OPINI
Pertarungan Dua Juragan
Oleh Yarifai Mappeaty - Kolumnis USAI Demokrat dan PKS mengumumkan dukungannya terhadap Anies, maka hari-hari ini, Anies benar-benar menjadi bahan percakapan di ruang publik. Kemana saja pergi, ujung-ujungnya pasti membicarakan Anies. Topiknya, tentu tak jauh-jauh dari soal Anies telah mendapatkan tiket capres. Meski baru sebatas lisan, tiket capres dalam genggaman Anies itu, tiba-tiba mengingatkan pada seseorang. Panggil saja, juragan survei, karena ia memang seorang pemilik sebuah lembaga survei yang cukup popular. Juragan survei begitu “arogan” memastikan Anies tak bakal menjadi capres, kendati Nasdem telah mencalonkannya pada Juni 2022 lalu. Juragan survei menggunakan dua pendekatan, pertama, matematika politik konfigurasi parpol yang ada, menurutnya, tidak memungkinkan hal itu terjadi. Tujuh parpol di dalam pemerintahan, minus Nasdem, berpotensi mengusung capres, mustahil akan mengusung Anies. Di PDIP sendiri, ada Ganjar Pranowo atau Puan Maharani. Koalisi Gerindra – PKB, ada Prabowo Subianto. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas Golkar, PAN, dan PPP, ada Airlangga Hartarto. Sementara koalisi parpol di luar pemerintahan, yaitu Demokrat dan PKS, tidak cukup memenuhi syarat presidential threshold (PT) 20% untuk mengusung capres. Lagi pula, koalisi Nasdem, Demokrat, dan PKS, menurutnya, sulit terwujud karena perebutan dominasi dan hegemoni dalam koalisi. Lantas Nasdem yang dianggap “berkhianat”, mau dengan siapa mengusung Anies? Tak kalah menentukan ialah Jokowi pasti ingin mengakhiri kekuasaanya dengan “soft landing”. Oleh karena itu, tiga capres yang bakal diusung oleh parpol pendukung Jokowi, harus mendapat restunya. Sehingga siapa pun yang menang kelak, tetap adalah orangnya sendiri. Kedua, ini menarik. Juragan survei menyodorkan premis bahwa figur pemimpin hari ini, digandrungi saat masih menjabat. Setelah lengser, cari teman ngopi saja susah. Lalu, presmis ini coba diujikan kepada Anies yang sedang berada di ujung masa jabatannya selaku Gubernur DKI Jakarta. Berbekal dua pendekatan itu, dengan jumawa, juragan survei menantang bertaruh mobil Alphard. Bila Anies menjadi capres, ia akan memberikan mobil Alphard kepada siapa saja yang menerima tantangannya. “Oh, allamaaaak lagaknya, congkak nian,” kata teman dari Melayu. Mendengar tantangan itu, tak berapa lama berselang, Billy Haryanto, seorang pengusaha beras asal Sragen, menjabaninya. Pertaruhan dua juragan pun tak terelakkan. Juragan survei vs juragan beras. Bahkan, biar pertaruhannya tambah seru, juragan beras menaikkan taruhannya dengan Range Rover. Apa kira-kira yang membuat Billy Haryanto begitu yakin Anies menjadi capres? Padahal, jika berdasarkan konfigurasi partai politik seperti diterangkan di atas, memang tidak ada jalan bagi Anies menjadi capres. Belum lagi Anies bukan orangnya Jokowi. Sehingga logis jika juragan survei dengan matematika politiknya, berani memastikan demikian. Atau mungkin juga Billy Haryanto punya perspektif lain, intuitif. Anggap saja begitu. Dengan perspektif itu, Billy kemudian meyakini Anies sebagai kehendak sejarah. Eit, jangan apriori dulu. Sebab jika sejarah berkehendak, maka semua yang dianggap tidak mungkin menjadi mungkin, dan, bahkan kemudahan sendirilah yang datang membukakan jalan baginya. Coba kita mundur ke belakang. Di mana logikanya Gerindra (Prabowo) mengusung Anies pada Pilkada DKI Jakarta 2017? Padahal, posisi Anies pada Pilpres 2014, adalah Jubir Jokowi. Lalu, bagaimana mungkin Anies memenangkan pilkada itu, padahal, nyaris semua lembaga survei memprediksinya kalah, termasuk prediksi juragan survei sendiri kala itu. Selain Rocky Gerung, apa pernah ada yang membayangkan sebelumnya, Nasdem yang notabene partai pendukung Jokowi, bisa-bisanya “balelo” mengusung Anies? Terkini, bagaimana pula ceritanya Demokrat dan PKS sampai memiliki kesadaran untuk mengesampingkan ego masing-masing, untuk kemudian bersama-sama Nasdem mengusung Anies? Lantas, dengan cara apa matematika politik juragan survei menjelaskan semua itu? Bahkan berdasarkan realitas yang ada hingga sejauh ini, apa yang disebut tidak mungkin oleh juragan survei, sudah beberapa terbantahkan. Begitu pula premis juragan survei mengenai seorang pejabat yang sudah lengser, cari teman ngopi pun susah, pun terbukti tidak berlaku bagi Anies. Sebab terbukti sebaliknya, Anies malah makin digandrungi rakyat. Pertaruhan dua juragan masih berlangsung. Kita tunggu pemenangnya pada September 2023, saat KPU membuka pendaftaran capres dan cawapres. Makassar, 05 Februari 2023
Jalan Buntu Kekuasaan
Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI Keadilan Tuhan tak akan pernah diam, tak terbatas waktu dan kepada siapa saja. Kebijaksanaan akan berbuah kebaikan, begitupun sebaliknya Kedzoliman akan mendapatkan pembalasan yang setimpal. Hukum Tuhan akan berlaku betapapun kuatnya manusia menggengam kekuasan di dunia. Siapa menabur keji, maka dia akan menuai api, maha panas apinya neraka di dunia dan akhirat. Dua periode pemerintahan, cukup sudah rakyat Indonesia menyaksikan dan merasakan negara telah keluar dari jalurnya. Bukan hanya gagal mewujudkan negara kesejahteraan, rezim juga membahayakan keberadaan dan eksistensi NKRI. Distorsi penyelenggaraan negara seperti menjadi wabah mematikan yang menyelimuti rakyat Indonesia dalam pelbagai aspek kehidupan. Tak berhenti dengan pandemi Covid-19 yang absurd, rakyat kini menghadapi kehilangan pekerjaan secara massal, kemiskinan, kelaparan dan bahkan kematian. Lebih dari sekedar tak tahan karena tekanan hidup yang berat, penderitaan rakyat juga kerap bersumber dari kebijakan struktural dan sistemik yang menyimpang dilakukan rezim. Tak punya kapasitas dan integritas, bahkan tak sedikitpun menyisakan rasa nasionalisme dan patriotisme. Rezim kekuasaan tanpa kemanusiaan, hanya mementingkan dirinya dan keluarga, kelompok dan golongannya, serta negara dan bangsa asing yang eksploitatif. Membesarkan dan memperkaya oligarki, para pejabat, pemimpin dan komunitas ternak rente seperti buzzer dan penghianat lainnya. Merepresentasikan pemerintah yang mengatasnamakan negara, mereka tak ubahnya seperti mosnter yang buas dan ganas memangsa rakyatnya sendiri. Kekayaan negara yang berlimpah yang menjadi warisan Tuhan pun dirampok dari rakyat dengan senjata, aparat dan tukang pukul serta dengan tindakan kekerasan dan brutal. Rakyat teraniaya, terkapar dan meregang nyawa diperlakukan oleh bangsanya sendiri yang menjadi budak bangsa asing. Konstitusi, demokrasi, dan beragam kepentingan hajat hidup orang banyak tergilas oleh syahwat mengejar materi, jabatan dan kepuasan pada kenikmatan dunia. Banyak pemimpin yang mengabaikan sumpah jabatan dan meminggirkan amanat penderitaan rakyat. Alih-alih menjadi pelayan dan pengabdi rakyat, rezim kekuasan justru totalitas mengabdi dan melindungi oligarki. Pemerintahan yang jahil membuat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia ditukar dengan pesta pora-pora kelompok minoritas yang menjadi tirani atas mayoritas. Segelintir orang, sekelompok kecil dunia usaha bermodal besar, politisi-birokrat kapitalis dan komunis semakin sempurna membentuk kejahatan yang integral holistik dalam NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Tak ada lagi moralitas dan ahlak yang bisa menjadi teladan. Harga diri dan kehormatan dijual murah dengan materi yang memanjakan dan menjadi kesenangan sementara. Semua berlomba-lomba menjilat dan merendahkan dirinya dihadapan majikan dan bos besar. Tak lagi ada rasa malu terhadap kekurangan dan kelemahannya sendiri, malah kebodohannya dipertontonkan di hadapan publik. Ketidakmampuan dan ketidakcakapan kerja ditutup-tutupi dengan berkilah dan menggunakan kewenangannya untuk membungkap suara kritis dan gerakan kesadaran. Perilaku korup jadi trend, tindakan asusila dibiarkan, pelbagai pelaku kejahatan dilindungi sementara korbannya yang dihukum. Negeri yang benar-benar membuat rakyat muak dan jijik. Menjadi pesuruh dalam bidang politik. Menjadi budak dalam bidang ekonomi. Menjadi pengekor tanpa kepribadian dan konsumen yang dungu dalam kebudayaan. Sosial politik hancur digulung proyek rente dan jebakan utang, sosial ekonomi mewujud kemelaratan yang menjadi menu santapan saban hari rakyat Indonesia. Hukum dan pertahanan negara jadi barang dagangan, ibarat rentan diserang, diterkam dan disembelih oleh kekuatan uang dan jabatan. Tak ada lagi kebanggaan, tak ada lagi kemampuan yang bisa diandalkan untuk menjaga dan menyelamatkan negeri ini. Penyelenggara negara dalam beragam pemangku kepentingan publik, masif dan serba permisif merusak dan menghancurkan tatanan ipolesosbudhankam. Terlalu banyak pemimpin dan pejabat yang jika berbicara sering dusta, berjanji tak ditepati dan diberi kepercayaan tak amanah. Mirisnya, orang-orang itu yang sekarang duduk dalam kursi empuk dan dalam posisi penentu kebijakan publik. Sungguh bencana dan sangat mengerikan ketika negara dikuasai oleh para penjahat bengis berdasi. Pelaku kriminal tingkat berat seperti korupsi, pelanggaran HAM, merusak habitat dan ekositem sembari merampok kekayaan alam, bahkan tak segan-segan melakukan pembunuhan massal. Menjadi penguasa yang tak tersentuh hukum sedikitpun, angkuh dan arogan memamerkan kekuatan kejahatannya. Rakyat memang lemah dan tak berdaya. Tapi ada yang dilupakan rezim bahwa