyelenggaraan “Gerakan Nusantara Bersatu”, Sabtu, 26 Nopember 2022, di GBK tersebut. Dalam rilisnya, Hasto pribadi sangat menyesalkan adanya elit relawan yang dekat dengan kekuasaan, lalu memanfaatkan kebaikan Presiden, sehingga menurunkan citra Presiden Jokowi. Akibatnya, kata Hasto, kehebatan kepemimpinan Presiden Jokowi di G20 Bali yang membanggakan di dunia dan di rakyat Indonesia, lalu dikerdilkan hanya urusan gegap gempita di GBK. Menurut Hasto, kepemimpinan Presiden Jokowi yang sudah going global dan menjadi inspirasi dunia, direduksi dengan cara-cara yang tidak elegan. Sepertinya elit relawan tersebut mau mengambil segalanya, jika tidak dipenuhi keinginannya mereka mengancam akan membubarkan diri, tapi jika dipenuhi elit tersebut melakukan banyak manipulasi. “Banyak sekitar Presiden Jokowi yang kurang paham bahwa elit relawan ini kumpulan berbagai kepentingan,” ungkap Hasto. Padahal, lanjutnya, seharusnya menyangkut urusan bangsa dan negara, apalagi pemimpin ke depan merupakan persoalan bersama yang harus dijawab dengan jernih, penuh pertimbangan, dan harus menjawab jalan kejayaan bagi bangsa dan negara Indonesia. “Apa yang terjadi dengan acara Nusantara Bersatu, menjadi pelajaran politik yang sangat penting, terlebih di dalam cara mobilisasi tersebut, sampai harus dilakukan cara-cara menjanjikan sesuatu yang tidak sehat,” lanjutnya. PDIP menghimbau kepada ring satu Presiden Jokowi agar tidak bersikap asal bapak senang (ABS) dan benar-benar berjuang keras bahwa kepemimpinan Pak Jokowi yang kaya prestasi sudah on the track. “Bahkan prestasi Pak Jokowi itu untuk bangsa Indonesia dan dunia, bukan untuk kelompok kecil yang terus melakukan manuver kekuasaan,” tegasnya. Itulah ungkapan “kemarahan” PDIP yang diekspresikan oleh Hasto Kristiyanto. Tentu saja, PDIP masih manafsirkan rambut putih dan muka keriput itu tidak lain adalah Ganjar Pranowo yang sudah diberi “tegoran” oleh DPP PDIP terkait aktivitas promo “nyapres” untuk Pilpres 2024. Bukan Ganjar? Siapa sebenarnya yang dimaksud Presiden Jokowi berambut putih dan keriput tersebut? Benar, Ganjar Pranowo itu berambut putih, tetapi kulit muka masih halus, tidak keriput. Kesimpulannya, berarti yang dimaksud Jokowi itu bukan Ganjar. Tapi, adalah orang kepercayaan Presiden Jokowi yang lain. Ada satu menteri yang ciri-cirinya seperti yang disebutkan Presiden Jokowi ini. Yaitu, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Rambutnya putih semua, mukanya memang rada keriput atau berkerut. Menteri Basuki adalah menteri yang tiap saat selalu mendampingi Jokowi dalam berbagai kunjungannya. Pak Bas, demikian Basuki Hadimuljono ini akrab dipanggil, sempat menarik perhatian ketika KTT G20 lalu di Denpasar, Bali, mendadak menjadi fotografer di acara G20 tersebut. Terlihat dalam video dan foto-foto yang beredar di media sosial Pak Bas tiba-tiba membawa kamera berlensa besar dan turut membaur dengan fotografer lainnya. Meski berdiri bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, namun hanya Pak Bas yang fokus dan sibuk dengan kamera yang dibawanya. Sejurus kemudian, ia memotret para pemimpin dunia yang hadir. Juru bicara dari Menteri PUPR, Endra Atmawidjaja mengatakan bahwa pada saat itu tugas dari Kementerian PUPR di KTT G20 sudah tidak ada. Maka dari itu, Menteri Basuki menghabiskan waktunya tak hanya mendampingi Presiden Jokowi namun juga menyalurkan hobinya. “Tadi malam, dari kemarin juga beliau sudah bawa kamera. Ketika acara selesai langsung angkat kamera. Ya itu memang hobinya,” kata Endra. Orang-rang pada lupa kalau Jokowi punya orang dekat dan kepercayaan yang punya ciri-ciri seperti disebutkan Jokowi itu, dan dia minim resistensi. Selama 2 periode, sejak terpilih jadi Presiden 2014, Pak Bas sudah dipercaya Jokowi memegang jabatan Menteri PUPR. DR. (HC) Ir. H. Mochamad Basoeki Hadimoeljono, MSc, PhD (lahir 5 November 1954) adalah Menteri PUPR pada Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma\'ruf Amin sejak 23 Oktober 2019. Sebelumnya Pak Bas juga menjabat sebagai Menteri PUPR pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla periode 