OPINI
Sebaiknya Jokowi Lakukan Tes Opini Publik Langsung di Lapangan
Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN BIKIN acara di stadion Gelora Bung Karno (GBK) memang tampak keren. Seolah rakyat berbondong-bondong datang untuk mendengarkan paparan Presiden Jokowi. Jumlahnya bisa diklaim 150,000 orang. Terlihat fantastis. Acara di GBK itu tentunya bisa digunakan untuk menguji opini publik. Ternyata dukungan masih kuat dan solid. Boleh-boleh saja. Tetapi, ada cara yang paling murni tampilan opini publiknya. Bukan rekayasa. Mudah dan murah pula. Tak banyak pengeluaran. Dan paling murni opini publik yang dihasilkannya. Yaitu, Pak Jokowi minta relawan di daerah-daerah untuk membuat acara jumpa rakyat. Syaratnya dua saja. Pertama, jangan sediakan biaya dan fasilitas apa pun kecuali pengadaan teknis seperti pentas dan sound system. Kedua, jangan ada bagi-bagi apa pun juga, termasuk sembako, kaus oblong, atau hadiah-hadiah lainnya. Juga jangan ada bagi-bagi sertifikat tanah dan lain sebagainya. Biarkan acara jumpa rakyat, silaturhami, atau apa pun namanya, berlangsung secara alami. Tidak boleh ada pengerahan lewat kepala desa, lurah maupun aparat lainnya. Jangan pula ada pengerahan oleh tim relawan dengan berbagai iming-iming. Biarkan massa datang dengan kemauan sendiri. Biarkan mereka datang dengan angkutan sendiri, konsumsi sendiri. Semuanya serba sendiri. Yang perlu dilakukan tim Jokowi hanya pemberitahuan ke publik saja; bahwa Jokowi akan datang ke kota ini atau kota itu pada tanggal yang ditentukan. Buatkan jadwal kunjungan; kalau perlu ke semua daerah. Siarkan seluas mungkin. Nanti kita lihat hasilnya. Kalau massa rakyat berbondong-bondong datang dengan kemauan sendiri dan biaya sendiri, itu artinya publik sangat senang pada Jokowi. Bisa pula ditafsirkan bahwa publik masih ingin Jokowi menjadi presiden. Kalau sambutan massa di mana-mana membludak, bandara penuh-sesak, lapangan tempat acara berdesak-desak, barulah enak mengklaim Jokowi tiga periode atau tambah 2-3 tahun. Cukup katakan bahwa sukses besar acara Jokowi adalah pertanda rakyat berkehendak. Silakan atur jadwal Jokowi jumpa rakyat. Mulai dari Aceh sampai Papua. Tidak apa-apa kalau harus menggunakan pesawat kepresidenan. Tidak masalah kalau jumpa rakyat itu dilakukan pada hari-hari kerja. Jika ternyata kunjungan Jokowi tak mendapat sambutan, sebagaimana rakyat menyambut kedatangan Anies Baswedan di mana-mana dengan gegap gempita, maka Jokowi harus menerima itu sebagai opini publik tentang dirinyan, dan tentang kepemimpinannya. Opini penolakan itu harus diterima dengan lapang dada. Jokowi haruslah ikhlas menerima realitas bahwa publik tidak mendukung dia lagi. Artinya, bersiap-siaplah dengan ikhlas pula untuk mengikuti keinginan rakyat akan perubahan. Inilah cara menguji pendapat umum (public opinion) tentang Jokowi. Hasilnya langsung terlihat seketika. Tidak ada rekayasa. Semua dibiarkan berlangsung secara natural. Tidak perlu keluar biaya untuk pengerahan massa. Persoalannya, siap dan beranikah Jokowi mengetes dukungan publik melalui jumpa rakyat di seluruh daerah? Ini yang menjadi masalah. Hampir pasti Jokowi akan merasa gamang. Tapi, Presiden harus berani. Inilah kesempatan baik untuk membungkam orang-orang yang mengatakan Jokowi tidak lagi disukai. Bisa jadi masyarakat mau berkumpul dengan keinginan sendiri, biaya sendiri, tanpa imbalan apa pun. Sangat perlu dites. Jokowi harus yakin. Anies dalam posisi mantan gubernur saja bisa menjadi magnet massa. Apatah lagi Jokowi yang masih menjabat sebagai presiden. Tambahan lagi survei oleh Poltracking yang diterbitkan hari ini (8/12/2022) menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi naik dari 66.2% menjadi 73.2%. Ini modal besar untuk menguji opini publik. Ayo, Pak Jokowi, bikin safari jumpa rakyat. Masa kalah sama Anies?[]
Qatar Bukan Hanya Menunjukkan Kemeriahan Sepak Bola, Tapi Menunjukkan Ajaran Islam yang Sebenarnya
Orang-orang Barat telah menyaksikan langsung kehebatan ajaran Islam yang diperlihatkan Qatar selama melaksanakan piala dunia sepak bola. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung DI kala di dalam negeri Indonesia masih seksi juga menampilkan Islamophobia dengan teror kepada sesama manusia dengan Bom \'Jihad\'nya tapi di luar sana mereka mendakwakan Islam benar-benar menjadi rahmatal lil\'alamin. Belum pernah terjadi di dunia ini, setelah menonton sepak bola piala dunia kemudian para penontonnya disuguhkan dengan gahwah asli Qatar dan sejumlah makanan lainnya. Orang-orang Barat benar-benar enjoy habis menyaksikan bola kaki lantas mereka disuguhin hidangan yang lezat ala Qatar. Wah, bagaimana kalau Maroko sampai ke Final? Apalagi bisa menjuarai sepak bola ini? Itu hadiah Umat Islam yang terbesar buat Palestina. Silakan kalau Kalian Mau Iri. Bagaimana dengan Indonesia dalam piala dunia sepak bola U20? Semoga Indonesia seperti Qatar dalam menjamu tamu. Itulah wajah Islam yang hakiki yang ditampilkan Qatar. Tidak ada itu setingan dengan Kamera Action. Itu bukan pencitraan tapi itulah ajaran Islam yang sebenarnya. Kita di dalam negeri masih sibuk mau menjelekkan Islam tapi di dunia lain lagi mempertontonkan realita Islam yang sebenarnya. Silakan kalian para Islamophobia mencari-cari kejelekan Islam apa saja. Umat Islam tetap akan menunjukkan kemurnian ajaran ini kepada mereka yangg mau selamat di dunia dan akhirat. Orang-orang Barat telah menyaksikan langsung kehebatan ajaran Islam yang diperlihatkan Qatar selama melaksanakan piala dunia sepak bola. Dan, ini akan dikenang seumur hidup oleh warga dunia bahwa apa yang telah mereka jelekkan tentang Islam Ternyata Tidak Terbukti semuanya. Qatar benar tidak lolos ke babak berikut tapi nilai dakwahnya sudah melebihi kelolosannya ke babak berikut. Namun, Alhamdulillah Umat Islam diwakili oleh Maroko. Tim underdog tapi bisa mengalahkan tim raksasa sepak bola. Bola bundar dan tidak mustahil Maroko sampai ke Final. Para Islamophopobia gak bisa tidur dengan pencapaian Umat Islam di dunia. Matilah kalian karena kebencian kalian. Jika Qatar sukses dan Insya’ Allah di Indonesia, Anies Rasyid Baswedan akan Sukses juga jadi Presiden. Aaaaamiiiiinnn. Wallahu A\'lam ... (*)
Pangeran Kaesang