penderitaan rakyat sejatinya menjadi kekuatan rakyat. Dalam keputus-asaan dan rasa frustasi rakyat, sesungguhnya ada doa-doa rakyat yang tertindas, yang pesanya mampu mengetuk dan menembus pintu langit. Setiap usaha rakyat dalam menegakkan kebenaran, menuntut keadilan dan mengambil hak-haknya untuk hidup layak dan lebih baik, tak akan sia-sia. Bukan cuma atas nama demokrasi dan dilindungi konstitusi, amanat penderitaan rakyat itu di lihat, didengar dan diawasi kekuatan Tuhan Yang Tak Terbatas dan Maha Besar. Dalam gubuk-gubuk si miskin, dalam setiap aniaya yang dirasa dan dalam setiap kematian orang-orang yang lemah dantak berdaya, sesungguhnya ada kehadiran Tuhan untuk menjadi hakim yang adil. Tuhan akan menunjukkan langsung kekuasaannya, menolong orang-orang yang tertindas sembari menghukum orang-orang yang dzalim yang melampaui batas. Cepat atau lambat, Tuhan akan membuktikan kasih sayangnya bagi rakyat yang sabar atas penderitaannya sekaligus menghujam siksanya bagi rezim kekuasaan tiran yang otoriter dan diktator bak Firaun. Jauh di atas kekuasaan presiden, masih ada kekuasaan rakyat dan jauh di atas kekuasaan rakyat ada kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Keadilan Tuhan yang rahmatan lil\' a\'lamin yang berlaku bagi orang-orang yang teguh di jalan lurus bukan bagi orang-orang yang sesat. Bersabarlah wahai rakyat Indonesia, perubahan akan datang mewujudkan harapan kebaikan bagi Indonesia semua tanpa terkecuali. Rezim yang hianat dan keji ini, sedang dalam kesesatan dan berada pada jalan buntu kekuasaan. *) Dari pinggiran catatan kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 05 Februari 2023/ 14 Rajab 1444 H.
Minta Keadilan? Beli!!
Oleh Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SEBUAH karikatur menarik. Seorang anak memelas kepada orang dewasa yang berdiri di balik meja. Si anak berkata dan menuntut \"minta.. minta keadilan\" dijawab dengan wajah membentak oleh orang dewasa \"minta.. minta.. beliii !\". Mengenaskan ternyata soal keadilan yang harus dibeli. Artinya uang menentukan putusan adil atau tidak. Adalah video viral tentang seorang anggota Polisi bernama Madih mengungkapkan dirinya melaporkan tentang penyerobotan tanah milik orangtuanya. Ia berharap laporan orang tuanya diproses. Ia mempertanyakan dan meminta keadilan atas penyerobotan tanah milik keluarganya. Laporan ke polda Metro Jaya adalah upayanya. Dalam video tersebut Madih menyampaikan dirinya ternyata oleh Penyidik diminta uang dan hadiah. Ketika awak media bertanya berapa besaran dijawab oleh anggota Provost Polsek Jatinegara ini \"seratus juta dan tanah seribu meter\". Ia mengeluh atas perlakuan tersebut. Sebagai anggota Polisi ia dimintakan uang dan tanah oleh penyidik Polisi sendiri. Bukan rahasia lagi bahwa proses hukum di negara ini \"berbayar\" dalam arti perlu biaya meski formalnya dipastikan \"tidak berbayar\" atau sekedar \"biaya formal\". Pencari keadilan akan berhenti berjuang ketika ia kehabisan uang. Adanya istilah \"mafia hukum\" mengindikasikan keberadaan para pemain hitam di ruang hukum yang bisa mengatur vonis baik perdata, pidana maupun tata usaha negara. Pengacara, Panitera dan Hakim sebagai penegak hukum sering menjadi elemen dari ketidakadilan hukum. Ditambah Polisi dan Jaksa untuk kasus pidana. Meski kita tidak boleh menjeneralisasi tetapi sayangnya \"oknum\" itu banyak. Ketika seseorang memiliki masalah hukum maka yang pertama dilakukan adalah \"berhitung\" terlebih dahulu. Guyonannya untuk memperjuangkan seekor kambing siap-siap hilang seekor sapi. Hukum yang mahal. Mahfud MD ketika membandingkan korupsi orde baru dengan orde kini menyatakan bahwa dibanding orde baru kini jauh lebih gila korupsinya. Ia menyinggung juga hakim di pengadilan. Semestinya sebagai Menko Polhukam Mahfud MD bukan hanya bisa mengeluh tetapi bertindak. Ia punya otoritas untuk memperbaiki. Jika tak mampu ya mundur. Agama sudah mengingatkan dalam QS Al Baqarah 88 yang elemennya pertama, jangan merebut harta dengan bathil. Kedua, nanti timbul sengketa yang dibawa ke ruang pengadilan. Ketiga, hakim tidak adil sehingga putusan membuat dosa. Keempat, itu disadari sebagai rekayasa. Kini si anak memelas minta keadilan tetapi orang dewasa yang berkuasa membentak dengan keras \"minta.. minta... Belii !\". Kasihan rakyat pencari keadilan yang berhadapan dengan proses yang mengharuskan ia membeli keadilan itu. Sayangnya ia tidak mampu. Bandung, 5 Februari 2023
World Interfaith Harmony Week
