OPINI
Ekonomi Global Membaik, PERPPU Cipta Kerja Wajib Batal
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PRESIDEN Jokowi mengeluarkan PERPPU (Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang) tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 yang lalu. PERPPU ini terindikasi melanggar konstitusi. Bahkan beberapa ahli tata negara menyatakan lebih tegas. PERPPU melanggar konstitusi! Dan, karena itu, presiden bisa diberhentikan?! Ada beberapa alasan bahwa PERPPU Cipta Kerja melanggar konstitusi. Pertama, PERPPU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil sehingga inkonstitusional (bersyarat). Artinya, UU Cipta Kerja harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun, yang akan berakhir pada November 2023. Bukannya diperbaiki sesuai perintah MK, pemerintah malah melanggar perintah MK dengan menerbitkan PERPPU Cipta Kerja yang pada hakekatnya adalah sama dengan UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional (bersyarat). Karena itu, PERPPU Cipta Kerja yang melawan dan melanggar Putusan MK berarti juga melanggar konstitusi. Kedua, PERPPU hanya dapat diterbitkan kalau ada kegentingan memaksa, yang harus berdasarkan faktual: artinya, bukan berdasarkan perkiraan. Sedangkan PERPPU Cipta Kerja diterbitkan berdasarkan perkiraaan, bahwa ekonomi global akan masuk resesi, yang kemudian dijadikan faktor Kegentingan Memaksa. Ini namanya “aji mumpung”, yang juga bisa dimaknai sebagai rekayasa. Kegentingan memaksa harus bersifat faktual, artinya, (resesi global) sedang terjadi. Faktanya, resesi global tidak atau belum terjadi. Ekonomi Indonesia juga tidak dalam resesi. Bahkan sebaliknya. Ekonomi global menunjukkan perbaikan. IMF melakukan revisi *perkiraan* pertumbuhan ekonomi global 2023 naik dari 2,7 persen menjadi 2,9 persen, naik 0,2 persen dari perkiraan pada Oktober 2022. Inflasi di dunia juga cenderung turun. Inflasi AS turun dari 7,1 persen pada November 2022 menjadi 6,5 persen pada Desember 2022. IMF juga memperkirakan bahwa 84 persen negara di dunia akan mencatat inflasi 2023 lebih rendah dari tahun lalu. Semua ini menunjukkan tidak ada Kepentingan Memaksa, sehingga PERPPU Cipta Kerja tidak sah, alias melanggar konstitusi. Artinya, subjektivitas Presiden dalam menerbitkan PERPPU melampaui wewenang yang diberikan konstitusi. Ketiga, seandainya terjadi resesi ekonomi, Indonesia sudah mempunyai perangkat undang-undang untuk mengatasi krisis ekonomi dan keuangan. Yaitu undang-undang No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan serta undang-undang No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang disetujui DPR pada 15 Desember 2022 dan diundangkan pada 12 Januari 2023. Keempat, seandainya terjadi resesi ekonomi, PERPPU Cipta Kerja juga tidak bisa mengatasi resesi. Karena isi PERPPU Cipta Kerja fokus pada investasi dan penciptaan lapangan kerja. Artinya sisi supply atau produksi. Sedangkan dalam resesi, yang menjadi masalah adalah sisi permintaan yang turun drastis, sehingga terjadi oversupply: kelebihan produksi. Tentu saja dalam kondisi resesi seperti ini, PERPPU Cipta Kerja tidak berdaya mengatasi resesi ekonomi. Semua ini menunjukkan DPR harus menolak PERPPU Cipta Kerja yang (terindikasi) melanggar konstitusi, dan terkesan manipulatif terhadap kondisi ekonomi global yang dijadikan faktor Kegentingan Memaksa. (*)
Trisakti Itu Bernama Koalisi Perubahan
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI NASDEM, Demokrat dan PKS, sejatinya bukan hanya ingin mengembalikan kedaulatan rakyat yang telah hilang selama ini. Dengan mengusung Anies sebagai capres, koalisi perubahan secara substansi telah mencoba menjebol sekaligus membangun sistem dan tata-kelola penyelenggaraan negara yang begitu bobrok. Ketiga partai yang berani berseberangan dengan rezim kekuasaan tiran, pada prinsipnya telah menghidupkan kembali Trisakti Bung Karno yang telah lama mati, oleh orang- orang dan partai politik yang terlalu memujanya. Konstelasi pilpres 2024 memasuki babak baru. Sikap partai Nasdem, partai Demokrat dan PKS yang mengusung Anies sebagai capresnya, semakin memanaskan suhu dan panggung politik nasional. Kebijakan satu partai politik koalisi dan dua partai politik oposisi itu, mematahkan sekaligus meluruskan beberapa spekulasi skenario pilpres 2024. Pertama, menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang luar biasa dari oligarki baik yang berasal dari korporasi maupun partai politik tertentu. Kedua, membangkitkan gairah dan opitimisme tinggi sebagian besar rakyat yang menginginkan perubahan di negeri ini. Ketiga partai politik pengusung Anies berhasil mengubur mimpi, hasrat sekaligus ambisi rezim kekuasaan untuk terus memerintah republik. Kebijakan partai politik tersebut bukan hanya menangkap aspirasi dan kehendak rakyat, lebih dari itu menjadi indikator betapa demokrasi masih bisa diselamatkan dan dilaksanakan, meskipun terlanjur telah rusak dan menjadi momok yang mengerikan akibat ulah rezim. Ada pertarungan politik yang terpolarisasi dalam dua kekuatan. Satunya diwakili oleh rezim status quo yang ingin memperpanjang jabatan atau presiden 3 periode. Sementara satu lainnya menginginkan pergantian kepemimpinan nasional dus perbaikan negara bangsa. Antara kekuatan petahana melawan koalisi perubahan, antara rezim kekuasaan dan oposisi. Ada yang menarik dari partai politik dalam koalisi perubahan menyangkut keputusannya memilih Anies sebagai capres pada pilpres 2024. Dipelopori oleh Nasdem yang mengusung Anies, pembahasan dan berujung hal yang sama pada Demokrat dan PKS, bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Ada kalkulasi yang begitu dipertimbangkan oleh ketiga partai itu, salah satunya dampak yang dianggap merugikan. Keberanian Nasdem mencapreskan Anies harus dibayar dengan tindakan resisten pemerintah beserta partai politik pendukungnya. Dibuly, ditinggalkan kader hingga terancam direshuffle kadernya dalam pemerintahan, menjadi konsekuensi logis yang diterima