2014-2019. Pak Bas lahir di Surakarta, ayahnya seorang anggota TNI Angkatan Darat. Setelah memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada pada 1979, ia pindah ke Kementerian Pekerjaan Umum dan memulai kariernya di sana. Kemudian, ia memperoleh gelar master dan doktor dari Universitas Colorado. Pak Bas naik pangkat dan menjabat sebagai Inspektur Jenderal dan Direktur Jenderal di sana, sampai ia menerima penunjukan dari Joko Widodo untuk menjabat sebagai menteri setelah lebih dari 30 tahun sebagai pegawai negeri pada 2014. Karena program infrastruktur Jokowi, Kementerian PUPR menerima porsi anggaran yang signifikan selama masa jabatannya, sebesar Rp 107,3 triliun untuk tahun fiskal 2018. Proyek-proyek di bawah masa jabatannya termasuk pembangunan massal perumahan umum, infrastruktur jalan dan waduk air. Kementrian Basuki juga memprakarsai Proyek Bendungan Bener, yang justru menjadi pro-kontra di daerah Wadas hingga saat ini. Jika menyimak ciri khas yang disebutkan Presiden Jokowi, maka Pak Bas-lah yang sebenarnya disiapkan sebagai penggantinya. Coba diresapi masuk akal atau tidak? Taipan atau Oligarki itu lebih nyaman investasi di Basuki Hadimuljono atau Andika Perkasa. Coba diraba kenapanya? Kalau sama Anies Baswedan mereka itu anti benar. Sebabnya cuma satu: mereka takut kalau FPI yang berkuasa dan mengganggu bisnis mereka. Makanya saya pernah bilang dalam tulisan sebelumnya, kalau Anies itu berat nyapres. Banyak yang jadi kendalanya. Banteng sendiri kalau yang muncul Basuki dan digandeng dengan Puan juga tampaknya gak keberatan. Soal Ganjar, dia cuma jadi pengalih-perhatian dan Ganjar sendiri gak sadar akan itu. Ganjar terlalu kegeeran. Andai dia tahu jalan pikiran Jokowi seperti yang juga disampaikan Panda Nababan, Ganjar pasti malu berat. Dipermainkan Jokowi, seperti prank pada Prabowo yang disebut sebagai penggantinya. Oligarki sendiri seolah menopang Ganjar dengan kekuatan uangnya. Padahal, kalau Ganjar tahu yang dipakai cuma uang recehan, tambah malu dia. Uang besarnya masih disimpan untuk Basuki atau Jokowi 3 periode. Jadi, ketemu kan sebabnya Jokowi ngibul sana-sini dan PHP banyak orang, seperti Prabowo dan Ganjar? Termasuk jika nanti ada tokoh kalau sudah ketemu taipan-taipan itu pasti dia paham masalah ini. Termasuk kenapa mereka itu gak suka dengan Anies dan bakal terus membendungnya untuk nyapres. Perlu diingat, Jokowi-Megawati itu sama-sama saling membutuhkan. Sama-sama butuh aman dan sama-sama butuh menaikkan orang-orang yang bisa dipercaya untuk “mengamankan”. Dan, Anies Baswedan gak masuk di dalam kamus mereka. Taipan-taipan itu apa kata Luhut Binsar Panjaitan. Dan, LBP itu juga punya kepentingan. Kalau paham jalan pikiran Machiavelli, pasti paham skenario ini. (*)
Sindrome Mataraman Belum Mati
Dalam era demokrasi pasca reformasi, mentalitas birokrasi ala Kolonial sarat feodalisme itu bukannya mati. Tapi malah meluas ke ranah politik kepartaian dan parlemen. Yang akhirnya barang tentu, Istana. Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopoitik dan Wartawan Senior DI alam pikir budaya politik Jawa, ternyata ada dua konsep yang secara teoritis satu kesatuan, padahal secara praktek bisa dibelah dua, dan tidak saling berhubungan. Pertama, kedaulatan atau istilah Jawa-nya Parentah. Satunya lagi, pelaksana kekuasaan atau dalam Jawa adalah Panguasa. Dalam pakem murni suatu kerajaan sebenarnya itu biasa. Kedaulatan atau Parentah ada pada ranah raja atau ratu. Panguasa atau pelaksana kekuasaan ada pada Patih atau Perdana Menteri. Namun, pada era penjajahan Belanda sejak 1.830, secara jeli memanfaatkan celah ini digunakan untuk membangun struktur politik buat melayani skema penjajahannya. Kasunan Solo dan Kasultanan Yogya, merupakan proyek rintisan Belanda. Setelah membatasi Kasunan Solo dan Kasultanan Yogya pada wilayah-wilayah yang semakin sedikit, Belanda berhasil memaksa kedua kerajaan untuk melimpahkan hak pelaksanaan kekuasaannya atas Banyumas dan Bagelen. Dengan begitu, para bupati kedua daerah itu ditunjuk atas rekomendasi dan persetujuan Belanda. Maka walaupun para calon