Oleh Imam Shamsi Ali - Presiden Nusantara Foundation MINGGU pertama Februari telah ditetapkan sebagai pekan hubungan harmonis antar pemeluk agama se-dunia atau lebih populer dengan World Interfaith Harmony Week. Penetapan ini berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB (A/65/5) yang disponsori oleh Raja Abdullah dari Jordania di tahun 2010 yang lalu. Sejak itu di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York dan di seluruh dunia dilangsungkan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan relasi antar pemeluk agama-agama dunia. Tentu tanpa tendensi menyamakan, apalagi menyatukan agama-agama. Karena pastinya semua agama punya keunikan yang mendasar dan takkan mungkin bisa disamakan atau disatukan dengan yang lain. Saya sendiri sejak awal resolusi ini telah menginisiasi kegiatan tersendiri di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa New York. Sejak tahun 2011 lalu kami mengadakan pertemuan dan Dialog antar pemeluk agama di kota New York. Lalu sejak awal berdirinya Nusantara Foundation telah menjadi organisasi partner yang mengelolah acara tahunan itu. Tahun ini kembali dilangsungkan pada hari Jumat, 3 Januari 2023 di Markas PBB New York. Tema yang diusung kali ini adalah “Working together to achieve Peace, Gender Equality, Mental Health and Well Being, and Environmental Preservation”. Poin-poin utama dari tema ini adalah perdamaian, kesetaraan jender, kesehatan mental dan lingkungan hidup. Setiap pembicara dari tokoh-tokoh agama mengambil satu isu dari tema pertemuan. Ada yang berbicara tentang lingjungan hidup, kesetaraan jwnder, kesehatan mental, dan seterusnya. Pada kesempatan ini saya memilih tema utama “keadilan sebagai fondasi perdamaian”. Dalam waktu yang sangat singkat (Karena diburu oleh Jumatan) saya menyampaikan beberapa hal yang sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Tujuan saya adalah menggugah dan mengingatkan bahwa berbicara tentang perdamaian (peace) dengan tidak mengindahkan (undermined) keadilan adalah bagaimana mengukir di atas air. “Kehadiran kita semua pada hari inu untuk membucarakan hubungan harmoni di antara kita adalah bentuk pengakuan bahwa memang ada masalah di antara. Itulah yang menyadarkan kita untuk kembali memperbaikinya”, tegas saya. Saya kemudian menegaskan bahwa secara mendasar manusia itu adalah satu keluarga. Seraya mengutip kesepakatan antara Syeikh Al-Azhar dan Paus Francis tentang “Human Fraternity” atau persaudaran kemanusiaan, saya mengutip ayat Al-Quran, Surah Al-Hujurat ayat 13. Masalah utama hubungan antar manusia dan perdamaian dunia adalah ambruknya fondasi keadilan. Salah satunya adalah ketidak adilan ekonomi (economic injustice) yang dibangun oleh sistem dunia yang tidak adil. Inilah yang kemudian melahirkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Jurang antara si miskin dan si kaya semakin membesar. Saya menyebutkan bahwa justeru ancaman terbesar kepada perdamaian dunia (World peace) bukan perang, bahkan bukan kekerasan-kekuasaan yang kita saksikan di berbagai belahan dunia saat ini. Justeru kekerasan-kekerasan itu seringkali diakibatkan oleh ambruknya keadilan tadi. Saya tentunya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengingatkan semua yang hadir bahwa perdamaian itu harus dijaga. Salah satunya dengan menjaga sensitifitas hubungan antar manusia, termasuk hubungan antar pemeluk agama. Saya kembali mengingatkan bahwa betapa kita seringkali munafik (hypocritical) dalam menyikapi isu-isu dunia. Semua nilai-nilai menjadi baik ketika nilai itu memihak kepada kita. Toleransi, kerukunan, moderasi, kebebasan, dan lain-lain semua indah ketika berihak kepada kita. Tapi ketika nilai itu harus berpihak kepada orang lain kita merubah nilai itu menjadi ancaman bagi dunia. Saya mencontohkan kemunafikan itu dalam menyikapi pembakaran Al-Quran di Swedia baru-baru ini. Saya tegaskan kembali bahwa kebebasan itu ada batasnya. Kebebasan itu dibatasi oleh karakter yang bermoral atau basis moral dalam menjaga hak orang lain. “Saya punya kebebasan berbicara. Tapi ketika kata-kata saya menghina orang atau keyakinan orang lain maka itu bukan kebebasan. Itu adalah penghinaan dan kezholiman”. “And so burning the holy Quran or any other holy books is not an expression of freedom. It is an expression of ignorance, hate, and stupidity”. Itulah penegasan saya sebagai kata-kata penutup dari presentasi saya di acara itu. Saya yakin ada yang merasa tercubit dengan ketegasan saya. Sebab selalu ada ekspektasi di acara-acara seperti ini untuk kita berkata yang manis-manis saja. Tapi saya justeru yakin terkadang penyakit itu perlu obat yang pahit. Semoga kata-kata tegas, bahkan mungkin keras itu, didengar dan mendapat perhatian minimal oleh mereka yang hadir. Semoga! Manhattan City, 3 Januari 2023.
Apa Bedanya Nepotisme Anak Jokowi dengan Nepotisme Anak Soeharto?