Oleh Ady Amar - Kolumnis Pangeran Cendana masanya sudah lewat. Lewat dilumat sejarah. Tapi kenangan akan Pangeran Cendana tak pupus dimakan masa. Tanpa namanya perlu disebut, cukup dengan menyebut Pangeran Cendana, orang sudah bisa menunjuk pada putra bungsu Presiden RI ke-2, Soeharto, Hutomo Mandala Putra. Akrab dipanggil Tommy Soeharto. Pangeran Cendana tetap jadi label Tommy Soeharto, sepertinya tidak akan berubah sampai kapan pun. Tentu makna \"pangeran\" yang disebut itu tidak mengacu sistem monarki. Hanya sekadar julukan pada lelaki istimewa, yang punya privilage di zamannya dengan serba tak terbatas. Disebut Pangeran Cendana, itu bisa jadi karena wajahnya yang tampan rupawan bak Arjuna dalam kisah pewayangan, dan dengan postur tubuh ideal. Masa keemasan Pangeran Cendana memang sudah lewat, dan yang tinggal hanya kisah kebesarannya di masa lalu. Yang jika diceritakan tak akan habis-habis, meski sudah melewati 1001 malam. Tapi sebutan Pangeran Cendana masih kerap terdengar, meski tidak sekerap dulu lagi. Sulit bisa dihapus untuk tak diucapkan. Masa berganti, dan sejarah mencatat kemunculan pangeran baru, Pangeran Kaesang. Tidak ada embel-embel kediaman sang bapak, seperti Cendana yang menunjuk pada kediaman Soeharto yang ada di Jalan Cendana Jakarta. Juga pada penyebutan Pangeran Kaesang tidak lalu sampai perlu dicarikan tempat tinggal yang pas untuk menjulukinya. Cukup sebut Pangeran Kaesang saja. Memang belum ada yang menyebut Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi-Iriana, ini dengan sebutan pangeran. Tapi tidak apa juga jika dipanggil dengan Pangeran Kaesang, karena memenuhi persyaratan untuk disebut demikian. Itu tampak dari perlakuan istimewa yang didapatnya, itu sudah cukup bisa disebut Pangeran Kaesang. Dengan Pangeran Cendana memang ada kemiripan atau keserupaan, yang bisa dilihat. Sama-sama anak bungsu dari orang nomor satu di negeri ini. Sama-sama punya tabiat, meski tidak sama selera yang dipunya, yaitu sama-sama bisa jika mau dijuluki play boy, karena kerap berganti pasangan. Meski juga hitungannya gak sama. Tidaklah perlu sampai dihitung dan dijumlah segala. Itu tidak penting. Terpenting dari itu semua adalah persamaan yang dipunya, sama-sama bisnisman. Pangeran Cendana dengan holding company Humpuss, siapa yang gak kenal Humpuss kala itu. Bahkan saat ini pun Humpuss masih tetap geliat dengan bisnisnya, meski tak segemerlap masa kejayaannya yang lalu. Sedang bisnis Pangeran Kaesang, ini juga tidak bisa disebut kecil. Bayangkan, ia yang masih begitu muda sudah punya 60 perusahaan--sebagaimana data yang disampaikan pengamat ekonomi Rizal Ramli (RR). Sebut RR, baru 7 tahun bapaknya, maksudnya Joko Widodo (Jokowi), menjabat sebagai presiden, anaknya sudah punya 60 perusahaan. Soal didapatnya perusahaan itu dari sumber nepotisme, atau kreativitas Pangeran Kaesang yang mumpuni dalam berbisnis, itu memang tidak ada yang bisa memastikan. Membicarakan hal yang belum pasti, meski 60 perusahaan yang disampaikan RR itu benar adanya, itu tetap belum bisa disebut pasti didapat dari aji mumpung. Alkisah, Pangeran Cendana sudah tidak terdengar lagi disebut play boy, itu setelah menikah dan memiliki satu anak, meski lalu bercerai. Bahkan tak pernah lagi terendus berdekatan dengan perempuan lain. Hidupnya tampak lebih adem-ayem. Sesekali tampil dengan baju koko putih, dan songkok juga putih, wajahnya makin bling-bling, tampak ganteng sempurna. Sedang Pangeran Kaesang dalam beberapa hari ke depan akan melangsungkan pernikahannya. Mengakhiri masa lajangnya. Meminang gadis asal Yogyakarta. Erina Gudono, namanya. Cantik manis, konon eks finalis Putri Indonesia. Akad nikah dilangsungkan 10 Desember 2022, di Pendopo Ambarukmo, Yogyakarta. Keesokan harinya, 11 Desember 2022, digelar ngunduh mantu, di Pendopo Pura Mangkunegaran, Solo. Terlihat persiapan hajatan itu sungguh aduhai, sampai mesti melibatkan para menteri negara pasang badan jadi panitia dadakan. Erick Thohir, Menteri BUMN, perlu datang ke lokasi yang sedianya akan dipakai acara resepsi ngunduh mantu, apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan--lumayan Pura Mangkunegaran disulap jadi kinclong, yang tadinya suram kurang terurus. Bahkan ET, inisialnya, menyebut Kaesang itu seperti kemenakan sendiri buatnya. Ehem ehem... Tampak pula mendampingi ET, Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi Indonesia, yang dikenal juga punya kekuatan jilat tak kalah dengan api yang menyambar-nyambar. Bahkan Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, yang teramat sibuk itu pun sempat meluangkan waktu dengan mendatangi rumah calon besan Presiden Jokowi, menanyakan kesiapan keluarga itu dalam hajatan pernikahan Pangeran Kaesang. Entah kedatangan para menteri itu sepengetahuan Jokowi, atau inisiatif sendiri. Tidak penting. Dan, makin tidak penting lagi sikap para oposan yang teriak-teriak mempertanyakan urgensi para menteri itu mesti sibuk dengan perkawinan anak Jokowi. Sepertinya para oposan, dan para pengkritik seakan lupa, bahwa para pembantu presiden itu juga perlu melakukan hal-hal bersifat entertain yang bisa menyenangkan Pak Bos. Maka, ketaklaziman pada kondisi tertentu bukan dianggap sebuah pelanggaran. Melihat itu semua, maka makin menjadi pantas sebutan pangeran itu disematkan pada Kaesang, tidak sedikit pun terasa menjadi berlebihan. Setidaknya, ia oleh para pembantu bapaknya di pemerintahan diperlakukan selayaknya pangeran. Maka hajatan kemegahan resepsi unduh mantu dengan menyebar 6.000 undangan, dalam hitungan hari lagi akan kita saksikan bersama, itu sebagai hajatan nasional. Sudah dipastikan, bahwa saya tidak termasuk dari mereka yang diundang. Hehehee... iya lah, memang saya itu siapa... Bahkan RR yang mantan menterinya dulu kala itu, belum tentu juga diundang. Baiklah dicukupkan saja opini ini, supaya tidak ngelantur ke mana-mana. Selamat untuk mempelai berdua, semoga mencapai keluarga sakinah, mawaddah warahmah... Aamiin. (*)
Suara Relawan
Kalau situasinya tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, boleh jadi tahun depan Anies Baswedan akan bersilaturrahim dengan Prabowo untuk memulai penjajakan koalisi. Dalam politik, hal itu mungkin saja terjadi. Oleh: Sulung Nof, Penulis SECARA psikologis, saya lebih dekat dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bersama rekan-rekan, kita turut membangun parpol ini sejak 1998 ketika masih berwujud Partai Keadilan (PK). Ikatannya lebih emosional. Sementara kedekatan saya dengan Partai Demokrat (PD) lebih didasarkan pada hubungan kekeluargaan, karena ada saudara yang aktif juga menjadi kadernya. Selain itu juga respek dengan sosok Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Semalam (6/12) saya menyaksikan Catatan Demokrasi di TVOne bertajuk “Pilpres 2024: Mungkinkah Anies Terganjal?” Adapun bahasan diskusinya terkait pembatalan lokasi acara Anies Baswedan di Aceh dan penolakan di Riau. Jika resistensi itu terus berlangsung, baik berupa pelarangan, spanduk bernuansa provokatif, ataupun pelemparan telur busuk, maka yang lebih \'diuntungkan\' adalah Anies Baswedan dan yang \'dirugikan\' adalah rezim. Namun yang lebih mencemaskan para relawan adalah jika PKS dan/atau PD memilih balik arah. PT 20% adalah mekanisme yang mesti dipenuhi setiap parpol maupun gabungan parpol agar bisa mencalonkan Capres – Cawapres. Komunikasi yang sudah terbangun antara Anies Baswedan bersama Nasdem, PD, dan PKS tampaknya muncul gejala kebuntuan. Bisa jadi aspirasi masing-masing parpol masih belum terakomodir, sehingga terjadi stagnasi. Mari kita buka