bupati Banyumas dan Bagelen direkrut dari trah kaum bangsawan kraton, namun sebagai bupati terintegrasi sebagai aparat birokrasi pemerintah Kolonial Belanda. Cara Belanda semacam ini jadi bom waktu saat Indonesia merdeka. Mental para aparat birokrasi dari atas sampai bawah memandang dirinya sebagai raja-raja kecil yang sok kuasa, lebih suka dilayani ketimbang melayani warga masyarakat, dan memperkaya diri tanpa kepekaan pada nasib orang banyak. Kecuali untuk diri, keluarga dan keturunannya, maupun kelompoknya. Dalam menyikapi skema penjajahan gaya baru di era modern sekarang ini, warisan penjajah ini juga memudahkan asing untuk menerapkan penjajahan nirmiliternya. Tidak beda dengan mentalitas para bupati zaman dulu yang patuh pada birokrasi penjajahan Belanda namun melestarikan budaya feodalisme yang melekat pada jabatan bupati, jaksa, patih, wedana dan asisten wedana, maka mental birokrasi terbentuk sampai sekarang. Oke kalian boleh jajah kami, tapi ibarat kami ini kepala mandor bangunan, semua tenaga kerja bangunan harus keluarga kami, keluarga kami. Mulai dari tukang semen, tukang cat, tukang cor. Dan sebagainya. Dalam era demokrasi pasca reformasi, mentalitas birokrasi ala Kolonial sarat feodalisme itu bukannya mati. Tapi malah meluas ke ranah politik kepartaian dan parlemen. Yang akhirnya barang tentu, Istana. Kalau di era Pak Harto (Presiden Suharto) birokrat jadi pemain kunci, maka dalam demokrasi ala reformasi, pemain kunci pengganti aparat birokrasi adalah politisi partai. Mereka inilah bupati-bupati modern namun dengan mental feodal era kolonial. Inilah hakekat oligarki dan kartel politik zaman sekarang. Sebagai broker terhadap kepentingan asing tetap dengan mindset feodalisme tempo doloe: Silakan jajah kami, tapi dalam pelaksanaannya, dalam operasionalisasinya, yang mengerjakan orang-orang kami semua. Makanya dalam membaca ulang budaya nusantara, harus dipilah secara tepat, mana yang murni kearifan lokal, dan mana kearifan lokal yang telah ditunggangi feodalisme dengan skema neokolonialisme dan imperialisme. (*)
Pertamina Transisi Energi atau Sempoyongan
Mengurangi emisi di Scope 3 itu sebetulnya bagian paling mudah. Hanya butuh sedikit inovasi dengan sedikit berpikir, membangun program yang melibatkan banyak kalangan secara luas. Ini bisa dilakukan Pertamina. Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) INDONESIA sebagai Pimpinan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang akan mengelola dana awal senilai 20 miliar US dolar, telah mengambil langkah percepatan mencapai NZE (Net Zero Emision) sampai 2030. Ini adalah langkah ambisius untuk menekan emisi di semua lini mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari Scope 1 sampai dengan 3, menyeluruh. Target pemerintah ini jika bukan semua masalah tentu saja ini tantangan paling serius bagi Pertamina sebagai perusahaan energi terbesar di tanah air. Memang bukan hanya bagi Pertamina Scope 3 ini adalah pekerjaan paling berat bagi semua perusahaan penghasil BBM. Scope 3 menyumbang 80 hingga 95% dari total emisi karbon dari perusahaan minyak dan gas. Tetapi hanya sejumlah kecil dari perusahaan-perusahaan ini yang telah menetapkan ambisi bersih Lingkup 3. Sampai sekarang ini hanya 10 perusahaan minyak dan gas besar yang berkomitmen pada Scope 3 net zero. Perusahaan paling ambisius telah menargetkan Net Zero Scope 3 pada 2030. Mayoritas menargetkan 2050. Demikian disebutkan dalam sebuah laporan lembaga investasi. Ini tentu tak termasuk Indonesia dan perusahaan minyak Pertamina. Memang Cakupan 1 dan 2 nol bersih sekarang menjadi standar industri. Tapi Scope 3 net zero membutuhkan penyusutan dramatis minyak dan gas yang merupakan ancaman mendasar bagi keberlanjutan tanpa strategi untuk membangun pusat laba yang baru yang rendah karbon. Para analis menganalisis bagaimana mencapai nol emisi Scope 3 sehingga membutuhkan perubahan struktural yang besar. Perusahaan mengambil taruhan yang berbeda untuk mengelola tantangan keberlanjutan. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan area kekuatan kompetitif. Mereka harus bersaing dengan ketat untuk menghasilkan portofolio NZE. Sementara itu, bagi perusahaan minyak memasuki area ini ibarat ikan lele berlomba dengan paus di laut. Belum sempat berenang banyak yang dia akan mati duluan. Bahkan, dengan ikan kakap pun tidak bisa ditandingi. Namun, bukan berarti tidak ada jalan keluar atau peta jalan yang bisa dibuat sama sekali. Ada beberapa model bisnis yang telah muncul, yakni: 1. Perusahaan energi besar – melakukan diversifikasi agresif ke energi baru terbarukan dan bahan bakar rendah emisi akan menopang bisnis dan arus kas minyak dan gas harus terlihat memasuki penurunan. 3. Melakukan ekspansi agresif penangkapan dan penyimpanan karbon untuk mengimbangi emisi Cakupan 3. Model ini memungkinkan penurunan minyak dan gas yang lebih lambat dan berpotensi menimbulkan jejak emisi negatif. 3. Memproduksi bahan bakar berkelanjutan – transisi ke pengembangan bahan bakar rendah emisi dan solusi bisnis sirkular untuk mengimbangi penurunan produksi minyak dan gas serta pemrosesan minyak mentah. Apakah semua bisa, bisa dilakukan atau sudah dilakukan oleh Pertamina? Prasyarat utamanya adalah inclusive dan inovatif. Melibatkan komunitas seluruh konsumen minyak dan mendorong inovasi bersama untuk menekan emisi. Tentu saja Pertamina yang harus membagun inisiatif lebih awal, untuk bisa membangun roadmap yang dapat diterima oleh JETP. Itu kalau mau agar agenda Presiden Joko Widodo di JETP tidak ambyar. Memang telah ada yang dilakukan Pertamina sebelum JETP ini datang. Program yang paling mengemuka adalah bio energi, pencampuran minyak sawit dengan solar, yang telah memicu pertengkaran dengan konsumen minyak goreng. Program ini pun tidak dianggap sebagai transisi energi oleh Uni Eropa. Langkah yang lebih kontroversial yang dilakukan Pertamina adalah gasifikasi batubara yang menjadi blunder di mata internasional yang menjadikan sebuah pukulan keras ke batubara adalah langkah paling kunci bagi JETP. Batubara yang hendak disuntik mati oleh komunitas internasional malah telah disuntik vitamin oleh Pertamina. Tapi terlepas dari dua kekeliruan ini masih ada jalan membenahi, membangun ulang. Pertamina, konon telah menjadikan NZE sebagai prioritas kerja. Mereka sadar transisi energi bukan pilihan, tapi to be or not to be, melaksanakan agar hidup berkelanjutan atau tidak melaksanakan maka sekarat. Mengurangi emisi di Scope 3 itu sebetulnya bagian paling mudah. Hanya butuh sedikit inovasi dengan sedikit berpikir, membangun program yang melibatkan banyak kalangan secara luas. Ini bisa dilakukan Pertamina. Bayangkan di Indonesia orang orang indonesia, jangankan menangkap karbon, menankap jin aja banyak yang bisa. Masa menangkap karbon tidak bisa? Monggo. (*)
Rambut Putih dan Kulit Kerut
Selamat menikmati usia senja dengan kulit dan kening berkerut. Wajah yang tidak cerah adalah kegundahan dan cermin ketidakcerahan hati. Orang yang optimistik dan bermasa depan wajahnya berseri-seri. Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan ADA-ada saja Pak Jokowi ini meminta untuk memilih Presiden yang kulitnya berkerut dan berambut putih karena itu ciri orang yang memikirkan rakyat. Kontan netizen berkomentar bahwa ternyata Pak Jokowi tidak berambut putih jadi tidak pernah memikirkan rakyat he hee. Semua tahu arah dukungannya kepada Ganjar Pranowo yang berambut putih. Meski tidak berkerut kulitnya. Naifnya Jokowi juga mewanti-wanti berhati-hati memilih orang yang berwajah bersih. Entah Anies Baswedan yang dimaksud atau patung lilin, he hee. Sinyal pendekatan seperti yang diungkap Pak Jokowi sebenarnya keliru, bias, bahkan mengerikan. Mengukur kapasitas dengan rambut dan kerut. Monyet juga ada yang berbulu putih dan kulit berkerut. Kasihan kalau ada Capres yang diserupakan dengan monyet berbulu putih. Apakah itu Hanoman atau Monkey King. Socrates filsof Yunani pernah mendefinisikan “manusia” itu sebagai “hewan berkaki dua dan tidak berbulu”. Mendengar itu Diogenes esoknya membawa seekor ayam yang telah dicabuti bulunya, lalu melempar ke hadapan murid-murid Socrates sambil berujar: “Inilah manusia menurut Socrates!” Bagaimana