Oleh Arief Gunawan - Pemerhati Sejarah SOEHARTO yang oleh O. G. Roeder, digambarkan sebagai The Smiling General, karena selalu tersenyum memperlihatkan keramahan, masa kecilnya ternyata penuh kontroversi. Dalam beberapa narasi dikisahkan ia lahir dari keluarga broken home dan kurang kasih sayang. Suatu hari, seperti dikisahkan oleh Ramadhan KH, di buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto mengaku nelangsa gara-gara baju lebaran. Pakaian baru untuk hari raya yang sudah dikenakannya harus dilepasnya, karena ternyata sang eyang membelikan pakaian itu bukan untuknya. “Saya merasa nista (hina). Saya nelangsa, sedih sekali. Waktu itu saya merasa, wah hidup ini kok begini. Saya pikir, kami sama-sama cicitnya, tetapi diperlakukan lain. Mas Darsono sudah mempunyai baju, sedangkan saya belum ...”. Sebagai penyusun autobiografi Soeharto Ramadhan KH mengaku Soeharto sangat sedikit mengungkapkan soal perasaan, namun rupanya Soeharto tak dapat melupakan kejadian yang dianggapnya sangat menyakitkan itu. Tahun 2001 terbit sebuah buku tentang analisis kejiwaan Soeharto yang disusun psikolog UI, berjudul Soeharto: Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat. Di salah satu bab buku yang ditulis Bagus Takwin, Niniek L Karim, dan Hamdi Muluk itu disebutkan “Soeharto Sebagai Kasus Langka Dalam Kajian Psikologi Politik”. Masa kecil yang liat, sulit, dan kurang kasih sayang menyebabkan ketika berkuasa Soeharto sangat protektif sekaligus permisif terhadap anak-anaknya. Ketika awal 1970-an putra-putri Cendana mulai terjun ke dunia bisnis Soeharto membiarkan. Ia marah dan mendeportasi wartawan Sydney Morning Herald, David Jenkins, yang menulis artikel “After Marcos, Now for the Soeharto Billions”. Nama-nama keluarga dan kerabat Cendana ditulis satu per satu di artikel itu. Ibu Tien disebutnya “Ibu Tien Persen”. Sedangkan Liem Sioe Liong sebagai cukong besar, dan diulas pula sepak terjang bisnis Sigit, Bambang, Tutut, Tommy, dan adik Soeharto, Probosutedjo. Kritik dan cercaan mengenai keserakahan dan nepotisme bisnis ini kala itu juga datang dari masyarakat. Termasuk dari sejumlah kolega Soeharto yang merupakan para purnawirawan jenderal Angkatan ‘45. Di antaranya dari bekas Pangdam Brawijaya/Wakasad Letjen M Jasin yang mengecam pembangunan lahan peternakan milik Soeharto di Tapos, Bogor, praktek bisnis anak-anak Cendana yang dari waktu ke waktu kian menggurita, dan pertikaian fisiknya dengan Kepala Bulog saat itu, Bustanil Arifin, yang beristrikan kerabat dekat Ibu Tien. Apa bedanya anak-menantu Soeharto dengan anak-menantu Jokowi dalam bisnis dan politik? Dalam waktu sekitar tujuh tahun jadi presiden anak-mantu Jokowi langsung menguasai bisnis dan politik. Gibran sang anak jadi walikota Solo. Sedangkan Bobby sang menantu walikota Medan. Belakangan muncul pula wacana memproyeksikan Gibran jadi gubernur Jakarta, sedangkan Kaesang digadang-gadang untuk menempati posisi walikota Solo. Tak tanggung-tanggung aset bisnis kedua anak lelaki Jokowi ini langsung pula mencapai ratusan miliar. Tajir melintir, kata istilah ABG zaman sekarang. CNBC Indonesia online, misalnya, menyebut bisnis tersebut bergerak di sektor makanan dan minuman hingga fashion. Antara lain Sang Pisang, Hompimpa Gamers, Sang Javas, Ternakopi, Madhang, Siap Mas, Mangkokku, Chili Pari, Markobar, Goola, Pasta Buntel, IColor, Mommilk, Yang Ayam, dan lainnya. Tidak jelas benar apakah produk-produk ini laku dan disukai oleh masyarakat. Esensinya praktek KKN dinasti Jokowi ternyata lebih ganas dan merusak dibandingkan dengan dinasti Soeharto. Berbeda dengan anak dan menantu Jokowi, anak-anak Soeharto setelah membangun kerajaan bisnis baru memasuki lapangan politik. Tutut dan Bambang Trihatmodjo masuk jadi pengurus pusat Golkar kurang lebih setelah duapuluh lima tahun Soeharto berkuasa. Tutut sempat jadi menteri sosial sekitar tiga bulan, yaitu Maret 1998 hingga 21 Mei 1998, setelah mendekati 32 tahun Soeharto berkuasa, sebelum akhirnya Soeharto dijatuhkan oleh kemarahan dan rasa muak rakyat yang menginginkan perubahan yang lebih baik. Tidak sedikit yang berkata bahwa dinasti politik yang di dalamnya bercokol nepotisme adalah suatu hal yang biasa, karena terjadi juga misalnya di Amerika Serikat (seperti berkuasanya klan Kennedy, Bush, atau Donald Trump), di India, Pakistan, dan beberapa negara lain. Bedanya dengan disini, dinasti politik dan nepotisme di sana umumnya lebih terkontrol karena adanya pengawasan dan penegakan rule of law, DPR-nya berfungsi, pers-nya melakukan tugas jurnalisme secara benar sebagai salah satu pilar demokrasi, aparatur keamanannya bukan bagian dari mafia, lembaga-lembaga anti korupsinya tidak tebang pilih, selain itu secara umum masih adanya standar moral dan standar etika yang dipegang oleh para pemangku jabatan. Di sini dinasti politik dan nepotisme berkembang subur lebih karena watak aji mumpung, rakus dan serakah, serta adanya mentalitas terabas yang mengesampingkan rasa malu. Dinasti politik dan nepotismenya juga bersumber dari mentalitas feodal yang berkelindan dengan kolonialisme yang paralel dengan penjajahan dan penindasan. *****
Barter Desa dengan Istana
