OPINI

Maroko Negeri Muslim yang Mewakili Muslim di Dunia dalam Bidang Sepak Bola

Tadi dunia Islam berharap pada Kerajaan Arab Saudi. Tetapi sayang Saudi terhenti dan tidak lolos. Betapa bangganya para haters Islam dan Islamphobia. Sampai di Sepak bolapun mereka juga membenci Islam. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung AKHIRNYA Spanyol (Sparoh Nyolong) terhenti dan gak masuk 8 besar di piala dunia di Qattar. Mereka dihentikan oleh Maroko. Negara yang tidak dianggap hanya sebagai pelengkap penderita tiba-tiba nyolonong masuk perempat final mengalahkan raksasa-raksana dunia dalam sepak bola. Tidak mustahil kalau pencapaian Maroko sampai Final. Gak ada yang bisa menjamin. Negara Arab di Afrika ini gak mungkin bisa mengalahkan negara-negara besar yang menjadi juara piala dunia. Maroko tidak ada pemain hebat dan tidak ada club sepak bola yang top juga, seperti di Spanyol. Tapi itu tidak membuat gentar pemain Maroko. Mereka berjuang dengan ikhlas atau nothing to lose sehingga akhirnya bisa memenangkan pertandingan itu. Tadi dunia Islam berharap pada Kerajaan Arab Saudi. Tetapi sayang Saudi terhenti dan tidak lolos. Betapa bangganya para haters Islam dan Islamphobia. Sampai di Sepak bolapun mereka juga membenci Islam. Nah sekarang, Maroko sudah lolos sampai 8 besar. Kalian mau bilang apa? Dan, tidak mustahil Maroko sampai di Final. Kalau sampai di final maka bisa mencret-mencret dan berak darah para Islamophobia waktu mereka menonton pertandingan itu. Jika sampai di final itu bukan kesuksesan Maroko saja tapi itu kesuksesan dunia Islam walau gak ikut kontestasi piala dunia. Makin diperhitungkan orang Islam di kancah persebak bolaan. Nah, sekarang bagaimana dengan Indonesia? Kasus Kanjuruhan-nya saja belum selesai mau bicara piala dunia? Nanti saja kalau presidennya Anies Rasyid Baswedan alias ARB). Wallahu A\'lam ... (*)

Saham ‘Ponzi’ GoTo Tidak Layak Masuk Bursa: Wajib Diselidiki

Kalau perusahaan tidak bisa bagikan dividen, dan kenaikan harga saham hampir tidak mungkin terjadi, kenapa GoTo dibolehkan menawarkan sahamnya kepada publik (Go Public)? Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) HARGA saham GoTo masih terus anjlok, menyentuh batas bawah harian, atau auto reject bawah (ARB), kalau tidak salah, delapan kali berturut-turut. Saham GoTo hari ini ditutup menjadi Rp 107 per saham, turun 68,3 persen dari harga perdana sebesar Rp 338 per saham. Kalau tidak ada auto reject, saham GoTo mungkin sudah lama jadi gocap. Penurunan drastis harga saham GoTo ini bukan kejutan, tapi sudah dapat diperkirakan sejak awal. Karena kinerja GoTo selama ini, selama perusahaan berdiri, memang sangat buruk, dan sekarang malah semakin memburuk. Maka itu, GoTo seharusnya tidak layak Go Public, tidak layak menawarkan sahamnya di Bursa. Alasannya sebagai berikut. Pertama, aset GoTo terlalu (di)besar(kan). Sebelum Go Public, Gojek akuisisi (atau merger dengan) Tokopedia, untuk menjadi Gojek Tokopedia alias GoTo. Tokopedia didirikan tahun 2009, dan kinerjanya rugi terus selama berdiri. Rugi Tokopedia tahun 2020, sebelum diakuisisi, mencapai Rp 4,3 triliun, dengan akumulasi rugi per akhir tahun 2020 mencapai Rp 18,3 triliun, dan Kekayaan Bersih hanya Rp 11,8 triliun. Dengan kondisi kinerja yang buruk seperti ini, nilai akuisisinya yang harus dibayar Gojek kepada Tokopedia lebih dari Rp 100 triliun, dengan goodwill Rp 93,15 triliun. Tentu saja, nilai akuisisi ini sangat tidak normal, membuat harga saham GoTo pada saat Go Public juga menjadi tidak normal, merugikan investor publik. Karena akuisisi Tokopedia dibayar dengan saham GoTo, maka jumlah saham beredar GoTo menjadi sangat besar, membuat kapitalisasi pasar GoTo seolah-olah sangat besar, alias menggelembung. Alasan kedua adalah profitabilitas. Gojek dan Tokopedia sejak berdiri sampai merger menjadi GoTo selalu rugi, dan ruginya semakin membesar. Rugi GoTo tahun 2021 mencapai Rp 22,5 triliun dan 2022 (9 bulan) mencapai Rp 20,7 triliun, sehingga total rugi dalam 1 tahun dan 9 bulan mencapai Rp 43,2 triliun, atau 43,5 persen dari akumulasi kerugian selama berdiri. Total akumulasi rugi GoTo sampai akhir tahun 2021, sebelum penawaran perdana, mencapai Rp 79,2 triliun. Dengan total rugi sebesar ini, GoTo tidak akan bisa bagi dividen untuk jangka waktu yang sangat lama, sampai akumulasi rugi terkompensasi menjadi positif, yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Karena itu, pengembalian investasi di GoTo hanya dapat diharapkan dari kenaikan harga saham, yang mungkin juga tidak akan pernah terjadi, seperti dikatakan secara eksplisit di dalam prospektus, halaman 141. Kalau perusahaan tidak bisa bagikan dividen, dan kenaikan harga saham hampir tidak mungkin terjadi, kenapa GoTo dibolehkan menawarkan sahamnya kepada publik (Go Public)? Ketika investor hanya bisa mengharapkan pengembalian investasinya dari kenaikan harga saham, maka konsep ini sama saja seperti spekulasi dan gambling yang mempunyai karakteristik bagaikan ponzi. Artinya, investor yang beli saham GoTo terakhir-terakhir akan menanggung rugi dari semua keuntungan investor-investor terdahulu. Kedua alasan ini seharusnya menjadi acuan bagi Otoritas Jasa Keuangan-OJK  untuk tidak memberi izin Go Public kepada GoTo. Dan kedua alasan ini seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi Telkomsel untuk tidak investasi membeli saham GoTo. Tetapi, kenapa semua rambu-rambu ini ditabrak? Apakah ada kekuatan yang memaksa untuk menabrak semua rambu-rambu tersebut? Semoga semua misteri Go Public GoTo dapat segera terungkap. (*)

Lelang Kepulauan Widi, TNI Harus Berani Tolak Pemerintah Seperti Panglima Sudirman

