OPINI
Terhadap Kekuasaan Tirani dan Otoriter Tidak Ada Kompromi dan Jalan Tengah
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih \"Rotten fish from its head (ikan busuk dari kepalanya). Stop jadi jongos ekonomi dan politik (Prof Daniel M Rasyid). Cepat atau lambat rakyat dengan caranya sendiri-sendiri pasti akan bangkit melawan. \"When justice fails, public opinion takes over. When the law is lost in the extremes of legalism, or bends under the weight of money, mobs begin to burn and murder.” (Ketika keadilan gagal, opini publik mengambil alih. Ketika hukum tersesat pada kejumudan Undang-Undang atau bengkok karena uang, massa mulai akan membakar dan membunuh). Saat ini tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan Indonesia, pintunya hanya People Power - Revolusi atau Kudeta oleh Rakyat. Setiap kudeta bisa bermakna Ilegal. Hanya satu kudeta yang legal, yaitu kudeta dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat. Dalam rangka menggulingkan tirani. Adalah hak rakyat untuk mengubah atau menghentikan pemerintahan tirani, dan mengganti dengan pemerintahan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Karena, karakter pemimpin tirani tidak bisa diterima untuk memimpin bangsa yang merdeka. Pilihan bagi penguasa yang legitimasi politiknya semakin rendah, maka tak ada pilihan bagi penguasa selain mengoperasikan kekuasaannya dengan: 1. Manipulasi politik melalui propaganda politik dan agitasi politik untuk maksud pencitraan politik; 2. Mobilisasi politik melalui: (a) suap politik (uang, barang, jasa, pangkat, jabatan, dan sek); (b) koersi politik (pembunuhan karakter dan penghilangan nyawa). Kesalahan tidak akan berubah karena perjalanan waktu (Muhammad Abduh). Proses pembenaran waktunya hanya sesaat. Cepat atau lambat akan menghantam balik pelakunya ketika kebenaran sudah menyeruak ke permukaan. Gerakan besar mengembalikan negara kepada kiblatnya sesuai tujuan negara seperti tertulis dalam pembuatan UUD 45 adalah mutlak harus diperjuangkan dalam keadaan dan cuaca makin gelap. Inilah momentum tokoh nasional secepatnya melakukan konsolidasi guna terhimpun sebuah kekuatan besar hingga mampu melakukan gerakan perubahan besar dan mendasar untuk menyelamatkan Indonesia. Maka jika benar-benar menghendaki perubahan, tak ada lagi pilihan selain penggantian Presiden dengan kekuatan people power, sebagai pintu perubahan dan perbaikan. Menghadapinya kondisi seperti ini Jangan Naif: \"Terhadap kekuasaan yang telah berubah menjadi tirani dan otoriter tidak boleh ada kompromi dan tidak boleh ada jalan tengah.\" (*)
Sentilan Megawati pada Jokowi, Itu Kode Keras: Jangan Jadi Kacang Lupa pada Kulitnya
Oleh Ady Amar - Kolumnis MEGAWATI Soekarnoputri menunjukkan digdayanya pada HUT ke-50 PDI Perjuangan, di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Selasa (10/1/2023). Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun hadir dalam peringatan itu. Jika biasanya Jokowi menghadiri undangan partai lain tampak digdaya, tapi tidak kali ini, padahal \"di rumah sendiri\". Presiden Jokowi dibuat seperti mati kutu dihunjam sentilan Megawati dalam pidato panjangnya. Jokowi cuma ternganga atau melongo dengan mulut sedikit terbuka. Tidak tertawa, tidak juga merengut. Memaksa mulut tetap terbuka, seolah sabar jika pun mau dikecilkan. Seperti biasanya, Megawati bicara sesuka-sukanya. Maka dari mulutnya itu bisa kelucuan dimunculkan, bisa pula nada ketus. Enteng saja narasi keluar dari mulut, seperti tanpa mikir yang disasarnya itu bakal sakit hati, ia tak peduli. Saya coba nukil pidatonya, yang \"menjewer\" Jokowi, meski dengan gaya sentilan dan narasi campur aduk dengan bahasa Jawa. Dinukil utuh tanpa ada yang ditambah pun dikurangi, apalagi diedit. Biar tetap aroma Megawati tak hilang. Pak Jokowi kuwi koyo ngono lho. Mentang-mentang. Lha iyo padahal Pak Jokowi kalau nggak ada PDI Perjuangan, aduh kasihan dah loh. (sambil Megawati tertawa dan kedua tangannya tepuk tangan. Dan diikuti tepuk tangan membahana mereka yang hadir). Lho legal formal loh, beliau jadi presiden tuh, nggak ada kan ini. Legal formal diikuti terus kan sama saya aturannya. Aturan mainnya. Ya dulu maaf, siapa sih yang tahu Jokowi. Lho iyolah. Ketika pada mulai nanya, Ibu mau nyalonin siapa ya, Entar aja.. Acara yang dihadiri ribuan kader PDIP itu, dibuat seperti tidak formal. Megawati memperlihatkan digdaya kebesarannya. Boleh bicara apa saja sesukanya. Bahkan selaku ketua umum partai, ia seolah sedang me- roasting presiden, yang memang jauh hari sang presiden ini disebutnya sebagai petugas partai. \"Roasting\" yang menimbulkan derai tawa. Entah tawa karena memang lucu, atau tawa basa-basi sepantasnya, agar hati sang ketua umum riang gembira. Setiap bicara Megawati tampak menikmati dengan teramat percaya diri. Meluncur dari mulutnya puja-puji akan dirinya, bahwa ia cantik, pintar, dan kharismatik, tanpa sedikit pun rasa risih melilitnya. Berharap ada tepuk tangan dan derai tawa membahana dari yang hadir, buatnya itu sudah cukup. Memaksa tertawa, memang tidak sesulit memaksa menangis. Memaksa