OPINI

Menanyakan Peran dan Posisi TNI Dalam Penegakan Demokrasi dan Konstitusi (1)

Apakah TNI hanya menonton saja masyarakat sipil melakukan perlawanan, protes dan demo, terus-menerus, meskipun bakal berpotensi banyak korban berjatuhan? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PADA masa pemerintahan orde baru, TNI terlibat cukup jauh dalam politik. Tidak jarang TNI diberdayakan untuk menjaga keamanan, termasuk untuk  mengendalikan protes atau demo warga sipil, atas nama stabilitas politik dan ekonomi. Pemerintahan orde baru jatuh pada tahun 1998. Peran TNI di dalam politik kemudian dipangkas, tidak diberikan tempat sama sekali di dalam konstitusi amandemen 2002. TNI berhasil disingkirkan dari peta politik Indonesia. TNI masuk barak. Pemerintahan Indonesia kemudian beralih menjadi pemerintahan di bawah kendali masyarakat sipil, dengan sistem demokrasi langsung, pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara langsung. Pemerintahan sipil ini diharapkan lebih baik dari pemerintahan sebelumnya yang dianggap represif. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa pemerintahan yang dipimpin masyarakat sipil bisa lebih demokratis, lebih menjamin kebebasan dalam berpendapat, lebih adil dalam pembangunan ekonomi, lebih mampu mengendalikan korupsi, dan bisa mewujudkan kebaikan-kebaikan lainnya. Tetapi, faktanya tidak selalu seperti yang diharapkan. Bahkan, jauh dari harapan. Setelah melaksanakan empat kali pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung, kondisi demokrasi dan politik di Indonesia sulit dikatakan membaik, malah dalam banyak hal dapat dipastikan memburuk. Pemilu dan pilpres tidak mencerminkan free and fair. Sebaliknya, masyarakat melihat banyak terjadi pelanggaran, kecurangan dan manipulasi. Pelanggaran terhadap peraturan dan undang-undang semakin transparan, tanpa malu, dan tanpa takut. Seakan-akan hukum tidak berlaku lagi bagi para pejabat: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan, pelanggaran konstitusi juga bukan hal yang mengkhawatirkan. Karena legislatif dan yudikatif sudah tidak berfungsi, mereka telah bersatu dan berkolaborasi dengan eksekutif. Lembaga DPR RI praktis tidak menjalankan fungsi dan tugas konstitusinya. Tidak menjalankan fungsi pengawasan secara memadai terhadap eksekutif, terhadap pengelolaan keuangan negara dan APBN. Sehingga (berpotensi besar) merugikan keuangan negara, antara lain terkait proyek infrastruktur, subsidi, bantuan sosial, impor-ekspor, dan lainnya. DPR menyetujui undang-undang yang menurut masyarakat sangat tidak adil, undang-undang yang bersifat tirani, undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, namun dilindungi oleh Mahkamah Konstitusi. Antara lain, presidential threshold 20 persen. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan yang sangat serius. Beberapa gelintir pengusaha, termasuk asing, menguasai kekayaan sumber daya alam dalam jumlah sangat besar. Sedangkan kehidupan masyarakat di daerah pertambangan sangat miskin. Daerah pemilik tambang juga miskin. Semua ini bertentangan dengan Konstitusi: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Masyarakat tentu saja melakukan protes atas ketidakadilan dan pelanggaran terhadap undang-undang dan konstitusi itu. Dengan harapan pemerintah melakukan koreksi. Tapi, semua itu tak ada arti. Protes dan unjuk rasa dijaga sangat ketat, tidak jarang terjadi represif. Kritik dapat disangkakan sebagai ujaran kebencian, penghinaan, atau penghasutan yang dapat dipidana, menggunakan undang-undang ITE (informasi dan transaksi elektronik) atau undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Kebebasan berpendapat di pemerintahan sipil ternyata ilusi. Pengritik bisa dipenjara, ada yang sampai hampir satu tahun, sejak penyidikan sampai persidangan. Vonis akhirnya dijatuhkan sesuai masa tahanan, indikasi kuat yang bersangkutan tidak terbukti bersalah. Dengan kondisi negara seperti ini, demokrasi semu, konstitusi terancam, di mana posisi TNI? Apakah TNI diam saja ketika melihat sistem demokrasi dan konstitusi dirusak, yang berpotensi besar membawa negara ini masuk krisis multi dimensi? Apakah TNI hanya menonton saja masyarakat sipil melakukan perlawanan, protes dan demo, terus-menerus, meskipun bakal berpotensi banyak korban berjatuhan? Di mana posisi TNI? Di mana posisi TNI dalam penegakan demokrasi dan konstitusi? Di mana TNI? Bukankah prajurit TNI adalah bayangkari negara dan bangsa Indonesia? Bersambung ke bagian 2. (*)

Anies Bukan Ngga Peduli Korban Bencana?

Kalian kalau mau bantu sesama manusia silakan saja. Teriaklah kepada pemerintah, bukan teriak kepada ARB. Karena ARB udah tahu apa yang akan beliau lakukan tanpa pakai pengumuman. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung BENCANA dan malapetaka itu urusan Khaliq bukan makhluknya. Tak ada satu orangpun yang bisa mendeteksi kapan bencana itu bisa datang. BMKG sekalipun gak bisa mendeteksi. Kita cuma bisa tahu melalui Al-Quran. Bila kemungkaran lebih banyak dari kemaslahatan maka siap-siap bencana akan datang. Kyai sekalipun gak bisa tahu kapan bencana itu akan terjadi, tapi musibah dan bencana bisa Dipolitisir oleh manusia durjana. Seperti yang terjadi kepada Anies Rasyid Baswedan (ARB) saat ini. Dinarasikan seolah-olah ARB gak peduli dengan korban bencana. Apa kalau ARB jenguk para korban lantas musibah hilang? Atau, kalau kemudian ARB bawa sumbangan penderitaan para korban bisa teratasi? Korban bencana bukan urusan rakyat. Itu urusan Pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pemimpin yang mau Capres seperti ARB mengalahkan Prabowo Subianto yang hanya sibuk bikin Tiktok dan didukung Joko Widodo, apa pernah mengunjungi para korban bencana? Nah, sekarang Allah gilirkan dengan wedus gembel Gunung Semeru. Pengen lihat, Ganjar Pranowo apa nengok para korban gaaak? Habis sudah bahan para Haters mau mem-bully ARB. Sehingga mereka lantas memancing agar ARB pergi lihat korban bencana. Dan, dari sana mereka udah siapin jebakan batman untuk memfitnah ARB. Gaya kalian udah kebaca. ARB dengan Silent Operation sudah kirim orang-orang dia untuk membantu korban bencana. Kan mau nolong orang gak usah teriak-teriak, karena itu Riya\'. Kalian kalau mau bantu sesama manusia silakan saja. Teriaklah kepada pemerintah, bukan teriak kepada ARB. Karena ARB udah tahu apa yang akan beliau lakukan tanpa pakai pengumuman. Seperti yang beliau lakukan di DKI Jakarta sewaktu beliau menjabat. ARB sekarang rakyat biasa sama dengan kita. Jadi kalau sudah ada yg turun ke daerah ditimpa bencana itu FARDU KIFAYAH. Kalau pemerintah FARDU \'AIN. Jangan menghindar pemerintah karena kau di bayar rakyat. Wallahu A\'lam ... (*)