Di sisi lain, Jenderal Sudirman berpendapat Belanda selalu ingkar janji dalam perundingan, sehingga TNI lebih memilih melakukan perang gerilya daripada menyerah kepada penjajah. Oleh: Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional (UNAS) TNI harus berani menentang keputusan kontroversial Pemerintah Pusat terkait kedaulatan negara dalam kasus lelang Kepulauan Widi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menentang keputusan pemerintah terkait kedaulatan negara dan keputusan berani itu harus ditiru oleh pimpinan TNI era saat ini. Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menentang keputusan pemerintah (Presiden RI Sukarno) yang memilih menyerah kepada Belanda daripada ikut dalam perang gerilya. Panglima Sudirman juga menolak mengakui hasil perundingan Roem-Royen yang mengharuskan Tentara Republik Indonesia (TRI) menghentikan aktivitas perang gerilyanya. Saya sengaja mengungkapkan hal tersebut terkait aktivitas yang dilakukan Komando Distrik Militer (Kodim) 1509/Labuha, Korem 152/Baabullah, Kodam XVI/Pattimura. Mereka mengerahkan prajurit untuk mengibarkan bendera Merah Putih di Kepulauan Widi. Kepulauan ini termasuk wilayah administratif Kecamatan Gane Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Aksi ini untuk menegaskan Kepulauan Widi itu bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Komandan Kodim 1509/Labuha, Letnan Kolonel (Kavaleri) Romy Parnigotan Sitompul mengatakan bahwa aksi pengibaran bendera itu untuk menegaskan Kepulauan Widi tidak diperjualbelikan. “Seperti kita ketahui salah satu situs asing menempatkan Kepulauan Widi yang akan dijual,” kata Letkol Kav Romy seperti dilansir Antara, Selasa (6/11/2022). Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno membantah Kepulauan Widi, Maluku Utara tersebut, dijual di situs Sotheby\'s Concierge Auctions. Ia mengatakan Kepulauan Widi saat ini tengah dalam pengembangan oleh pihak ketiga, yakni PT Leadership Islands Indonesia (LII) dengan mencari investor. Kepulauan Widi tercantum dalam situs Sotheby\'s Concierge Auctions sebagai daftar barang lelang. Pelelangan itu akan berlangsung mulai 8 Desember 2022. Pada situs tersebut, PT LII menawarkan pengelolaan pulau tersebut. Mereka mengaku sebagai pihak yang berhak atas pengelolaan tempat tersebut. Padahal Kepulauan Widi itu berada di wilayah konservasi terumbu karang, bakau dan ikan sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 102/KEPMEN-KP/2020. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian juga menyebut lelang Kepulauan Widi bermaksud untuk mencari investor. Menurutnya, PT LII sedang kekurangan modal dalam mengembangkan Kepulauan Widi. Oleh karena itu, perusahaan menawarkan kerja sama investasi lewat pelelangan. “PT LLI kemudian mencari pemodal, mencari pemodal asing. Makanya dia naikkan ke lelang itu. Tujuannya bukan lelang buat dijual, tujuannya untuk menarik investor asing. Nah, itu boleh-boleh saja,” tutur Tito saat ditemui di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (5/12/2022). Sebagai warga, saya mendukung tindakan yang dilakukan TNI Angkatan Darat untuk menjaga kedaulatan NKRI di Kepulauan Widi. Saya meminta TNI tidak ragu-ragu jika persoalan menyangkut kedaulatan NKRI. Korps Marinir TNI AL harus memberikan dukungan personel untuk menjaga pulau-pulau terluar RI. Saya memberikan contoh Jenderal Sudirman berani berbeda pendapat dengan Presiden Sukarno ketika menghadapi agresi militer Belanda pada 18 Desember 1948. Saat itu Jenderal Sudirman meminta Presiden Sukarno menghentikan perjuangan melalui jalur diplomasi ketika negara dalam keadaan genting. Panglima Sudirman meminta Presiden Sukarno ikut bergerilya. Tapi Sukarno memilih tetap tinggal di dalam Kota Yogyakarta dan menolak ikut bergerilya. Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memilih jalur diplomasi untuk berunding dengan Belanda untuk mendapatkan dukungan internasional. Di sisi lain, Jenderal Sudirman berpendapat Belanda selalu ingkar janji dalam perundingan, sehingga TNI lebih memilih melakukan perang gerilya daripada menyerah kepada penjajah. Dugaan Jenderal Sudirman ternyata benar, setelah perundingan itu, Sukarno dan Muhammad Hatta ditangkap oleh pasukan Belanda. Seandainya Jenderal Sudirman mengikuti pendapat Presiden Sukarno, maka negara Indonesia tidak ada lagi di peta dunia. Panglima Sudirman juga menolak mengakui hasil perundingan Roem-Roijen yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 oleh delegasi Republik Indonesia dan negara Belanda. Dalam Perjanjian Roem Royen disebutkan Tentara Republik Indonesia harus menghentikan aktivitas gerilya. Jadi TNI itu tidak kenal menyerah seperti pesan dalam Sapta Marga, bukan seperti politikus yang sudah berulangkali dibohongi pimpinan, tapi masih mau berunding juga. (*)

Negara Diatur Politisi Cebong

Bahwa Negara Indonesia itu saat ini tidak ada atau tidak hadir, karena negara, rezim dan presiden saat ini hanya boneka kapitalis yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih PASKA pengesahan RKUHP menjadi UU, termonitor Partai Nasdem abstain, dua partai menolak, PKS dan Partai Demokrat. Atraksi mereka protes di sidang pleno seolah-olah itu perjuangan heroik. Toh mereka sudah tahu sejak pembahasan awal sudah keok. Dalam ranah politik tidak ada kalah terhormat. Kalah harus siap diatur dan dikendalikan oleh mereka yang bersengkongkol untuk menang. Mereka yang menang apakah benar benar menang. Jawabnya “tidak” karena mereka tidak lebih hanya alat kekuasaan eksekutif yang celakanya juga boneka kekuatan yang lebih besar. Wajar jika DPR memiliki alam kosmis tersendiri, tidak ada lagi kaitan dengan fungsi wakil rakyat karena kontrak mereka sudah putus di bilik suara. Beberapa aktifis dan rakyat -dar keadaan sudah teralienasi, sudah tidak ada senyawa dalam fungsi dan peran DPR dengan rakyat. Partai sudah menjadi ilusi dalam sistem politik kita terpapar sebagai barang dagangan, menjadi alat yang sangat represif karena sudah menjadi ungkapan kepentingan pribadi dan golongan yang dipaksakan kepada rakyat. Makna kemerdekaan manusia dalam design kebangsaan kita tertutup dan digantikan demokrasi yang menjadi alat perbudakan baru dengan negara sebagai fasilitatornya. Masyarakat yang hidup dalam hiruk pikuk panji - panji partai pun menjadi masyarakat yang teralienasi karena memalingkan wajah sendiri dari kemanusiaannya. “Indonesia itu negara  persekongkolan Istana dan Senayan\". Kelakar rakyat “sesama bis kota tidak boleh saling mendahului” kalau bukan sekarang kapan lagi. Urusan rakyat jangan tanya saya. Di negara modern, teori diilhami oleh praktik. Di negara berkembang, praktik diilhami oleh teori. Di Indonesia, teori tak penting karena kuliah dan ijazah tak penting. Kondisi yang terus memburuk semestinya kaum intelektual menjadi kekuatan moral melawan semua kebusukan. Karena Kaum intelektual memiliki sifat altruistik yang senantiasa memburu kebenaran demi kemaslahatan bersama, dan menjadi pencipta bahasa dalam menyampaikan yang benar kepada penguasa, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. (Edward Said, 1996) Setali tiga uang, untuk apa kalau membuat susah dan kantong terus mengering jadilah “Intelektual sebagai antek penguasa yang mengabaikan, bahkan merasionalisasi, kejahatan negara” (Antonio Gramsci - 1971) dengan lugasnya bohong dalam menyampaikan kebenaran. Sebagian larut dalam persengkongkolan. Kondisi Indonesia yang terus terpuruk akibat persilangan lembaga politik ekskraktif dan penguasa serba minus (ignorant leader), tidak lepas dari peran politisi dan intelektual tukang atau politisi dan intelektual klas cebong. Bahwa Negara Indonesia itu saat ini tidak ada atau tidak hadir, karena negara, rezim dan presiden saat ini hanya boneka kapitalis yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebagian pemimpinnya di negara ini mayoritas dikendalikan oleh iblis, roh jahat di udara tapi kebenaran sesuai ajaran Tuhan melalui jajarannya akan tetap menang. Waktu Tuhan ini indah pada waktunya. Mengingat kondisi hukum dan politik negeri ini sudah rusak, kerusakan sudah begitu akut, maka sudah tidak mungkin diatasi dengan cara-cara konstitusional. Keadaan harus dilakukan perubahan yang radikal, extraordinary, bukan perubahan biasa, baik inkremental maupun cut and glue. Keadaan menantikan lahirnya people power atau Revolusi. (*)