partai Nasdem. Pilihan sulit bagi Nasdem untuk terus merapat bersama rezim kekuasaan atau bersama rakyat bergandengan tangan. Partai Nasdem mengambil langkah tepat, diikuti partai Demokrat dan PKS mengunci tiket capres Anies, untuk selanjutnya memasuki tahapan selanjutnya pilpres 2024. Langkah politik Nasdem, Demokrat dan PKS mengingatkan publik pada Trisakti Bung Karno. Pemikiran presiden pertama Indonesia tentang berdaulat dalam bidang politik, kemandirian dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, seakan menjadi spirit dari koalisi perubahan. Nasdem, Demokrat dan PKS, seketika bertransformasi menjadi 3 pilar yang menopang tegaknya konstitusi dan demokrasi yang selama ini cenderung mengalami kehancuran. Rezim kekuasaan bukan hanya menghianati Trisakti Bung Karno, lebih dari itu membahayakan eksistensi dan keberlangsungan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Melalui proses pilpres 2024, koalisi perubahan sejatinya berupaya membangun kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Menyelamatkan pilpres yang jujur, adil dan terbuka, demi melahirkan pemimpin yang memiliki kecakapan, karakter dan integritas untuk kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Trisakti Bung Karno memang belum bisa diwujudkan. Kapitalisme dan komunisme global masih menguasai Indonesia hingga kekinian. Mewujudkan Trisakti Bung Karno menjadi identik dengan menepis sekulerisasi dan liberalisasi. Kapitalisme dan komunisme yang membunuh Trisakti Bung Karno itu, terus berlanjut menguasai republik melalui tangan-tangan rezim. Kekuasaan yang menjadi boneka nekolim kini menyeringai dalam wajah pemerintahan. Cengkeraman oligarki yang menghina, menista dan merendahkan bangsa Indonesia, menegaskan bahwasanya revolusi belum selesai, seperti kata Bung Karno. Koalisi perubahan tak sekedar memasuki babak baru pesta demokrasi yang menentukan masa depan Indonesia. Ketiga partai politik pelopor pembaruan dan perbaikan bangsa ini, selayaknya berani menjebol dan membangun kembali tatanan penyelenggaraan negara yang terlanjur rusak begitu akut dan sistemik. Dengan mengusung, mengamankan dan memenangkan Anies Baswedan, koalisi perubahan pada hakekatnya membawa harapan perubahan yang lebih baik dan bermartabat serta mengupayakan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengusung Anies sebagai capresnya, koalisi perubahan tak ubahnya sedang menghidupkan kembali Trisakti Bung Karno yang telah lama mati, oleh orang-orang dan partai politik yang terlalu memujanya. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 31 Januari 2023/9 Rajab 1444 H.
Silat Politik Surya Paloh
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SEPERTI biasa selalu ada isu untuk menarik perhatian pada Istana. Membangun kesan Jokowi masih kuat dan masih bisa berbuat meskipun dengan dibuat-buat. Isu itu adalah reshuffle kabinet. Momen pilihan adalah \"mbalelo\" Partai Nasdem yang mencalonkan Anies Baswedan untuk Presiden 2024. Pencalonan yang membuat gerah Istana karena Anies tidak disukai Jokowi dan Istana. PDIP langsung menekan petugas partainya agar segera mengganti Menteri yang berasal dari Partai Nasdem. Ada tiga targetnya yaitu Johnny G. Plate, Siti Nurbaya dan Syahrul Yasin Limpo. Ketiganya santer akan di reshuffle. Partai koalisi tentu mengincar terutama PDIP. Isu bargaining pun mencuat konon ditawarkan juga pada PKS. Tentu maksudnya agar PKS tidak mendukung Anies Baswedan. Uniknya PKS secara resmi akan mendeklarasikan dukungan untuk Anies pada acara Rakernas 24 Februari 2023. Ketika Menteri Partai Nasdem disasar, Ketum Surya Paloh terus bermain silat. Menyatakan loyalitas kepada Jokowi. Terkesan masih bisa negosiasi soal Anies Baswedan. Tentu serangan padanya menjadi tajam. Dukungan Partai Demokrat kepada Anies memperkuat sikap Surya Paloh untuk konsisten. Koalisi Perubahan memperkuat diri. Deklarasi bersama sedang dimatangkan. Surya Paloh dengan silat politiknya membuat Jokowi serba salah dan berada dalam pilihan sulit. Reshuffle atau tidak. Partai Nasdem aodalah pendukung utama koalisi pemerintahan. Surya Paloh sangat tahu \"daleman\" Jokowi. Ia bisa menekan. Luhut Binsar Panjaitan merasa perlu untuk bertemu Surya Paloh di London saat Anies blusukan di Eropa. Anies Baswedan semakin mengokohkan dirinya sebagai tokoh dunia yang disegani. Seakan menjawab serudukan buzzer yang menyebut silaturahmi Anies ke berbagai daerah sebagai curi start. Semestinya para pencemburu itu faham bahwa selama belum ada kaos kontestan maka belum ada curi start. Batas start nya saja belum ada. Ketika sukses mendapat simpati dunia, buzzer dan pencemburu itu mengatakan Anies adalah budak Eropa. Maksudnya mungkin mengimbangi tudingan Jokowi yang budak China. Nah soal reshuffle yang antara ya atau tidak memang masih ditunggu. Sangat berisiko jika ternyata pilihannya membuang Menteri Nasdem. Surya Paloh yang kini \"baik-baik\" dengan Jokowi akan berubah menjadi \"tidak baik-baik\" lagi. Legalitas Jokowi akan dibongkar baik soal persyaratan Capres, suara palsu atau produk ilegal lainnya. Publik akan mendapat informasi kejutan. Musuh \"dalam\" biasanya lebih bahaya daripada \"musuh luar\". Dalam perspektif ini Jokowi berat untuk melakukan reshuffle. Jokowi memanggil Surya Paloh ke Istana. Entah apa yang dibicarakan. Sementara itu persiapan deklarasi bersama terus dimatangkan. Pertemuan itu strategis dan menentukan untuk tiga kemungkinan. Pertama, Jokowi meminta agar Anies dilepas oleh Nasdem dan ini hal berat. Dugaan kuat Paloh menolak tekanan ini karena partainya akan ambruk. Kedua, Jokowi menyatakan ada tekanan untuk mereshuffle Menteri Nasdem dan ia minta Paloh untuk menerima dan merelakan. Pemberhentian Menteri akan semakin menguntungkan posisi politik Partai Nasdem. Ketiga, Jokowi tahu Anies tetap didukung Nasdem dan ia tidak akan mereshuffle tetapi meminta banyak jaminan untuk diri dan keluarganya jika Anies menjadi Presiden. Permainan banyak kaki atau politik \"kaki seribu\" Jokowi ini yang sangat mungkin dilakukan. Artinya tidak akan terjadi reshuffle khususnya Menteri Partai Nasdem. Jokowi bergerak dengan Capresnya apakah Ganjar, Erick atau Prabowo sementara Koalisi Perubahan bergerak juga. Jika Anies Baswedan sukses Jokowi tetap aman. Berharap diampuni dosa-dosanya. Jika Surya Paloh kuat dan tidak goyah menghadapi tekanan Istana soal pencalonan Anies Baswedan, maka ribut soal reshuffle hanyalah manuver politik, yang terjadi adalah tidak reshuffle. Reshuffle hanya menambah penyakit bagi Jokowi. Umurnya semakin pendek. Bandung, 2 Februari 2023