data sejarah Pilpres 2014. Secara empiris bahwa PD itu tidak menyatakan dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, meskipun siasat PS untuk meraih dukungan SBY adalah dengan menjadikan besannya sebagai Cawapres. Kemudian pada Pilpres 2019, PD agaknya setengah hati dalam mendukung pasangan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno karena diduga proposal untuk menjadikan AHY sebagai Cawapres tidak terkabul. Ketika itu SBY sempat dilematis. Mengapa AHY tak direstui mendampingi Prabowo? Dugaan saya, ganjalannya ada di PKS. Seperti yang kita ketahui, Ijtima Ulama menyodorkan Dr. Salim Segaf AlJufri dan Ust. Abdul Somad (UAS) sebagai Cawapres. Maka ketika PD meng-endorse AHY untuk mendampingi Prabowo, PKS pun mendaulat bahwa kadernya lebih berhak karena direkomendasikan dalam Ijtima Ulama. Jika begitu kenyataannya, maka suasana batin saat ini pun rasanya mirip. Ketika PD menunjukkan sinyal dukungan kepada Anies Baswedan – selama wakilnya adalah AHY, maka PKS mengajukan pembanding dengan mendorong Prabowo – disandingkan Aher (Ahmad Heriawan) untuk menjadi pendamping mantan Gubernur DKI tersebut. Sehingga konfigurasinya menjadi dua opsi, yakni: Anies Baswedan – AHY atau Anies Baswedan – Prabowo. Sekali lagi, jika kuncian ini yang sedang terjadi, maka sejarah mengulang dirinya sendiri dalam bentuk yang agak sedikit berbeda. Lalu bagaimana akhirnya? Tentu saja kita perlu bersabar menunggu sampai Bakal Capres – Cawapres didaftarkan ke KPU. Sepertinya Anies Baswedan masih memberikan waktu bagi PD dan PKS untuk menata ulang komitmen hingga akhir tahun ini. Pertanyaannya, apakah PKS rela memberikan tiket Cawapres untuk PD? Jika ya, maka ketiga parpol ini bakal segera deklarasi. Dan, insentif yang akan didulang PKS setidaknya posisi Mendagri untuk Aher dan pos menteri lainnya. Kalau situasinya tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, boleh jadi tahun depan Anies Baswedan akan bersilaturrahim dengan Prabowo untuk memulai penjajakan koalisi. Dalam politik, hal itu mungkin saja terjadi. Ini adalah suara relawan yang sedang harap-cemas melihat situasi seperti ini. Dugaan yang dikemukakan dalam tulisan ini masih harus diuji karena hanya tafsir semata. Agar menjadi fakta, PD dan PKS dinantikan deklarasinya demi mendukung Anies Baswedan. Bandung, 07122022. (*)
Suar Kebebasan
Untuk membawa bangsa menuju jalan cahaya, kebebasan perlu dijaga dengan penguatan akal dan adab. Kebebasan beragama dan berkeyakinan perlu tuntunan fajar budi. Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia SAUDARAKU, hidup tanpa kebebasan bagaikan tubuh tanpa jiwa. Kebebasan tanpa akal-budi bagaikan jiwa yang linglung. Kebebasan itu ibarat anggur. Ia bisa menghangatkan darah kehidupan dengan ekses yang mengerikan. Apa yang bisa membawa spontanitas dan kegembiraan, tanpa kendali nalar dan nurani bisa menimbulkan kegilaan. Engkau saksikan sendiri, orde reformasi mendorong orang merayakan pesta demokrasi dengan menenggak anggur kebebasan. Saat orang menikmati anggur kebebasan, kekuatan daya pikir sedang berseluncur ke titik nadir. Kepekaan etik melapuk ke titik tumpul. Minat baca rendah, kedalaman pikiran dihindari. Kedangkalan dirayakan. Politik dan etik terpisah seperti air dan minyak. Ledakan anggur kebebasan dalam kebebalan pikiran dan perasaan membangkitkan kerumunan yang linglung. Elit semenjana berebut kekuasaan bukan berani karena mengerti, melainkan karena tak tahu. Orang-orang memilih pemimpin bukan karena memahami apa-siapa yang dibutuhkan, melainkan karena “sihir” siapa yang paling kuat. Jiwa-jiwa yang bingung mudah dikendalikan para penggertak. Para penggertak itu bisa menakuti kerumunan dengan tongkat ancaman “minoritas” atau “mayoritas”, ekstrem kanan atau ekstrem kiri, kampret atau cebong , tanpa memberikan kompas jalan keluar yang terang. Untuk membawa bangsa menuju jalan cahaya, kebebasan perlu dijaga dengan penguatan akal dan adab. Kebebasan beragama dan berkeyakinan perlu tuntunan fajar budi. Kemerdekaan kebangsaan perlu penguatan nalar kemanusiaan. Kebebasan demokrasi harus dipimpin hikmat kebijaksanaan. Kebebasan pasar perlu haluan nilai dan visi keadilan. Hanya dengan kompas nalar dan nurani, kebebasan bisa membawa kita menuju keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama. (*)
Tsunami Realitas Anies
Oleh Yarifai Mappeaty - Pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Makassar REALITAS Anies yang selama ini disembunyikan melalui survey framing, mulai terkuak. Kunjungannya di beberapa daerah selama November 2022 yang disambut hingga puluhan ribu massa, menunjukkan bahwa Anies tak hanya diterima, tetapi malah menjelma menjadi sosok yang dirindukan. Lihat massa yang menyambut Anies di Medan, Jogja, Tasikmalaya, Ciamis, Aceh, Padang, dan Riau. Padahal ia datang tidak membawa apa-apa, selain hanya membawa diri, ingin bertemu dan menyapa. Anies datang tidak membawa sembako atau pun amplop untuk dibagikan, apatah lagi bagi-lagi door prize. Tidak. Namun masyarakat tetap saja tumpah-ruah menyambutnya. Bahkan meski diguyur hujan deras sekalipun, tidak menjadi penghalang untuk datang bertemu Anies, seperti terjadi di Padang. Menariknya, kunjungan Anies bertajuk silaturrahmi kebangsaan itu, tidak hanya disambut masyarakat umum, tetapi juga oleh kader-kader parpol. Padahal parpolnya sendiri tak mendukung Anies. Di Jogja, sejumlah besar kader PPP yang tergabung dalam Forum Ka’bah Membangun (FKM), malah mendeklarasikan diri sebagai relawan Anies. Hal sama terjadi di Riau. Kunjungan Anies di Pekanbaru, dimanfaatkan oleh sejumlah kader PAN untuk mendeklarasikan dukungannya kepada Anies. Mereka bahkan membentuk organisasi relawan bernama PANIS, akronim dari PAN – ANIES. Hal ini mengingatkan kita pada kaum muda Golkar yang mendeklarasikan Go – Anies, beberapa waktu lalu di Jakarta. Sungguh paradoks. Karena realitas Anies, mereka lebih memilih berseberangan dengan partainya dengan risiko dipecat. Habis, mau apa lagi. Sebab bagi mereka, menjadi caleg namun tak sejalan dengan arus Anies, jangan pernah berharap akan dipilih. Sebaliknya, kalaupun pada akhirnya dipecat, mereka tetap bisa menjadi caleg dengan bergabung partai pendukung Anies. Bagi kader-kader partai itu, yang paling penting adalah dikenal di daerah pemilihannya sebagai pendukung Anies. Itulah password yang mereka perlukan agar dapat diterima berkampanye. Sehingga tidak heran kalau seorang kader partai anggota KIB di Aceh, nekad memasang baliho besar bergambar dirinya bersama Anies. Passwordnya, saya ulangi : Pendukung Anies. Sebenarnya, kunjungan Anies ke berbagai daerah, dapat pula dilihat sebagai suatu cara paling mudah namun presisi untuk menakar seberapa besar dukungan rakyat terhadap dirinya. Sekaligus memverifikasi tingkat elektabilitas dirinya secara faktual, yang selama ini selalu ditaruh paling buncit di bawah Ganjar dan Prabowo oleh semua lembaga