Sistem Primary Election Sangat Cocok untuk Pilpres di Indonesia

Bila memang dibutuhkan, saya secara volunteer mau membantu KPU untuk menyelenggarakan sistem Primary election di tanah air, demi memiliki sistem, proses, prosedur dan mekanisme seleksi kepemimpinan nasional (Pilpres) yang demokratis, terbuka, adil, jujur dan berkualitas. Oleh: Chris Komari, Activist Democracy, Activist Forum Tanah Air (FTA) USA, FTA Global & FTA-RI Nasional Indonesia ARTICLE ini sengaja saya tulis untuk mendukung usaha Bung Fahri Hamzah, Wakil Ketua Partai GELORA, untuk memperkenalkan sistem Primary Election di tanah air dalam Pilpres tahun 2024 mendatang. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa sistem demokrasi dan sistem seleksi kepemimpinan (Pilpres) di Indonesia masih sangat buruk, tidak bermutu, tidak berkualitas, tidak adil, tidak jujur, tidak terbuka, dan tidak demokratis. Lepas dari kritikan Bung FH terhadap jadwal kampanye Pilpres dari KPU yang belum ada dan euphoria terhadap Anies Rasyid Baswedan yang statusnya belum pasti menjadi Capres 2024 karena Partai Nasdem saja tidak memiliki kursi di DPR 20%, sementara itu PKS dan Partai Demokrat masih wait and see, maka kritikan Bung FH itu saya serahkan kepada publik untuk menilai masing-masing. Saya sebagai activist democracy sangat mendukung spirit dari apa yang telah dikritik oleh Bung Fahri Hamzah terhadap sistem dan proses seleksi untuk kepemimpinan (Pilpres) di Indonesia yang saat ini masih amburadul, tidak bermutu dan tidak berkualitas. Kritik dari Bung Fahri Hamzah kepada para politisi, anggota DPR, akademisi dan kader-kader partai politik di tanah air tersebut untuk segera bertindak memperbaiki kebobrokan Pilpres di tanah air, sangat beralasan, valid points dan warranted untuk mendapatkan dukungan. Sebenarnya tidak ada istilah “Terlambat” dalam memperbaiki kebobrokan! Di bawah ini, link pernyataan Bung Fahri Hamzah secara lengkap: https://m.youtube.com/watch?v=tHmqM6wg1_Y&feature=share A). Sistem Primary Election di United States of America (USA). Pada Pilpres tahun 2020 yang baru lalu di Amerika Serikat (AS), terdaftar secara resmi di Federal Election Commission (FEC); semacam KPU di Indonesia, sebanyak 1,212 kandidat Presiden (Capres). Yes, itu bukan salah ketik. Ada sebanyak 1,212 kandidat Presiden Amerika Serikat (AS) secara resmi terdaftar di FEC. Banyak orang Indonesia yang sok tahu dengan demokrasi di USA, tetapi tidak tahu soal ini, kaget dan dumb founded, termasuk para hakim Mahkamah Konstitusi (MK). B). Terus, bagaimana caranya mengatur Capres begitu banyak? Nah, sistem Primary Election itulah jawabannya. Saya jelaskan secara singkat. Untuk menjadi kandidat Presiden di Amerika Serikat (AS), tak ada Presidential Threshold 20%, bahkan 1% pun tidak ada. Apa syarat menjadi kandidat Presiden di United States of America (USA)? Syarat menjadi Capres USA itu mudah sekali dan mayoritas 99.99% rakyat Amerika Serikat (AS) yang lahir di USA qualify untuk menjadi Capres: 1). Lahir di negara dan territory negara United States of America (USA). 2). Tinggal secara permanent di USA, minimal selama 14 tahun. 3). Berumur 35 tahun ke atas. Ketika seorang warga negara Amerika Serikat (AS) ingin menjadi Capres, tidak harus mendaftar di FEC dulu. Bisa langsung melakukan press conference dan membuat declaration mencalonkan diri menjadi Capres. Setelah melakukan kampanye dan telah menghabiskan uang untuk kampanye sebesar US$ 5,000, entah itu yang dari donasi publik atau dari dompet sendiri, baru diwajibkan untuk melaporkan diri secara resmi ke FEC. Kemudian FEC akan membuat pengumuman resmi bahwa orang ini adalah Capres terdaftar di FEC. Itulah yang membuat Capres tahun 2020 di Amerika Serikat (AS) yang terdaftar secara resmi di FEC mencapai 1,212 kandidat. C). Bagaimana proses selanjutnya hingga 1,212 kandidat Presiden di USA itu berakhir dengan 2, 3 atau 4 kandidat di general election? Itulah the magic johnson dari sistem primary election di Amerika Serikat (AS). Begini proses singkatnya: Pemilu di negara United States of America (USA) itu dibuka sekitar total 24 bulan (2 tahun penuh), mulai dari “open primary” hingga “general election” bagi partai politik untuk melakukan persiapan logistics, registration, dan funds raising guna membantu para kandidat Senator, kandidat Representative dan kandidat Presiden (Capres) di USA. Breakdown schedule primary election hingga general election, saya jelaskan di bawah. Khususnya untuk Pilpres, di negara United States of America (USA) ada: 1). 50 negara bagian (State). 2). Dengan total 538 electoral college. 3). Dibutuhkan 270 E.C untuk menang Pilpres. 4). 270 E.C itu minimal harus menang di 25, 27 hingga 30 negara bagian, dari 50 negara bagian (State). 5). Itulah the magic numbers yang harus dipahami oleh non-americans. Ketika seorang Capres USA mulai melakukan kampanye di 50 negara bagian dan hasilnya hanya mendapatkan dukungan dari 3, 5 atau 10 negara bagian, apalagi dalam poll survey tidak populer dan sangat rendah, di situlah para kandidat Presiden itu mulai tahu diri. Para Capres USA itu memiliki etika politik yang tinggi, punya rasa malu dan ketika sadar akan posisinya yang tidak significant dalam kontes Pilpres, maka di situlah para Capres itu mulai rontok satu per satu, seperti daun yang berguguran di musim semi, mengundurkan diri dan menghentikan kampanye Pilpres. Karena itu tidak masalah ada ribuan kandidat Presiden di Amerika Serikat (AS), karena dengan sendirinya akan terseleksi oleh sistem primary election itu sendiri. D). Bagaimana schedule penyelengara Pilpres di USA mulai dari primary election hingga general election? Well, saya akan jelaskan secara singkat dan semoga anggota komisioner KPU saat ini mau menjadikan apa yang saya tulis di sini menjadi sebagai bahan pertimbangan. 1). Pilpres tahun 2024 di Amerika Serikat (AS) sudah ditentukan tanggal 5 November, 2024 dan pemenang Pilpres 2024 akan disumpah menjadi Presiden USA ke 47th tanggal 20 January, 2025. 2). Dari tanggal 5 November, 2024 itu diambil 12 bulan (1 tahun) ke belakang untuk digunakan sebagai “primary election”. Di USA, “open primary” dimulai tanggal 23 March, 2023 hingga 23 March, 2024. Artinya, mulai tanggal itu, semua yang ingin maju menjadi kandidat Presiden (Capres) dari independent, atau dari partai politik manapun sudah boleh keluar kandang dan berkampanye di 50 negara bagian (State) untuk mencari dukungan dan suara rakyat (votes). Jadi, di Amerika Serikat (AS) primary election itu berjalan 1 tahun penuh (12 bulan) di seluruh 50 negara bagian (State). Masing-masing partai politik terserah mau mengadakan “primary election” bulan apa saja, selama dilakukan mulai tanggal 23 March, 2023 hingga tanggal 23 March, 2024. Intinya tanggal 23 March, 2024 sudah harus ditentukan pemenang, atau “presidential nominee” dari masing-masing partai politik. 3). Pada tanggal 13 December, 2023 hingga 15 December, 2023 (2 hari) akan di pakai oleh Federal Election Commission (FEC) untuk melakukan apa yang disebut dengan “qualifying primary”, untuk mengkonfirmasi qualifications dari semua “presidential nominees” yang akan bertanding pada general election tanggal 5 November, 2024. 4). Jadi, semua qualifying “presidential nominees” dari semua partai politik akan ditentukan oleh FEC pada tanggal 15 December, 2023. Dari tanggal 15 December, 2023 hingga general election tanggal 5 November, 2024 (11 bulan) adalah waktu yang tersedia bagi semua presidential nominees (pemenang primary election) dari semua partai politik untuk berkampanye di 50 negara bagian (State) sebagai “presidential nominee”, bukan lagi sebagai kandidat Presiden dalam open primary. Pada Pilpres tahun 2020 yang lalu, ada 4 Presidential nominees, meski orang Indonesia hanya mengenal 2 nominees, bahkan Hakim MK juga tidak tahu kalau ada 4 Presidential nominees pada Pilpres tahun 2020 di USA: 1). Presidential nominee dari partai Demokrat, Joseph Biden. 2). Presidential nominee dari partai Republican, Donald J. Trump. 3). Presidential nominee dari Green party, Howie Hawkins. 4). Presidential nominee dari Libertarian party, Jo Jorgensen. E). Sekarang bagaimana menjalankan primary election di Indonesia dengan 18 partai politik yang lolos Pemilu 2024? Sebenarnya tidaklah terlalu sulit untuk menjalankan sistem primary election di Indonesia di 38 Propinsi dengan 18 partai politik yang lolos Pemilu 2024. Sungguh tidaklah terlalu rumit, asal ada kemauan politik dari semua partai politik, DPR, KPU dan Bawaslu. Saya sudah memberikan banyak info yang cukup details, bahkan saran saya untuk membuat KPU lebih kredibel dengan menambah 36 orang wakil-wakil dari 18 partai politik yg harus duduk di keanggotaan komisioner KPU, seperti pada Pilpres tahun 1999. Cara kerja dan bagaimana KPU harus mengambil keputusan dengan 2 competing interest dari komposisi keanggotaan komisioner KPU sebanyak 47 orang, juga sudah saya jelaskan secara detail. Bila memang dibutuhkan, saya secara volunteer mau membantu KPU untuk menyelenggarakan sistem Primary election di tanah air, demi memiliki sistem, proses, prosedur dan mekanisme seleksi kepemimpinan nasional (Pilpres) yang demokratis, terbuka, adil, jujur dan berkualitas. Asal semua pihak mau terbuka, jujur, dan adil untuk menciptakan sistem, proses, prosedur dan mekanisme seleksi kepemimpinan nasional yang berkualitas, semua bisa dilakukan. Nothing is impossible as long as there\'s political will dari semua pihak. Tidak seperti Pilpres 2014 dan 2019 model kelompencapir! (*)