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan KEPALA Desa demo ke DPR berjuang untuk memperpanjang masa jabatannya dari 6 tahun menjadi 9 tahun. UU No 6 tahun 2014 tentang Desa minta dikoreksi. Jika berhasil tuntutannya maka Kepala Desa dapat menjabat 3 Periode kali 9 tahun total 27 tahun. Presiden Jokowi seperti biasa menyatakan menghormati aspirasi walau UU membatasi 6 tahun. Dapat menjabat tiga periode. \"Tiga periode\"\' seru Jokowi sambil menujukkan tiga jarinya. Sewaktu ramai adanya dukungan agar masa jabatan Presiden itu tiga periode, Jokowi menyatakan bahwa Konstitusi membatasi masa jabatan dua periode. Akan tetapi jika ada aspirasi tiga periode ya boleh-boleh saja \"kita negara demokrasi\" serunya. Jokowi hadir dalam berbagai acara yang dikemas sebagai \"Musyawarah Rakyat (Musra)\" dengan isu politik antara lain perpanjangan masa jabatan hingga tiga periode. Jokowi tidak eksplisit mendukung aspirasi jabatan Kepala Desa 9 tahun. Namun mobilisasi Kepala Desa yang menuntut penambahan terasa \"by design\". Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mendukung penambahan masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun. Menurut Ketua Apdesi versi Surtawijaya Ketua Dewan Pembina Apdesi adalah Luhut Binsar Panjaitan. Sementara Penasehat ada Menteri Desa Abdul Halim Iskandar dan ada pula Mendagri Tito Karnavian. Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar sangat mendukung masa jabatan Kepala Desa 9 tahun. Dan itu tentu suara Istana. Dahulu Jokowi pernah menyatakan bahwa tidak ada visi dan misi Menteri yang ada adalah visi misi Presiden. Jadi Luhut, Tito dan Halim adalah kepanjangan tangan dari \"visi misi \" Presiden Jokowi. Mendorong gerakan Desa untuk mempengaruhi kebijakan Pusat adalah gaya masa Orla dengan PKI nya. Kini entah ada sambungan atau tidak soal Gerakan Desa 9 tahun dengan Gerakan Istana 3 Periode ? Faktanya adalah munculnya Gerakan Desa 9 tahun ternyata berbarengan dengan hangatnya Gerakan Istana 3 Periode. Aspek simbiosisnya adalah Istana akan membantu perjuangan Kepala Desa untuk dapat menambah masa jabatan menjadi 9 tahun sedangkan Kepala Desa akan membantu, mendorong dan mendesak agar Presiden mendapat legalitas menjabat 3 Periode. Saling menguntungkan. Hal seperti ini adalah bentuk dari \"politik barter\" yang sebenarnya menjadi ciri dari \"politik primitif\". Memang kadang bahasa politik yang dikemukakan Presiden Jokowi itu harus dibaca sebaliknya \"tidak pakai dana APBN\" artinya akan menggunakan, \"new smart city\" dibaca new mangkrak city, \"harga BBM stabil\" artinya naik \"meroket\" itu nyungsep. Jadi bacaan untuk Indonesia maju itu adalah Indonesia mundur. Aspirasi Desa sama dengan menggiring atau memperalat Desa. Memang kita dididik untuk menjadi bangsa yang arif. Faham akan kata bersayap. Bandung, 4 Februari 2023
Menakar Koalisi Indonesia Bersatu
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan SETELAH Koalisi Perubahan yang terdiri dari Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS menyatukan suara untuk Capres Anies Baswedan, kini orang mulai memelototi Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN dan PPP. kemana arah pencapresannya apakah Airlangga atau Ganjar. Prabowo dan Puan bukan opsi karena keduanya punya partai sendiri atau cukup koalisi sederhana. Awalnya ramai perkawinan Prabowo-Puan. Tidak mudah bagi KIB untuk segera menentukan pilihan padahal dalam \"pertarungan\" ini penting untuk segera diketahui siapa yang menjadi penantang Anies Baswedan? Atau memang Anies Baswedan tidak punya lawan yang seimbang? Paling \"senior\" di antara tiga partai KIB tentu Partai Golkar sehingga figur yang paling layak dimajukan adalah Airlangga Hartarto Ketum Golkar. Masalahnya sudah diprediksi jika Airlangga bertarung melawan Anies Baswedan maka Airlangga akan kalah dengan mudah dan telak. Pada survey \"badut-badutan\" saja prosentase Airlangga itu jeblok. Pilihan lain adalah Ganjar Pranowo titipan Jokowi dan oligarki. Ada kendala serius untuk mengusung Ganjar melalui KIB, yaitu Ganjar adalah kader PDIP, alangkah memalukannya Partai Golkar yang menjadi \"pesaing\" PDIP harus mengusung kader PDIP untuk Capres. Di samping Ganjar sendiri tidak \"pede\" jika keluar dari lingkaran PDIP. Ganjar ciut dan tidak berani melawan Ketum nya yang \"pintar, cantik dan kharismatik\". Kemungkinan lain KIB bergabung dengan Koalisi Perubahan. Mengincar posisi Cawapres saja berpasangan dengan Anies Baswedan. Maunya Anies-Airlangga. Kedatangan Surya Paloh ke Kantor DPP Golkar adalah pertanda. Belum lagi upaya Jusuf Kalla yang berusaha untuk menjembatani dua kubu Koalisi ini. Lemparan nama \"Khofifah\" adalah pancingan agar KIB cepat bergabung. Eksponen tiga partai KIB sudah membentuk Sekber untuk dukungan kepada Anies Baswedan. Hal ini dapat menggiring KIB terpaksa bergabung bersama Anies Baswedan. Jika demikian ini akan menjadi Koalisi terbesar dan mainstream perubahan. Peta politik baru untuk menyudahi era \"Jokowi and his gang\". Jokowi dipastikan panik. Ia dengan segala cara dan berbagai alasan berupaya untuk memperpanjang masa jabatan, bahkan otak-atik tiga periode. Megawati tidak sejalan dengan Jokowi untuk pilihan ini. PDIP masih yakin menjadi pemenang Pemilu yang diadakan tahun 2024. PDIP tinggal memikirkan Presiden/Wakil Presiden saja. Di sinilah krusialnya Gerindra dan PDIP yang ragu untuk menyatukan kekuatan. Jokowi tidak bersamanya, artinya oligarki bisnis tidak mendukung. Maunya Jokowi itu bukan Prabowo atau Puan tetapi Ganjar. Cuma ya itu Ganjar \"tidak punya partai\". Muncul Prabowo-Jokowi atau bahkan Megawati-Jokowi hanyalah lelucon politik sebagai hiburan di masa sakaratul maut kekuasaan. Kini tinggal menunggu KIB untuk mengambil keputusan. Pilihan bergabung KIB dan Koalisi Perubahan adalah tiket kemenangan Anies Baswedan untuk Presiden. Kemenangan partai-partai gabungan untuk selamat sekaligus kekalahan berat \"Jokowi and his gang\". Mengubah wajah politik PDIP menjadi tidak cantik dan kharismatik lagi. Gagal memiliki petugas partai baru di tahun 2024. Bergabung KIB dan Koalisi Perubahan adalah pilihan pragmatis, realistis dan strategis. Strategis untuk memulai menjalankan agenda perubahan. Bersama Koalisi Rakyat untuk Perubahan. Gerakan rakyat semesta. Bravo Anies Rasyid Baswedan. Bandung, 03 Februari 2023