Pupus Sudah Menjadikan Pilpres All Jokowi's Men: Anies Baswedan Resmi Bacapres 2024
Oleh Ady Amar - Kolumnis SESUAI prediksi, PKS menyusul Partai Demokrat, secara resmi mencalonkan Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden (Bacapres) 2024. Pernyataan resmi PKS itu disampaikan setibanya Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Muhammad Sohibul Iman dari kunjungan menemui Ketua Dewan Syuro Dr. Salim Segaf Al-Jufri, dan Presiden PKS Ahmad Syaikhu, di Istambul, Turki. Setelah pertemuan tim kecil di kediaman Anies, yang diikuti 3 partai penggagas Koalisi Perubahan, Jum\'at (27 Januari 2023), malam harinya sekitar pukul 21.00 Sohibul Iman yang dibersamai orang dekat Anies, Sudirman Said, berangkat menemui dua petinggi PKS, melaporkan perkembangan dinamika politik yang terjadi. Intinya, Dr. Salim setuju untuk disegerakan dukungan resmi PKS untuk Anies Baswedan dalam pencapresannya. Seolah ada kegentingan memaksa, konferensi pers sampai perlu disegerakan sesaat mereka tiba, dan itu di kawasan Bandara Internasional Soekarno Hatta, sebagai dukungan resmi PKS. Dengan demikian, tiga partai (NasDem, Demokrat, dan PKS) telah resmi mendukung pencapresan Anies. Artinya, 20 persen presidential threshold syarat pencapresan Anies sudah terpenuhi. Anies Baswedan resmi telah mengantongi tiket sebagai Bacapres dalam Pilpres 2024 yang akan datang. Perjalanan mengusung Anies sebagai Bacapres, itu bukan perkara mudah. Banyak tantangan bahkan rintangan yang dihadapi dari setiap partai pengusung, baik internal maupun eksternal. Masing-masing punya tantangan dan godaannya tersendiri. Terutama NasDem pastilah punya tantangan tidak kecil. Sebagai partai yang sampai saat ini berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi, risiko ditendang menterinya dari kabinet Indonesia Maju, seperti hanya tunggu waktu. Itu baru satu hal. Tidak menutup kemungkinan, ada hal lain yang akan diterima NasDem, dan itu bukan masalah kecil. Semoga saja tidak terjadi. Begitu pula yang dialami Partai Demokrat, mestinya muncul juga gesekan internal saat akan memutuskan mendukung resmi Anies Baswedan sebagai Bacapres, meski tidak sampai tercium keluar. Partai Demokrat di bawah Ketua Umum Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dalam membangun soliditas partai patut diacungi jempol. Semua yang dihadapi berikutnya serasa ringan, setelah ujian dahsyat \"pembegalan\" partainya oleh Moeldoko, yang menjabat selaku kepala Kantor Staf Presiden (KSP), di tahun 2022, itu mampu digagalkan. Soliditas partai yang dipimpinnya terasa sampai ke daerah, terlihat hampir tidak ada gejolak berarti di daerah. Konon ada tawaran istana pada Demokrat agar tidak mengusung Anies, dan jabatan 2 menteri diberikan. Demokrat bergeming, dan tetap dengan keputusannya, yang itu disampaikan AHY, Kamis (26 Januari 2023), sikap resmi partainya mengusung Anies Baswedan. Gesekan dan cobaan lain pasti juga diterima PKS untuk tidak mendukung Anies. Santer terdengar tawaran-tawaran menggiurkan baik nilai nominal uang yang fantastis, sampai diberikan posisi kursi menteri di kabinet. Semua itu terdengar, meski jika saja itu cuma isu, bahwa ada kelompok internal di PKS yang berkeberetan mengusung Anies. Kelompok yang memilih pilihan politik lebih pragmatis. Tapi ada kelompok lain, sepertinya lebih dominan yang tetap berpikir membesarkan partai dengan mendengarkan suara konstituennya. Dan, itu dengan mengusung Anies Baswedan. Perlawanan internal, sekali lagi jika itu benar ada, maka kelompok yang menghendaki mengusung Anies lah yang menang. Itu tampak dari pernyataan semalam (30 Januari 2023), bahwa PKS secara resmi mengusung Anies bersama NasDem dan Demokrat, sebagai Bacapres 2024. Hal simpatik pun ditampakkan PKS, yang menyerahkan Bacawapres pada Anies selaku Bacapres. Sebagaimana sebelumnya juga disampaikan Partai Demokrat, yang juga tidak memaksakan jagoannya AHY sebagai Bacawapres yang mendampingi Anies. Jauh sebelumnya, NasDem pun menyerahkan Bacawapres pada Anies. Sikap kedewasaan yang dihadirkan ketiga partai itu pastilah dicatat di benak rakyat, berimbas nantinya untuk juga dipilih dalam pemilihan legislatif (pileg) tidak cuma di tingkat pusat tapi sampai pileg tingkat Kabupaten/Kota. Pilihan rakyat pada presiden, itu seperti tidak bisa dipisahkan dari pilihan rakyat pada wakil rakyat di parlemen (legislatif). Sikap tiga partai Koalisi Perubahan, itu boleh disebut sikap antitesis terhadap pilihan istana pada nama tertentu, yang digadang-gadang sebagai penerus Presiden Jokowi kelak. Maka, endorse Jokowi pada nama tertentu, atau penyebutan ciri fisik yang bersangkutan dengan \"si rambut putih\", itu identik dengan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Sepertinya itulah pilihan istana. Karenanya, istana seperti mati-matian dengan sekuat daya yang dipunya untuk menghentikan langkah Anies agar gagal dicapreskan. Mulai dari memakai tangan KPK untuk mentersangkakan Anies dalam kasus Formula E, dan itu tidak berhasil. Alat bukti untuk mentersangkakan Anies tidak ditemukan. Maka mustahil penyelidikan bisa ditingkatkan jadi penyidikan. Anies bersih soal-soal demikian. Maka upaya merayu keras partai yang punya kecenderungan mengusung Anies dilakukan dengan segala cara, dan itu pun tidak berhasil. NasDem, Demokrat, PKS tetap kukuh dengan pendiriannya. Pendirian mengusung Anies sebagai Bacapres 