Demokrasi Majemuk

Demokrasi juga memerlukan tata kelola politik dan pemerintahan yang lebih inklusif, yang tak hanya mempertimbangkan suara mayoritas individu, tapi juga representasi berbagai golongan (marjinal), dan asal-usul teritorial. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia SAUDARAKU, di kamar hotel, dengan latar Masjid Syeikh Zayed, Solo, nan anggun, sebuah buku menemaniku mengarungi senja, hingga tirai malam menutup pembacaan. Judulnya The Great Experiment: Why Diverse Democracies Fall Apart and How They Can Endure, karya Yascha Mounk (2022). Bahwa gelombang pasang politik identitas destruktif di berbagai belahan bumi menunjukkan gejala terjadinya ketergagapan demokrasi dalam menangani kecenderungan pluralisasi etno-kultural. Perkembangan demokrasi sejak awal pertumbuhannya spt di Athena hingga demokrasi modern di AS terbiasa menangani masyarakat homogen (mono-etnik), atau masyarakat dengan suatu etnik (SARA) yang mendominasi dan mengeksploitasi kelompok lain. Sutu Kerajaan atau Kekaisaran lebih berpengalaman dan lebih baik dalam menangani masyarakat heterogen (multi-etnik). Alasannya, di dalam kerajaan (kekaisaran), rakyat tak terlalu berpengaruh dalam menentukan hukum dan kebijakan. Dalam demokrasi, peran rakyat sangat menentukan, oleh karena itu setiap kelompok bersaing untuk menentukannya. Sebegitu jauh, belum pernah ada demokrasi yang berhasil dalam menangani masyarakat majemuk secara setara, dengan memperlakukan anggota setiap kelompok SARA secara fair. Masyarakat heterogen telah lama menderita akibat dari dominasi kelompok mayoritas atau kelompok minoritas, serta anarki permusuhan antarkelompok karena lemahnya otoritas pemerintahan. Tak heran, banyak orang pesimis bahwa masyarakat heterogen itu bisa hidup berdampingan dalam harmoni, dan mulai tergoda seruan fasistik. Menghadapi tantangan itu, demokrasi harus menjalani proses eksperimentasi baru. Demokrasi kian perlu mengembangkan budaya kewargaan multikultural dengan memperluas jaring konektivitas dan inklusivitas antarkelompok, yang disertai usaha mengurangi ruang “sakral” (momen individu lenyap ke dalam emosi kelompok) dengan membuka ruang “profan” (momen individu bisa otonom). Demokrasi juga memerlukan tata kelola politik dan pemerintahan yang lebih inklusif, yang tak hanya mempertimbangkan suara mayoritas individu, tapi juga representasi berbagai golongan (marjinal), dan asal-usul teritorial. Diperkuat tata sejahtera berkeadilan dan berkemakmuran untuk yang dapat menghindari kecemburuan sosial, menumbuhkan rasa aman dan percaya. (*)

“Pasal Karet” RUU KUHP Anti Demokrasi: Menyeret Rakyat ke Penjara Demi Menjamin Kenyamanan Penguasa