orang lain harus menangis, itu bukan perkara mudah. Itu masalah hati yang terlatih karena sentuhan kasih sekian lama. Memaksa menangis itu mengingatkan pada pemimpin Korea Utara di masa lalu, Presiden Kim Il-Sung, kakek dari Presiden Korea Utara saat ini, Kim Jong-Un. Kim Jong-Un menjadi presiden menggantikan sang ayah Kim Jong-Ill (meninggal 2011). Layaknya kerajaan saja jabatan presiden bisa dibuat turun-temurun, dari kakek, anak, lalu ke cucu. Sang anak Kim Jong Ill perlu memaksa rakyat agar menangis atas kepergian sang ayah, Kim Il-Sung. Tidak cukup dibuat hari berkabung nasional hingga beberapa hari. Tidak dicukupkan di situ, tapi rakyat pun dipaksa menunjukkan ekspresi kesedihan, dan itu dengan menangis. Saat rombongan jenazah diberangkatkan, seluruh rakyat di ibu kota negara berdiri berjejeran di pinggir jalan sambil menangis meraung-raung. Tentara mengawasi jika saja ada air mata yang tidak tampak keluar atau mata masih dilihat kering, maka tentara yang bertugas akan menghajarnya. Kesetiaan pada pemimpin tertinggi ditunjukkan lewat ekspresi kesedihan. Mengapa mesti bicara tentang pemimpin Korea Utara segala dalam menulis sentilan Megawati pada Jokowi. Jika muncul pikiran pembaca demikian, itu tidak salah. Bahkan jika muncul pikiran, seperti tidak fokus saja, saat menulis apa yang hendak ditulis, itu pun boleh dibenarkan. Tapi memilih gaya penulisan semacam ini, bisa jadi satu bentuk menyelami gaya pidato Megawati, yang seperti tidak fokus dengan apa yang ingin disasarnya. Bicara mesti berkelok-kelok, itu menjadi tidak efektif, tidak jelas akan berlabuh di mana omongan itu diarahkan. Pidato Megawati itu bisa dinilai oleh siapa saja jika ingin menilainya. Pengurus dan kader PDI-P pastilah menganggap gaya komunikasi sang ibu itu yang paling hebat, tak ada bandingnya. Tapi umum bisa menilainya dengan bermacam penilaian. Ada yang menyebut, itu cara komunikasi buruk. Membanggakan diri sendiri, umum biasa menyebut itu sebagai narsistik, bahkan bisa disebut dengan waham kebesaran. Mari kembali pada pidato Megawati, yang memunculkan canda tawa di sana-sini. Dan, itu karena tingkat kepercayaan diri sendiri yang tinggi. Menjadikan sikap terbiasa jika Megawati mesti memuji-muji diri sendiri dengan gaya centilnya. Bicara enjoy dengan mimik wajah bak sedang bermain teater. Tapi di balik canda Megawati yang seperti tidak serius, itu sebenarnya ada pesan kuat. Bisa disebut kode keras. Meski pesan disampaikan dengan gaya \"roasting\" yang mengundang gelak tawa. Sedang obyek yang disambar, dan itu Jokowi, dibuat ternganga tak mengira akan diperlakukan demikian, tidak cuma di depan ribuan kader PDI-P, tapi juga tersiar di semua media massa. Pesan tajam yang dihunjam Megawati, itu semacam mengingatkan \"agar kacang tak lupa pada kulitnya\". Mentang-mentang. Lha iyo padahal Pak Jokowi kalau ga ada PDI Perjuangan, aduh kasihan dah loh. Dalam makna yang lain, Pak Jokowi itu gak akan jadi presiden, kalau tidak didukung PDI-P. Jadi, Jokowi mesti ingat itu. Bahkan ditambahkan dengan nada ketus yang makjleb, Ya dulu maaf, siapa sih yang tahu Jokowi. Mengapa sampai Jokowi perlu diingatkan secara terbuka dengan gaya \"roasting\" segala, itu seperti jadikan Presiden Jokowi layaknya kambing congek. Jadi bahan tertawaan seisi penduduk negeri. Namun, bisa jadi Megawati sudah sering mengingatkan Jokowi secara diam-diam, tapi seperti tak muncul perubahan. Mengingatkan, agar jangan lebih mendengarkan orang lain dibanding mendengarkan sang ibu. Dan, pula jangan beri kuasa kepada orang lain ketimbang berbagi kuasa dengan sang ibu. Sikap Megawati itu lebih pada bentuk kegusaran, meski disampaikan dengan gaya canda. Semua menjadi mafhum, bahwa istana sudah tidak lagi di bawah kendali PDI-P. Ada kekuatan yang lebih besar \"mencengkeram\" Jokowi, dan itu dikesankan pada Luhut Binsar Panjaitan (LBP), yang disebut jadi kekuatan pengendali istana. Megawati tidak sekadar \"meroasting\" Jokowi, tapi bisa disebut sebagai tantangan terang-terangan pada LBP, demi menarik kembali Jokowi dalam kendalinya. Tentu itu bukan perkara mudah. Jokowi sudah jalan terlalu jauh bersama LBP, seperti sudah sulit untuk bisa ditarik kembali. Bahkan Jokowi pun berani melakukan pembangkangan, atau bisa disebut perlawanan. Dan, itu sudah ditampakkan. Jokowi terang-terangan meng-endorse calon presiden penggantinya kelak, seolah mendahului PDI-P. Lebih dari itu, Jokowi terkesan diam-diam memaksa PDI-P untuk menerima pilihannya. Konon istana pula yang memfasilitasi lahirnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB); Partai Golkar, PAN, dan PPP. Koalisi dibuat untuk \"menekan\" Megawati memberi tiket Capres pada Ganjar Pranowo. Jika tidak, maka tiket akan disediakannya lewat KIB. Setidaknya analisa kuat menyebutnya demikian. Karenanya, melihat \"roasting\" Megawati itu satu cara mengingatkan Jokowi, agar tidak nekat berhadap-hadapan dengannya (PDI-P), maka muncul narasi yang tidak sekadar ingin menertawakannya, tapi kode keras mengingatkan: agar tak jadi kacang, yang lupa pada kulitnya. (*)
Jokowi Pro PKI?