survei. Berdasar pada kondisi faktual yang kita saksikan bersama tentang realitas Anies, maka sebenarnya, skenario framing mengecilkan dirinya melalui utak-atik angka-angka data survei, telah terbukti gagal total. Pada gilirannya, lembaga survei menjadi gamang dan dilematis untuk terus memainkan skenario itu. Dilamatisnya di mana? Di satu sisi, mereka dibayar untuk tetap memainkan skenario itu. Kalau tidak, bahaya. Kontrak puluhan milyar bisa putus. Sementara di sisi lain, mereka juga tetap berkepentingan menjaga kredibilitasnya. Jika sampai rusak di mata publik, berarti kiamat bagi Lembaga survei bersangkutan. Sebagai jalan tengahn, ke depan, jangan heran bila kita akan disuguhi laporan survei, di mana elektabilitas Anies selalu di bawah Ganjar di atas Prabowo. Tapi jaraknya tak melebihi angka margin of error (MOF). Masalahnya, apakah logika publik dapat menerimanya? Jika jarak Ganjar dan Anies tak terlalu jomplang, maka tak sulit menjelaskannya. Apalagi dibumbui narasi seolah-olah ilmiah, publik akan tidak terlalu peduli. Misalnya, Ganjar stagnan, Prabowo turun tajam, dan Anies naik drastis. Makin tak terbendung, realitas Anies kini bak tsunami, melanda hingga dinding tembok istana. Untuk menghentikannya, cara fasis pun tak urung digunakan. Mulai dari cara halus hingga kasar. Baik menggunakan tangan orang maupun dengan tangan sendiri. Semuanya sudah muncul di permukaan. Mula-mula muncul gerakan tolak Anies berkunjung. Saat artikel ini ditulis, di Makassar, tempat mukim penulis, juga muncul aksi segelintir orang menolak kunjungan Anies. Lalu setelah itu, Anies dicekal berbicara di acara-acara nasional, seperti di Muktamar Al Irsyad. Kemudian di Aceh, izin tempat acara Anies, tiba-tiba dicabut. Yang paling tak logis adalah ketika Pak Jokowi batalkan membuka Munas Kahmi di Palu. Konon, hanya karena Anies ada di sana. Padahal, sebagai kepala negara, Pak Jokowi adalah pemimpin bagi semua, dan Anies hanya salah seorang rakyatnya. Tetapi memperlakukan Anies seperti itu, justeru Pak Jokowi sendiri membuat pamor dan nilai seorang Anies kian melesat. Tetapi, alih-alih menjadi seorang negarawan, Pak Jokowi malah memilih menjadi sektarian, ketika secara terbuka mengendorse bakal capres tertentu. Sungguh tak bijak. Meski tak menyebut nama, namun semua tahu siapa yang dimaksud ‘kulit berkerut dan berambut putih’. Pastinya bukan Anies. Tampaknya, tsunami realitas Anies, memang benar-benar telah menimbulkan kepanikan. (*)
Kasih Uang Habis Perkara (KUHP)
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI SELAIN omnibus law, KUHP begitu kental memberi isyarat kematian konstitusi dan demokrasi. Beraroma kapitalistik dan transaksional, pemerintah dan DPR kembali memunculkan kecenderungan tabiat korup, represif, diktator dan otoriter. Kedua institusi pelayan rakyat itu, secara telanjang mempertontonkan perannya berada dalam naungan oligarki baik korporasi maupun partai politik. Hukum tak lagi memiliki kehormatan dan kepercayaan di hadapan publik. Bukan sekedar tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Peraturan di negeri ini terlanjur dianggap sebagai alat untuk menghukum rakyat sekaligus sebagai strategi untuk mempertahankan jabatan. Konstitusi dan demokrasi direkayasa sedemikian rupa oleh penyelenggara negara berdasarkan nafsu, selera dan tujuan-tujuan kekuasaan. Rakyat hanya bisa pasrah, menerima semua undang-undang dan ketentuan yang berlaku bahkan sekalipun produk politik dan hukum itu menindas dan menyengsarakan rakyat. Rakyat yang dengan segala pengorbanannya melahirkan, membangun dan merawat NKRI, harus menerima kenyataan-kenyataan pahit menjadi rakyat dari sebuah negara gagal sebagai sebuah takdir. Negara yang kaya dan subur tanahnya, tak mampu mengangkat derajat kehidupan rakyatnya sebagai sebuah bangsa yang sejahtera dan bermartabat. Alih-alih menghadirkan kemakmuran dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rezim kekuasaan cenderung menguras kekayaan negara, memiskinkan kehidupan bangsa dan merendahkan harga diri bangsa sendiri dihadapan bangsa asing dan aseng. Praktek-praktek korupsi, jual beli hukum dan kebijakan pemerintahan yang terus merugikan dan terkadang mengancam keselamatan rakyat. Tak cukup melakukan pembelahan sosial yang beresiko pada degradasi sosial dan disintegrasi bangsa, pemerintah terus membawa rakyat, negara dan bangsa pada jurang kehancuran. Mengubur semua impian dan harapan seluruh rakyat akan negeri yang gemah ripah loh jinawi yang mengusung Pancasila, UUD 1945 dan NKRI sebagai entitas peradaban dari kebudayaan adiluhung sebuah bangsa. Rakyat baru saja menyaksikan drama sidang paripurna pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU antara pemerintah dan DPR. Dengan esensi pembahasan yang menjadi supreme dari konstitusi sekaligus jantung kehidupan demokrasi. Rapat paripurna yang digelar pada tanggal 6 Desember 2022 di gedung Nusantara 2 komplek parlemen Senayan, yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. Seperti menghasilkan paduan suara secara nyaring menyetujui KUHP yang dinilai publik banyak mengandung pasal-pasal bertendensi represi dan membuka peluang menghasilkan pemerintahan yang diktator dan otoriter. Meskipun ada protes keras dari perwakilan PKS, namun RKUHP tetap bulat disahkan. Keputusan DPR soal itu lebih kental sebagai tirani minoritas terhadap mayoritas terkait suara dan aspirasi rakyat yang ada di parlemen. Dengan realitas hanya 18 anggota yang hadir langsung dan 285 anggota absen. Tercatat , hanya 18 anggota yang hadir secara fisik, 108 anggota secara virtual dan ijin sebanyak 164 anggota. Sementara sisanya 285 anggota absen. Sangat memprihatinkan, dianggap main-main dan terkesan begitu menyepelekan. Hanya dihadiri oleh 18 anggota secara fisik, wakil Ketua DPR sufmi Dasco menyatakan bahwa rapat telah memenuhi kuota forum alias kuorum. Pembahasan DPR terkesan memaksakan dan terburu-buru mengesahkan RKUHP. Tanpa mengindahkan aspirasi rakyat dan rasa keadilan masyarakat terhadap penegakkan hukum. KUHP terus mendapatkan protes dan penolakan yang luas dari rakyat. Pemerintah dan DPR melalui produk politik KUHP semakin meyakinkan rakyat bahwa di negeri ini demokrasi dan konstitusi telah mati. Wajah hukum di Indonesia semakin tercoreng dan menyisakan potret hitam masa depan pembangunan politik demokrasi dan politik konstitusi. Rezim kekuasaan melalui pilar kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif cenderung dianggap telah melakukan konspirasi kejahatan terselubung yang menjauhkan proses penyelenggaraan negara dari pondasi dan fundamental implementasi Pancasila dan UUD 1945. Dengan dalih telah melakukan reformasi hukum pidana yang diklaim sebagai warisan hukum kolonial. Pemerintah malah mengokohkan pemikiran dan tindakan yang persfektif hukumnya jauh lebih buruk da terbelakang dari hukum kolonial sekalipun. Misalnya yang pada pasal- pasal penghinaan