Prediksi saya, rezim legislator saat ini akan tetap mengesahkan RUU KUHP ini sembari menyungging senyuman berkata: “Jika rakyat tidak terima, Silakan Ajukan Judicial Review ke MK..!” Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo KITA patut bersyukur bahwa Indonesia berhasil menyusun KUHP sendiri. Masa penyusunannya pun tidak tanggung-tanggung, yakni selama masa 53 tahunan. Lega rasanya jika substansi RUU KUHP (RKUHP) tersebut merepresentasikan demokrasi yang konon disebut sebagai ruh sistem pemerintahan republik Indonesia. Rakyat yang berdaulat, rakyat empunya negeri ini, bukan penguasa atau pejabat. Tapi, jika diteliti, ternyata substansi RUU KUHP masih mengandung substansi yang terkesan menempatkan rakyat itu sebagai musuh rezim penguasa atau bahkan penjajah versi baru. Kemudian, apa bedanya nuansa hidup di alam penjajahan dengan alam kemerdekaan? Kita masih perlu mengkritisi sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Ada puluhan pasal dalam RKUHP yang dianggap bermasalah karena mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berpendapat. Berikut pasal-pasal yang dimaksud bisa mengancam kebebasan berpendapat, berekspresi dan berpotensi dipidana: (1) Pasal 188 dan Pasal 190 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara. (2) Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Beleid ini perlu dihapus karena jelmaan dari ketentuan tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. (3) Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah dan lembaga negara, serta Pasal 246 dan 246 soal penghasutan untuk melawan penguasa umum. Pada pasal-pasal tersebut harus dihapus karena bersifat karet, Dewan Pers merujuk pada kata “penghinaan” dan “hasutan”. (4) Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong. (5) Pasal 280 dan 281 Tindak Pidana Mengganggu dan Merintangi Proses Peradilan. (6) Pasal 300-302 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan. (7) Pasal 347 dan 348 Tindak Pidana Pemaksaan terhadap Pejabat. (8) Pasal 443 Tindak Pidana Penghinaan khususnya tentang pencemaran nama baik. Masih banyaknya deretan pasal-pasal tersebut, kita berharap agar DPR RI dapat memenuhi asas keterbukaan sebagaimana diatur pada Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Supaya proses penyusunan RKUHP ini memberikan kesempatan luas bagi seluruh masyarakat untuk memberi beragam saran dan kritik sehingga tidak buru-buru mengesahkan RUU KUHP. Pasal-pasal tersebut menjadi contoh konkret ancaman yang dapat digunakan untuk menghantam suara-suara kritis rakyat terhadap penyelenggaraan negara yang ditujukan kepada penguasa. RKUHP memuat pasal-pasal yang bermasalah, multitafsir dan karet karena membuka ruang kriminalisasi. Terkait dengan: “Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara” khususnya tentang Penyebaran atau Pengembangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, RKUHP mengaturnya pada Pasal 188. Pasal 188 berbunyi: (1) Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/ marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana  dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) mengakibatkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian Harta Kekayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan orang menderita Luka Berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. (5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Kendati begitu hukuman pidana penjara hanya dapat dikenakan untuk pelaku penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme secara sembarang. Sedangkan mereka yang melakukan kajian terhadap ajaran yang sama namun untuk kepentingan ilmu pengetahuan tidak dapat dikenakan pidana sebagaimana bunyi Pasal 188 ayat 6. “Tindak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/ marxisme-leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan,” bunyi Pasal 188 ayat 6. Sebenarnya substansi bukan hal yang baru. Pasal 188 RUU KUHP tentang ideologi negara (penyebaran/pengembangan komunisme/marxisme-leninisme) bersumber pada Pasal 107 huruf (a), huruf (b), huruf (c) dan huruf (d) dalam UU 27/1999 yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Informasi terakhir, Draf akhir RKUHP versi 24 November 2022 yang mengatur soal tindak pidana terhadap ideologi negara direformulasi. Jika pada mulanya bagian ini mengatur ihwal penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, maka draf akhir RKUHP versi 24 November menambahkan frasa “atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila”. Saya perlu mengkritisi rencana penambahan Frase “Atau Paham Lain Yang Bertentangan Dengan Pancasila” pada ayat (1) Pasal 188 ini. Hal ini sangat berbahaya. Mengapa bahaya? Kita flashback pada beberapa peristiwa penting masa lalu. Terkait ideologi dan Radikalisme kita masih ingat Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwahid, menyebut ada lima ciri penceramah radikal. Salah satunya, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kriteria pertama ini tendensius dan rawan dijadikan alat gebuk pada ajaran Islam Khilafah. Apakah khilafah itu sebuah ideologi? Ataukah hanya sistem pemerintahan sebagaimana monarki, demokrasi, teokrasi? Untuk menjawab hal ini, kita pun perlu flashback ke belakang. Tahun 2020 pernah santer isu penyusunan HIP –yang sekarang sudah dihapus RUU-nya. Untuk apa sebenarnya RUU HIP ini dibuat? Kecurigaan saya ternyata terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya sengaja menolak dimasukkannya Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme dan marxisme-leninisme. Protes umat Islam menggema menolak RUU HIP karena penolakan Tap MPRS tersebut sebagai politik hukumnya. Perkembangan terakhir inisiator RUU HIP setuju memasukan Tap MPRS tersebut dengan syarat agar paham lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila dicantumkan juga sebagai ideologi terlarang. Seperti saya sebutkan di muka, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut ada dua ideologi yang dimaksud, yaitu Khilafahisme dan Radikalisme. Khilafahisme hendak disejajarkan dengan ideologi terlarang komunisme. Hal ini dapat dipandang pelecehan dan penistaan ajaran Islam. Khilafah bukan isme tapi sistem pemerintahan yang berbasis pada ideologi Islam. Mengkriminalkan ajaran Islam adalah tindakan gegabah dan menistakan agama. Jika Indonesia menyatakan belum menerima sistem kekhalifahan sebagai sistem untuk mengatur penyelenggaraan negara, tentu tidak serta merta menempatkan ajaran Islam ini sebagai isme yang dilarang dan bertentangan dengan Pancasila. Ini bukan apple to apple. Khilafah adalah bagian dari ajaran agama Islam di bidang politik (siyasah). Dalam hal ini ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Oleh karena itu ajaran agama maka Ia tak layak disejajarkan dengan paham lain buatan manusia yang bukan ajaran agama. Maka khilafah tak pantas ditambahi isme sebagaimana paham buatan manusia seperti Kapitalisme, Komunisme, Radikalisme, dll. Jika kesesatan berpikir tentang khilafah dibiarkan, maka bisa saja nanti ajaran Islam yang lain akan juga disejajarkan dengan ajaran atau isme buatan mausia. Bisa saja mereka akan melecehkan kesucian ajaran haji dengan haji-isme, jihad-isme, zakat-isme, jilbab-isme, dll. Padahal itu jaran Islam yang pasti baik buat manusia karena datang dari Allah SWT, sang Pencipta alam semesta. Narasi khilafahisme disejajarkan dengan komunisme jelas sangat menodai ajaran agama Islam. Dampak buruknya penyamaan ini adalah menyamakan pendakwah khilafah Disamakan Dengan pengusung komunisme (PKI). Jika sengaja menyejajarkan ajaran agama dengan paham lain buatan manusia, maka itu merendahkan bahkan melecehkan ajaran agama. Menyamakan Khilafah dengan paham komunisme, radikalisme dan paham lain yang negatif adalah termasuk merendahkan ajaran agama Islam. Bahkan dapat dikategorikan menodai ajaran agama islam. Jadi dapat dinilai sebagai penistaan agama. Pembacaan terhadap frase “dan paham lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila” hanyalah sepenggal dari puluhan penggalan substansi RUU KUHP yang dapat ditafsirkan secara SSK (Suka-Suka Kami) oleh pejabat atau penguasa. Pasal-pasal kontroversial, ngaret serta represif dalam RKUHP itu hanyalah sekelumit beberapa fakta betapa hipokritnya demokrasi tentang kebebasan berpendapat, berekspresi dan bermedia. Realisasinya, rakyat berpotensi menjadi korban kedaulatan kekuasaan. Jika tanpa revisi atau pun pencabutan pasal-pasal kontroverisal, maka negeri ini tidak akan menjadi negara demokrasi melainkan hanya pseudo-demokrasi bahkan berpotensi menjadi negara komunis diktatur otoriter. Apakah memang model negara itu yang hendak kita wujudkan? Prediksi saya, rezim legislator saat ini akan tetap mengesahkan RUU KUHP ini sembari menyungging senyuman berkata: “Jika rakyat tidak terima, Silakan Ajukan Judicial Review ke MK..!” Padahal kita pun sudah mafhum bahwa MK pun mungkin tidak akan berani menganulir materi UU KUHP lantaran takut “di-recall” oleh DPR atau Presiden. Paling banter nanti, MK akan menyatakan bahwa UU KUHP inkonstitusional bersyarat seperti nasib UU Omnibuslaw Cipta Kerja 2020. Ambyar bukan? Tabik! Semarang, Selasa: 6 Desember 2022. (*)