Jenderal Dudung dan Marsekal Fadjar Tunjukkan Sikap Loyal dan Ikhlas

Mereka legawa menerima keputusan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI dalam memutuskan calon Panglima TNI. Hal ini penting untuk menjaga soliditas di lingkungan TNI. Oleh: Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional (UNAS) KEHADIRAN Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo mendampingi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI di DPR, menunjukkan sikap loyal dan ikhlas, sesuai asas kepemimpinan militer. Kedua jenderal bintang empat itu mencerminkan 11 asas kepemimpinan TNI, terutama asas satya atau loyal dan legawa atau ikhlas. Dalam asas kedelapan ada yang disebut satya artinya sikap loyal yang timbal balik, dari atasan terhadap bawahan dan dari bawahan terhadap atasan dan ke samping. Dudung dan Fadjar menunjukkan sikap akan setia terhadap Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang merupakan pilihan Presiden Joko Widodo, karena hak prerogratif Presiden sesuai konstitusi. Kemudian pada asas ke-11 disebut legawa artinya kemauan, kerelaan, dan keikhlasan untuk menyerahkan tanggung jawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya. Mereka legawa menerima keputusan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI dalam memutuskan calon Panglima TNI. Hal ini penting untuk menjaga soliditas di lingkungan TNI. Termasuk kehadiran Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai bentuk siap menjalin Kerjasama dengan unsur pimpinan TNI yang baru. Jadi, 11 asas kepemimpinan TNI itu memang harus diimplementasikan dan diaplikasikan dalam tindakan nyata, agar mereka bisa menjadi contoh teladan bagi para prajurit TNI lainnya. Apalagi para Kepala Staf Angkatan bertugas membina personel di matranya masing-masing. (*)

Pangeran Sambernyawa versus Pangeran Samberarto

Sempat harus bertempur dalam waktu berurutan dari serbuan dan kejaran Belanda di Madiun, Magetan, Ponorogo, dan secepatnya harus pindah lagi bertempur di Jogjakarta. Oleh: KRT Sutoyo A. Manduronagoro, Koordinator Kajian Politik Merah Putih “ESTU Pitulung Hyang Sukma, Malekat pindah jalmo, Pangeran Dipati sujud ing Allah lan Rasullah” (RM Said, BL. Asmaradana 69: 93). Dalam perjuangannya: “Selalu berdoa lebih baik mati di jalan yang diridhoi Allah (mati syahid) daripada menanggung aib kalah melawan kumpeni” ( RM Said BL. Durmo 63: 320) RM Said (Pangeran Sambernyawa) selalu mengatakan “ingsun tedha ing Allah” dalam melawan Belanda diyakini sebagai perang suci, sekalipun harus gugur dalam peperangan. Awal mula harus melawan Belanda justru ketika sang mertua P. Mangkubumi dan Sunan PB III menyetujui bekerjasama dengan Belanda. Semua bisa terjadi karena liciknya Belanda mengadakan “Perjanjian Giyanti (tahun 1757) yang memecah Mataram menjadi dua, yaitu: P. Mangkubumi di Kasultanan Yogyakarta dan PB III berkuasa di Surakarta. Belanda makin licik memecah-belah Mataram dan harus diperangi karena kelakuan semakin liar menguasai, memecah belah, dan menghasut tatanan kehidupan kerajaan yang sudah mapan. Perjalanan perjuangannya selama 16 tahun (sekitar 250 pertempuran) dalam  melawan Belanda. RM Said, tegar dan terus menerjang. Ketika datang bujukan untuk berunding dari Baron Von Hohendorf dan bujukan dari patihnya P. Kundanawarsa untuk berhenti melawan Belanda karena resiko kematian dan bahaya yang sangat besar, semua ditolak . Saran dari patihnya setelah isyarat yang ditemui RM Said sendiri adanya sekawanan burung “dandang” berwarna putih yang jumlahnya ratusan ekor, setiapkali dihalau terbang menjauh kemudian mendekat lagi dengan jumlah yang lebih besar. RM Said tegas mengatakan – “Dakarepken sanadyan aku matiya, Yen wus tumeko janji, aja adoh Mataram, dayane luhuring wang, Puyo pada serah pati, pasrah ing Allah payota di alebu geni” _ (sudah menjadi tekadku biarlah aku gugur di medan laga, asal tidak jauh dari bumi Mataram, itulah yang akan meluhurkan namaku” _ (BL. Surma, 58.151). PM Said (P. Sambernyawa) dalam usia 30 tahun sudah harus melawan Belanda bergerak di tanah Jawa dari satu daerah ke daerah lain, dengan senjata seadanya dan harus terus menembus dan menempuh perjalanan dari satu hutan ke hutan lainnya. Medan laga pertempuran “lir segara tanpa tepi” (bagaikan laut tak bertepi) begitu luas yang harus dijalani, dengan gagah berani. Sempat harus bertempur dalam waktu berurutan dari serbuan dan kejaran Belanda di Madiun, Magetan, Ponorogo, dan secepatnya harus pindah lagi bertempur di Jogjakarta. Betapa heroiknya sekalipun hidup di hutan sang istri – Kanjeng Ratu Bendara dan garwo sepuh RA Kusuma Patahati terus mendampingi dan menyertainya. RM Said cita-citanya ingin menyatukan Mataram di bawah pimpinan satu raja (bukan dipecah-belah oleh Belanda), seperti ditulis oleh Pringgodigdo: “RM Said bleef bij zijn eisch over heat geheele rijk (RM Said tetap ingin menyatukan negara Mataram seluruhnya). Julukan “Pangeran Sambernyawa” karena strategi perangnya menggunakan model atau taktik serangan: dhedhemitan, weweludan, dan jejemblungan. Kecepatan menyerang dan membunuh sebanyak-banyaknya setelah itu pergi menghilang. Belanda sampai mengeluarkan seperti sayembara oleh Nicholas Hartingh – Gubernur Direktur Jawa Pantai Utara – Timur (Javas Noor-Oost kust): akan memberikan 1000 real untuk yang bisa menyerahkan kepada RM Said dan kepala para pengikutnya 500 real. Semua gagal total. Pitutur untuk kondisi saat ini: 1. Perjuangan PM Said (Pangeran Sambernyawa) adalah untuk memerangi penjajah Belanda artinya untuk memusnahkan tirani, penindasan, kedzaliman dan penindasan penguasa terhadap rakyat. 2. Setiap saat dan masa memang tetap saja ada penguasa yang justru berpihak kepada penjajah (Neo Kolonialisme Baru), dengan badut-badut politik yang macam-macam warna, tingkah polah kelakuannya. 3. Saatnya tiba pasti akan lahir pahlawan sejati, bukan pahlawan Samberarto, yang menjijikan, memuakkan, dan harus dimusnahkan. 4. Hanya pejuang sejati manusia suci dan pemberani yang bisa melawan tirani, kedzaliman, penindasan dan mengeluarkan masyarakat dari kesusahan serta penderitaan akibat laku para penguasa yang bejad hanya menghamba kepada nafsu iblis dan penghamba dunia semata. 5. Keadaan negara saat ini yang sangat mengerikan segera bisa keluar dari marabahaya penguasaan dan kooptasi para Kapitalis dan Oligarki. 6. Pitutur untuk masyarakat luas dan khususnya trah Mataram untuk jangan lengah dan segera bertindak atas kejadian saat ini yang mirip seperti terjadi pada jaman RM Said. (*)