bisa menghukumkan rambut putih dan wajah keriput identik dengan memikirkan rakyat? Orang yang memikirkan dirinya sendiri dengan keras juga bisa berambut putih dan kening berkerut. Orang yang takut kehilangan kursi dan stress juga bisa mengalami hal serupa. Rambut putih dan wajah keriput adalah efek dari penuaan usia. Peringatan bahwa sudah saatnya ia harus banyak merenung dan bertaubat atas dosa-dosa yang dilakukannya. Acara Relawan Jokowi di GBK, 26 Nopember 2022, agak aneh. Masalahnya Jokowi adalah Presiden, maka semestinya pola dukungan adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan relawan. Itu adalah cerita lama. Kemunduran ini membuktikan terjadinya pemerosotan demokrasi. Penggalangan dengan pola pengarahan atau penggiringan bukan partisipasi. Dikaitkan dengan teori siklus Polybios, maka bentuk pemerototan telah terjadi di ujung masa jabatan Jokowi. Sekelompok orang bijak yang telah membantu kekuasaan Jokowi bermoral baik yang disebut Aristokrasi sudah merosot menjadi kelompok penjahat yang mengendalikan kekuasaan dengan sewenang-wenang dan eksploitatif yang disebut Oligarki. Demikian juga dengan demokrasi yang telah membawa Jokowi ke tampuk kepemimpinan kini telah hilang dan bergeser menjadi dukungan buatan atau bayaran berbalut relawan. Hakekatnya hal tersebut menurut Polybios bukan demokrasi tetapi bentuk pemerosotannya, yaitu okhlokrasi atau mobokrasi. Kekuasaan kaum gerombolan. Peristiwa penggalangan GBK menunjukkan bahwa kekuasasn Jokowi sudah lemah sehingga terpaksa harus membuat dukungan artifisial relawan. Kemana partai politik? Sudah berlarian mencari posisi masing-masing. Jokowi sudah dirasakan tidak penting dan layak untuk ditinggalkan. Jokowi yang eksplisit mendukung rambut putih sesungguhnya berada di posisi lawan bersama. PDIP bersama Puan Maharani nyaris berseberangan. Gerindra dengan Prabowo Subianto menjadi korban tipu-tipu. Anies Baswedan dan Partai Nasdem beserta Koalisi Perubahan beradu semakin tajam. Nah, KIB yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP tidak mudah lagi diarahkan, apalagi dibayar untuk sekedar wadah bagi sang rambut putih. Mobokrasi Jokowi adalah bentuk frustrasi dan lumpuhnya akhir kekuasaan. Wajahnya mulai berkerut memikirkan nasibnya sendiri. Bukan rakyatnya. Rakyat tidak pernah merasakan diperhatikan selain sekedar menjadi korban dari bagi-bagi sembako atau kaos bergambar Jokowi sendiri. Selamat menikmati usia senja dengan kulit dan kening berkerut. Wajah yang tidak cerah adalah kegundahan dan cermin ketidakcerahan hati. Orang yang optimistik dan bermasa depan wajahnya berseri-seri. Rambut putih tidak berhubungan dengan rakyat karena tidak sedikit rakyat yang membenci pada orang yang berambut putih. Mungkin si rambut putih itu gemar berbohong dan menyakiti rakyatnya. Rambut bisa menjadi alat menipu. Deceptive hair. When the man angry in the giddy dust, his hairs are turn white to decay – Kinsley Lee. (*)
Kalian Yang Undang Bencana, Kenapa Kita Yang Dibuat Sibuk?
Dan, yang paling rentan adalah orang yang Suka melihat berzinanya sesama jenis, karena itu bisa kejangkit pada dirinya. Dengan membunuh pelaku itu sama saja dengan membunuh keinginan melakukan hal yang sama seperti itu. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung TELAH tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan menusia itu sendiri (Al-Qur’an). Bukan tidak peduli dengan sesama manusia. Dan, bukan juga tak mau saling membantu atas musibah yang dihadapi atas sesama manusia. Cuma memang semua sedang dalam keadaan susah. Dan, musibah tidak pernah kita prediksi kapan akan datang dan dimana tempatnya. Namun, semua kitab suci agama-agama sawami telah menjelaskan. Bila suatu wilayah di mana penduduknya sudah jauh dari Allah SWT dan hidup penuh kemaksiatan maka siap-siaplah wilayah atau daerah tersebut bakal ditimpa bencana yang mengerikan kita semua. Negeri-negeri dahulu contohnya. Bagaimana negeri Solomon dan Gomorah dihantam dengan gempa bumi yang dahsyat akibat maksiat kepada Allah SWT. Sekarang di tanah air kita Indonesia telah mengalami hal yang sama. Pada 