2024. Anies menjadi satu-satunya Bacapres yang mengantongi tiket resmi sebagai Bacapres 2024. Sementara partai-partai lain masih kerepotan mencalonkan siapa, atau yang dicalonkan belum mendapat restu penuh dari koalisi partai yang ada. PDI Perjuangan yang bisa mencalonkan sendiri Bacapres, masih kesulitan memilih siapa yang akan dipilih, puteri mahkota Puan Maharani yang dimajukan, atau desakan istana untuk memberikan tiket pada \"si rambut putih\" yang lalu dipilihnya. Semua menjadi belum pasti. Sedangkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang berkoalisi atas \"arahan\" istana, terdiri dari Partai Golkar, PAN dan PPP, masih kesulitan menentukan Bacapres-nya. PAN dan PPP menghendaki Ganjar Pranowo sebagai Bacapres, sedang Golkar bersikukuh menjagokan ketua umumnya, Airlangga Hartarto, sebagai Bacapres. Sepertinya Golkar akan ditekan keras istana untuk mengusung Ganjar. Lalu apakah Partai Golkar, partai dengan segala kebesaran dan pengalaman panjangnya, akan menjatuhkan marwahnya menerima tekanan itu, atau justru melawan dengan caranya. Sedang koalisi yang dibangun dua partai, Gerindra dan PKB, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, meski sudah membuat sekretariat bersama, masih kerepotan menentukan Bacawapres, yang diinginkan PKB untuk ketua umumnya, Muhaimin Iskandar. Gerindra sudah jelas mengusung Prabowo Subianto sebagai Bacapres, tapi seperti belum klop dengan Bacawapresnya. Koalisi ini dimungkinkan bubar, jika kedua partai tetap pada keinginan masing-masing. Satu hal yang patut disyukuri dari pengumuman resmi PKS semalam, dalam menghadirkan Koalisi Perubahan, itu mampu membuyarkan keinginan istana mengusung Capres yang All Jokowi\'s Men, dan itu tidak akan terjadi. Maka, Pilpres 2024 menjadi menarik untuk diikuti, yang akan memunculkan Presiden Rakyat, yang itu bisa dinisbatkan pada Anies Baswedan, atau Presiden hasil endorse istana, yang entah siapa orangnya. (*)
Pro-Kontra Cak Nun versus Jokowi
Catatan Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Media sosial paling familiar bagi para pengguna handphone tentulah WhatsApp yang menghimpun mereka dalam grup-grup WA. Masing-masing grup mempunyai karakter dan dinamika tersendiri. Berikut sebagian dari pro-kontra Cak Nun versus Jokowi. Anggota salah satu grup WA mengunggah meme berikut. “Kebencian pada Jokowi bukan karna Jokowi jahat Tapi karena Jokowi kerjanya menghalangi orang jahat untuk berbuat jahat.” Penulis spontan merespons: Percaya??? Ini mah deskripsi buzzer istana. Anggota grup WA yang lain menimpali: Kalau buzzer non-istana kayak apa Prof? Penulis meresponsnya dengan mengunggah meme: \"Pancasila itu benar secara formal, dan sangat padat berisi, mengapa dipadatkan lagi jadi Trisila, bahkan Ekasila?” Pengunggah meme tentang Jokowi pun merespons kembali: ini kerjaan buzzer juga... Penulis jawab: Iyaa... kerjaan Buzzer Non-Istana! Lalu penulis unggah pernyataan Adhie M Massardi: Era Jokowi Intelektualitas Dihancurkan Jadinya Politik Akal-akalan! DEMOCRAZY.ID - Dari rezim ke rezim terdapat perbedaan mencolok dan karakteristik kepemimpinan nasional. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), perpolitikan tanah air seperti kehilangan modal sosial. Sementara rezim Joko Widodo (Jokowi), perpolitikan nasional cenderung menghabisi intelektualitas. Begitu disampaikan Adhie M Massardi dalam serial diskusi yang diselenggarakan Kantor Berita Politik RMOL bertajuk “Perppu Ciptaker & Ribut-ribut Murid Gus Dur”, di Kopi Timur, Jakarta Timur, pada Kamis (12/1). Atas dasar itu, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini menilai perseteruan antara Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli dengan Menko Polhukam Mahfud MD di Twitter terkait penerbitan Perppu Cipta Kerja menjadi momentum bahwa intelektualitas benar-benar dihabisi. “Dalam konteks itu saya melihat bahwa Pak Mahfud modal intelektualnya tergerus oleh rezim ini. Yudi Latief juga pernah bilang bahwa rezim Jokowi anti-intelektualisme,” kata dia. Menurut Adhie, Rizal Ramli mengkritik pemerintah melalui Mahfud MD agar para intelektual sekalipun dia di pemerintahan tetap menjadi intelektual sejati yang menjunjung tinggi intelektualisme. “Bang Rizal Ramli melihat di situ (pemerintah) kan ada sahabatnya dia, harusnya dia mengingatkan tapi Pak Mahfud kan dia ada di dalam pemerintahan kan enggak mungkin menyalahkan bos. Nah, pandangan inilah yang kemudian digugat oleh RR dengan mazhab intelektual yang menjunjung tinggi kebenaran dan moral,” pungkasnya. https://www.democrazy.id/2023/01/adhie-massardi-miris--era-jokowi-intelektualitas-dihancurkan-jadinya-politik-akal-akalan-.html?m=1&s=08 Berikutnya penulis unggah catatan Pierre Suteki: Hasil Kerja Tim PPHAM Sebagai Ajang \"Bersih-bersih\" Rezim dan Moderasi Komunisme? Presiden Joko Widodo menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023). Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia. Muncul pertanyaan apakah pengakuan Jokowi itu bisa kehilangan makna, karena tidak mengakui hilangnya nyawa Laskar FPI Peristiwa KM50 sebagai pelanggaran HAM berat, termasuk ratusan terduga teroris, baru diduga sudah dibunuh. Seperti pepatah “gajah di depan mata tidak terlihat, semut di kejauhan tampak besar.” Pengakuan Presiden Jokowi juga tergantung pada temuan dan penetapan status pelanggaran HAM oleh Panitia Ad Hoc Komnas HAM yang secara keliru dilakukan oleh Tim PPHAM. Menurut PPHAM peristiwa pembunuhan 6 laskar FPI bukan pelanggaran HAM berat, dan dengan demikian mustahil Jokowi akan menyatakan dan mengakui peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Atas temuan Tim PPHAM dan pengakuan Jokowi atas tragedi 1965, apakah ada potensi untuk menghidupkan NEO-PKI? Adakah penunggang gelap yang berupaya membangkitkan komunisme? Semua sangat mungkin, baik dengan kembali mengaktifkan organisasinya atau menunggangi kendaraan ormas dan orpol yang ada. Apa pun harus dipegang Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 