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERMINTAAN maaf yang disampaikan Presiden Jokowi atas pelanggaran HAM berat masa lalu menurutnya didasarkan pada laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Tim yang dibentuk berdasarkan Keppres No 17 tahun 2022 diketuai oleh Makarim Wibisono dengan Ketua Dewan Pengarah Mahfud MD. Permohonan maaf ini tidak relevan karena tidak berhubungan dengan Jokowi. Kecuali Jokowi memang mengaitkan diri pada hubungan emosional dengan korban pelanggaran HAM berat. Desakan terkuat agar pemerintah meminta maaf justru datang dari keturunan dan kader kiri simpatisan PKI. Selainnya tuntutan lebih pada proses hukum. Tiga hal menarik dari pengumuman dan kerja Tim bentukan Jokowi yaitu : Pertama, sebagian besar kasus pelanggaran HAM berat adalah peristiwa masa Pemerintahan Soeharto yang diawali masa pemberantasan PKI akibat PKI yang gagal kudeta. Kasus Talangsari dan Mei 1998 pelakunya masih ada demikian juga Papua dan Aceh. Nampak TNI yang menjadi sasaran pengungkapan \"pelaku\" pelanggaran HAM berat. Kedua, Keppres 17 tahun 2022 menugaskan Tim bekerja untuk pelanggaran HAM berat sampai tahun 2020. Nyatanya tidak satupun pelanggaran HAM berat terjadi di masa Jokowi. Bagaimana dengan tewasnya ratusan petugas KPPS, peristiwa Mei 21-22 tahun 2019 atau pembantaian 6 Laskar 7 Desember 2020? Ketiga, peristiwa tahun 1965-1966 tidak disebut peristiwa apa, terkesan menghindari sebutan PKI, anggota PKI kah yang dimaksud sebagai korban yang perlu disantuni? TNI pelanggar HAM berat lagi? Permohonan maaf kepada kader atau simpatisan PKI adalah penghianatan sejarah. Mereka yang semestinya minta maaf pada bangsa atas penghianatannya. Pembentukan Tim juga kontroversial dan melanggar hukum. Aneh Keppres dapat menganulir UU. Pelanggaran HAM berat telah diatur dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penyelidikan pro yustisia Komnas HAM itu seharusnya ditindaklanjuti oleh Kejagung bukan penyelesaian non yudisial. Masalah HAM berat tidak dapat seenaknya di selesaikan semaunya Presiden melalui Keppres. Apalagi cuma minta maaf. Emang lebaran. Meski begitu maaf-maafan dalam urusan PKI tidak pada tempatnya. PKI itu komunis yang tidak bermoral, telah berulangkali berbuat jahat terhadap negara sejak tahun 1926, 1948 dan 1965. Bila mereka dikasih angin akan segera mengkonsolidasikan diri lalu kudeta kembali. Terang-terangan atau terselubung. Melalui permintaan maaf Jokowi maka itu adalah peluang bahkan pembenaran. Pertanyaan mendasarnya ya itulah, Jokowi pro PKI? Bandung, 13 Januari 2023
Ini Saatnya Konsolidasi Kekuatan Tokoh Nasional
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih KONDISI obyektif Indonesia saat ini sudah mengarahkan orang harus memilih: pro status quo atau pro perubahan. Kondisi obyektif sudah tidak ada lagi jalan tengah, negosiasi atau kompromi. Akibat telah hilangnya kedaulatan rakyat dan negara. Kedaulatan rakyat habis tak tersisa diserobot menjadi kedaulatan oligarki. Presiden, lembaga perwakilan rakyat, lembaga negara dan partai politik sudah menjadi lame duck. Negara Indonesia itu saat ini sudah tidak ada atau tidak hadir, karena negara, rezim dan presiden saat ini hanya boneka kapitalis ( Emha Ainun Najib ). Elite penguasa telah memurtadkan bangsa ini dari Pancasila. (Prof. Kaelan). Negara Indonesia sekarang ini dikuasai oleh oligarki dan oligarki juga telah menguasai Jokowi (Prof. Salim Said). Demokrasi dan oligarki yang tidak terkendali mengarah ke tirani. (Aristotelles). Industri hukum diproduksi sendiri oleh DPR, Presiden, MK yang berpotensi menjadi mafia hukum ( Prof. Suteki ). John Locke: Where-ever law ends, tyranny begins. Ketika hukum berakhir (mati), tirani mulai (berkembang). Terjadilah perpaduan I am the law: Saya adalah tiran dan l’etat, c’est moi: negara adalah saya*. Telah bermetamorfosa menjadi otoritarian dan berwajah Tirani. Segala kebijakan, tindakan dan perilaku penyelenggara negara bukan lagi berbasis nilai (konstitusi, hukum, norma-etika) melainkan mengikuti apa kemauan penguasa dan oligarki. Pada titik habituasi rakyat mengatakan sistem dan bentuk pemerintahan menjadi tidak penting asal masih ada keadilan, kejujuran dan kebijakan (just - fair - wise) untuk rakyat. Lebih baik negara kembali ke sistem kerajaan dari pada system pemerintahan demokrasi yang sudah dikorupsi dan direkayasa (corrupted democracy), oleh kekuasaan saat ini. Bentuk negara Pancasila sudah di buldoser menjadi kapitalis. Pikiran di atas bukan lagi sebatas asumsi atau hipotesis melainkan sudah menjadi tesis yang sulit untuk di bantah. Penilaian sudah final menyatakan bahwa eksistensi Indonesia sudah bukan lagi sebagai negara berdaulat atau merdeka. Sudah menjadi kebenaran bahwa Indonesia terkooptasi atau terjajah oleh Neo kolonialisme baru sebagai representasi kepentingan asing dengan menggunakan rejim sebagai proxy imperialisme. Kondisi obyektif Indonesia sebagaimana dinyatakan di atas itulah mau tak mau memaksa kita harus memilih dan atau menentukan pro status quo (terjajah) atau pro perubahan (merdeka). Keadaan tidak perlu lagi memerlukan diskusi berhari hari tentang kondisi saat ini ketika Indonesia telah terkapar sekarat, membutuhkan pertolongan darurat tidak dengan cara normal tetapi perlu cara cara lintas normal. Pilihannya pro perubahan harus bergerak cepat berjuang bersama untuk menolong Indonesia dalam kondisi sekarat atau serangan status quo yang dengan paksa akan membunuh Indonesia. Penyelamatan kondisi obyektif Indonesia yang sedang sekarat peluangnya teramat sangat sempit, alokasi waktu yang tersedia bukan hitungan tahun melainkan bulan. Ketika terlambat melangkah maka mau tak mau harus rela menerima kemenangan oligarki atas Indonesia, meratapi kekalahan perjuangan pembebasan Indonesia. Kita beserta anak-cucu-cicit terpaksa haru rela terjajah entah sampai kapan. Batasan alokasi waktu yang tersedia untuk kita hanya sampai pada saat: (1) diumumkannya kepastian pelaksanaan pemilu 2024; atau (2) diterbitkannya Perppu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Rentang waktu yang tersedia bagi pergerakan perubahan (revolusi) tak mungkin melompat ke semester kedua tahun 2023. Dalam rentang sebelum batas waktu tersebut rejim dalam kondisi relatif lemah dan lengah terhadap potensi-potensi perlawanan dari luar. Ketika salah satu dari dua opsi skenario tersebut ditetapkan dan diumumkan, artinya kekuatan rejim sudah dalam kondisi solid. Itulah alasan mengapa peluang pergerakan perubahan relatif teramat sempit. Karena hanya tersedia selama rejim masih gonjang-ganjing di dalam oleh karena perang tawar-menawar kepentingan. Walau sebatas selebar lobang jarum tetaplah peluang. Pertanyaannya mampukah pergerakan perubahan menerobos lobang jarum tersebut? Di alokasi ruang waktu yang sempit dan mendesak inilah waktu atau momentum tokoh nasional secepatnya melakukan konsolidasi guna terhimpun sebuah kekuatan besar hingga mampu melakukan gerakan perubahan besar dan mendasar untuk menyelamatkan Indonesia. Maka jika benar-benar menghendaki perubahan, tak ada lagi pilihan selain penggantian Presiden secara ekstra konstitusional Dengan kekuatan people power atau Revolusi sebagai pintu perombakan rejim. Untuk tujuan itu perihal Pemilu 2024 atau bahkan perpanjangan masa jabatan Presiden harus dihapus dari alam pikiran kita. Tidak ada Pemilu 2024, yang ada adalah REVOLUSI. (*)