Situasi Pemerintah Jokowi Hari Ini Mirip Tahun 1965
Oleh Rahman Sabon Nama - Mantan Anggota Kepala Staf Presiden, Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara (PDKN). Analis Politik dan Pemerhati Masalah Pertahanan dan Keamanan Viral beredarnya video Mantan Menteri Hukum & HAM RI Denny Indrayana, terkait percakapan diduga mirip suara Menkopolhukam Prof.Mafud MD beredar luas menjadi viral di ruang khalayak publik. Oleh karenanya analisis saya ini sebagai pencerahan dan menjadi renungan kita sebagai bangsa terkait wacana memperpanjang masa jabatan Presiden, Penundaan Pemilu 2024 dan Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945 Asli dengan Kajian Analisis singkat sebagai berikut: Situasi bangsa dan negara saat ini mirip sama bahkan tidak jauh beda dengan situasi menjelang pergantian Era Orde Lama (Soekarno) ke Era Orde Baru (Soeharto). Bahwa situasi setelah dibentuk Konstituante hasil pemilihan umum tahun 1955, terjadi penyimpangan sehingga Konstituante tidak lagi menjalankan fungsinya untuk menetapkan Undang Undang Dasar, karena sebagian besar anggotanya tidak mau lagi menghadiri sidang Konstituante. Berbeda dengan situasi saat ini yaitu DPR sebagai wakil rakyat lumpuh/mandul tidak menjalankan fungsinya sebagai layaknya wakil rakyat. Keadaan yang demikian itulah mendorong dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959. 1. Setelah Dekrit Presiden (1959 hingga 1965) Pembubaran Konstituante dan dibentuknya MPRS dan DPRS karena terjadi penyimpangan perilaku individualisme para elit kekuasaan mengarah pada anarkisme rakyat pendukung yang membawa keburukan cukup luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Walaupun konstitusi sudah berdasarkan pada UUD 1945 ,tetapi tidak diberlakukan secara murni dan konsekuen sehingga Lembaga lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK dalam pelaksanaannya dimanipulasi tidak berdasarkan UUD 1945 terutama oleh PKI yang makin mendominasi politik. 2. Presiden Soekarno mengeluarkan produk undang-undang yang seharusnya menjadi kewenangan legislatif dalam bentuk penetapan presiden tanpa persetujuan DPR. 3. Kegiatan infiltrasi ket ubuh TNI/Polri kedalam tubuh kekuatan sosial politik dan Malahan MPRS Mengambil Keputusan dengan menetapkan dan mengangkat Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, yang jelas-jelas bertentangan dengan Ketentuan dalam UUD 1945. 4. Hak Budget / Hak Anggaran dan Pengawasan DPR tidak berjalan sehingga lahir RAPBN yang bukan atas persetujuan DPR. Bahkan tahun 1960 terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR sehingga DPR dibubarkan oleh Soekarno. 5. Penyimpangan kekuasaan berakibat memburuknya situasi Politik dan Keamanan nasional sehingga merosotnya ekonomi dan daya beli masyarakat menurun tajam bahkan daerah-daerah bergolak sehingga pengendalian pereknomian pemerintah pusat praktis lumpuh karena daerah bebas melakukan perdagangan dengan luar negeri lewat sistem barter. 6. Penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang berpuncak pada pemberontakan G.30.S.PKI dukungan China tahun 1965 yang bermaksud merebut kekuasaan dengan mengganti dasar negara Pancasila dengan Komunisme/Markxisme. 7. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sesungguhnya baru dilakukan di era pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1969 yaitu Orde Baru. Suatu orde tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa dan nusa dibangun dengan itikad baik pemerintah untuk mengabdi pada rakyat dan kepentingan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 8. Situasi saat ini mirip-mirip sama sepertinya hendak dipraktekan kembali oleh pemerintahan Jokowi dengan situasi mirip sama dengan situasi menjelang pemberontakan dan pengkhianatan bangsa dan negara lewat pemberontakan bersenjata G30S PKI tahun 1965. Faktanya adalah China komunis bertambah leluasa untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia hampir menguasai tidak hanya ekonomi dan sumber kekayaan alam kita, akan tetapi hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sudah dikuasainya. 9. Pemutarbalikan Pancasila dengan memberi arti yang sempit oleh kekuatan sosial dalam Parpol dengan memberi arti yang sempit untuk keuntungan dan kepentingan kelompoknya dan apabila hal ini terus dibiarkan maka Pancasila tinggal menjadi nama tanpa makna. 10. Pelemparan isu perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 serta dipertontonkan berbondong-bondongnya TKA China baik legal maupun ilegal yang diduga Tentara Merah China seolah dibiarkan pemerintah/imigrasi menyerbu masuk di berbagai daerah Indonesia. 11. Hak individu dan kelompok organisasi dibatasi seolah memberi peluang komunis semakin menyusup di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Jalatundo Mojokerto, 02 Februari 2023.