masih berlaku, begitu pula UU No. 27 Tahun 1999, dan KUHP Baru juga menegaskan larangan penyebaran ideologi komunisme. Maka, di negeri ini tetap tidak ada tempat untuk persemaian komunisme, dan bangkitnya organisasi PKI. Bagaimana bisa sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat belum diadili lalu sudah dilakukan penyelesaian secara non yudisial? Bukankah ini terkesan hanya sebagai lips service dalam penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu sebelum rezim ini berkuasa, sekaligus sebagai media “bersih-bersih” atas semua dugaan pelanggaran HAM berat? Komnas HAM dan Tim PPHAM tidak pernah menetapkan satu pun peristiwa terbunuhnya banyak orang di masa pemerintahan Presiden Jokowi (2014 s/d 2024). Lalu siapa yang akan mengoreksi, dan menyelidiki untuk menetapkan ada atau tidak adanya pelanggaran HAM berat dalam periode tersebut? Salah seorang anggota grup menulis: Luar biasa paparan dan analisisnya. Problemnya pelanggaran HAM berat periode lalu tidak kunjung diselesaikan, namun malah justru ditambah lagi dengan yang baru yang tak kalah berat dan tidak kalah banyaknya? Sayang, periode sudah mau berlalu...baru teringat dosa besar sejarah belum terlunasi? Mungkinkan bisa diselesaikan? Anggota grup WA lainnya pun mengunggah tulisan tentang Cak Nun berikut. Beberapa waktu lalu beredar petikan rekaman video Cak Nun yg menyatakan bhw Indonesia dikuasai oleh sosok Firaun bernama Jokowi, Qorun bernama Anthony Salim & 9 Naga, & Hamam bernama Luhut. Ringkasnya, mereka bisa mengatur apa hasil pemilu 2024 dll. Saya segera kontak Sabrang, putera Cak Nun. Benarkah itu statemen CN, kapan & apa konteksnya? Kami kopi darat tadi siang. Dia menjelaskan benar itu statemen yg disampaikan CN beberapa waktu lalu di Surabaya. Namun, dia bilang, dirinya & sejumlah tim inti jamaah Maiyah keberatan & protes keras dg pernyataan itu. Akhirnya CN membuat video klarifikasi & minta maaf berjudul “Mbah Nun Kesambet” (terlampir). https://youtu.be/jxLL3hNkQSE Setelah menyimak video yang dimaksud penulis berkomentar: Ksatria Cak Nun. Ksatria artinya elegan, jantan, jatmika, jentelmen; berani mengakui kesalahan Anggota grup WA yang lain berkomentar: Itulah kalau agama dijadikan alat Penulis: Agama itu alat untuk menggapai kebahagiaan dunia-akhirat... Dia pun melanjutkan: Kalau menyebut orang dengan nama Firaun itu bagaimana Prof? Apa dengan melabeli Presiden dengan Firaun, lantas dia bahagia dunia akhirat? Kalimatu haqqin yuradu biha batil. Penulis: Cak Nun telah melakukan kesalahan, tetapi sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan ialah yang mau mengaku salah, lalu memohon ampun kepada Tuhan dan meminta maaf kepada semua pihak atas kesalahannya. Dan Cak Nun telah melakukan itu. Berkenaan dengan pernyataan Cak Nun yang viral tersebut, Ubedilah Badrun dalam wawancaranya dengan Sari Narulita menyatakan, bahwa pernyataan Cak Nun itu tidak sepenuhnya salah, karena memang terdapat beberapa kemiripan Jokowi dengan Firaun dalam menjalankan kekuasaan. Ada unsur otoriter, dan menyengsarakan rakyat. Bedanya, Jokowi tidak mengaku tuhan. Lalu beredar meme, Firaun tidak terima disamakan dengan Jokowi, karena dia tidak pernah bohong dan tidak pernah utang. Belakangan di grup WA yang sama beredar video obrolan Eko Kuntadhi dengan Mohamad Sobary. Dengan sinis Mohamad Sobary berucap, “Cak Nun merasa dirinya sejenis macan, tapi Pak Jokowi ngertinya kucing… kucing pun kucing gering…” Atas pernyataannya Cak Nun merasa tidak apa-apa dihujat di sana dan di sini. Siapa pun boleh memilih menjadi pembela Cak Nun ataupun Jokowi.
Untung Prabowo Tak Jadi Presiden
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan MEMBACA dan melihat sepak terjang dan gaya politik Prabowo Subianto akhir-akhir ini maka rasanya bersyukur juga Prabowo pada Pilpres 2019 tidak berhasil menjadi Presiden Republik Indonesia. Bukan berarti gembira Jokowi menang akan tetapi sikap anti rakyat Jokowi jauh lebih jelas ketimbang Prabowo. Prabowo abu-abu. Ketika yang bersangkutan siap menerima jabatan Menteri dan masuk dalam Kabinet Jokowi maka goresan buruk karakter mulai tercatat. Ia tidak peduli dengan tangisan dan perasaan pendukung yang berjuang mati-matian untuk Prabowo. Merasa terkhianati. Kecurangan Pilpres diterima demi status Menteri. Berkali-kali memuji habis-habisan Jokowi mulai dari pekerja keras, selalu memikirkan rakyat hingga memberi predikat sebagai Presiden terbaik. Untuk Jokowi ia bersyahadat. Orang menyebut Prabowo bagai penjilat yang berubah dari macan menjadi meong. Galak dan gebrak mimbar Prabowo dulu hanya monumen. Tidak sedikitpun simpati Prabowo pada pendukungnya yang menjadi pesakitan di rezim Jokowi. Tokoh KAMI yang dipenjara, HRS dan enam laskar terbunuh keji lewat begitu saja. Belum aktivis di daerah yang \"la salam wala kalam\". Tak sepatah katapun terucap simpati apalagi membela. Rakyat melihat orientasi hanya pada jabatan dan ketakutan. Presiden menjadi impian. Terakhir ia mendekat pada keluarga Jokowi. Gibran, Kaesang dan Bobby ditempel rapat. Langkah mengerikan dari sang jagoan yang mantan Danjen Kopassus. Prabowo dukung Gibran untuk Gubernur Jateng atau DKI, Prabowo mendukung pula Bobby maju Gubernur Sumut. Meski untuk ini agak kikuk dengan Edy Rahmayadi Gubernur yang kader Gerindra sendiri. Prabowo senang mendengar Kaesang terjun ke politik dan bahagia jika masuk ke Partai Gerindra. Kaesang yang baru saja menikah ala anak raja dengan kawalan ribuan tentara dan polisi tampaknya akan didorong untuk Walikota Solo menggantikan Gibran. Jika demikian maka Prabowo adalah pendukung nepotisme. Ditunggu Prabowo bersilaturahmi ke ipar Jokowi Anwar Usman Ketua MK untuk jaga-jaga jika proses Pilpres masuk ke Mahkamah Konstitusi. Prabowo tidak layak untuk jadi Presiden di negeri demokrasi. Karenanya ada hikmah besar bahwa ia tidak menjadi Presiden pada Pilpres 2019 dan Pilpres sebelumnya. Prabowo memang tidak lebih bagus dari Jokowi. Bandung, 30 Januari 2023.