Lembaga Survei Sepertinya Makin Sulit untuk Dipercaya
Oleh Ady Amar - Kolumnis HAL biasa jika beberapa lembaga survei dengan waktu yang hampir bersamaan merilis hasil surveinya. Hasil rilis satu dengan lainnya tidak sama, bahkan hasilnya berkebalikan. Terutama yang disurvei itu kandidat presiden yang digadang-gadang akan maju di Pilpres 2024, acap hasilnya tidak sama. Hasil rilis prosentasenya jomplang, atau bahkan berkebalikan. Kok bisa, ya bisa saja. Ada pula yang mengganggu nalar, sejak awal tahun 2021 tercatat ada empat lembaga survei yang rutin merilis hasil surveinya. Charta Politika, Indikator Politik Indonesia, SMRC dan Poltracking. Lembaga ini dua atau tiga bulan sekali mengumumkan hasil surveinya. Makin ke sini frekuensinya makin tinggi kadang sebulan sekali. Bahkan saat Covid-19 varian Delta mengamuk, sekitar April-Agustus 2021 publik disuguhi hasil survei elektabilitas Capres. Kalau disimak dengan baik, ingatan kita soal survei saat ini didominasi oleh lembaga di atas, setidaknya yang paling aktif. Apa iya pilihan politik bisa berubah-ubah dalam waktu singkat, kok harus ditelusuri sebulan sekali? Tidak cukup itu, yang mengaduk nalar, hasil survei lembaga-lembaga ini bunyinya hampir sama. Ada capres dipuji terus meningkat peluangnya, capres lain seolah tidak punya harapan menang. Pikiran publik seolah digiring ya sudah pilih yang paling berpeluang menang saja. Ikuti pilihan mayoritas saja, toh yang lain tidak mungkin menang. Fenomena giring-menggiring opini publik ini mengingatkan pada peristiwa di tahun 2014, dimana Megawati diguyur 9 lembaga survei yang dibayar oleh 3 konglomerat. Seperti yang disampaikan Refly Harun mengutip omongan Adi Prayitno bulan lalu, untuk meyakinkan Ketua Umum PDI Perjuangan agar mencalonkan sosok tertentu menjadi capres. Lembaga survei secara teratur dan terstruktur membuat analisis jika PDI Perjuangan mencalonkan figur ini menjadi presiden, maka partai ikut mendapatkan jauh suara lebih banyak karena efek ekor jas. Alhasil, Megawati menuruti pendapat itu dan janji ekor jas tidak terjadi. Menjelang pemilu tahun depan rasanya peristiwa penggiringan opini oleh lembaga survei ini semakin nyata. Publik dipaksa percaya bahwa realitas elektoral yang sebenarnya sebagaimana diungkap oleh empat lembaga disebut di atas. Jika saja ada lembaga lain yang kurang populer mengumumkan hasil yang berbeda, meskipun mungkin yang disampaikan lembaga ini benar tetapi pasti banyak yang meragukan, atau bahkan tidak percaya. Publik cenderung lebih mempercayai kepada lembaga survei yang lebih populer, yang didukung nama besar. Mereka seolah menjadi pemilik kebenaran. Dominasi lembaga survei untuk mewarnai pendapat publik bukan hal kebetulan. Diyakini ada kekuatan besar di baliknya. Tidak murah biaya harus dikeluarkan untuk sekali pelaksanaan survei. Informasi dari teman seorang pollster, ongkos tiap kali survei dengan metode tatap muka 1.200 responden paling murah Rp 400 juta rupiah. Ini biaya riil lapangannya. Kalau dibayari oleh pihak ketiga bandrolnya berbeda, bisa Rp 500 juta-600 juta. Bayangkan saja ada lembaga survei yang setahun merilis hasil survei 6 sampai 8 kali. Satu lembaga ini saja pihak pembeli survei mengeluarkan uang paling sedikit Rp 3-4 milyar. Kalau ada empat lembaga yang diminta jasa surveinya, dana yang keluar bisa sampai Rp 16 milyar per tahun. Uang senilai itu tidak mungkin membuat lembaga survei benar-benar bersih dari upaya penggiringan opini. Coba perhatikan, pimpinan lembaga survei yang rajin merilis temuannya, tidak benar-benar netral saat berbicara di depan publik, atau menyampaikan pendapat di media sosial. Mereka ini ikut sebagai pengamat politik yang partisan, dan itu terang-terangan. Membesar-besarkan satu pihak dan menjatuhkan pihak lainnya. Maka tidak keliru apabila banyak pihak meragukan kredibilitas lembaga survei dan seolah bertekuk lutut pada pemesannya. Ada easy money di dalam lembaga survei, kredibilitas tampak tidak penting dan diabaikan. Suatu kali ada kawan berseloroh setelah menonton analisis pimpinan lembaga survei tertentu. “Orang ini kelihatannya sedang jobless. Soalnya ia memuj-muji Anies Baswedan, mungkin ia berharap direkrut bohir lawan Anies. Ini nih teknik pemasaran.” Ungkapan kawan ini cermin betapa lembaga survei telah menjadi industri komersial, tidak lagi menjadi sumber pengetahuan. Indikator Politik Indonesia Salah satu lembaga survei yang populer adalah Indikator Politik Indonesia (IPI), yang belum lama ini merilis hasil surveinya, yang seperti berkebalikan dengan akal sehat. Atau memang kita mesti membiasakan membaca hasil surveinya dengan serba berkebalikan. Misal, stagnan itu bisa dibaca/diserupakan dengan menanjak. Sedang menanjak, itu bisa dibaca stagnan. Mengapa boleh disebut berkebalikan dengan akal sehat--setidaknya saya menyebutnya demikian--itu karena apa yang ditanyakan pada responden, sangat jauh dari realita yang ada. Survei dilakukan dengan tatap muka. Dan pertanyaan bisa disesuaikan dengan keinginan penggiringan opini. Mari kita cermati rilis survei terakhirnya itu. Menurut rilis survei yang dilakukan 1-6 Desember 2022, disampaikan Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi, di mana Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kembali menempati posisi teratas. Naiknya elektabilitas Ganjar, itu berkorelasi dengan kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ganjar memiliki elektabilitas sebesar 35,8 persen dalam simulasi tiga nama bakal Capres. Ganjar unggul atas eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (28,3 persen), dan Menteri Pertahanan yang sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (26,7 persen). Rilis survei IPI itu, menyebutkan adanya tren positif terhadap Ganjar, pada periode November-Desember 2022. Bisa terlihat dari peningkatan elektabilitas dari 33,9 persen pada November, menjadi 35,8 persen pada Desember. Tren positif juga dialami Prabowo. Kenaikan dari 23,9 persen pada November, menjadi 26,7 persen. Sementara Capres Anies Baswedan mengalami tren negatif. Dari 32,2 persen pada bulan November, menjadi 28,3 persen bulan Desember. Hasil survei yang muncul seolah menyederhanakan persoalan dengan dicarikan faktor pembenar terhadap kenaikan elektabilitas Ganjar, meski menjadi sulit dinalar. Dikatakan kenaikan dukungan Ganjar karena meningkatnya kepuasan publik pada kinerja Jokowi. Namun Tidak diberi penjelasan tren negatif terhadap Anies itu disebabkan oleh faktor apa. Memang akan sulit bisa memberi penjelasan rasionalitasnya. Mengingat realita sambutan massa mengelu-elukan Anies pada setiap kunjungan ke beberapa daerah, itu seperti tidak dilihat sebagai sesuatu. Malah yang didapat tren menurun (negatif). Kesimpulan IPI menyisakan satu pertanyaan metodologis. Apakah naiknya suara Ganjar mencerminkan keadaan sebenarnya ataukah hanya karena bias sampling yang condong jatuh pada orang-orang yang menyatakan puas pada kinerja Jokowi? Jangan lupa, negeri ini untuk soal politik elektoral hanya ada dua kutub, pro dan non Jokowi. Kalau sampel yang