1955 pernah terjadi di sebuah kampung desa di Jawa Tengah kampungnya tertimpa dengan gunung yang terbelah seperti dipotong tengahnya, sehingga puncaknya menimpa satu kampung itu dan tidak ada satupun yang hidup dari mereka. Kayak kita memotong tumpeng dari tengahnya. Penyebabnya apa? Karena, hidup mereka bergelimang dengan maksiat, terutama zina sesama jenis. Itu juga yang terjadi di Palu beberapa tahun lalu dan juga terjadi di Cianjur baru-baru ini. Belum lama kita tonton berita di TV polisi menangkap Remaja dari Cianjur di Cipanas dalam keadaan telanjang bulat karena mereka melakukan praktek sex sesama jenis. Dan lebih mengagetkan lagi ada anak yang masih SMP terlibat di dalamnya yang ikut diangkut alias ketangkap. Dari mana polisi tahu? Yah, dari laporan masyarakat. Dan, remaja tersebut ternyata mereka saling tahu dari aplikasi yang ada. Ngeri, kan? Nah, oleh karena itu beberapa negara termasuk negara kita melarang praktek LGBT. Di Piala Dunia saja simbol-simbol LGBT dilarang keras oleh FIFA dan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Simbol-simbolnya saja dilarang seperti warna pelangi, apalagi mempraktekkannya? Tim panser Jerman saja memakai Ban Kapten dari pelangi gak bisa mendarat masuk ke Qatar. Lantas, mendarat di Oman dan tidak memakai Ban Kapten pelangi sebagai simbol dari LGBT, baru dimasukkan ke Qatar dan ikut piala dunia. Dalam sebuah video di Rusia saja praktek ini dilarang keras. Padahal, Rusia itu negeri komunis. Apalagi di negeri Islam atau negeri yang warganya mayoritas Islam? Bila melihat ada dua orang sejenis bermaksiat ria maka yang melihat hal itu Dibolehkan Membunuh kedua orang itu. Ini ajaran Islam. Kenapa begitu keras ajarannya? Ingat, ini penyakit menular. Dan, yang paling rentan adalah orang yang Suka melihat berzinanya sesama jenis, karena itu bisa kejangkit pada dirinya. Dengan membunuh pelaku itu sama saja dengan membunuh keinginan melakukan hal yang sama seperti itu. Jadi, jauhilah perbuatan itu. Karena, itu merusak di bumi dan dibenci oleh Allah. Tapi kalau mau melawan Silakan, tapi jangan di negeri kita. Apalagi, di hadapan kita. Bisa mati dibelah kepalanya. Sebab sudah kena bencana dan musibah yang akan repot kita semua. Kalau lagi ada asyik, jika lagi susah semua, siapa yang mau bantu? Berharap pada siapa. Pada Jin? Gak mungkin dia bisa bantu karena gak ada lagi Nabi Sulaiman di sekitar kita. Maka jangan undang musibah agar kita semua gak dibikin repot. Wallahu A\'lam ... (*)
Jokowi Lakukan Puputan
Apalagi jelas rezim Jokowi bukan lagi menjalankan “Nawa Cita” yang berbasis sosialis ala Bung Karno, melainkan rezim “Nawa Duka” seperti rezim Peng Peng yang pro oligarki. Oleh: Andrianto, Aktivis Pergerakan 98 ACARA megah gempita berjuluk “Relawan Nusantara Bersatu” di Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu (26/11/2022), yang melibatkan ratusan ribu orang ini bikin dahi berkerut. Apakah kita kembali ke era Orba yang melibatkan jumlah massa besar di luar massa kampanye resmi pemilu yang disebut Kebulatan Tekad? Jika dahulu mayoritas Ibu-ibu majelis taklim (dimobilisasi Badan Kontak Majelis Taklim/ BKMT) kini pun hampir mirip. Terlihat di layar kaca ibu-ibu yang berkerudung memenuhi GBK. Ada dua hal yang membuat kita protes: Pertama, pelanggaran hukum meski itu cuma putusan Menpora yang telah melarang penggunaan GBK sampai perhelatan Piala Dunia U-20 tahun depan. Maklum itu ajang sepakbola dunia resmi dari FIFA, tentu GBK sebagai ajang pembuka harus siap sedia. Kedua, moralitas etika kemanusiaan di saat kita baru tertimpa dua bencana besar yakni Tragedi Kanjuruhan dan Tragedi Gempa Cianjur. Kedua tragedi ini memakan korban cukup besar. Jika acara di GBK ini sekedar acara relawan seperti yang dinyatakan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, justru ini bertolak belakang jika dilihat siapa Ketua Panitanya, yaitu: Stafsus Presiden Aminuddin Maruf dan Stering Comiite-nya Arsjad Rasjid, Ketua Umum KADIN. Artinya jelas ini orang Istana. Justru kita melihatnya Istana memanipulasi Relawan seolah itu acara Relawan. Jadi Hasto keliru, karena acara model