Manuver Eksternal Setajam Apapun, Seperti Tak Menggoyahkan Deklarasi Koalisi Perubahan Indonesia Diwujudkan
Oleh Ady Amar - Kolumnis ADA semacam pelesetan semacam penegasan, yang dibuat menjelang Pilpres 2024. Bunyinya seperti menirukan produk minuman teh. Bisa dipastikan itu dibuat pendukung dan relawan Anies Baswedan--Siapa pun cawapresnya, cuma Anies capresnya. Itu bagian penegasan, bahwa pendukung/relawan tidak ingin turut campur atau cawe-cawe soal siapa pendamping Anies nantinya. Siapa pun cawapresnya, Anies capresnya. Soal itu tidak bisa ditawar lagi. Maka, menjadi tidak terlalu penting cawapres untuk Anies itu akan diisi oleh siapa. Siapa pun itu pastilah sudah lewat pertimbangan matang. Juga diskusi panjang berbagai aspek dibahas partai pengusungnya. Semua pertimbangan plus minus akan jadi penentu siapa yang pas sebagai pendamping Anies. Realitas politik elektoral pastilah paling utama jadi pertimbangan. Seberapa besar cawapres pendamping Anies, itu mampu mendulang suara kemenangan nantinya. Tidak cuma itu saja, tapi juga kualitas pendamping yang nantinya dapat membantu kerja-kerja presiden terpilih. Semua pertimbangan itu bukan wilayah pendukung/relawan, meski kasat mata tampak kecenderungan atau keinginan--bahkan muncul dari para penulis yang bersimpati dan rajin menulis tentang Anies--maka pilihan pada idola yang berbasis partai politik atau ormas tertentu, menjadi pertimbangan subyektif untuk bisa dipilih. Maka analisa dibuat meyakinkan, bahwa jagoannya yang paling tepat mendampingi Anies. Semua argumen diberikan, dan itu tetap dalam tataran rasional, meski tidak lepas sedikit banyak ada suasana emosional dimunculkan. Semua sah-sah saja, dan itu dimungkinkan. Sekali lagi, itu hal biasa yang masih bisa dinalar. Muncul setidaknya tiga nama yang jadi pertimbangan pada embrio lahirnya Koalisi Perubahan Indonesia--disebut embrio karena belum resmi terbentuk, meski diskusi panjang menyamakan persepsi antarpartai politik \"perubahan\" masih terus diikhtiarkan. Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS, masih terus mencari formula menyamakan persepsi. Hal yang memang tidak mudah. Muncul nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), diajukan Partai Demokrat. Dan Ahmad Heryawan, mantan Gubernur Jawa Barat diajukan PKS. Sedang Partai NasDem, meski saat mendeklarasikan Anies sebagai capres yang diusungnya, menyatakan soal cawapres diserahkan pada Anies untuk memilihnya. Tapi tetap saja wacana NasDem lewat elit politiknya muncul, ikut \"mewarnai\" siapa cawapres yang dimauinya. Dan, nama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, jadi pilihannya. Semua punya kepentingannya masing-masing. Kedewasaan tiga partai politik itu tengah diuji, memilih mengedepankan pilihan subyektif-pragmatis, atau lebih melihat pada realitas politik yang muncul. Maka, pertemuan demi pertemuan tim kecil dari ketiga partai terus dilakukan. Terakhir, PKS seperti tidak memaksakan jagoannya. Setidaknya wacana memajukan cawapres Ahmad Haryawan sayup sudah tidak lagi terdengar. Bahkan beberapa elitenya menyebut setuju jika pendamping Anies, itu AHY. Dua nama mengerucut pada AHY dan Khofifah Indar Parawansa. Namun, masih tetap terasa alot muncul dari dua partai, NasDem dan Demokrat yang seperti memaksa kehendak agar jagoannya bisa diterima sebagai pendamping Anies. Diskusi menghadirkan Koalisi Perubahan Indonesia seperti deadlock. Tapi lagi-lagi muncul kebesaran jiwa AHY dan Partai Demokrat yang realistis dengan memilih tidak memaksakan kehendak. Tidak ingin disebut bagian dari yang membuat embrio tidak menetas menjadi harapan rakyat akan sebuah perubahan. Partai Demokrat tidak memaksakan harus AHY sebagai pendamping Anies. Cawapres diserahkan pada pilihan Anies, itu diucapkan AHY, Kamis siang hari (26 Januari). Maka, mestinya makin dekat Deklarasi Koalisi Perubahan Indonesia itu bisa dideklarasikan. Tapi tampaknya itu pun belum bisa cepat diwujudkan. Faktor eksternal juga mempengaruhi itu semua. Spekukasi menyebut, istana tak ingin deklarasi bisa terlaksana. Artinya, tidak menghendaki parliament threshold 20 persen untuk pencapresan Anies itu terjadi. Manuver pun dilakukan agar tidak terjadi kesepakatan. Partai NasDem, sebagai partai koalisi pemerintah, menjadi pihak yang paling disasar untuk \"digoda\" dengan banyak hal. Baik berupa ancaman, atau harapan lebih yang akan diberikan--setidaknya spekulasi itu muncul menemui bentuk kebenarannya--jika mengikuti kehendak istana. Sikap Partai Demokrat yang melepas keinginan jagoannya sebagai pendamping Anies, itu seperti menjadi jalan \"akur\" antara Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Presiden Jokowi. Konon, sudah tiga bulan keduanya tidak saling tegur sapa. Semua kepentingan seperti bisa \"mengakurkan\" pihak yang berselisih paham politik seruncing apapun untuk duduk bersama membahas kepentingannya. Itulah sebabnya, Presiden Jokowi seperti mendadak memanggil Surya Paloh ke istana, Kamis sore (26 Januari). Pastilah bukan untuk kangen-kangenan, tapi bicara sikap politik NasDem dalam mengusung Anies, yang jadi keberatan istana. Meminta Paloh untuk tetap dalam barisannya, tidak melawan arus. Sekali lagi, itulah spekulasi yang muncul. Dan, memang sepertinya tidak jauh-jauh dari itu. Koalisi Perubahan Indonesia menanti saat yang tepat untuk dideklarasikan. Bisa terwujud jika ketiga partai kukuh pada pendirian menghadirkan sebuah perubahan yang jadi harapan rakyat. Tidak goyah oleh manuver eksternal setajam apapun. Rakyat akan melihat kesungguhan NasDem, Demokrat, dan PKS dalam mengusung Anies Baswedan sebagai capres dalam Pilpres 2024. Tidak lagi menjadi masalah siapa cawapres yang akan mendampingi Anies, mau AHY atau Khofifah, itu sama saja. Jadi, jangan coba-coba bermain dengan harapan rakyat, jika tidak ingin dihukum dengan tidak dipilih dalam pemilu nanti. Rakyat punya kuasa, meski kuasa cuma 5 tahunan. (*)
Gelembung Utang dan Retorika Mampu Bayar: Menyesatkan?