ditarik banyak jatuh ke populasi pro Jokowi pastilah puas pada kinerjanya, dan juga niscaya cenderung positif kepada elemen yang lekat dengan Jokowi, termasuk Ganjar yang identik sebagai Jokowi kecil. Sebaliknya hasil survei menegasi pada unsur yang antitesa Jokowi termasuk elektabilitas Anies. Begitu pula kalau sampel banyak jatuh pada populasi yang non Jokowi, dipastkan suara Ganjar ambrol sedangkan suara Anies naik. Jadi tren kenaikan dukungan Ganjar dan penurunan pada Anies bisa jadi bukan cermin fenomena sebenarnya, tetapi karena bias sampling. Siapa pun yang pernah belajar statistik tahu ada istilah kurva normal dalam penarikan sampel. Sampel ideal adalah sampel yang kurva normalnya melengkung mulus dengan sisi yang proporsional. Kalau condong pada satu sisi sampel akan menjadi cermin pada karakteristik populasi sisi tersebut. Condong atau tidaknya sampel pada satu sisi bukan hanya terjadi pada proses pengambilan sampel yang disengaja. Pada pengambilan sampel secara acak pun hal ini bisa terjadi. Kalau mau fair, IPI harus menunjukkan analisis normalitas kurva sampelnya. Tidak cukup hanya menunjukkan tren data dan sekadar memperlihatkan karakter sampelnya sebangun dengan populasi BPS. Tidak perlu pakai analisis korelasi pun semua orang tahu kalau banyak yang puas kepada Jokowi pasti baik pada elektabilitas Ganjar dan buruk bagi Anies. Ya itu tadi, karena opini politik bangsa ini terbelah hampir sama banyak antara pro dan non Jokowi. Kalau pun IPI tidak mampu membuat analisis uji normalitas sampelnya, coba lakukan dua unit survei yang dilakukan dalam rentang waktu dan metode yang sama. Kalau keduanya menunjukkan tren yang sama maka sah membuat kesimpulan di atas. Secara metodologis pernyataan bahwa dukungan Ganjar naik karena meningkatnya kepuasan pada kinerja Jokowi ini sumir. Tidak heran kalau ada kesan lembaga survei mencari pembenaran untuk menggiring opini suara Ganjar naik dan Anies turun. Akhir Desember 2022 dan Januari 2023, banjir merendam Jawa Tengah. Banyak kota atau kabupaten yang lumpuh oleh banjir, menjadi seperti tidak tertangani. Jika survei dibuat saat ini, belum tentu tren negatif didapat Ganjar. Argumen tren positif bisa dibuat, dan sepertinya nalar publik dianggap bisa dikecoh. Silahkan saja merilis survei untuk menaikkan atau menurunkan elektabilitas siapa saja yang dikehendaki, itu pastilah sesuai kemauan pihak yang memesannya. Publik punya penilaiannya sendiri. Sulit bisa termakan penggiringan opini tentang elektabilitas yang dimunculkan lembaga survei. Menjadi wajar jika muncul kesan, bahwa lembaga survei sulit bisa dipercaya, jika masih bekerja dengan memakai metodologi siapa yang membayarnya. Tapi dari sedikit lembaga survei yang masih istiqomah memegang idealismenya, rilis hasil surveinya terus dinanti. Rakyat sudah belajar dari pengalaman masa lalu, mengingat dengan baik mana hasil survei yang sesuai dengan suara rakyat, dan mana yang abal-abal. (*)
Habib Syiah Berpikir Kribo
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Syi\'ah lebih menghormati Karbala ketimbang Makkah. Haji pun bukan untuk memenuhi panggilan Allah \"Labbaika Allahumma Labbaik\" tetapi panggilan Husein \"Labbaik Yaa Husein\". Ke Madinah pantang ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW karena di sampingnya ada Abu Bakar Shiddiq Ra dan Umar Ibn Khattab Ra, dua nama yang Syi\'ah benci bahkan kutuk. Ocehan Zein Assegaf alias Habib Kribo tentang pergi haji cuma buang duit menggambarkan dua hal yaitu pertama khas Syi\'ah yang anti Makkah, kedua berfikir berbelit-belit, kusut, dan berkutu busuk. Semestinya pelecehan pada ibadah haji yang dilakukan Zein Kribo itu dapat diproses hukum sebagai perbuatan kriminal. Delik penistaan agama. Keterlaluan ucapannya \"Tuhan gak parkir di Masjid, Tuhan gak parkir Ka\'bah\" sebagai kelanjutan ucapan \"ngapain pergi jauh-jauh buang duit ke Arab sana berebut hajar aswad membuang duit besar, mau cari Tuhan, Tuhan gak di situ, Tuhan ada di tempat orang-orang susah\". Ini Habib apaan ngomong semprul. Jahil alias bodoh tidak mampu memahami bahwa orang berangkat ke Makkah itu untuk memenuhi panggilan Allah, menjalankan syari\'at-Nya. Duit bukan dibuang tetapi bagian dari pengorbanan dalam ibadah. Bukan juga cari Tuhan di Hajar Aswad. Ka\'bah itu Baitullah, rumah Allah yang suci dan dimuliakan umat Islam. Di manapun hamba dapat mendekat kehadirat Ilahi Robbi, termasuk di Baitullah. Kalau semprul gak mau ke Ka\'bah silahkan saja, gak usah mengutuk orang yang mau. Tuhan ada di mana-mana, Bo. Ada pada orang senang ataupun susah. Semua bisa beribadah untuk mendekat pada Tuhan. Habib turunan Nabi semestinya yakin dan tahu akan hal ini. Itu dasar-dasar pelajaran agama, Bib eh Krib. Mungkin maksud bahwa Tuhan itu ada pada orang susah tuh ada pada diri loe sendiri, nyelip di rambut kribo loe ? Kriting amat sih berpikirnya. Bandung, 12 Januari 2023
Runtuhnya Negara Demokrasi Konstitusional Melalui Perppu Cipta Kerja (Bag-1)
PADA tanggal 25 September 2021 Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak diperbaiki selama dua tahun. Akibatnya, undang-undang tersebut tidak menjadi tidak sah secara keseluruhan. Tidak sah, baik secara formil maupun materilnya, sepanjang tidak diperbaiki selama kurun waktu yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sederhananya, UU Ciptaker itu ditangguhkan masa berlakunya sebelum ada perbaikan. Aturan-aturan turunan yang berdasarkan undang-undang tersebut juga tidak dapat dilaksanakan. Bahkan tidak boleh dibuat sebelum ada perbaikan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa pengujian undang-undang Ciptaker di Mahkamah Konstitusi itu menyangkut tata cara pembuatan undang-undang yang tidak sesuai dengan prosedur pembuatan, sehingga cacat secara formil. Konsekuensi cacat formil itu membuat seluruh undang-undang, mulai dari pertimbangan hukum, batang tubuh hingga penjelasan undang-undang itu menjadi inkonstitusional. Tidak berlaku. Cacat formil pembentukan undang-undang itu memang menimbulkan tidak-pastian hukum dalam banyak hal. Tetapi bukan berarti ada kekosongan hukum. Penyebabnya undang-undang yang dirangkum secara keseluruhan dalam “kitab omnibuslaw” Ciptaker itu masih dapat berlaku sepanjang undang-undang yang dibatalkan oleh MK itu belum diperbaiki dan disahkan oleh pemerintah dan DPR. Alasan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum itu ternyata digunakan Presiden sebagai dalil untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Alasan yang cukup mengejutkan bagi banyak orang. Sebab MK sudah menyatakan undang-undang itu cacat formil, sehingga harus diperbaiki oleh DPR dan Pemerintah. Bukan dengan mengeluarkan Perppu. Setelah keluar Perppu Nomor 2 Tahun 2022, beberapa ahli hukum telah menyatakan kalau Presiden telah melakukan pelanggaran hokum. Alasannya Presiden tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi. Prof Dr. Jimly Asshidiqie menyebut Presiden telah mengabaikan Peran MK dan DPR, dengan menyebut bahwa Perppu Ciptaker itu adalah rule by law yang kasar dan sombong. Lebih jauh lagi, secara konstitusional, tindakan Presiden mengeluarkan Perppu Ciptaker itu berakibat Presiden dapat dimakzulkan. Persoalan Presiden dimakzulkan