presiden, pemerintah dan DPR. Pasal-pasal karet itu dipastikan akan menghidupkan tabiat kekuasaan yang anti kritik dan anti demokrasi. Rakyat bukan hanya akan semakin terancam oleh hukum pidana karena bersikap kritis dan korektif terhadap pemerintah. Lebih dari itu rakyat bagai berhadapan dengan intimidasi, ancaman dan teror berupa hukum kekuasaan yang secara sepihak dan subyektif leluasa bisa dilakukan rezim. Untuk kesekian kalinya, setelah mamaksakan omnibus law dan UU minerba. RKUHP yang pernah mendapatkan penolakan keras dari rakyat akhirnya sah diberlakukan. Pemerintah dan DPR pada akhirnya secara transparan dan faktual, telah membuktikan keberadaan dan eksistensinya telah berhasil mengamputasi kedaulatan rakyat. Konstitusi dengan pelbagai produk hukumnya termasuk KUHP begitu mengakomodir dan memanjakan kepentingan bangsa asing dan aseng atas nama pembangunan dan investasi. Pemerintah dan DPR telah membuktikan kehadiran mereka tak bisa dilepaskan dari peran oligarki korporasi dan oligarki partai politik. Oligarki puas dan rakyat terhempas. Kepentingan negara dan bangsa kalah oleh irisan dan domain kapitalisme dan komunisme global. Politik hukum di Indonesia, semakin sulit menghindari sikap skeptis dan apriori publik dari harapan dan keinginan mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Rasanya rakyat tak bisa disalahkan ketika bicara dan mengeluh soal hukum di republik ini. Jual beli hukum begitu marak, perdagangan hukum telah mewabah. Dari mulai rakyat kecil hingga petinggi negara, dari orang biasa hingga yang terhormat dan dari tingkat RT hingga ke DPR juga pada menteri dan presiden. Termasuk pada aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Hukum terasa begitu kapitalistik dan transaksional. Bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dipahami dan berlaku. Namun seakan telah menjadi pameo di masyarakat, kenyataan yang ada rakyat hanya mengerti Kasih Uang Habis Perkara (KUHP).(*)
Bom Bunuh Negeri
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI KALAU terorisme begitu menakutkan dan menggalang kekuatan dunia untuk mencegah dan menangkalnya. Kalau bencana mampu menyadarkan diri akan kekuasaan Tuhan yang membuat manusia ingin lebih dekat dan merasa membutuhkan pertolonganNya. Bagaimana dengan kapitalisme dan komunisme global yang telah nyata daya rusaknya dan menjadi bom bunuh negeri bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya? Musibah bencana alam dan teror seakan menjadi jadwal tetap hampir di setiap penghujung tahun. Bedanya, Gempa, tsunami, tanah longsor dlsb., bisa dipahami sebagai peristiwa luar biasa dari fenomena alam dan sebuah takdir yang tidak bisa dihindari umat manusia. Sedangkan kegiatan teror yang juga hebat daya rusaknya dan menyebabkan korban luka dan kematian, terkadang sulit dirasionalisasi apakah itu berasal dari teroris yang sesungguhnya atau menjadi rekayasa demi kepentingan politik atau agenda tertentu. Kedua peristiwa yang mampu memporak-porandakan peradaban manusia itu, seakan menjadi tamu tetap yang datang setiap menjelang pergantian tahun. Indonesia tak akan pernah lupa bagaimana gempa dan tsunami Flores (Desember 1992), gempa dan tsunami Aceh (Desember 2004), gempa, tsunami dan likuifasi Donggala (September 2018) dan gempa Cianjur (Novemver 2022). Bahkan di bulan Desember tahun ini, rakyat Indonesia masih diselimuti bahaya erupsi gunung Semeru dan Merapi. Belum lagi info dari BMKG tentang peringatan akan potensi gempa dan bencana lain yang mengancam dan sewaktu-waktu dapat terjadi. Rakyat Indonesia seperti tak pernah berhenti menghadapi musibah demi musibah. Mirisnya, bencana alam dan kegiatan teroris yang sering terjadi menjelang bergantinya tahun. Pada tahun ini seakan melengkapi penderitaan rakyat Indonesia yang baru reda menghadapi pandemi serta menuju kemerosotan ekonomi dan politik. Keadaan itu juga diperparah dengan munculnya krisis moral dan krisis kepemimpinan yang membuat kehidupan rakyat, negara dan bangsa semakin terpuruk. Rendahnya prinsip-prinsip kemanusiaan dan langkanya ketaatan pada Tuhan Sang Pencipta, membuat bangsa ini semakin bertingkah destruktif, jauh dari kemaslahatan. Entah sudah menjadi proses natural berupa suratan takdir dari kehendak Tuhan, atau ini menjadi semacam peringatan dan teguran kepada manusia. Semua bencana alam dan kerusakan di negeri ini yang diakibatkan oleh perilaku manusia sendiri. Hendaknya menjadi refleksi dan evaluasi mendesak bagi seluruh rakyat Indonesia terlebih bagi para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan publik. Bahwa baik buruk akibat sangat tergantung pada baik buruk sebabnya. Apa yang ditanam, maka ia akan menuainya. Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Mapolsek Astana Anyar Bandung di tengah negeri sedang beruntun digelayuti bencana, apapun motif dan latarbelakangnya. Sepatutnya menghentak kesadaran para pemimpin agar segera menghentikan perilaku menyimpang dalam penyelenggaraan negara. Segera mungkin meninggalkan perilaku kekuasaan yang dzolim, yang menindas dan membuat penderitaan rakyat. Harus ada perubahan baik secara sistem maupun perform, yang mampu menampilkan restorasi Indonesia. Sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh bangsa ini untuk secepatnya kembali kepada jati diri sebenarnya menjadi masyarakat yang religius dan kaya spiritual. Rakyat dan pemimpin yang hidupnya terpikul dan terpikul natur, peduli pada alam semesta dan mencitai sesama manusia serta sebenar-benarnya mengagungkan Tuhan. Maka sistem politik, ekonomi dan hukum yang tercerabut dari nilai-nilai hakiki Pancasila, UUD 1945 dan NKRI tak lagi bisa memisahkan kehidupan agama dari negara. Dengan kata lain, sekulerisasi dan liberalisasi yang menjadi bagian utuh dari ideologi kapitalis dan komunis, sejatinya tak relevan bahkan bertentangan dengan karakteristik bangsa Indonesia yang nasionalis religius. Okeh karena itu sudah menjadi \"to be or not to be\" atau \"to be kill or to be killed\" meminjam istilah Luhut Binsar Panjaitan yang terbata-bata integritasnya, semua bentuk dari anasir kapitalisme dan komunisme harus hengkang dari tanah air Indonesia. Globalisasi yang mengusung penghisapan manusia atas manusia dan penghisapan bangsa atas bangsa harus enyah dari muka bumi khususnya di bumi nusantara. Jika tidak ada nasionslisme dan patriotisme serta membiarkan kapitalisme dan komunisme terus mencengkeram republik ini. Maka sesungguhnya rakyat, negara dan bangsa Indonesia hanya akan menerima ledakan dan guncangan kemanusiaan dan peradabannya. Menerima teror dan musibah dari bom bunuh negeri akibat menghirup udara kapitalisme dan komunisme terlalu dalam. Ya, bom bunuh negeri yang paling dahsyat dan mengerikan dari penjajahan oleh bangsa asing dan bangsanya sendiri. (*)
Dua Tahun Pembantaian Enam Pengawal HRS di KM50 (1): Rakyat Menuntut Tanggungjawab Kapolri Sigit dan Presiden Jokowi!