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studie) UTANG pemerintah Indonesia, di bawah pemerintahan Jokowi, dibantu Menteri Keuangan Sri Mulyani, naik pesat. Naik dua kali lipat dalam delapan tahun, terhitung 2014 hingga 2022. Utang pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2014 hanya Rp2.609 triliun. Tetapi kemudian melonjak menjadi Rp7.734 triliun pada akhir tahun 2022. Atau naik Rp5.125 triliun, selama delapan tahun. Tetapi, rakyat tidak perlu khawatir. Kita mampu bayar! Begitu kata Menteri Keuangan. Apa? Kita mampu bayar? Pemerintah mampu bayar utang yang terus menggelembung itu? Apa iya? Ucapan Menteri Keuangan terdengar meyakinkan, tapi juga seperti dongeng, atau sebatas retorika? Karena, kalau pemerintah mampu bayar utang, kenapa jumlah utang malah naik terus? Kalau pemerintah mampu bayar utang, kenapa pajak (PPN) dinaikkan? Demikian anomali pernyataan Menteri Keuangan, yang dirasakan oleh rakyat. Sepertinya, pernyataan “kita mampu bayar utang” mempunyai maksud pembenaran untuk menambah utang? Karena, menurut APBN 2023, pemerintah akan menambah utang lagi pada tahun ini, jumlahnya cukup fantastis, sekitar Rp700 triliun. Apakah karena itu keluar pernyataan retorika “kita mampu bayar (utang)”? Karena, faktanya, pemerintah selama ini tidak pernah membayar utang, dari kantong sendiri: dari pendapatan negara atau APBN. Artinya, pemerintah selama ini membayar utang yang jatuh tempo dari utang lagi: utang lama yang jatuh tempo dibayar dengan menarik utang baru. Bukan itu saja, pemerintahan Jokowi selama berkuasa juga tidak pernah membayar *bunga* utang dari kantong sendiri. Artinya, pemerintahan Jokowi selama ini membayar bunga utang dari menarik utang baru. Jadi, dari mana datangnya optimisme dan keyakinan Menteri Keuangan, bahwa Indonesia mampu membayar utang? Karena, faktanya, utang pemerintah dan bunganya tidak pernah dibayar dari pendapatan negara, tetapi dari gali utang baru. Di lain sisi, faktanya, keuangan negara semakin tertekan. Beban bunga utang pada tahun 2022 sudah mencapai 19 persen dari total penerimaan perpajakan. Rasio ini naik dibandingkan dengan tahun 2019, sebelum pandemi, yang hanya 17,8 persen. Padahal, penerimaan perpajakan tahun 2022 naik pesat, akibat kenaikan harga komoditas yang tinggi. Padahal, sebagian beban bunga utang juga sudah ditanggung oleh Bank Indonesia, dengan “mencetak uang”, yang digunakan untuk membeli surat utang negara (di pasar primer), tanpa bunga. Kemudian, utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2022 mencapai Rp443 triliun, atau sekitar 21,8 persen dari penerimaan perpajakan. Dengan demikian, beban bunga ditambah cicilan pokok utang yang harus dibayar pada 2022 sudah mencapai 40,8 persen dari penerimaan perpajakan. Rasio yang tinggi tersebut sebenarnya sudah mencerminkan pemerintah sulit, atau bahkan tidak mampu, membayar kewajiban beban bunga dan pokok utang yang jatuh tempo. Akibatnya bunga dan pokok utang dibayar melalui penarikan utang baru. Ditambah, bantuan “cetak uang” dari Bank Indonesia, ditambah menaikkan pajak PPN. Jadi, “Indonesia mampu bayar (utang)” hanya sebatas retorika dan dongeng, yang hanya bisa terjadi kalau masih ada pihak yang mau memberi utang? Atau pemerintah harus minta “perlindungan” dari Bank Indonesia, dengan “mencetak uang”. Atau membebani rakyat dengan menaikkan pajak! (*)
Gawat Darurat TKA Cina
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan BANJIR TKA China akibat pola kerjasama investasi yang dibuat dengan Pemerintah Indonesia bukannya tidak berisiko bahkan dapat berisiko besar. Tertutupnya informasi Kemanaker atau instansi lain mengenai jumlah TKA China yang sudah menjadi karyawan di berbagai kegiatan usaha menjadi tanya besar dari motif dibalik kehadirannya. Atas banjirnya TKA China sekurangnya tiga risiko akan dihadapi bangsa Indonesia, yaitu : Pertama, penggeseran ruang kerja TK pribumi. Saat ini tingkat pengangguran tinggi akibat PHK maupun disebabkan sulitnya lapangan kerja. Ditambah dengan keberadaan kelas atau segmen pengangguran tak kentara (disguised unemployment). TKA China mengambil porsi tenaga kasar atau bukan ahli. Kedua, membuka ruang konflik antara TKA China dengan TK Pribumi. Hal ini disebabkan banyak faktor baik itu perbedaan budaya kerja, hambatan komunikasi, perlakuan majikan serta penghasilan yang berbeda untuk jenis pekerjaan yang sama. Kasus PT GNI Morowali menjadi contoh yang bagus. Ketiga, konflik mengundang invasi bahkan aneksasi. Dengan alasan melindungi warga negaranya bukan mustahil tentara RRC akan datang. Yakinkah kita bahwa pekerja yang sekarang ada itu bukan tentara ? Dengan dukungan WNI etnis China yang menguasai sektor ekonomi maka invasi dan aneksasi menjadi sangat terbuka. Jika hanya menanamkan modal dan tenaga ahli mungkin risiko tidak terlalu besar, akan tetapi dengan \"impor\" TKA China untuk berbagai pekerjaan, termasuk pekerjaan kasar, maka Indonesia kini dalam keadaan bahaya. Setelah jebakan hutang menjadi bagian strategis dari proses penjajahan sistematis, maka China memiliki kunci lain yakni TKA China. 