GBK sudah kesekian kalinya dilakukan. Dari mulai acara Ribuan Kepala Desa di Istora Senayan, Acara Rakernas Projo di Magelang, Acara Musra di Bandung dan lain-lain. Semua acara ini tentu memakan biaya yang tidak sedikit. Tidak mungkin Relawan bisa membuat acara berskala besar dan terus menerus. Malah kita bertanya apakah ini pakai dana Pribadi Jokowi atau APBN? Jika ada sponsor oligarki apakah ini bagian dari gratifikasi? Atau kompensasi dari banyaknya kebijakan yang menguntungkan oligarki (UU Omnibus Law, UU Minerba dan lain-lain). Kalau melihat skala acara-acara yang demikian massif tentu sudah Ratusan Milliar Rupiah tergelontorkan. Dari acara GBK makin tampak sekali agenda Pilpres 2024 dimana positioning Jokowi tidak miliki porto polio di Parpol manapun. Jokowi justru terasing dari semua parpol. Jokowi kader PDIP seperti sering diklaims orang PDIP. Jokowi sendiri hadir saat Rakernas 2 PDIP yang hasilnya dibacakan Ganjar Pranowo yang menyatakan Capres itu domain Ketum PDIP. Nah, jadi bertubinya agenda Jokowi jelas punya maksud dan tujuan sendiri. Dalam acara GBK, Jokowi bilang Kriteria Pemimpin mesti wajah berkerut dan berambut putih. Kalo kriteria ini jelas menyinggung Bu Mega. Bukankah Sang Ayahandanya, Bung Karno, kita kenal berwajah clink, berbusana modern, flamboyan dan lain-lain. Juga para tokoh bangsa seperti Bung Hatta, Bung Syahrir yang berwajah klimis dan tidak berambut putih. Anonim yang disebut Jokowi itu menyasar ke Ganjar Pranowo. Justru dia bikin ilustrasi kriteria pemimpin malah bikin ambyar semua orang. Tadinya kita berasumsi Jokowi mendukung Prabowo Subianto. Tapi, ternyata terpatahkan di acara kemarin kriteria lebih mengarah ke Ganjar seperti skema awal. Bisa jadi pihak oligarki penyokong Jokowi tidak percayai sosok Prabowo. Apa mungkin Prabowo sosok Jenderal bisa diatur-atur kemudian? Buat Jokowi dan para oligarki kelanjutan project mercusuar Presiden Jokowi seperti IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, LRT Jabotabek dan lain-lain itu adalah pertaruhan yang harus dilanjutkan. Apa jadinya bila semua project tersebut mangkrak? SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) saja terus dibuli meski hanya meninggalkan 1 project Hambalang yang nilainya kecil jika dibandingkan salah satu project Jokowi tersebut. Belum lagi potensi KKN yang berujung pidana seperti dikatakan tokoh seperti Prof Anthony Budiawan, Said Didu, dan Faisal Basri. Akhirnya Jokowi tinggal selangkah lagi deklarasikan Capres pilihannya, yakni Ganjar Pranowo. Hanya tinggal waktu saja. Apakah pilihan Jokowi akan diterima parpol-parpol, terutama PDIP? Padahal, apa yang dilakukan di GBK itu sudah sebuah psy war terbuka? Tapi, kita sangsi parpol-parpol akan manut begitu saja. Apalagi figur Ganjar yang penuh kontroversi antara lain tersandung E-KTP, kegagalan memimpin Jateng, sehingga Jateng menjadi provinsi nomor 15 termiskin, Kasus Wadas, Kasus Semen Kendeng dan lain-lain. PDIP sebagai parpol yang miliki tiket VIP tentu punya perhitungan bila usung Ganjar. PDIP adalah parpol yang dikenal miliki ideologisasi yang kuat. Jabatan adalah Penugasan: Petugas Partai. Sebagai partai yang memiliki jiwa sang inspirator dan pendiri mazab Nasonalis Bung Karno, tentu keberlanjutan ruh Bung Karno jadi pertaruhan utamanya. Apalagi muncul kepermukaan jika Ganjar yang Presiden, maka Jokowi yang Ketum PDIP. Bisa jadi setelah puputan Jokowi ini, makin membuat yakin PDIP segera mendeklrasikan Pencapresan Puan Maharani. Karena, pasti akan berisiko mendukung sosok Ganjar yang diingini Jokowi. Apalagi jelas rezim Jokowi bukan lagi menjalankan “Nawa Cita” yang berbasis sosialis ala Bung Karno, melainkan rezim “Nawa Duka” seperti rezim Peng Peng yang pro oligarki. PDIP harus tobatan telah gagal dengan eksprimen Petugas Partainya. Karena Sang Petugas malah menurunkan derajat menjadi timses next Presiden dan berupaya menciptakan next Boneka sesuai keinginan oligarki. Bahkan yang terburuk melakukan upaya Kudeta Konstitusi. (*)
Musibah dan Derita Rakyat di GBK: Parpol Kena ‘Prank’