Uraian tersebut dibuat bertepatan dengan Konpers Kapolda Metro Jaya pada 7 Desember 2020, guna mengingatkan bahwa kejahatan kemanusiaan kategori HAM Berat itu telah terjadi di bawah kekuasaan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Joko Widodo. Oleh: Marwan Batubara, TP3 & UI Watch KEMARIN, 7 Desember 2022, kejahatan aparat negara membantai 6 pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) genap berusia dua tahun. Kejahatan yang diyakini masuk kategaori kejahatan HAM Berat itu terungkap pertama kalinya setelah Konferensi Pers (Konpers) Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran didampingi Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman dan sejumlah pejabat Polda Metro Jaya, sekitar jam 13.00 WIB, pada 7 Desember 2020, bertempat di Mapolda Metro Jaya. Esensi pernyataan Fadil Imran antara lain adalah: 1) personal Polda Metro telah menembak mati enam pengawal HRS; 2) Penembakan dilakukan karena para pengawal melawan dan menyerang petugas; 3) Penguntitan dilakukan terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan pada acara peringatan Maulid dan penikahan putri HRS; 4) Ada 10 orang yang menyerang, empat orang ditembak dan empat orang melarikan diri; 5) Tidak ada korban jiwa maupun luka dari pihak Polri, namun sebuah kendaraan rusak karena dipepet terkena tembakan. Meski klarifikasi dan bantahan telah diungkap dalam Buku Putih TP3 yang terbit Mei 2021 dan berbagai pernyataan Tim Hukum HRS, serta berita berbagai media, kami dari TP3 perlu mengulang bantahan atas isi Konpers Kapolda Metro Jaya tersebut. ]Minimal untuk mengingatkan publik bahwa penuntasan kasus pembantaian tersebut masih jauh dari rasa keadilan dan kebenaran. Sebelum mengklarifikasi manipulasi informasi dan penggiringan opini yang dilakukan Kapolda Metro Jaya, TP3 perlu mengungkap kembali kronologi kejadian sebenarnya. Kronologi Pembantaian Sebelum Konpers Kapolda Fadil Imran, pihak HRS, dan DPP FPI sempat menyebar Siaran Pers pada 7 Desemebr 2020, sekitar jam 11.00 WIB. Isinya berupa informasi tentang hilangnya enam pengawal HRS saat perjalanan rombongan keluarga HRS (termasuk beberapa balita dan bayi) dari Sentul Bogor menuju Karawang, melalui Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Hanya setelah Konpers Kapolda Fadil Imran tersebutlah pihak FPI dan HRS paham bahwa yang menguntit mobil rombongan mereka adalah aparat negara. Mengapa demikian? Ternyata sejak keluar dari Perumahan Nature Mutiara Sentul, rombongan keluarga HRS (4 mobil) dan pengawal HRS (juga 4 mobil) telah dipantau sejumlah mobil tak dikenal yang stand-by di sekitar Perumahan Nature Mutiara, sejak dua hari sebelumnya. Selama perjalanan di Tol Cikampek, beberapa mobil tak dikenal ini terus bermanuver (memepet dan berupaya meng-intercept). Hal ini sangat membahayakan keselamatan rombongan HRS. Memang targetnya, mobil yang ditumpangi HRS, agar HRS dapat “dihabisi”. Karena itulah mobil para pengawal terus berupaya menghalangi manuver guna mengamankan HRS dan keluarga. Selama manuver, adu kecepatan, saling salip dan saling pepet, terutama dalam upaya memecah rombongan dan menarget HRS, para pengemudi mobil tak dikenal ini tidak pernah menunjukkan identitas sebagai aparat negara. Para penguntit lebih mencerminkan perilaku barbar dan premanisme. Ternyata setelah Konpers Kapolda Metro Jaya di atas, terungkap mereka itu adalah aparat negara yang “sedang bertugas” memburu target tanpa peduli keselamatan rombongan HRS dan keluarganya. Dalam satu momen kejar-mengejar, mobil yang ditumpangi salah satu rombongan HRS dipepet mobil SUV (Fortuner/Pajero) dengan “Nopol” B 1771 KJL (ternyata Nopol palsu). Sang “petugas” membuka kaca mobil, mengeluarkan tangan bertato dan mengacungkan jari tengah, sambil menebar ancaman. Namun dua mobil pengawal HRS (Avanza dan Chevrolet B 2152 TBN) berhasil mencegah mobil-mobil para penguntit melakukan intercept, sehingga rombongan HRS dan keluarga, serta dua mobil pengawal HRS yang lain, berhasil menjauh dan lolos dari kejaran petugas yang bertindak barbar dan ala gangster itu. Sepeninggal rombongan HRS yang lolos, salah satu mobil pengawal HRS yakni Chevrolet B 2152 TBN dikepung tiga mobil “petugas” dan akhirnya berhasil ditangkap. Beberapa saksi mata, termasuk hasil penelusuran Tempo.online, menyatakan bahwa dua orang pengawal HRS ditembak di KM50. Dua mayat pengawal HRS tersebut kemudian diangkut menggunakan ambulans, sedang empat pengawal lain yang masih hidup (salah satunya terpincang-pincang) dibawa para “petugas” ke suatu tempat yang tidak jelas. Perlu dicatat, sekitar satu jam setelah para petugas (pakaian preman) dan enam pengawal HRS berada di KM50, maka datanglah mobil Land Cruiser hitam dan sebuah mobil lain. Tampaknya “petugas” (pakaian preman) di Land Cruiser hitam itu berfungsi sebagai komandan, yang memerintahkan pemindahan enam pengawal HRS ke mobil lain, yang akhirnya disiksa secara sadis dan ditembak mati, umumnya pada daerah dada kiri. Sebelum meninggalkan KM50 “para petugas”, di bawah pimpinan sang komando, secara arogan melakukan selebrasi untuk menandakan kemenangan. Klarifikasi dan Tanggapan Berdasarkan kronologi kejadian di atas, kita bisa menanggapi keterangan Kapolda Fadil sebagai berikut. Terkait butir 1) Pelaku penembakan adalah Personal Polda Metro Jaya terbantahkan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa para pelaku adalah satu kesatuan aparat negara yang menumpangi minimal enam (6) mobil (TP3 memiliki “Nopol”-nya), termasuk Land Cruiser hitam. Karena berada dalam satu kesatuan di bawah kendali komando, maka jelas kesalahan tidak benar hanya tertuju pada 3 orang anggota Polri (faktanya, belakangan 1 orang mati dan 2 orang divonis bebas). Terkait butir 2) Penembakan dilakukan karena pengawal HRS melawan dan menyerang petugas, kita jelas membantah keras rekayasa Fadil tersebut. Sebab pihak yang memulai insiden adalah “petugas” tanpa identitas yang berperilaku barbar sendiri, di mana mereka melakukan intercept yang sangat membahayakan keselamatan dalam rangka memburu HRS. Para pengawal tidak pernah melawan dan menyerang, serta tidak memiliki senjata tajam dan senajata api, sebagaimana yang dituduhkan Kapolda Fadil saat Konpers. Untuk membuktikan kebohongan Kapolda Fadil, keluarga enam pengawal HRS telah mengundang Kapolda/Polri untuk bermubahalah (Masjid Al Furqon, 26/2/2021), namum tak berani dipenuhi. Terkait butir 3) Penguntitan dilakukan Polri karena dugaan pelanggaran protokol kesehatan oleh HRS, kita dengan tegas menyatakan bahwa status HRS pada saat itu (6/12/2020) hanyalah