Jum’ah Mubarak: Mengenal Madinah

Singkatnya bangsa/negara yang bernama Madinah itu adalah aktualisasi dari cita-cita Qur’ani untuk membentuk “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Gafhuur”. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation ADA dua kubu ekstrim dalam tubuh Umat Islam dalam memandang negara kebangsaan (nation state). Kubu pertama melihatnya bahwa Rasulullah diutus sebagai Rasul dalam arti yang terbatas. Rasulullah tidak mengurus kehidupan dunia secara umum, apalagi negara kebangsaan secara khusus. Kubu kedua kemudian hadir dengan konsep kenegaraan yang spesifik. Dan, bahkan lebih jauh mengaitkan segala hal dalam agama dengan bentuk negara spesifik tersebut. Penganut paham kedua ini terjatuh ke dalam paham, salah satunya paham “khilafah” dalam arti sempit. Kedua golongan itu memiliki argumentasi referensi keagamaan (ayat atau hadits) yang seringkali memiliki penafsiran yang dipaksakan. Sehingga pada akhirnya penafsiran itu cenderung menyalahkan, bahkan mengkafirkan dan “menerakakan”pendapat yang tidak sejalan. Jika kita ikuti secara dekat perjalanan hidup (sirah) Rasul akan didapati bahwa perjalanan hidup beliau memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan publik (jama’ah). Dalam artian bahwa beliau adalah seorang nabi dan rasul yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan agar kehidupan manusia sesuai dengan ajaran Ilahi (Al-Qur’an dan Sunnah). Kehidupan di sini tentunya dimaknai secara utuh (kaffah) atau menyeluruh (syamil). Baik secara pribadi-pribadi (individual) dan jamaah (kolektif). Juga pada aspek fisikal (material duniawi) dan aspek ruhiyah (spiritual ukhrawi). Sebuah pemahaman kehidupan yang tidak parsial. Rasulullah memulai hidup dan perjuangannya di Mekah. Sekitar 13 tahun beliau berjuang untuk menata kehidupan manusia pada tataran pribadi (individual) tadi. Hal yang paling menonjol pada fase ini adalah pembentukan “hati” manusia dengan konsep Tauhid: “Laa ilaaha illallah”. Fase selanjutnya dimulai dengan perpindahan Rasulullah dari Mekah ke kota Yatsrib. Perpindahan ini dikenal dalam sejarah dengan hijrah (migration). Pada umumnya Ulama menyebut penyebab Hijrah ini karena kesulitan dakwah di Mekah. Alasan yang menurut saya kurang relevan. Karena Dakwah memang tidak pernah disikapi dengan hamparan karpet merah. Rasulullah diperintah hijrah bukan karena kesulitan/tantangan dakwah di Mekah karena dakwah pastinya tertantang. Juga seorang Rasul tidak akan menghindar dari tantangan dakwah itu. Beliau diperintah hijrah karena memang fase dakwah selanjutnya, fase dakwah, akan segera dimulai. Fase dakwah selanjutnya yang dimaksud adalah fase penataan kehidupan “jama’i” (kolektif) dengan membangun komunitas (Umat/bangsa). Tempat di mana komunitas ini terbentuk dan berkembang dikenal dengan “daulah” (negara). Karakter bangsa dan negara inilah yang akan  dibahas secara singkat. Berganti dari Yatsrib ke Madinah Hal pertama yang menjadi perhatian kita adalah penggantian nama kota itu dari Yatsrib menjadi “Madinah”. Apa Urgensi perubahan nama ini? Apa arti Madinah dan relevansinya dalam membangun komunitas (ummah/bangsa dan negara? Kata Madinah ternyata memiliki makna dan konotasi yang dahsyat. Pada umumnya Umat menterjemahkan kata ini secara sederhana dengan “kota” (city). Kota yang dipahami sebagai sebuah tempat dengan karamaian, gedung-gedung pencakar langit, bahkan dengan kehebatan sains dan teknologinya. Ternyata kata Madinah tidak sekedar berarti kota. Tapi memiliki makna yang lebih luas dan mulia, lebih dari sekedar sebuah kota. Apalagi jika kota itu sekedar terimajinasikan dengan kota-kota besar dunia, seperti New York, London, Paris, dan Tokyo misalnya. Kata Madinah merupakan derivasi dari kata “daana-yadiinu-diinun”. Dari kata ini terlahir ragam konotasi dengan makna-makna yang saling terkait. Saya ambil beberapa makna penting saja dari kata “diin” ini. Pertama, kata diin mengandung makna “agama dan ketaatan”. Lihat misalnya firman Allah di Surah An-Nisa ayat 125: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-(Nya)”. Pada makna ini tegas bahwa negara yang dicita-citakan oleh Islam itu adalah negara yang terbangun di atas agama dan ketaatan. Satu hal yang memaknai itu pada realita bahwa hal pertama yang dilakukan Rasulullah di Madinah adalah membangun masjid. Tentu masjid di sini dipahami tidak sekedar pada pemaknaan ritual. Tapi lebih kepada simbolisasi bahwa negara/bangsa itu adalah “masjid” yang secara literal diartikan “tempat sujud”. Dan sujud itu diartikan sebagai “ketaatan”. Maka negara adalah tempat untuk taat kepada Pencipta. Kedua, kata diin juga mengandung makna keteraturan dan tanggung jawab. Diin itu bermakna aturan yang mengatur tentang kehidupan manusia dan konsekuensinya dipertanggung jawabkan. Diin dihadirkan untuk memberikan pengaturan kepada kehidupan manusia yang cenderung “chaotic” (kacau balau) akibat dorongan hawa nafsu yang pada ghalibnya tak terkendali. Pada makna ini jelas bahwa ummah (bangsa/negara) yang dibangun oleh Rasulullah itu adalah bangsa dan negara dengan aturan (Konstitusi) yang solid, serta memiliki pertanggung jawaban yang jelas. Itulah yang kemudian teraplikasikan dalam bentuk Konstitusi Madinah yang dikenal dengan “Piagam Madinah” (the Charter of Madinah). Piagam Madinah ini diakui oleh banyak ahli sebagai Konstitusi Sipil (civic constitution) yang pertama dalam sejarah manusia. Ketiga, kata diin juga bermakna “tamaddun” atau peradaban (civilization). Dengan demikian Madinah dimaknai sebagai tempat di mana peradaban itu terbentuk dan berkembang. Sehingga kota yang bernama Madinah itu sejak awalnya dimaksudkan untuk menjadi tempat di mana Umat/bangsa menjalani hidup kolektifnya dengan peradaban. Umat (bangsa/komunitas) yang civilized (berperadaban) itu tentunya ditandai (characterized) oleh banyak hal. Tapi semua itu tersimpulkan dalam dua kata; social justice. Di sebuah negara yang berperadaban itu nilai-nilai keadilan sosial ditegakkan secara jujur dan konsisten. Pada kehidupan yang berperadaban  itu terjadi kesetaraan dalam segala hal; ras, gender, kesetaraan peluang (equal opportunities) di segala lini kehidupan; ekonomi, politik, dll. Dan pastinya bangsa yang berperadaban (civilized nation) itu adalah bangsa yang secara terus menerus mengupayakan kemakmuran yang berkeadilan. Singkatnya bangsa/negara yang bernama Madinah itu adalah aktualisasi dari cita-cita Qur’ani untuk membentuk “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Gafhuur”. Tapi pastinya, hal itu hanya akan terwujud jika dibangun dengan nilai-nilai “diin” (ketaatan, keteraturan, dan berperadaban). Kemajuan pembangunan sebuah bangsa/negara secara fisikal tanpa “diin” justeru boleh jadi diakui sebagai bangsa/negara perperadaban (civilized) tapi tidak beradab (uncivilized). (*)

Negara Butuh Dwi Tunggal Latar Belakang Intelijen (Bag-3)