Jokowi Membela Indonesia Atau China?

Nah, sekarang menjadi lebih terang pertanyaan serius kita apakah pernyataan Jokowi atas kekalahan di WTO itu benar-benar membela bangsa Indonesia atau sedang berjuang untuk kepentingan “kakak besar” dia di China? Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan INDONESIA kalah di Sidang WTO atas larangan ekspor bijih nikel. Uni Eropa (UE) sebagai penggugat merasa dirugikan dengan larangan tersebut. Dan,  dimenangkan. Indonesia meski mengajukan banding tentu kecewa. Aturan larangan ekspor raw material nikel dinyatakan melanggar aturan WTO khususnya Pasal XI. 1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi Pasal XI. 2 (a) dan XX (d) GATT 1994. Nasionalisme Joko Widodo meledak dengan alasan Indonesia yang ingin maju dihambat oleh negara maju. Mungkin saja sikap dan ledakan itu benar, tetapi mungkin saja ada faktor lain. Inilah pertanyaan seriusnya bahwa pernyataan Jokowi itu benar-benar membela Indonesia atau demi China? Ada dua perusahaan besar pengelolaan tambang nikel di Indonesia, yaitu PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah dan PT Virtual Dragon Nikel Industry (VDNI) di Sulawesi Tenggara. Keduanya, perusahaan pengolahan ini berasal dari China. Untuk pengolahan dibutuhkan smelter dan ternyata 4 (empat) perusahaan smelter besar yang ada itupun semuanya investasi China. Keempatnya adalah PT Sulawesi Mining Investment, PT Virtual Dragon Industry, PT Huadi Nickel Aloy, dan PT Harita Nickel. Mantan Wapres Jusuf Kalla telah mengkritik pengelolaan nikel yang mayoritas China ini. ”Ini daerah kaya nikel tetapi yang kerja semua China dari daratan sampai tukang las,” ujar JK. Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia memang diikuti oleh TKA asal China. Ini akibat izin dan perjanjian saat negosiasi dengan investor China. Faisal Basri menilai, Indonesia menderita kerugian dalam investasi nikel. Menurutnya hanya untung di sektor sewa lahan dan upah kuli. Teknologi pembuatan baterai kendaraan listrik (EV) tidak dilakukan di Indonesia tetapi di China. Indonesia cuma mengolah jadi pellet, nickel pig iron, feronickel, dan besi baja setengah jadi. Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Mineral dan Enerji Terbarukan (Adpmet) Ridwan Kamil menyatakan Indonesia harus hati-hati pada China. Menurutnya Tiongkok ambil nikel dari Indonesia sebagian untuk kita, dan sebagian untuk Tiongkok. Tesla Inc kerap membeli pasokan bahan dari China, padahal China membeli pasokan dari Indonesia. Tesla Inc konon telah siap mengucurkan dana 5 miliar USD untuk membeli bahan baterai dari perusahaan nikel China di Sulawesi. Nah, sekarang menjadi lebih terang pertanyaan serius kita apakah pernyataan Jokowi atas kekalahan di WTO itu benar-benar membela bangsa Indonesia atau sedang berjuang untuk kepentingan “kakak besar” dia di China? Kita buktikan pula ucapan “duta” China Luhut Binsar Panjaitan yang siap untuk mem-buldozer penghambat investasi. Kill or to be killed, katanya. Nyatanya kini sedang klepek klepek setelah digebuk Uni Eropa di WTO. Ah Luhut Luhut.. Jokowi Jokowi. (*)

Kelemahan (Keburukan) Sistem Pilpres Langsung dan Saran-Saran Perbaikan (1)