atau tidak, ini masuk dalam ruang politik. Untuk ruang politik ini kekuatan politiklah yang menentukan apakah Presiden dapat dimakzulkan atau tidak. Secara normatif dan akademis, keluarnya Perppu Ciptaker ini jauh syarat-syarat objektif keluarnya sebuah Perppu. Terlihat kalau Presiden memang melakukan tindakan yang cukup untuk disebut sebagai tindakan otoriter. Presiden disebut sebagai otoriter karena melawan ketentuan konstitusinal yang berlaku. Sebenarnya persoalan sederhana. Harusnya setelah keluarnya putusan MK tanggal 25 September 2021 itu, Presiden mulai bergerak bersama-sama dengan DPR memperbaiki proses pembentukan sebuah undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jalan untuk memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang yang dibatalkan oleh MK itu tersedia waktu dua tahun. Waktu yang sangat cukup Presiden dan DPR untuk membahasnya. Namun perintah MK ini tidak dilakukan sama sekali oleh Presiden dan DPR. Presiden tidak mau mengambil langkah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Presiden justru menjawab keputusan MK dengan membuat Perppu. Sejauh mengenai persoalan cacat formil, dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ditekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Artinya memberikan Kesempatan kerpada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. Partisipasi masyarakat tersebut merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Pembuat undang-undang diharuskan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang- undang melalui Perppu, maka proses dan mekanisme tersebut justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isi dari Perppu. Pembentukan undang-undang melalui Perppu tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty). Menurut Mahkamah Konstitusi ada tujuh hal pentingnya partisipasi masyarakat. Secara doktriner tujuh alasan tersebut. Pertama, menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap timbulnya dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan. Kedua, menurut Mahkamah Konstitusi membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan. Ketiga, meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislative. Keempat, memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan. Kelima, meningkatkan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara. Keenam, memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka. Ketujuh, menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent). Bersambung. PADA tanggal 25 September 2021 Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak diperbaiki selama dua tahun. Akibatnya, undang-undang tersebut tidak menjadi tidak sah secara keseluruhan. Tidak sah, baik secara formil maupun materilnya, sepanjang tidak diperbaiki selama kurun waktu yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sederhananya, UU Ciptaker itu ditangguhkan masa berlakunya sebelum ada perbaikan. Aturan-aturan turunan yang berdasarkan undang-undang tersebut juga tidak dapat dilaksanakan. Bahkan tidak boleh dibuat sebelum ada perbaikan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa pengujian undang-undang Ciptaker di Mahkamah Konstitusi itu menyangkut tata cara pembuatan undang-undang yang tidak sesuai dengan prosedur pembuatan, sehingga cacat secara formil. Konsekuensi cacat formil itu membuat seluruh undang-undang, mulai dari pertimbangan hukum, batang tubuh hingga penjelasan undang-undang itu menjadi inkonstitusional. Tidak berlaku. Cacat formil pembentukan undang-undang itu memang menimbulkan tidak-pastian hukum dalam banyak hal. Tetapi bukan berarti ada kekosongan hukum. Penyebabnya undang-undang yang dirangkum secara keseluruhan dalam “kitab omnibuslaw” Ciptaker itu masih dapat berlaku sepanjang undang-undang yang dibatalkan oleh MK itu belum diperbaiki dan disahkan oleh pemerintah dan DPR. Alasan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum itu ternyata digunakan Presiden sebagai dalil untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Alasan yang cukup mengejutkan bagi banyak orang. Sebab MK sudah menyatakan undang-undang itu cacat formil, sehingga harus diperbaiki oleh DPR dan Pemerintah. Bukan dengan mengeluarkan Perppu. Setelah keluar Perppu Nomor 2 Tahun 2022, beberapa ahli hukum telah menyatakan kalau Presiden telah melakukan pelanggaran hokum. Alasannya Presiden tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi. Prof Dr. Jimly Asshidiqie menyebut Presiden telah mengabaikan Peran MK dan DPR, dengan menyebut bahwa Perppu Ciptaker itu adalah rule by law yang kasar dan sombong. Lebih jauh lagi, secara konstitusional, tindakan Presiden mengeluarkan Perppu Ciptaker itu berakibat Presiden dapat dimakzulkan. Persoalan Presiden dimakzulkan atau tidak, ini masuk dalam ruang politik. Untuk ruang politik ini kekuatan politiklah yang menentukan apakah Presiden dapat dimakzulkan atau tidak. Secara normatif dan akademis, keluarnya Perppu Ciptaker ini jauh syarat-syarat objektif keluarnya sebuah Perppu. Terlihat kalau Presiden memang melakukan tindakan yang cukup untuk disebut sebagai tindakan otoriter. Presiden disebut sebagai otoriter karena melawan ketentuan konstitusinal yang berlaku. Sebenarnya persoalan sederhana. Harusnya setelah keluarnya putusan MK tanggal 25 September 2021 itu, Presiden mulai bergerak bersama-sama dengan DPR memperbaiki proses pembentukan sebuah undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jalan untuk memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang yang dibatalkan oleh MK itu tersedia waktu dua tahun. Waktu yang sangat cukup Presiden dan DPR untuk membahasnya. Namun perintah MK ini tidak dilakukan sama sekali oleh Presiden dan DPR. Presiden tidak mau mengambil langkah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Presiden justru menjawab keputusan MK dengan membuat Perppu. Sejauh mengenai persoalan cacat formil, dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ditekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Artinya memberikan Kesempatan kerpada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. Partisipasi masyarakat tersebut merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Pembuat undang-undang diharuskan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang- undang melalui Perppu, maka proses dan mekanisme tersebut justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isi dari Perppu. Pembentukan undang-undang melalui Perppu tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty). Menurut Mahkamah Konstitusi ada tujuh hal pentingnya partisipasi masyarakat. Secara doktriner tujuh alasan tersebut. Pertama, menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap timbulnya dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan. Kedua, menurut Mahkamah Konstitusi membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan. Ketiga, meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislative. Keempat, memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan. Kelima, meningkatkan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara. Keenam, memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka. Ketujuh, menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent). Bersambung.