sebagai saksi. Beliau bukan tersangka dan tidak terlibat makar terhadap negara. Namun oleh “petugas” sadis telah dikuntit dan diperlakukan sewenang-wenang, layaknya penjahat besar atau teroris. Para aparat negara yang bertindak brutal ini jelas telah menyalahagunakan kekuasaan secara arogan, melanggar HAM/konstitusi, UU, peraturan dan SOP Polri dalam penanganan perkara dan terduga bersalah. Terkait butir 4) Ada 10 orang yang menyerang, empat orang ditembak dan empat orang melarikan diri, sama seperti uraian butir 2) di atas bahwa para pengawal HRS tidak pernah menyerang “petugas”. Karena memang bertindak melindungi mobil HRS, sehingga tidak pernah menyerang, para pengawal juga tidak memiliki senjam dan senpi. Maka mereka sangat tidak layak diperlakukan sebagai musuh atau pelaku kejahatan yang layak untuk langsung dihabisi atau ditembak. Sesuai prosedur pengamanan internal petugas, para pengawal yang “tertangkap” dalam Chevrolet seharusnya bisa diborgol, untuk kelak bisa disidik dan diadili. Adapun empat orang yang “disebut melarikan diri”, faktanya adalah pengawal HRS yang lolos dari intimidasi petugas sadis. Jika ingin mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan, mereka yang lolos ini bisa berperan menjadi saksi di pengadilan. Komnas HAM, Polri (terutama Kapolda Fadil), Kejagung dan Pengadilan Negeri bisa dengan mudah memanggil mereka. Namun, hal tersebut tidak pernah terjadi. TP3 sendiri sempat bertemu dengan para pengawal yang selamat dari kesadisan para petugas tersebut, dan dari merekalah TP3 memperoleh sebagian informasi objektif tentang kronologi kejadian di atas. Terkait butir 5) Bahwa tidak ada korban jiwa maupun luka pihak Polri, satu kendaraan rusak dipepet dan terkena tembakan, TP3 perlu menyatakan para pengawal adalah pihak yang dizolimi, tidak punya senjata, tidak menyerang petugas dan justru harus mengamankan diri dari tindakan brutal. Jika ada mobil petugas yang tertembak, maka yang menembak mobil tersebut adalah petugas itu sendiri. Sebab mereka merasa sangat berkuasa tanpa limit, rekayasa seperti ini sangat mudah dikarang, sebagaimana mereka merekayasa dan mempertontonkan manipulasi pemilikan pedang dan sejata api oleh Kapolda Fadil saat Konpers 7 Desember 2020. Uraian di atas merupakan sekelumit kebohongan dan rekayasa terkait kasus pembantaian enam pengawal HRS. Uraian tersebut dibuat bertepatan dengan Konpers Kapolda Metro Jaya pada 7 Desember 2020, guna mengingatkan bahwa kejahatan kemanusiaan kategori HAM Berat itu telah terjadi di bawah kekuasaan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Presiden Joko Widodo. Selain kebohongan 7 Desember 2020, TP3 juga memiliki berbagai informasi manipulatif, argumentasi objektif dan dasar hukum lain yang menunjukkan bahwa proses pengadilan kasus masih jauh dari kebenaran dan keadilan. Karena merupakan atasan dan penanggungjawab operasi aparat negara pelaku pembantaian, maka keluarga korban, DPP FPI/HRS, TP3 dan para penggiat HAM akan terus menuntut Presiden Jokowi dan Kapolri Sigit mempertanggungjawabkan kejahatan kemanusiaan tersebut. Jakarta, 7 Desember 2022. (*)
Jokowi "Setengah Mati" oleh Ulahnya Sendiri
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI PERADABAN manusia akan selalu menampilkan para pemimpin rakyat, baik yang jujur dan adil maupun yang berlaku aniaya dan dzolim. Ada pemimpin yang ditulis sejarah sebagai orang baik dan banyak memberi manfaat. Ada pula yang berlumur kejahatan, membuat kerusakan dan menjadi ancaman bagi kehidupan dunia. Tak ada presiden di Indonesia yang di akhir masa jabatannya begitu ngotot mempertahankan kekuasaannya. Soekarno yang kharismatik dan mendunia, harus pasrah menerima keadaan ketika dilengserkan. Begitupun dengan Soeharto yang berwibawa dan disegani, rela mengundurkan diri saat pemerintahannya masih berjalan. Habibie malah legowo untuk tidak mencalonkan kembali sebagai presiden meskipun hanya me jababat selama 17 bulan. Bahkan seorang Gusdur terlihat tanpa beban saat dipaksa turun dari jabatannya. Selebihnya, Megawati dan SBY taat pada semangat reformasi dan konstitusi menjabat presiden tidak lebih dari 2 periode. Presiden-presiden Indonesia terdahulu mampu menunjukkan jiwa besar dan sikap negarawannya. Terlepas dari goncangan dan tekanan politik yang hebat, mereka mampu mengutamakan kepentingan negara dan bangsa di atas segalanya. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, betapapun plus minusnya kepemimpinan mereka. Atas nama undang-undang dan demi mendengar aspirasi dan keinginan rakyat, mereka mau berhenti, mengundurkan diri dan tidak mencalonkan kembali sebagai presiden. Kiprah mereka sebagai pemimpin terutama ketika mengakhiri jabatannya sebagai presiden, patut menjadi contoh sekaligus legacy nasionalisme dan patriotisme bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara Jokowi, belum genap masa jabatan 2 periodenya berakhir. Justru terus mewacanakan dan berupaya keras menjabat 3 periode dan atau memperpanjang jabatannya. Jokowi entah menyadari atau tidak jika memaksakan kehendaknya tersebut, ia malah bertentangan dengan konstitusi. Bukan hanya mengkhianati salah satu inti amanat reformasi yang membatasi masa jabatan presiden hanya 2 periode. Syahwat kekuasaan melampaui batas itu akan menimbulkan preseden buruk bagi penyelenggaraan hukum dan ketatanegaraan. Jokowi mungkin akan menjadi yang pertama dan satu-satunya orang yang menyandang gelar sebagai presiden pengkhianat reformasi. Mantan walikota Solo dan gubernur Jakarta yang penuh kontroversi dan polemik itu, sejak menjabat presiden sudah dihantui dengan pelbagai isu dan skandal yang menyeretnya. Sebagai figur pemimpin yang dianggap presiden paling buruk dari presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Jangankan dengan Soekarno atau Soeharto, dengan Habibie saja yang kurang dari dua tahun masa jabatan presidennya, Jokowi masih jauh dibandingkan terutama dalam soal jiwa besar dan prestasinya. Habibie biar bagaimanapun tidak dirasuki ambisi kekuasaan dan sebagai seorang teknokrat ia mampu berpikir dan bertindak demi rakyat, demi bangsa dan demi negara. Habibie dengan senang hati ingin segera mengakhiri dan tak ingin terus menerus mempertahankan atau memperpanjang jabatan presiden yang digenggamnya. Lain Habibie, lain Jokowi. Begitupula Jokowi dengan Gus Dur, Megawati dan SBY, perbedaannya seperti langit dan bumi. Jokowi cenderung dinilai publik tak ada jiwa besar, tak ada sikap negarawan dan tak ada nasionalisme dan patriotisme. Alih-alih menjadi presiden Indonesia yang dihormati dan dibanggakan baik secara nasional maupun internasional layaknya Soekarno dan Soeharto. Jokowi malah dianggap presiden yang paling dimusuhi dan dibenci rakyatnya sendiri terutama dari kalangan umat Islam. Berikut ini beberapa rekam jejak dan catatan buruk Jokowi ketika memasuki panggung kekuasaan mulai dari walikota Solo, gubernur Jakarta dan menjadi presiden ke-7 RI, al.: 1. Ketika menjabat walikota Solo, publik nasional nyaris tak pernah mendengar prestasi Jokowi yang fenomenal. Mungkin tak ada prestasinya atau jika ada sekedar biasa saja, hanya pencitraan yang berlebihan yang digembar-gemborkan terutama ketika mulai diperkenalkan sebagai calon gubernur Jakarta. Kesan Jokowi sederhana, merakyat dan jujur, hanya kosmetik yang jauh dari fakta sebenarnya. 