Tahun keempat, mulai sibuk bertempur, karena lawan tanding sudah mulai muncul. Praktis setahun petahana sibuk kampanye tersembunyi atau terang-terangan. Oleh: M. Hatta Taliwang, Anggota DPR RI/MPR RI 1999-2004, Mahasiswa S3 UNAS Jakarta PERAN Partai/DPR terlalu dominan membuat aturan main Pemilu/Pilpres. Meskipun ada DPD RI sebagai repsentasi Daerah, tetapi tak punya peran dalam menyusun aturan main Pemilu/Pilpres. Organisasi seperti Muhammadiyah/NU belum tentu anggotanya menyalurkan aspirasinya ke partai dan Kelompok Profesi/Intelektual, serta Raja/Sultan yang punya andil besar dalam kelahiran Indonesia, seharusnya mereka mendapat tempat sebagai Utusan Golongan, apalagi kalau dikaitkan dengan spirit dan teks UUD 1945, 18 Agustus 1945, serta Sila ke-4 Pancasila, seharusnya diatur dalam UU Pemilu/Pilpres. Karena peran partai dominan, tanpa penyeimbang, maka partai sesuka mereka berkompromi dan mengatur Capres tanpa pertimbangan matang dalam pengajuan capres, dan mereka bisa dikendalikan dengan kekuatan uang dari oligarki kapital, sehingga mengabaikan kualitas calon Presiden. Yang terpenting siapa yang didukung oligarki kapital itulah yang disetujui jadi capres. Kata Bambang Soesatyo, untuk menguasai sebuah Partai cukup bayar Rp 1 triliun. Dengan Sistem Pilpres Langsung, meskipun kita punya calon bagus, tapi jika oligarki kapital tidak sreg bisa saja dikerjain saat proses pencalonan atau di berbagai titik proses pemilihan. Bisa di-bully, dijegal, saat sebelum Pilpres atau ketika Pilpres berlangsung. Bisa dijegal di saat penghitungan suara di KPU. Dengan sistem one man one vote dalam Pilpres langsung, menyamakan suara 1 orang gila dengan suara 1 Guru Besar, waras atau tidak? Biaya Pilpres langsung sampai puluhan/ratusan triliun rupiah untuk KPU dan triliunan dari kantong capres atau kantong cukong menghasilkan orang yang belum tentu sesuai harapan rakyat. Belum tentu juga sesuai harapan cukong. Biaya tersebut belum termasuk keamanan, birokrasi, dan lain-lain. Biaya sosial, psikologis juga mahal. Suasana kampanye merusak hubungan sosial psikologis masyarakat, karena banyak hoaks hingga fitnah, hubungan antar warga kurang harmonis dan saling prasangka, dll. Rakyat jadi terbelah berkepanjangan, merusak kerukunan nasional dan sosial, serta menghancurkan Sila ketiga Pancasila. Isu-isu sensitif soal suku, ras, antar golongan, agama (SARA) sampai tetek-bengek soal cara beribadah diumbar sebagai instrumen kampanye, hingga mengancam persatuan. Daftar Pemilih lama di mana sudah banyak pemilih yang lalu (2014) yang telah meninggal, masih dihitung dan digunakan untuk Pemilu/Pilres 2019. Sementara pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2018 tidak dianggap. Maka, apa pun argumennya tetap cacat hukum, cacat akal sehat, dan cacat moral. Bahkan angka tersebut masih dipakai lagi sebagai basis menentukan Presidential Threshold. Ini sudah mendapat kecaman luas dari publik. Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih itu adalah indikasi bahwa dengan cara apa pun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih misterius itu. Ini sesuatu yang sangat tidak logis. Pada pilpres 2019 diduga ada 17,5 juta suara pemilih misterius (Ahli IT Agus Maksum). Dalam sistem pilpres langsung ini sangat mudah diintervensi dengan berbagai instrumen yang potensial dikendalikan penguasa, apalagi jika berkonspirasi dengan oligarki kapital untuk menggolkan oknum yang mereka inginkan. Instrumen seperti lembaga survei, akademisi (mata duitan), intelijen resmi atau partikelir, aparat keamanan, birokrat, parpol, aparat hukum, LSM, Ormas, media massa mainstream, KPU, buzzer, dll dengan uang, janji jabatan, permainan pajak, permainan hukum, dan lain-lain, bisa dilibatkan dalam konspirasi. Aparat keamanan, hukum, dan birokrat yang mestinya netral tanpa sadar atau dengan sadar sering terbawa arus oleh godaan-godaan di atas. Belum terhitung bagaimana teknologi IT yang canggih bisa dipermainkan, ditambah produksi KTP misterius, formulir misterius, dan lain-lain, sangat tidak kondusif untuk membangun rasa saling percaya dalam sistem pilpres langsung ini. Dengan sikap KPU yang penuh keanehan (misalnya mendadak mengubah cara debat (pada Pilpres 2019), dan berbagai indikasi lainnya yang menunjukkan dugaan mengakomodasi kepentingan salah satu peserta pilpres, maka bagaimana masyarakat percaya bahwa KPU bisa netral, dan sungguh-sungguh akan menghasilkan Pilpres yang bisa dipercaya? Situasi ini sungguh akan menimbulkan bencana politik di kemudian hari. Negara sebesar ini dengan kaum menengahnya yang sudah kaya-raya, apa maksudnya membuat Kotak Pemilu/Pilpres dari Kardus? Lalu Kardus Digembok? Ada apa di balik akal ini? Ha ha… Argumen bahwa Pilpres langsung menghasilkan demokrasi yang bagus bisa dipertanyakan. Kalau kita percaya angka ini. Hasil Pilpres: Pilpres 2019 dengan paslon Joko Widodo – Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Daftar Pemilih Tetap Pemilu/Pilpres 2019 adalah 192,83 juta jiwa.  Jumlah pemilih Jokowi-Ma\'ruf 85.607.362 suara, suara Prabowo-Sandi 68.650.239. Jumlah suara pemilih Jokowi/Ma\'ruf Amin dan Prabowo Sandi = 85.607.362 +68.650.239 = 154.257.601. Berdasarkan DPT di atas, maka ada selisih DPT dengan yang menggunakan hak pilihnya sebesar 192.830.000 – 154.257.601 = 38.572.399. Angka 38.572.399 ini bisa digolongkan ke dalam kelompok yang golput, suara rusak, dan lain-lain. Kesimpulan: Jumlah pemilih Jokowi-Ma\' ruf 85.607.362 : 192.830.000 = 44,40% Jumlah Pemilih Prabowo-Sandi 68.650.239 : 192.830.000 = 35,60% Jumlah suara golput, suara rusak dll = 38.572.399 : 192.830.000 = 20%. Dengan menggunakan cara menghitung 2019 di atas maka Pilpres 2014 antara paslon Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa sebagai berikut. Jokowi-JK 37,30%. Prabowo-Hatta 32,88% Golput dll 29,81% Kalau memakai rumus menang secara demokratis harusnya 50+1. Nyatanya, Jokowi menang 2 x masing-masing 37,30% dan 44,20%. Dua kali menang suaranya di bawah 50% pemilih. Artinya, mengacu ke rumus menang secara demokratis tidak tercapai, sehingga penulis menyebutnya ini hasil legal, tapi tidak legitimatif. Apa bedanya dengan Pilpres sistem Perwakilan dan Musyawarah di MPR RI yang dianggap kurang demokratis, namun hasilnya bisa terpilih Presiden yang lebih berkualitas, karena ada faktor Utusan Golongan yang bisa menjadi “penyaring capres”? Setelah Presiden terpilih, berdasarkan pengalaman adalah sebagai berikut. Tahun pertama, sibuk konsolidasi kekuasaan. Partai-partai yang dianggap bukan pendukung rezim, diobrak-abrik atau dijinakkan dengan segala cara. Mulai terjadi persekongkolan atau bangun oligarki. Ujungnya kepentingan rakyat diselewengkan. Tahun kedua, mulai raba-raba program apa yang mau dikerjakan, yang bisa membuat rakyat segera melihat hasil nyata. Program abstrak, misalnya revolusi mental, nation and character building dan lain-lain disingkirkan, meskipun dipidatokan dalam kampanye. Seakan sinetron kejar tayang yang bisa membuat rakyat kagum. Dipilih program praktis, misalnya kartu sehat, dan yang paling mudah itu infrastruktur, sekalipun dengan seruduk gunakan pinjaman dengan bunga besar atau gunakan dana yang tidak semestinya untuk infrastruktur, seperti dana haji, dana pensiun dll. Itu sekadar contoh bagaimana bekerjanya sebuah sistem tanpa tuntunan GBHN. Tahun ketiga, mulai bangun pencitraan, banyak selfie dan berbagai acara yang sifatnya konsolidasi untuk terpilih pada periode kedua. Tahun keempat, mulai sibuk bertempur, karena lawan tanding sudah mulai muncul. Praktis setahun petahana sibuk kampanye tersembunyi atau terang-terangan. Beberapa program seperti raskin, bansos dll diolah menjadi modal politik petahana. (*)

