OJK Penyidik Tunggal Kejahatan Industri Keuangan Sebagai Solusi Cerdas (Bag-1)

Gedung OJK (sugawa.id)

Oleh Kisman Latumakulita - Wartawan Senior FNN

PENGHUJUNG akhir tahun 2022 kemarin, menandai tonggak era baru sektor industri keuangan terintergrasi di Indonesia. Tepatnya tanggal 15 Januari 2023 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan menjadi undang-undang. Resmi menjadi produk hukum positif yang berlaku di Indonesia. Namanya disingkat dengan “UU PPSK”. 

Kewenangan yang besar telah diberikan UU PPSK kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk setiap pelanggaran peraturan perundang-undangan di sektor industri keuangan Indonesia, OJK diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Malah OJK juga boleh menahan siapa saja pelakunya yang telah terbukti melakukan pelanggaran tindak pidana di sektor jasa keuangan. 

Tidak banyak yang tahu adanya pembahasan RUU PPSK di DPR. Dampaknya tidak banyak muncul suara-suara yang menentang atau mendukung UU PPSK. Kalangan praktisi hukum, ekonomi maupun politik umumnya diam-diam saja. Mungkin karena materinya tidak banyak bersentuhan dengan hal-ihwal berbaui politik. Pembahasan yang dilakukan oleh DPR bersama-sama dengan pemerintah lancar-lancar saja. 

Pengesahan RUU PPSK menjadi undang-undang pada Sidang Paripurna DPR tanggal 15 Desember 2022 lalu tidak menemui hambatan berarti. Tidak tampak ada anggota DPR yang meminta interupsi atau menyampaikan sanggahan kepada pimpinan sidang. Sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani itu sangat lancar. Pemerintah diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Tampak hadir hampir semua unsur pimpinan komisioner OJK, yaitu Ketua Mahendra Siregar, Wakil Ketua Mirza Adityaswara dan beberapa komisioner OJK lain. 

Lahirnya UU PPSK ini pada waktu, kondisi dan momentum yang tepat. Banyaknya kejahatan di sektor industri keuangan dalam tiga tahun terakhir ini, telah menurunkan kepencayaan terhadap Indonesia di pasar keuangan internasional. Kasus kejahatan keuangan seperti yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya, dengan kerugian ditaksir Rp 37,4 triliun (Tempo.co 04 Oktober 2020). Begitu juga dengan kasus kejahatan di PT Asabri, dengan kerugian Rp 22,78 triliun (Kompas.com 31 Mei 2021). 

Sedangkan kejahatan keuangan yang terjadi di PT Indosurya malah lebih parah lagi, berakibat kerugian yang lebih besar, yaitu Rp 160 triliun (Kompas.com). Kejahatan keuangan seperti ini juga terjadi di Pasar Modal Indonesia. Untuk itu, lahir UU PPSK sangat tepat dan strategis, karena bertujuan mencegah dan mengatasi berbagai persoalan kejahatan keungan yang terjadi di Indonesia. 

Kejahatan di industri keuangan ini sering dikenal dengan sebutan “kejahatan kerah putih” (white collar crime). Kejahatan ini umumnya dilakukan oleh kalangan profesional. Mereka suka dan senang mengeksploitasi kekuatan mereka di bidang ekonomi, teknologi dan kondisi sosial untuk meraup keuntungan pribadi perusahaan kelompoknya. Tidak perduli siapa yang menjadi korban mereka. Korbannya bisa dari perorangan. Namun bisa juga negara.

Mereke tidak mau peduli perilakunya bertentangan dengan hukum positif dan norma sosial yang berlaku. Hal yang penting dan terpenting untuk pelaku write collar crime adalah merampok untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Meskipun itu dilakukan dengan cara-cara yang ilegal. Mereka berusaha sebisa mungkin untuk memanfaatkan celah hukum yang tersedia, sehingga terkesan seperti legal.

Edwin Sutherland, kriminolog Amerika tahun 1939 menyoroti pakaian khas pelaku write collar crime ini. Mereka umumnya berpakaian seperti pebisnis, profesional, berpangkat tinggi dan politisi. Namun sejak eranya Edwin Sutherland, kelompok write collar crime ini semakin melebarkan aktivitasnya pada kejahatan yang lain. Misalnya, kejahatan dunia maya (komputer), perdagangan, sumpah palsu, penyuapan, menghalangi keadilan, pencucian uang, dan pajak.

Menghadapi kejahatan industri keuangan yang hampir saja meluluh-lantahkan industri keuangan Indonesia tersebut, butuh aturan perundang-undangan yang lebih ketat. Butuh aturan yang menyesuaikan diri dengan perkembangan dan dinamika terkenologi di industri keuangan yang berubah sangat cepat dan dinamis. Selain itu, harus didukung dengan sumber daya manusia yang punya kemampuan untuk mendeteksi pelanggaran di industri keuangan sejak dini (early warning) di atas rata-rata.

Sumber daya manusia yang tugasnya mengawasi dan menegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran di industri keuangan, harus punya kemampuan di  atas rata-rata. Tidak cukup diawasi oleh sumber daya manusia yang biasa-biasa saja. Kejahatan di industri keuangan ini sangat rumit dan njelimet (sophisticated and meticulous). Butuh orang-orang yang punya keahlian khusus di industri keuangan.

Adanya pasal 48B ayat 1 dan 2 UU PPSK yang memberikan wewenang mutlak kepada OJK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan merupakan terobosan yang sangat cerdas, tepat, penting dan strategis. OJK bisa bergerak dengan cepat dan leluasa. OJK bisa mencegah setiap potensi pelanggaran di industri keuangan sejak dini. Dampak kerusakan bisa dilokalisir OJK, dan diharapkan tidak sampai melebar ke mana-mana. 

Pasal 48B UU PPSK ayat (1) adalah “Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan. Sedangkan ayat (2) sebelum menetapkan dimulainya penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana sektor jasa keuangan". (bersambung).

2070

Related Post