2. Saat menjabat gubernur Jakarta, Jokowi tidak komitmen dan konsisten dengan kampanye program gubernurnya terutama dalam menangani banjir dan kemacetan Jakarta. Jangankan menuntaskan problematika atau membuat prestasi, Jokowi justru meninggalkan jabatan gubernur separuh jalan dan kepincut nyapres. Begitupun saat menjadi presiden, Jokowi hanya meraih gelar \"King Of The Lip Service\". Segudang program populis hanya janji yang tinggal janji. Warga Jakarta dan seluruh rakyat Indonesia mulai kecewa dengan ketiadaan integritas Jokowi. 3. Rakyat mulai tidak percaya dan terkesan antipati terhadap Jokowi dengan skandal kecurangan pemilu dan korban ratusan meninggal menimpa petugas PPK. Belum ada pileg dan pilpres berdarah selain saat Jokowi nyapres dan terpilih memenangkannya. Entah alami atau rekayasa, kenyataannya kematian ratusan petugas PPK dalam pileg dan pilpres 2019 begitu mendadak, misterius dan terjadi secara massal. 4. Jokowi mulai menampakan watak aslinya yang jauh dari pencitraan saat kampanye gubernur Jakarta dan kampanye presiden, saat kepemimpinannya mulai bertindak represi, anti demokrasi dan dianggap sebagai boneka oligarki. Pemerintahan dibawah kepemimpinan Jokowi seiring waktu menampakkan tabiat aslinya sebagai rezim kekuasaan yang diktatorian dan otoriterian. 5. Lengkap sudah jatidiri Jokowi yang tak ubahnya dan dianggap publik sebagai pemimpin hipokrit. Selain pemimpin yang tak pernah menepati janji alias penuh kebohongan. Sejak awal terpilihnya, Jokowi sudah menjadi pemimpin yang menyebabkan terjadinya pembelahan sosial di tengah-tengah rakyat. Tak sekedar eksploitasi sumber daya alam oleh asing dan aseng, utang menjulang, wabah korupsi, tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyat dari aparat serta pelbagai kejahatan negara lainnya. Rezim Jokowi juga gemar memelihara dan mengembangbiakan buzzer, influencer dan haters yang menimbulkan konflik horizontal serta potensi degradasi sosial dan disintegrasi bangsa. Beberapa indikator dari faktor kepemimpinan Jokowi yang jauh dari kapasitas dan integritas itulah, negara semakin terpuruk menuju kegagalan. Kehidupan rakyat utamanya dalam aspek sosial politik, sosial ekonomi dan sosial keamanan, terus jatuh terjun bebas. Setelah rangkaian kebohongan mobil Esemka, stop impor, stop utang, dll. PHK massal yang mendongkrak angka pengangguran, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok termasuk pajak, tarif listrik, gas elpiji dan BBM yang membuat lemahnya daya beli rakyat. Melonjaknya angka kemiskinan dan tingginya angka kejahatan yang diikuti semakin melebarnya ketimpangan sosial. Kondisi yang demikian semakin runyam dan diperburuk dengan lemahnya penegakkan hukum dan lemahnya aspirasi dan partisipasi politik rakyat melalui partai politik. Bisa jadi membuat Indonesia terancam konflik sosial dan terjadinya amuk masa. Apalagi jika rezim Jokowi memaksakan kehendak untuk jabatan presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan. Resiko dan bahaya yang maha dahsyat bagi keberlangsungan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Kini kehancuran sudah di depan mata, bukan wellfare state tapi yang ada hanya kecenderungan fail state. Rezim kekuasaan yang mengadopsi konsep dan praksis kapitalisme dan komunisme ini, terlanjur mengedepankan liberalisasi dan sekulerisasi dalam proses penyelenggaraan negara. Wajar saja jika kehidupan negara jauh dari kemakmuran dan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Baik buruk pemimpinnya, baik buruk rakyatnya. Dibawah kepemimpinan Jokowi yang terjadi adalah semua yang kontradiktif terhadap implementasi nilai-nilai yang ada pada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Rezim Jokowi yang kerapkali melakukan kriminalisasi aktifis pergerakan dan para ulama yang kritis, kini semakin menjadi tirani dan kekuasaan absolut dengan meloloskan RUU KUHP menjadi produk UU yang sah. Tak cukup acara relawan di GBK yang berkedok kegiatan nusantara bersatu yang sesungguhnya modus nafsu jabatan 3 periode atau perpanjangan jabatan. Rezim Jokowi juga menyiapkan sekoci atau alternaif pemimpin boneka yang bisa menjamin keberlanjutan program pemerintah sebelumnya seperti infra struktur yang mangkak, IKN, KCJB, proyek pertambangan strategis seperti nikel dlsb. Kini Jokowi tak lagi mampu dan busa berpikir tentang rakyat dan masa depan negara bangsa Indonesia. Bagi Jokowi yang ada hanya tentang kekuasaaan. Bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, bahkan saat ia masih berada dan di ujung kekuasaannya. Betapa susahnya menjadi Jokowi, karena ia telah kehilangan kemanusiaannya. Jokowi telah kehilangan patriotisme dan nasionalismenya, kehilangan jiwa, karakter dan integritas kepemimpinannya. Mungkin hanya Jokowi dan Tuhan yang tahu, tentang seberapa besar dan seberapa lama kekuasaan rezim Jokowi bisa ada dan dipertahankan. Karena, sebagai manusia yang terbatas dan lemah dan sebagai makhluk dari Tuhan pemilik kekuasaan yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Jokowi kini dalam keadaan sulit untuk memilih menjadi manusia besar atau kerdil, menjadi manusia mulia atau hina apalagi memiliki kesadaran memimpin dan terpimpin. Kalau saja presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bukan tidak mungkin pemimpin boneka lainnya dipaksakan Jokowi. Maka sejatinya, Jokowi berada di antara hidup dan mati, berada dalam keadaan selamat dan bahaya. Ya kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi tergantung Jokowi sendiri baik saat masih menjabat presiden maupun usai tak lagi memegang kekuasaan. Menjadi tetap terhormat dan dihargai saat tak lagi menjabat presiden, atau setengah mati menjadi Jokowi di ujung jabatannya karena perilaku menyimpang kekuasaannya . Ya, jangan sampai Jokowi \"setengah mati\" karena ulahnya sendiri. (*)