Batalkan PERPPU CIPTAKER NO.2/2022, Proses Pemakzulan Presiden Jokowi Segera!
Oleh Marwan Batubara - FKN-UI Watch PENOLAKAN berbagai kalangan masyarakat terhadap Perppu No.2/2022 tentang Ciptaker semakin meluas. Mereka terus melakukan advokasi, termasuk menuntut pemakzulan Presiden Jokowi. Sebab, penerbitan Perppu No.2/2022 dianggap sebagai kebijakan otoriter, mengkhianati Pancasila, melanggar kosntitusi dan merampas hak demokrasi rakyat, namun sekaligus hanya menguntungkan oligarki: berburu rente dan melanggengkan kekuasaan. Pada tulisan kedua ini diuraikan beberapa alasan legal mengapa Perppu No.2/2022 dinyatakan inkonstitusional, sehingga harus segera dicabut atau dibatalkan. Pembatalan bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah atau melalui DPR yang menyatakan Perppu No.2/2022 batal demi hukum. Karena dianggap telah betindak menerbitkan peraturan yang melawan kosntitusi, DPR pun bisa segera memulai proses pemakzulan Presiden Jokowi, sesuai Pasal 7 dan 7A UUD 1945. Berikut diuraikan alasan utama mengapa penerbitan Perppu No.2/2022 harus dinyatakan inkonstitusional. Pertama, melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Seperti diketahui, Negara Hukum adalah negara yang diselenggarakan berdasar konstitusi dan hukum yang berlaku. Penyelanggara negara harus terikat dan tunduk pada konstitusi. Dalam hal ini pemerintah telah merusak dan melanggar prinsip konstitusionalisme suatu Negara Hukum, sehingga layak disebut otoriter. Kedua, melanggar Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ketiga, melanggar Pasal 22A UUD 1945, menyatakan: _Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan Undang-Undang._ Ternyata yang dijadikan dasar penerbrbitan Perppu hanyalah UU No.13/2022, bukan amanat konstitusi. Selain itu, tidak terjadi pula kekosongan hukum, sehingga penerbitan Perppu akibat kondisi memaksa menjadi tidak relevan. Keempat, tidak memenuhi asas keterbukaan sebagaimana diatur Pasal 5 huruf g, dan asas meaningful participation sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (1) UU No.13/2022. UU No.13/2022 merupakan Perubahan Kedua atas UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3). UU ini merupakan pendelegasian dan peraturan turunan Pasal 22A UUD 1945. Kelima, melanggar Amar Putusan MK No.91/2020 yang antara lain berbunyi: a) _Menyatakan Pembentukan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai \"tidak dilakukan perbaikan selama waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini ditetapkan; b) Memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU 11/2020 menjadi inkonstitusional secara permanen. Keenam, melanggar Putusan MK No.138/2009 yang antara lain menyatakan pembuatan Perppu tergantung kepada penilaian subjektif Presiden atas kondisi kegentingan memaksa. Penilaian subjektif Presiden harus didasarkan keadaan objektif yang memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; 2) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; 3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Ternyata amanat MK dalam Amar Putusan No.138/2009 ini atas telah dilanggar. Sebab yang terjadi adalah penilaian subjektif atas kondisi memaksa oleh Presiden, yang dalam hal ini telah digunakan secara absolut. Faktanya, di depan mata toh tidak didapati atau sedang tidak terjadi kondisi genting yang mengancam perekonomian dan minat investasi. Presiden Jokowi dinilai telah bertindak otoriter, mengangkangi dan menihilkan wewenang dan fungsi lembaga tinggi negara lain yang dibentuk sesuai amanat konstitusi, yakni MK (pada Putusan No.138/2009 dan Putusan No.91/2020). Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan, saat konferensi pers penerbitan Perppu (30/12/2022) bahwa tujuan penerbitan Perppu 2/2022 adalah untuk menggugurkan status inkonstitusional bersyarat atas Putusan MK No.91/ PUU-XVIII/ 2020. Presiden Jokowi secara terang benderang telah membangkang Putusan MK. Ketidakpatuhan atas putusan MK ini selain bertentangan dengan doktrin Negara Hukum, juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi, sebagaimana dinyatakan oleh Ketua MK, Yang Mulia (YM) Dr. Anwar Usman (28/1/2020). YM Anwar Usman juga menyatakan kepatuhan terhadap putusan MK mencerminkan kedewasaan dan kematangan sebagai negara hukum demokratis sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum. Enam butir alasan di atas telah menunjukkan terjadi pelanggaran hukum dan konstitusi dalam penerbitan Perppu No.2/2022. Untuk melegitimasi kebijakannya pemerintah menyatakan Perppu dibentuk berdasar hukum. Namun, karena berangkat dari sikap subjektifitas absolut, otoriter, anti demokrasi dan pro oligarki, penggunaan dan perujukan atas hukum tersebut telah dilakukan secara parsial, sebagian disembunyikan dan bahkan sebagian melanggar hukum. Sehingga lahirlah Perppu No.2/2022 yang melanggar prinsip negara hukum, amanat konstitusi dan prisnsip demokrasi. Otoritarianisme yang melegitimasi kebijakan inskonstitusional dengan berlindung di balik “akrobat” hukum dan arogansi kekuasaan harus segera dihentikan. Jika tidak, maka dapat saja terbit perppu-perppu lain yang mengangkangi amanat konstitusi, serta merugikan negara dan rakyat. Ke depan, pemerintah dapat saja menerbitkan Perppu untuk “melegalkan” jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode. Oleh sebab itu, rakyat menuntut agar Perppu No.2/2022 segera dibatalkan. Selain itu karena tindakan menerbitkan Perppu telah melanggar konstitusi dan UU yang berlaku, maka Presiden Jokowi seharusnya segera menjalani proses pemakzulan.[] Jakarta, 11 Januari 2023.