Imam Besar Yang Jenaka

Inilah yang membuat banyak orang begitu rindu ingin segera bertemu dengan dzurriyah (keturunan) Baginda Nabi Muhammad SAW tersebut. Bahkan, rela menempuh perjalanan dari tempat yang jauh sekalipun. Oleh: Sulung Nof, Penulis BAGAIMANA cara kita menggambarkan sosok Imam Besar (IB) Habib Rizieq Syihab (HRS) biasanya dipengaruhi oleh sumber referensi yang kita peroleh, baik melalui media, cerita orang, maupun saat kita berinteraksi langsung dengan beliau. Pemimpin spiritual yang menjadi ikon 212 itu kadung dianggap memiliki tipikal yang keras. Bahkan, media di Timur dan Barat menyebutnya sebagai pemimpin garis keras (hardline leader) atau ulama penghasut (firebrand cleric). Ada istilah, “Tak kenal maka tak sayang” atau “Tak kenal maka ta\'aruf” sepertinya cukup tepat untuk mengungkap realitas yang sebenarnya. Tulisan ini akan mengantarkan para Pembaca pada suatu pemahaman yang lebih fair. Bayangkan jika nama, foto, dan video kita dilarang untuk dimuat di media sosial dengan dalih melanggar standar komunitas. Apakah itu adil? Bukankah hal itu melanggar HAM dan merampas hak asasi sebagai warga negara? Dalam drakor kita saksikan, membuntuti orang merupakan pelanggaran hukum. Privasi warga negara sangat dijaga. Lalu bagaimana jika aktivitas kita sedang diintai? Dan, yang lebih menyedihkan lagi, orang dekat kita dihabisi? Syukurlah, Imam Besar memiliki jiwa yang kuat sehingga mampu memikul beban yang demikian berat. Seorang ulama yang tak terbeli, pernah dibui hingga dua kali, bukan perkara yang mudah untuk dilalui, kecuali dengan sabar dan tawakkal. Seandainya bisa membedah anatomi jalan pikiran beliau, barangkali kita  bakal syok karena banyak beban yang beliau pikirkan untuk kebaikan dakwah dan umat ini. Saya lalu teringat QS At-Taubah: 128 tentang datuknya. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. Beliau memang tampak keras terhadap kezaliman dan kemaksiatan, namun sesungguhnya berlemah-lembut terhadap kebaikan. Bahkan, selalunya dalam mengisi ceramah diselipkan humor dan canda-tawa. Contohnya saat Reuni 212, Imam Besar berikan sambutan cukup panjang. Akhirnya Habib Hanif berdiri di sampingnya untuk kasih kode. “Duduk,” pinta Imam Besar dengan senyum lembutnya sambil menepuk pundak. “Untung pembawa acaranye mantu. Gak diizinin (lanjut sambutan), kite konciin pintu,” candanya. Dan, jama\'ah pun tertawa. Pun, dalam kajian rutin, kejenakaan Imam Besar selalunya muncul untuk meringankan suasana. Inilah yang membuat banyak orang begitu rindu ingin segera bertemu dengan dzurriyah (keturunan) Baginda Nabi Muhammad SAW tersebut. Bahkan, rela menempuh perjalanan dari tempat yang jauh sekalipun. Alhamdulillah, usai 411 rombongan MMP (Mujahid Mujahidah Priangan) yang datang dari Bandung bisa bersilaturrahim dengan Imam Besar. Beliau sangat menghormati tamu. Kita dijamu dengan baik dan berinteraksi dalam jarak yang begitu dekat dan akrab. Ibarat mimpi, salah seorang ibu mengatakan dengan begitu bahagianya, “Ternyata Habib aslinya lebih putih dan lucu. Ada gak ya boneka kayak Habib? Supaya bisa dipeluk.” Bandung, 04122022. (*)