Oleh Kisman Latumakulita – Wartawan Senior FNN BERLANJUTNYA trah Soekarno sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sudah menjadi kebutuhan nasional. Keluarga Soekarno bukan saja menjadi simbol utama pemersatu di internal PDIP. Namun dalam kenyataan keseharian sosial, trah keluarga Soekarno telah menjadi salah satu unsur penting yang menjadi pemersatu bangsa Indonesia. Terlepas dari suka atau tidak, itu wajar-wajar dan sah-sah saja. Faktanya seperti itu. Selain keluarga mantan Presiden Soekarno, masih banyak keluarga pendiri bangsa lain, yang juga menjadi pemersatu bangsa. Misalnya, keluarga mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta, keluarga pendiri Nahdatul Ulama Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, keluarga pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan, keluarga Bung Tomo dan para pendiri bangsa lainnya. Sayangnya, hari ini yang memimpin partai politik hanya ada pada trah Soekarno di PDIP. Walaupun ada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), namun tidak dipimpin oleh dzurriyah langsung dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Setelah Gus Dur Ketua Umum, PKB dipimpin oleh Muhaimin Iskandar, yang menjadi keponakan Gus Dur. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau PKB akan diserahkan Muhaimin kepada putri Gus Dur Yenny Wahid. Negara lain yang keluarganya jadi pemersatu bangsa adalah India. Keluarga Mahatma Gandhi selalu menjadi unsur pemersatu bangsa India. Partai politik yang dipimpin oleh keluarga Gandi adalah Partai Kongres (Indian National Congress). Keluarga Gandhi selalu jadi pucuk pimpinan Partai Kongres. Mahatma Gandhi pimpin Partai Kongres dari tahun 1940-1946. Kemudian Indira Gandhi dari tahun 1966-1984. Setelah itu Rajiv Gandhi dari 1984-1991. Lalu Sonia Gandhi dari tahun 1998-2006. Berlanjutnya keluarga tokoh nasional memimpin partai politik seperti di Indonesia dan India menjadi penting. Misalnya, Partai Kongres India atau PDIP di Indonesia. Tujuannya, untuk menjadi pemersatu atas setiap perbedaan yang mungkin timbul. Apalagi PDIP adalah fusi (penggabungan) dari beberapa partai, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). PDIP ke depan sebaiknya tetap dipimpin trah Soekarno sebagai Ketua Umum. Bisa Ketua DPR sekarang Puan Maharani atau Muhammad Prananda Prabowo, dua putra-putri Megawati Soekarnoputri. Untuk mewujudkan maksud itu, maka satu di antara Dwi Tunggal Nasional (Presiden-Wakil Presiden) harus dijabat oleh orang yang loyal seribu persen kepada Megawati Soekarnoputri. Lalu siapa orangnya? Hanya Kepala Badan Intelijen Negara (KABIN) Jendral Polisi (Purn.) Prof. Dr. Budi Gumanan, biasa disapa “Bang BG atau Mas BG” yang memenuhi syarat. Kalau Puan Maharani yang menjadi Presiden atau Wakil Presiden, kaka Ketua Umum PDIP tetap di tangan trah Soekarno. Kader PDIP yang bukan Bang BG atau Puan Maharani, maka kecil kemungkinan untuk bisa pertahankan trah Soekarno di PDIP. Mungkin susah untuk berharap banyak dari Ganjar Pranowo. Bukan menjadi rahasia umum kalau Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo lagi menyiapkan diri menjadi calon presiden di 2024 nanti. Padahal hingga kini Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri belum membuat keputusan apapun. Malah Megawati memerintahkan seluruh kader untuk tidak melakukan manuver politik terkait pencapresan 2024. Megawati adalah pemegang hak prerogatif tertinggi untuk menetapkan siapa calon presiden dari PDIP 2024. Ganjar yang dibesarkan dari nol oleh Megawati Soekarnoputri terkesan seperti tidak mau patuh sama Ketua Umum PDIP. Apalagi kelau sampai menjadi presiden lagi. Kemungkinan arahan dari Megawati hanya dianggap angin lalu saja. Hanya berselang beberapa hari setelah perintah Megawati keluar, Ganjar Pranowo malah bermanuver dengan berjingkrak-jingkrak bertemu relawan. Publik menduga Ganjar bakal tetap maju sebagai calon presiden, meskipun tanpa mendapat restu dari Ketua Umum PDIP Megawati. Pertai disiapkan untuk menjadi pendukung Ganjar kemungkinan adalah Partai Golkar, PAN dan PPP yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Meskipun demikian, Ganjar masih berharap mendapat restu dari Ketua Umum PDIP Megawati. Publik sudah mengetahui dan paham kalau Bang BG adalah orang kepercayaan Ketua Umum PDIP Megawati. Misalnya Pak BG diusulkan Megawati menjadi Kepala BIN sejak enam tahun lalu. Bang BG bisa saja didorong Megawati sebagai calon presiden atau calon wakil presiden yang berpasangan Anies Baswedan. Jika berpasangan Anies, maka menjadi terobosan strategis mengakhiri keterbelahan sosial yang terjadi sejak Pilkada DKI 2017 lalu. Sejak reformasi 1998, pasangan Dwi Tunggal nasional adalah gambaran dari penggabungan dari kelompok Islam nasionalis dengan nasionalis abangan. Misalnya pasangan Gus Dur-Megawati. Setelah itu, Megawati-Hamzah Haz, Soesilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan terakhir Joko Widodo Ma’ruf Amin. Konsep ini pernah digagas dan diperjuangkan oleh Mahatma Gandhi untuk menyatukan kelompok Islam dengan Hindu di India. Tujuannya, menjadi sumber kekuatan nasional utama di India. Keterbelahan sosial di masyarakat itu masih terasa sampai sekarang. Harus ada terobosan di luar kebiasaan untuk mengakhiri keterbelahan sosial ini. Menghadapi krisis ekonomi dunia yang sudah berada di ruang tengah rumah Indonesia, lebih mudah bila keterbelahan komponen bangsa disatukan Dwi Tunggal nasional. Ditumakan yang belajar belakang intelijen, karena tidak perlu belajar dari awal lagi. Berbagai masalah dan problem bangsa sudah dipahami, bahkan dikusai oleh yang berlatar belakang intelijen. Dwi Tunggal Anies Baswedan-BG adalah koalisi yang dibangun di atas realitas politik. Bukan koalisi angan-angan dan omong kosong. Publik sudah sangat paham kalau di belakang Anies Baswedan ada sosok Yusuf Kalla dan mantan Wakapolri Komjen Polisi (Purn.) Dr. Syafruddin. Hubungan yang terjalin selama ini antara Bang BG dengan Syafrudin, sudah seperti kakak-beradik. Kalangan internal polisi mengenal hubungan antara Bang BG dengan Syafrudin sebagai kakak asuh dengan adik asuh. Kedekatan itu juga terlihat dalam kepengurusan Dewan Mesjid Indonesia (DMI). Pak Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum DMI, Syafrudin sebagai Wakil Ketua Umum dan Bang BG Wakil Ketua Dewan Pakar DMI. Ada juga Anies Baswedan yang tercatat sebagai anggota Dewan Pakar DMI. Hubungan baik yang terbangun antara Jusuf Kalla, Syafrudin dengan Megawati dan Puan Maharani sangat dekat dan punya nilai khusus. Kedekatan yang tidak dapat diragukan lagi. Bisa dibuktikan dengan Syafrudin mengantarkan Puan Maharani pergi umroh sebelum ajang balap formula E dilaksanakan di Ancol belum lama ini. (selesai). 

Kelemahan (Keburukan) Sistem Pilpres Langsung dan Saran-Saran Perbaikan (2)