Nuansa Orde Lama
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan TIGA orde kepemimpinan telah berjalan di negara merdeka Republik Indonesia yaitu Orde Lama di masa Soekarno, Orde Baru masa Soeharto dan Orde Reformasi untuk beberapa Presiden pasca Soeharto. Dari Presiden Habibie hingga SBY spirit Reformasi masih dijaga meski penuh dinamika. Di bawah kepemimpinan Jokowi yang diusung oleh partai pemenang Pemilu PDIP nampak ada siklus berulang untuk kembali ke warna Orde Lama. Teriakan waspadai politik identitas ke arah umat beragama, khususnya umat Islam, terasa untuk menutupi kembalinya identas kuat di masa Orde Lama. Nasionalisme kiri. Empat ciri untuk dahulu dan kini, yaitu : Pertama, semangat pemerasan sila ideologi dari Pancasila ke Ekasila yakni Gotong Royong. Gotong royong sebagai kerjasama konstruktif disamarkan dengan gotong royong sebagai sila ideologi. Muncul RUU HIP adalah bukti nyata. Kedua, demokrasi terpimpin menjadi ciri dalam pengelolaan negara secara otokratis. Dahulu keterpimpinan disentralkan pada figur seorang Presiden yang kuat yaitu Soekarno. Kini kepemimpinan itu ada pada kelompok yang disebut oligarki. Ketiga, kedekatan dengan RRC sebagai garis kebijakan saat mendekati G 30 S PKI tahun 1965 dahulu. Jokowi menyebut Xi Jinping sebagai Kakak Besar. Ucapan selamat pada HUT PKC dan PKC yang berkunjung ke Istana Negara bertemu Jokowi. TKA China banyak masuk ke Indonesia. Keempat, agama yang dijauhi dan diwaspadai. Dulu tokoh Islam ditangkap dan Masyumi dibubarkan kini FPI dan HTI juga \"dibubarkan\". Isu terorisme, radikalisme, dan intoleransi diarahkan pada Islam. Moderasi untuk melumpuhkan. Jika tak terkendali dapat menjadi program \"cuci otak\". Pada acara HUT PDIP ke 50 di JIExpo Kemayoran Jakarta 10 Januari kemarin ada tampilan menarik. Ribuan pasukan Cakra Buana berapel siaga. Satgas PDIP ini berseragam hitam, baret merah, dan bercaping petani. Identitas pesan yang dapat menimbulkan tafsir dan asosiasi. Cakra Buana tentu bukan Cakra Birawa. Tetapi seragam hitam dan baret hitam lalu bercaping ini pertanda apa ? Serasa di Kamboja atau Vietnam. Dahulu ketika konfrontasi dengan Malaysia, PKI mendesak pembentukan angkatan kelima, rakyat yang dipersenjatai. PKI berupaya memperkokoh kekuatan akar rumput buruh nelayan dan petani. Ya mudah-mudahan apel siaga dengan seragam hitam, baret merah dan bercaping itu hanya seni saja bukan penggambaran untuk membangun kekuatan sebenarnya. Angkatan kelima. Jika iya, bangsa dan rakyat Indonesia patut untuk waspada. Orde Lama tidak boleh berkuasa kembali. Tidak menjadikan Pancasila sebagai mainan atau batu loncatan untuk dikhianati kembali. Nawacita bukan Nawaksara. Cakra Buana bukan Cakra Birawa. Bandung, 11 Januari 2023
Emil Mulai Banjir Kritik
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan BELUM terklarifikasi soal dana hibah APBD 1 trilyun ke NU Jawa Barat yang dinilai tidak adil baik oleh Ormas Islam lainnya maupun Ormas bukan keagamaan, kini Masjid Al Jabbar yang menghebohkan itupun dipersoalkan. Masa eforia pembangunan masjid megah berbiaya APBD hampir 1 trilyun tersebut terbentur hujan kritik. Kritik mendasar adalah penamaan \"Al Jabbar\" yang merupakan nama Allah \"Asma\'ul Husna\" yang tidak pas disematkan untuk makhluk. KH Athian Ali Da\'i, MA seorang ulama mengusulkan sebaiknya nama diganti menjadi \"Baitul Jabbar\" atau tidak harus memelesetkan Jawa Barat langsung saja beri nama \"Al Jabar\" dengan \"b\" satu. Kemegahan dan membanggakan arsitektur dapat jatuh pada riya bila tidak mampu untuk berendah hati. Masjid terbaik adalah rumah Allah yang dibangun atas dasar taqwa, bukan agar orang berfoto-foto karena latar belakangnya. Adalah indah jika warga memaksakan datang ke masjid itu untuk menjalankan ibadah di dalamnya. Pembiayaan konten Masjid Al Jabbar senilai 20 Milyar dikritisi atas dua hal. Pertama, besaran nilai proyek dan kedua, sistem penunjukan langsung setelah gagalnya lelang. Yang ditunjuk adalah perusahaan yang konon dekat dengan Ridwan Kamil sendiri. PT Sembilan Matahari adalah perusahaan yang gagal dalam proses lelang. Penggunaan 1 trilyun dana APBD yang ramai dibicarakan dibandingkan Emil dengan berbagai pembiayaan untuk rumah ibadah lain. Sayang ketika mengaitkan dengan Pura Besakih di Bali bantahannya adalah bahwa bandingan itu tidak adekuat karena Pura Besakih merupakan cagar budaya. Ridwan Kamil menunjuk diri sendiri sebagai Ketua DKM Masjid Al Jabbar. Meski tentu melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam kepenguruaan akan tetapi dikhawatirkan akan terkooptasi atau hanya sebagai asesori. Di luar masjid Al Jabbar, proyek e-parking yang digulirkannya ternyata tidak efektif. Proyek berbiaya 80 Milyar itu nyaris gagal. Pakar Administrasi Publik dari Unpar Tutik Rachmawati menyatakan tidak ada pendapatan signifikan yang masuk ke kas daerah. Menarik kritikan Dosen ITB Mohammad Jehansyah Siregar, P.hD yang menyatakan pembangunan dan tata ruang semasa Ridwan Kamil di Kota Bandung dan Jawa Barat itu mandek. Tidak ada perubahan berarti dalam pembangunan dan tata ruang. Di tahun awal 2023 dan di akhir tahun jabatan Ridwan Kamil ini rasanya kritik semakin membanjir. Baginya bisa saja diabaikan. Akan tetapi kritik yang beralasan dapat berpengaruh terhadap reputasi kepemimpinannya. Apalagi jika ada semangat Emil ingin menjadi Presiden RI pada Pemilu tahun 2024. Jabar Juara adalah moto bagus dan patut kita dukung. Tentu juara dengan prestasi yang baik-baik bukan juara selainnya. Misal Jabar Juara Korupsi atau Juara LGBT. Bandung, 10 Januari 2023