Kejuaraan Sepak Bola Dunia dan Dakwah Qatar yang Egaliter

Sebaliknya, Qatar bahkan mampu menampilkan dan mempromosikan nilai-nilai ethical dan moralitas itu dengan penuh percaya diri. Dan, semua itu dilakukan dengan cara-cara yang atraktif dan sangat egalitarian. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation SAYA ingin memulai dengan suara lantang menyampaikan selamat “mabruk dan mubarak” kepada negara Qatar sebagai negara Muslim dan Timur Tengah pertama, tidak saja menjadi tuan rumah sebuah perhelatan fenomenal, tapi juga telah membuktikan adanya sebuah kemewahan dan kesuksesan di atas ekspektasi dalam mempersiapkan dan melaksanakan perhelatan persepak- bolaan dunia ini. Sebagai seorang penggemar sepak bola dan seorang Muslim khususnya tentu saya sangat bahagia dengan pencapaian itu. Perhelatan ini telah menjadi catatan sejarah tersendiri bagi Umat, Timur Tengah dan dunia secara umum bahwa sebuah negara yang kerap dipersepsikan kecil dan kurang “sophisticated” justru mampu membuktikan diri secara profesional dalam mengelola dan melangsungkan perhelatan sepak bola dunia lebih dahsyat dari siapapun dalam sejarahnya. Perhelatan ini juga telah menghancurkan pandangan salah yang telah lama terbangun secara salah mengenai Qatar khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Qatar mampu menampilkan etis keagamaan yang berkualitas sesuai ajaran Islam yang mengajarkan keramahan kepada semua manusia. Sebuah sentuhan hati yang menggugah kepada semua pendatang baik pemain dan tim maupun para pendukung dan penonton. Qatar telah menunjukkan kreasi inovatif yang menakjubkan dalam bidang arsitektur dan perencanaan pembangunan musium, stadium, perhotelan dan berbagai fasilitas lainnya bagi para tamu, tidak saja di saat pelaksanaan acara. Dan, bahkan berbagai inovasi dan fasilitas itu akan berkesinambungan hingga selesai acara di masa depan. Sungguh perbekalan piala dunia Qatar telah menelan biaya terbesarnya dalam sejarah persepak bolaan dunia. Qatar telah menggelunturkan US$ 220 miliar lebih sejak terpilihnya untuk menjadi tuan rumah oleh FIFA pada 2010 lalu. Bahkan pada hari-hari puncak persiapannya kabarnya Qatar menghabiskan US$ 500 juta seminggu dalam pengembangan infrastruktur seperti bandara, jalan, hotel, stadium, dan juga musium. Ini juga termasuk 10 miliar USD untuk membangun tujuh stadium atau lapangan sepak bola baru. Namun, sebelum anda melemparkan tuduhan pemborosan kepada Qatar, harusnya anda ketahui bahwa sebagian besar dari fasilitas ini pada masa mendatang akan didekonstruksi (dibongkar) dan didonasikan kepada negara-negara yang membutuhkan. Selain itu, Qatar juga telah membangun berbagai fasilitas infrastruktur ini dengan merencanakan untuk menjadikannya sekolah-sekolah, pusat-pusat pelayanan kesehatan, pusat pertokoan, dan fasilitas komunal lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat Qatar dan para pendatang lainnya. Lebih dari itu. Para insinyur Muslim Qatar telah membangun sebagian besar dari infrastruktur yang baru mereka dengan bahan-bahan olahan ulang (recycles), termasuk membangun sebuah stadium dari kontainer-kontainer pengiriman barang yang tua dan tidak terpakai. Ini menunjukkan inovasi sekaligus kepedulian lingkungan yang tinggi. Kendati gelombang kritikan yang dahsyat dilemparkan oleh sebagian mereka yang ada di sini dan rasis, khususnya dunia Barat, Qatar telah menunjukkan sesuatu yang mengagumkan. Qatar menjawab semua serangan dan kritikan bukan dengan kata-kata. Tapi, dengan aksi dan kenyataan. Sesungguhnya Qatar pada tataran lain bukan baru dengan ragam kontrihusi kepada dunia dan kemanusiaan. Negara kecil ini telah sejak lama konsisten dan teguh dalam membantu meringankan beban orang-orang Palestina, khususnya pada aspek keuangan dan diplomasi. Qatar juga dikenal dengan komitmen pembelaan kepada soal kebenaran dan keadilan, khususnya kepada para Ulama Islam yang cenderung dikriminalisasi di negara lain. Qatar bahkan menjadi broker persetujuan damai (peace deal) antara Amerika yang telah merugi multi triliunan USD dalam perang sia-sia tanpa akhir dì Afghanistan. Perang yang telah menyebabkan kerusakan dan penderitaan hebat bagi masyarakat Afghanistan. Qatar telah sukses melakukan intervensi sama untuk kepentingan bangsa Chad, Somalia, Sudan, dan juga Libanon. Qatar telah menunjukkan inovasi dahsyat dalam inisiatif diplomasi untuk perdamaian di Yaman dan Suriah. Qatar, negara yang dikenal mungil, kini dikenal sebagai broker perdamaian yang penuh kejujuran dan keikhlasan bagi Timur Tengah dan dunia yang terancam. Dan pada semua upaya itu Qatar tidak tanggung-tanggung menghabiskan biaya besar demi terwujudnya perdamaian Timur Tengah dan dunia. Di tengah semua glamour yang inovatif dan highly profesional itu, Qatar juga telah menampilkan komitmen peradaban yang tinggi. Bahwa perhelatan dengan sangat besar dan mewah tidak harus kehilangan nilai ethical dan moralitasnya. Sebaliknya, Qatar bahkan mampu menampilkan dan mempromosikan nilai-nilai ethical dan moralitas itu dengan penuh percaya diri. Dan, semua itu dilakukan dengan cara-cara yang atraktif dan sangat egalitarian.  Terima kasih Qatar, dakwahmu yang berani nan indah akan menjadi tauladan sepanjang masa! Bandara Doha, 4 Desember 2022. (*)