PDIP menghimbau kepada ring satu Presiden Jokowi agar tidak bersikap asal bapak senang (ABS) dan benar-benar berjuang keras bahwa kepemimpinan Pak Jokowi yang kaya prestasi sudah on the track. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) RAKYAT Indonesia berduka atas musibah di Cianjur. Korban meninggal dunia sudah lebih dari 300 orang, belum termasuk korban hilang. Kerugian materi sangat besar. Mereka kehilangan segalanya. Sudah miskin, bertambah miskin. Di lain sisi, di Jakarta, ada yang mengadakan ‘pesta’, gegap gempita. Relawan mengadakan pertemuan di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK). Menurut kabar, dihadiri lebih dari 100 ribu orang. Ironi Apalagi topik yang dibicarakan pada pertemuan tersebut sangat tidak penting bagi bangsa dan negara. Tidak berkelas. Misalnya, membahas ciri presiden. Mengarahkan, pilih presiden sebaiknya wajah yang berkerut dan berambut putih. Karena ciri tersebut memikirkan rakyat, katanya. Ampun deh! Mungkin cuma gurauan saja. Tapi sangat tidak lucu, kan? Tidak berkelas sama sekali! Mudah-mudahan tidak diliput media asing. Gurauan ini jelas telah membuat banyak pihak merasa tidak nyaman. Apa sih maksudnya? Belum lama ini mengatakan giliran Prabowo Subianto akan menjadi presiden 2024. Ternyata cuma gurauan juga, alias ‘prank’? Ternyata yang didukung yang berambut putih. Bukan Prabowo. Semoga Prabowo bisa menerima ini dengan lapang dada. Kedua, gurauan ini pasti akan membuat PDIP juga tidak nyaman. Karena, setiap orang mengerti siapa yang dimaksud berambut putih. Siapa lagi kalau bukan Ganjar Pranowo. Ada dua alasan yang membuat PDIP bisa marah. Pertama, Jokowi sebagai kader PDIP terkesan tidak menghormati serta melancangi PDIP. Dua kader PDIP, Jokowi dan Ganjar, seolah-olah tidak menghargai Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Bahkan terkesan mempermainkannya, dengan tebak-tebakan kurang bermutu. Kedua, gurauan ciri presiden ini dapat diduga mau aborsi pencalonan Puan Maharani sebagai calon presiden dari PDIP. Kedua hal ini pasti akan membuat Ketua Umum dan jajaran PDIP marah. Sebagai kader PDIP, Jokowi dan Ganjar, seharusnya mengikuti arahan Ketua Umum dan jajarannya di PDIP. Bukan bermanuver untuk kepentingan pribadi mereka. Kita tunggu reaksi Prabowo dan PDIP. Semoga mereka dapat menerima semua gurauan ‘prank’ ini dengan lapang dada. Reaksi Sekjen Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto langsung bereaksi keras atas penyelenggaraan “Gerakan Nusantara Bersatu”, Sabtu, 26 Nopember 2022, di GBK tersebut. Hasto pribadi sangat menyesalkan adanya elit relawan yang dekat dengan kekuasaan, lalu memanfaatkan kebaikan Presiden sehingga menurunkan citra Presiden Jokowi. Akibatnya kehebatan kepemimpinan Presiden Jokowi di acara G20 di Bali yang membanggakan di dunia, dan rakyat Indonesia, lalu dikerdilkan hanya urusan gegap gempita di GBK. Menurut Hasto, kepemimpinan Presiden Jokowi yang sudah going global dan menjadi inspirasi dunia, direduksi dengan cara-cara yang tidak elegan. Sepertinya elit relawan tersebut mau mengambil segalanya, jika tidak dipenuhi keinginannya mereka mengancam akan membubarkan diri, tapi jika dipenuhi elit tersebut melakukan banyak manipulasi. “Banyak sekitar Presiden Jokowi yang kurang paham bahwa elit relawan tersebut kumpulan berbagai kepentingan,” ungkap Hasto. Padahal, lanjutnya, seharusnya menyangkut urusan bangsa dan negara, apalagi pemimpin ke depan merupakan persoalan bersama yang harus dijawab dengan jernih, penuh pertimbangan, dan harus menjawab jalan kejayaan bagi bangsa dan negara Indonesia. “Apa yang terjadi dengan acara Nusantara Bersatu, menjadi pelajaran politik yang sangat penting, terlebih di dalam cara mobilisasi tersebut, sampai harus dilakukan cara-cara menjanjikan sesuatu yang tidak sehat,” lanjutnya. PDIP menghimbau kepada ring satu Presiden Jokowi agar tidak bersikap asal bapak senang (ABS) dan benar-benar berjuang keras bahwa kepemimpinan Pak Jokowi yang kaya prestasi sudah on the track. “Bahkan prestasi Pak Jokowi itu untuk bangsa Indonesia dan dunia, bukan untuk kelompok kecil yang terus melakukan manuver kekuasaan,” tegasnya. (*)