350 tahun bangsa dijajah oleh Belanda dengan pemberontakan yang hanya bersifat sporadis. Artinya jika penjajah sudah mencengkeramkan kukunya, maka tidaklah mudah untuk mengusirnya. Melawan saja perlu keberanian dan pengorbanan yang besar. China kini sangat potensial menjajah bangsa Indonesia. Sebagai raksasa ekonomi China menghegemoni. Tahap awal adalah penguasaan ekonomi selanjutnya politik dan militer. China berperan menjadi bagian dari penjajah kaum oligarki. Kini dikhawatirkan China telah ikut menjadi pengendali politik berbasis ekonomi. Membiarkan atau membuka pintu lebar bagi TKA China adalah penghianatan \"orang dalam\" untuk infiltrasi, invasi dan aneksasi. Persoalan bukan hanya masalah investasi dan hutang luar negeri. Ini proses menuju kolonialisasi. Ketidakberdayaan menjaga kedaulatan ditampakkan dari konflik Morowali. Bagaimana aparat berpihak kepada TKA China. Dua pekerja tewas masing-masing TKA China dan TK Pribumi tetapi yang menjadi tersangka seluruh nya adalah TK Pribumi ? Sungguh ironi. Bom waktu dapat meledak sewaktu-waktu. Penyesalan terjadi setelah RRC benar-benar menguasai. Pemerintah Indonesia harus mengevaluasi kembali pola kerjasama ekonomi dengan RRC. Jangan membuka kran luas bagi pengiriman TKA China secara masif. Konflik akan menjadi jalan untuk hadirnya tentara China ke Indonesia demi \"melindungi warga negara\" nya. Pemimpin Indonesia hanya bisa planga-plongo serba salah. Jika politik perimbangan diambil dengan mengundang tentara AS dan sekutunya, maka kita sedang mempersilahkan China dan Amerika untuk berperang di Indonesia. Indonesia menjadi \"battle field\" yang dramatis dan eksotis. Petinggi investasi datang dengan \"second home visa\" untuk merintis kehadiran TKA China. Dan hal itu hanya sebagai permulaan. Selanjutnya bahaya datang mengancam. Gawat darurat TKA China. Bandung, 29 Januari 2023
Sodetan Kali Ciliwung, Antara Kepatuhan Hukum dan Keberpihakan Pada Rakyat
Oleh Usamah Abdul Aziz - Ketua Jakarta Maju Bersama (JMB). Belakangan ini, muncul isu mengenai proyek sodetan Kali Ciliwung yang dianggap mangkrak selama enam tahun. Lucunya, komentar tersebut dilontarkan oleh Menteri PU Basuki dan PJ Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi. Mengapa lucu? Mari ku jelaskan sedikit. Pertama, perlu saya garis bawahi, bila isu tersebut diterima oleh orang yang tidak memahami prosedur sebuah kebijakan publik, tentu akan ditelan mentah-mentah. Sayangnya juga, beberapa media ikut menelan mentah-mentah isu tersebut. Walau ada kabar baiknya juga, yaitu beberapa media yang melakukan fact check dan menulis kronologinya. Bila berbicara mengenai sebuah proyek pembangunan, tentu tak bisa dilepaskan dari yang proses pembebasan lahan. Menilik proyek sodetan Kali Ciliwung, tentu juga tak bisa dilepaskan dari prosedur pembebasan lahan. Proyek ini sebenarnya bermasalah di masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama. Pada tahun 2015, proyek ini mendapat gugatan warga, khususnya di daerah Bidara Cina. Mereka menuntut proyek ini dihentikan karena dilakukan secara semena-mena dan tanpa sosialisasi ke warga. Di tahun berikut, tepatnya 25 April 2016, PTUN mengabulkan gugatan warga. Gubernur DKI Jakarta dinyatakan bersalah. Tapi pak BTP, tidak terima dengan keputusan tersebut dan mengajukan kasasi atas putusan PTUN pada 27 April 2017. Setelah pilkada 2017 selesai dan dimenangkan oleh Anies Baswedan, proyek ini sempat tidak jelas statusnya. Artinya proyek tidak bisa dilanjutkan karena masih dalam status sengketa di pengadilan. Hal ini tentu membuat proyek terhenti. Setelah hadir langusung kelokasi dan melakukan diskusi di rumah warga, Pada 2019, akhirnya Anies Baswedan mencabut kasasi yang pernah dilayangkan pak Ahok ke PTUN. Langkah ini perlu diambil, agar proyek sodetan Kali Ciliwung bisa dilanjutkan lagi. Setelah kasasi dicabut, Anies menyiapkan langkah-langkah untuk melanjutkan proyek sodetan Kali Ciliwung. Pada 2021, proses pembebasan lahan dimulai, sosialisai ke warga dijalankan, kali ini warga terlibat, pendapatnya didengar . Penganggaran juga dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Bahkan pada 4 Agustus 2021, Anies Baswedan bersama Luhut Binsar Panjaitan dan Basuki Hadimoeljono meninjau proses lanjutan sodetan dan normalisasi Kali Ciliwung yang sudah lebih dari 50% rampung dan di targetkan akan selesai pada awal 2023, persis dengan waktu yang di claim oleh pak menteri dan pak PJ saat ini, dan sebenarnya target ini sudah ditentukan oleh Kemen PU dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) sejak 2021, fakta tersebut bisa dilihat di twitter resmi kemen PU. Mengapa proyek ini terlihat sedikit tertunda? Jawabnya adalah karena Anies taat hukum dan peduli dengan nasib rakyat kecil. Bila proyek ini lanjut terus, sementara perkara hukum belum selesai, berarti pejabat publik mengajari rakyat bagaimana cara melanggar hukum. Anies tak mau melakukan itu. Selain untuk menunjukkan bahwa setiap kebijakan harus berdasar dan tunduk pada hukum, tujuan Anies juga sebagai bentuk tanggung jawab dan keberpihakan kepada rakyat kecil. Bila status hukum sudah pasti dan sosialisasi sudah dilakukan dengan menyeluruh, maka rakyat terjamin hak-haknya. Mereka bisa mendapatkan hak-hak mereka secara layak. Begitulah, sebuah kebijakan yang diambil oleh seorang pejabat sudah seharusnya taat hukum dan berpihak kepada rakyat banyak. Anies Baswedan menjadi contoh. (*)