Doktrin “Petugas Partai” Melanggar Konstitusi untuk Merusak Bangsa

Setidak-tidaknya, rakyat wajib memberi sanksi kepada partai politik pelanggar konstitusi, dengan tidak memilih lagi partai politik perusak bangsa tersebut. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MENURUT Undang-Undang Dasar hasil amandemen sebanyak empat kali sepanjang 1999-2002, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh satu atau gabungan partai politik. Artinya, pencalonan presiden harus dilihat sebagai kewajiban bagi partai politik. Dan kewajiban ini merupakan beban yang diamanatkan konstitusi kepada partai politik. Kenapa beban? Karena kemajuan bangsa ini ada di tangan partai politik, melalui pemilihan presiden, yang pencalonannya hanya bisa dari partai politik. Maka itu, partai politik mempunyai tanggung jawab besar terhadap bangsa ini. Presiden dan wakil presiden yang dicalonkan harus mampu membawa bangsa ini menjadi lebih maju, sejahtera, dan adil. Untuk memastikan ini, partai politik harus mengawasi dengan ketat semua kegiatan presiden dan wakil presiden terpilih, agar dalam menjalankan roda pemerintahan sesuai perintah konstitusi. Dengan demikian, partai politik mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memilih anak bangsa yang terbaik, dengan rekam jejak prestasi dan akhlak yang sangat jelas, untuk menjadi pemimpin nasional. Kalau presiden tidak menjalankan roda pemerintahan sesuai konstitusi, maka partai politik wajib koreksi melalui parlemen, dan jika perlu memberhentikan presiden dalam hal pelanggaran cukup berat, antara lain pelanggaran terkait konstitusi. Artinya, partai politik wajib mengawasi aktivitas presiden agar selalu taat hukum dan konstitusi. Artinya, partai politik tidak boleh mendikte atau mengendalikan presiden. Karena, kalau partai politik mengendalikan presiden, maka partai politik menjadi bagian dari presiden (eksekutif), sehingga menjadi tidak independen, dan tidak bisa mengawasi presiden dan dirinya sendiri. Semua ini melanggar perintah konstitusi, yang mewajibkan partai politik mengawasi eksekutif. Sebagai konsekuensi, dalam menjalankan kewajibannya, partai politik tidak boleh mempunyai pamrih untuk menjadikan presiden sebagai “petugas partai”, yang mempunyai makna dikendalikan partai, yang berarti melanggar konstitusi seperti dijelaskan di atas. Kalau partai politik gagal menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan konstitusi, atau gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap presiden, maka partai politik tersebut wajib didiskualifikasi serta diberi sanksi berat karena melanggar konstitusi. Setidak-tidaknya, rakyat wajib memberi sanksi kepada partai politik pelanggar konstitusi, dengan tidak memilih lagi partai politik perusak bangsa tersebut. Artinya, rakyat harus menolak partai politik yang akan menjadikan presiden sebagai “petugas partai” dan rakyat harus menolak presiden yang pasrah dijadikan “petugas partai”. (*)

Pemilu Berintegritas, Atau Gagalkan Pemilu?