Kalau soal penanganan money politics, serangan fajar dll tak perlu lagi dibahas di sini, karena sudah menjadi pengetahuan umum, dan solusinya mestinya juga sudah hafal caranya. Oleh: M. Hatta Taliwang, Anggota DPR RI/MPR RI 1999-2004, Mahasiswa S3 UNAS Jakarta DENGAN kata lain, sistem pilpres langsung ini menghasilkan Presiden yang praktis hanya bekerja untuk bisa dipilih kembali pada periode berikutnya, tak mampu bekerja untuk program jangka jauh yang sifatnya membangun fondasi kuat, agar negara bisa kokoh. Membangun dengan gali lobang tutup lobang menjadikan banyak negara baru merdeka saja mampu melewati Indonesia yang terseok-seok oleh tumpukan utang. Membangun yang mudah dan tampak oleh rakyat, seperti infrastruktur, misalnya, dengan utang besar, hanya mewariskan beban yang berat untuk pemerintah berikutnya. Inilah proses menuju kebangkrutan kalau sistem ini dilanjutkan. Penilaian atas prestasi Presiden lima tahun pertama, tadak lagi di depan MPR RI, artinya diserahkan langsung ke rakyat pemilih. Sementara rakyat pemilih banyak yang awam, dan seringkali terbawa arus tipuan timses dan lembaga survei dll, sehingga intinya evaluasi itu tak ada. Rakyat tak merasa menilai prestasi Presiden 5 tahun lalu. Tiba tiba yang bersangkutan bisa jadi Capres lagi tanpa evaluasi kritis rakyat. Sistem begini tidak atau kurang bertanggung jawab. Sengketa pilpres dengan membawa bertruk-truk bukti penyimpangan, belum tentu diperiksa cermat oleh hakim MK, apalagi kalau hakimnya diketahui aparat hukum lainnya punya “catatan gelap” dalam karirnya, dan dijanjikan jabatan tinggi atau setara setelah pensiun oleh salah satu capres yang menang atau dimenangkan. Apalagi kalau ada hubungan kekerabatan dengan pejabat tinggi lain. Negara sebesar ini yang penduduknya, dan seluas ini, dengan berbagai latar belakang suku, agama, dan lain-lain melakukan pilpres langsung merupakan eksperimen demokrasi luar biasa. Dalam sistem ini mudah terjadi kecurangan, dan hampir pasti hanya suku yang besar jumlahnya yang bisa jadi Presiden. Betapapun tuduhan terhadap demokrasi ala UUD 1945 Asli dianggap tidak demokratis, namun faktanya hampir semua parpol, semua ormas dan lain-lain, melakukan pemilihan dengan demokrasi perwakilan, musyawarah dan mufakat (voting hanya untuk keperluan teknis setelah calon hasil musyawarah disepakati), dengan dijiwai hikmah kebijaksanaan. Tak ada parpol atau ormas yang mengundang semua pemegang kartu anggota parpol/ormasnya datang ke bilik suara untuk memilih Ketua Umumnya. Lho, kultur yang hidup dalam masyarakat kita perwakilan, musyawarah mufakat, dalam hikmah kebijaksanaan kok ujug-ujug pilpresnya sistem one man one vote, di mana suara 1 orang gila sama dengan suara 1 guru besar. Akal sehat itu di mana? Sistem pilpres langsung ini karena mahal, maka praktis ke depannya hanya akan bisa diikuti oleh orang-orang kaya. Dan, orang orang kaya atau yang di-backing orang kaya ke depan itu siapa? Bukankah hanya kelompok tertentu yang sangat kaya dan itu sering disebut konglomerat atau Taipan? Silakan pikirkan untuk jangka panjang ke depan ini siapa-siapa yang akan bisa jadi capres. Salah seorang yang sudah berani muncul adalah konglomerat Hary Tanoesoedibjo, dan menyusul Erick Thohir yang peluangnya sangat besar akan didukung oligarki kapital. Dan, saya kira akan segera bermunculan yang lain. Lalu orang-orang hebat dari parpol lain, kecuali keluarga SBY yang kabarnya masih kaya, selebihnya mungkin akan lapuk pada saatnya. Kalau mau jujur, sistem pilpres langsung yang diduga masuk intervensi pemodal alias oligarki kapital atau bandar, hanya dinikmati hasilnya oleh segelintir aktor yang terlibat dalam skenario. Para bandar sendiri mungkin merasa belum kembali modal hanya dengan 5 tahun. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa petahana sering terpaksa ngotot ingin jabatan kedua kali, bahkan sekarang belum apa-apa sudah pengin ketiga kali. Dan ini sangat mempengaruhi tensi pilpres. Suhu tinggi dan rawan keributan. Saran: Kalau memang masih mau dipilih langsung oleh rakyat, seperti yang berlangsung sekarang sejak awal era SBY 2004 sesuai UUD 2002, dan tidak mau menggunakan Pilpres Sistem UUD 1945 Asli (Sila ke-4 Pancasila, Perwakilan Musyawarah), maka sebaiknya: KPU-nya harus ditambah dengan unsur Parpol yang ikut Pemilu. KPU yang ada sekarang digaji negara. Anggota KPU dari Parpol diberi honor oleh Partainya. Susunan keanggotaannya seperti usulan Sdr Chris Komari. Baca lampiran. Intelijen Negara tidak boleh beroperasi untuk memenangkan calon tertentu. Lembaga Survei harus netral dan ada Lembaga Lain dibentuk untuk menilai objektivitas Lembaga Survei. Semacam Lembaga Pengawas Survei Politik. Media massa khususnya Televisi yang dimiliki atau pro kepada salah satu Capres tidak boleh menggunakan ruang udara publik demi partainya/ capresnya secara berlebihan. Opini intelektual/akademisi harus objektif, kecuali intelektual/akademisi yang  secara formal tercatat sebagai Tim Sukses/Tim Kampanye. Diharamkan menggunakan jasa buzzer dan mesin-mesin/robot yang merusak kejernihan suara rakyat. Mesti ada tim pengawas khusus dari KPU atau aparat hukum terhadap perilaku buzzer atau penggunaan mesin robot. Tidak diperbolehkan ada Gabungan Partai Pendukung. Capres cukup diusung satu Partai. Presidential Threshold 0 persen. KPU haris benar-benar netral, tidak boleh ada tangan-tangan gelap ikut mengarahkan. Soal DPT jangan ngarang-ngarang dengan menghitung orang gila, KTP haram dari pendatang luar negeri atau KTP Fiktif, Desa Fiktif, TPS Fiktif, laporan fiktif dll. Ini juga aparat hukum dan keamanan harus serius mengontrol. Menurut sebuah sumber ada 17,5 juta KTP aspal pada gelaran Pemilu/Pilpres yang lalu. Bawaslu dan DKPP bekerjalah serius, jangan mau ditekan oleh institusi lain yang punya kepentingan memenangkan calon tertentu. Bawaslu harus diperkuat. Semoga KPK jangan seperti Lembaga Politik. Pilih-pilih tersangka jelang Pilpres/Pemilu. Kita mengenal frasa Kepolisian Negara, bukan Kepolisian Pemerintah/Rezim. Jadi, tentu juga kita berharap Kepolisian netral dalam Pilpres/ Pemilu. Demi kebaikan bersama, konsentrasi pada keamanan Pilpres/Pemilu. TNI terkenal dengan kemanunggalannya dengan rakyat. Maka, dalam Pilpres/ Pemilu sungguh-sungguh bersama rakyat. Bukan kemanunggalan dengan Pemerintah/Rezim dan rakyat dikorbankan. Kejaksaan dan ASN sebagai bagian dari Pemerintah hendaknya jangan jadi alat ikut memenangkan partai atau capres tertentu. Kalau memang menjadi aparat yang baik, rezim apa pun yang berkuasa tuan tetap bisa mendapat jabatan dan peran. Mahkamah Konstitusi Katanya mereka Negarawan. Negarawan itu berpikir jauh ke depan. Berpikir ke depan untuk kemajuan dan kebaikan rakyat, bangsa, dan negara. Bukan semata untuk kemajuan Keluarga. Jadi, dalam mengambil keputusan dan proses pengadilan, sungguh-sungguhlah jujur dan adil, demi hari depan bangsa dan negara. Hasil penghitungan suara di TPS yang ditandatangani anggota KPPS, yang juga ada anggota partai Peserta Pemilu yang duduk sebagai anggota KPPS, juga harus dianggap final di TPS, maksimal diselesaikan di tingkat kecamatan. Dari Kecamatan Langsung Dikirim ke KPU Pusat. Tembusan dikirim ke DPP Partai masing masing, juga ke KPUD Kabupaten/Propinsi. Dengan teknologi sekarang semua bisa dibuat cepat dan transpsran. Kalau soal penanganan money politics, serangan fajar dll tak perlu lagi dibahas di sini, karena sudah menjadi pengetahuan umum, dan solusinya mestinya juga sudah hafal caranya. Demikian, sebagai harapan kami, untuk keselamatan rakyat, bangsa, dan negara. Demi kebaikan dan kemajuan Indonesia. (*)