Untuk mendorong adanya kompetisi bukan konfrontasi maka Jokowi harus menjauhkan diri dari dukung-mendukung capres tertentu, sehingga capres atau cawapres yang muncul menjadi homogen dan tidak memiliki energi mengadu gagasan. Oleh: DR. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle JOKO Widodo dalam acara rakernas KPU tiga hari lalu mengungkapkan perlunya pemilu 2024 yang berintegritas. Penyelenggara pemilu membuat pemilu yang jurdil (jujur dan adil) serta mengawal terjadinya adu gagasan, bukan adu domba. Pada hari yang sama, dalam acara CEO Forum di Istana Negara, Mahfud MD memastikan pemilu akan terus berlangsung sesuai dengan rencana. Hal ini menurutnya untuk memberikan kepastian politik bagi dunia usaha agar tidak memunculkan keragu-raguan. Seberapa jauh kita percaya pernyataan pemerintah ini? Baru saja beberapa saat lalu, dalam acara HIPMI yang di buka Jokowi, di Solo, ketua plt. HIPMI dan Ketua DPD-RI menyampaikan gagasan perlunya perpanjangan masa jabatan Jokowi. Bahlil, menteri investasi, yang merupakan sosok penting di acara HIPMI itu memang tidak menyinggung soal perpanjangan masa jabatan presiden, tapi semua rakyat tahu bahwa Bahlil adalah pelontar pertama dan paling progressif dalam usulan perpanjangan masa jabatan Jokowi itu. Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyampaikan pernyataan mendukung perpanjangan masa jabatan Jokowi ditengarai setelah bertemu dengan kalangan elit penguasa, meskipun kepada saya dia menyatakan karena kehendak Allah mengalir begitu saja dari mulutnya. Spekulasi banyaknya elemen-elemen pendukung kekuasan Jokowi yang masih menginginkan perpanjangan masa jabatan Jokowi menjadi pembicaraan umum dikalangan politik di Indonesia. Sehingga tingkat kepercayaan atas pernyataan Jokowi dan jajarannya tentang kepastian adanya pemilu masih diragukan. Mari kita amati argumentasi penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden yang pernah ada. Pertama, alasan Bahlil adalah para pengusaha baru mulai bangkit usahanya dari terpaan pandemi covid-19. Mereka takut pemilu atau pesta demokrasi 2024 akan membuat suasana kurang kondusif bagi dunia usaha. (investor.id, 9/1/22). Kedua, 3 pimpinan partai pendukung Jokowi memberikan pernyataan mendukung perpanjangan masa jabatan Jokowi, yakni Airlangga Hartarto (Golkar), Muhaimin Iskandar (PKB) dan Zulkifli Hasan (PAN). Ketiganya meyakini bahwa perpanjangan masa jabatan tersebut merupakan aspirasi rakyat dan baik bagi momentum perbaikan ekonomi nasional. Ketiga, LaNyalla mendukung perpanjangan dengan argumen Jokowi kehilangan masa kerja dua tahun pada masa pandemi covid 19. Sehingga wajar Jokowi diberikan kompensasi perpanjangan. Isu yang dihembuskan LaNyalla ini menghidupkan kembali isu perpanjangan masa jabatan setelah beberapa lama meredup. Ketiga kelompok pendukung di atas sebenarnya tidak mempunyai dasar yang kuat, kecuali hanya ingin melawan konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden. Dengan demikian kita hanya bisa melihat adanya penggerak-penggerak pendukung masa jabatan yang melawan keinginan Jokowi, yang tidak ingin menunda pemilu atau bisa muncul dugaan Jokowi bermain \"dua kaki\". Pernyataan Mahfud MD di depan CEO Forum dan sebelumnya pernyataan Jokowi di majalah “the Economist” tentang kepastian berakhirnya masa jabatan presiden Jokowi merupakan angin segar bagi demokrasi kita, jika Jokowi dan jajarannya tidak memperlihatkan manuver-manuver sesat penundaan pemilu lagi. Dua Tantangan Jokowi Keinginan Jokowi untuk membuat pemilu berintegritas, khususnya jurdil dan bebas politik uang, merupakan tantangan terbesar bangsa ini. Tantangan kedua adalah ketulusan Jokowi untuk melepas pilihan presiden ke depan pada kehendak rakyat. Tantangan pertama di atas terkait dengan politik kita yang memang sedang dicengkeram oligarki, baik modal maupun partai. Bahkan feodalisme politik. Sudah lama kita ingin kembali kepada politik yang berbasis nilai (value) untuk menghasilkan elit bangsa yang bebas dari kepentingan apapun selain “national and nation interest”. Sayangnya, biaya politik yang sangat besar serta penuh dengan transaksional membuat calon-calon dengan kekuatan gagasan/ide tersingkir sejak awal. Bahkan, lebih parah lagi, terjadi dominasi pemilik modal dalam berbagai jenjang politik, baik di parlemen, partai mauoun maupun pemerintahan. Jika Jokowi ingin kata-katanya tentang pemilu berintegritas terjadi, maka sumbangan terbesar yang bisa dilakukan Jokowi adalah memastikan aparatur keamanan netral dalam pemilu. Ini pernah dilakukan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ketika tidak memberikan dukungan terhadap besannya, Hatta Rajasa, sebagai kandidat Cawapres 2014. Kontribusi lainnya bisa dilakukan Jokowi jika dalam Perppu UU Pemilu nantinya, selain masalah adanya dapil baru yang harus diakomodasi, juga mempertimbangkan penurunan PT (Presidential Threshold) 20%. Sebab, sebagaimana membaca pikiran Mahfud MD ketika menanggapi Rizal Ramli, beberapa waktu lalu, mengatakan sebaiknya PT dikurangi di bawah 10%. PT yang terlalu tinggi akan membuat tokoh-tokoh nasional terhambat untuk maju sebagai kandidat presiden ke depan. Tantangan terkait ketulusan Jokowi harus benar-benar ada. Argumen-argumen perpanjangan masa jabatan maupun presiden 3 periode tidaklah kuat sama sekali. Megawati juga merasakan tidak penuh periodenya, 5 tahun, sebagai presiden dahulu. SBY sendiri juga setahun lebih sibuk hanya mengurus bencana Aceh dan perundingan Helsinki. Namun, SBY tidak mengeluh. Ketulusan lainnya terkait dengan dukungan presiden berikutnya. Jika memang perlu adu gagasan dalam bayangan Jokowi untuk pesta demokrasi yang baik, maka harus dipastikan calon yang ada bukan yang homogen loyalis Jokowi, seperti Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto serta cawapres yang disiapkannya. Justru adu gagasan akan terjadi dalam kondisi capres yang bahkan berbeda visi. Jokowi mungkin menginginkan \"legacy\", seperti meneruskan IKN (Ibukota Negara), tapi SBY juga dulu mengharapkan MP3EI, program andalan SBY, ditindaklanjuti. Namun, faktanya Jokowi tidak menindaklanjuti program SBY. Jadi, sangat wajar dalam demokrasi seorang pemimpin baru mempunyai perbedaan dengan pemimpin sebelumnya. Yang terpenting adalah gagasan itu legal, diuji publik dan bertujuan pada kebangkitan nasional, baik ekonomi, politik dan kesejahteraan rakyat. Jika Jokowi tidak mampu menghadapi dua tantangan di atas, setidaknya Jokowi patuh pada konstitusi dengan mengikhlaskan diri bahwa setiap kekuasan ada akhirnya. Lepaskan calon pemimpin ke depan pada kompetisi sempurna, tidak perlu intervensi dengan beri isyarat “rambut putih” atau “wajah keriput” untuk didukung ke depan. Penutup Pernyataan Jokowi tentang perlunya pemilu berintegritas dan adu gagasan, tahun 2024 serta pernyataan Mahfud MD tentang kepastian pemilu pada tahun 2024 di hadapan CEO Forum, setidaknya memberi angin segar pada demokrasi kita. Sebagian kekuatan tentu akan berusaha mendorong pemilih gagal dengan isu perpanjangan jabatan Jokowi. Bisa jadi Jokowi terlibat, bisa juga tidak. Namun, kita sebagai rakyat harus terus memantau langkah-langkah penguasa saat ini agar jangan melanggar konstitusi. Tantangan bagi Jokowi adalah mengikhlaskan diri bahwa semua kekuasan ada batas akhirnya. Untuk mendorong adanya kompetisi bukan konfrontasi maka Jokowi harus menjauhkan diri dari dukung-mendukung capres tertentu, sehingga capres atau cawapres yang muncul menjadi homogen dan tidak memiliki energi mengadu gagasan. Waktu tidak terlalu lama lagi untuk pemilu. Kepastian siklus pergantian kekuasan bukan hanya dinanti kalangan CEO kapitalis, tapi juga rakyat jelata. Karena demokrasi adalah milik semua rakyat. Jangan sampai pemilu gagal. (*)