Pemerintahan Jokowi Gagal Mengatasi Kemiskinan
Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) TINGKAT kemiskinan per September 2022 sebesar 9,57 persen atau 26,36 juta penduduk, naik 0,35 persen dibandingkan 3 tahun sebelumnya, September 2019, dengan tingkat kemiskinan 9,22 persen atau 24,75 juta penduduk. Yang lebih mengenaskan, tingkat kemiskinan selama delapan tahun pemerintahan Jokowi hanya turun 1,39 persen saja! Tingkat kemiskinan per September 2014 sebesar 10,96 persen, versus 9,57 persen per September 2022. Sungguh malang nasib rakyat miskin Indonesia! Data tingkat kemiskinan tersebut jelas menunjukkan pemerintah sudah gagal *mengentaskan* kemiskinan. Jangankan mengentaskan, sekedar mengurangi kemiskinan, dengan jumlah yang masuk akal, juga gagal. Secara internasional, di antara negara-negara ASEAN-4, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam, kegagalan Indonesia dalam mengatasi kemiskinan semakin nyata. Menurut garis kemiskinan internasional, dengan pendapatan di bawah 3,65 dolar AS per orang per hari, (kurs 2017 PPP), atau sekitar Rp591.033 per bulan, kemiskinan Indonesia pada 2021 mencapai 22,4 persen. Sedangkan kemiskinan Malaysia dengan garis kemiskinan yang sama hanya 0,4 persen pada 2015. Artinya, tingkat kemiskinan Malaysia saat ini kemungkinan besar sudah nol. Sedangkan kemiskinan Thailand dengan garis kemiskinan yang sama juga sangat rendah, hanya 0,7 persen pada 2020. Vietnam yang baru menata kembali ekonominya pada 1986, setelah perang berkepanjangan dengan Perancis dan Amerika Serikat (1946-1954, 1954-1975), kemudian dengan China (1979-1991), hanya mempunyai tingkat kemiskinan 5,3 persen pada 2018. Saat ini tingkat kemiskinan Vietnam tersebut pasti sudah jauh lebih rendah lagi. Data yang disajikan Bank Dunia tersebut sangat jelas menunjukkan pemerintahan Jokowi gagal mengatasi kemiskinan. Padahal, tahun 2022 yang lalu merupakan kesempatan sangat langka bagi pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Karena pendapatan negara pada 2022 naik drastis akibat kenaikan harga komoditas. Realisasi pendapatan negara 2022 naik Rp623 triliun (31,1 persen) terhadap 2021, dan lebih tinggi Rp780 triliun (42,3 persen) dari yang dianggarkan di dalam APBN 2022. Ternyata, pemerintah gagal memanfaatkan kenaikan pendapatan ini untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Entah tidak mampu atau tidak mau. Tetapi, apapun alasannya, masyarakat melihat telah terjadi proses pemiskinan, yang membuat angka kemiskinan naik 0,03 persen atau 200 ribu penduduk selama periode Maret 2022 hingga September 2022. Penyebab utama kenaikan kemiskinan ini, sebagai berikut. Pertama, kenaikan pajak (PPN) pada 1 April 2022, yang membuat harga barang-barang konsumsi naik. Kedua, kenaikan harga komoditas pangan dan inflasi global. Salah satunya harga minyak goreng yang melonjak tajam, bahkan sempat langka akibat korupsi izin ekspor, yang pelakunya hanya dihukum sangat ringan, padahal kelangkaan minyak goreng sempat memakan dua korban jiwa antrian minyak goreng yang “meng-ular”. Ketiga, kenaikan harga BBM pertalite dan solar pada 3 September 2022, dengan alasan APBN akan jebol karena subsidi BBM, yang kemudian dikoreksi menjadi subsidi energi, mencapai Rp502 triliun, yang kemudian dipropagandakan akan naik lagi menjadi Rp700 triliun, akibat kenaikan konsumsi BBM. Ternyata, semua alasan ini tidak benar, tidak terbukti, atau bohong. Faktanya, realisasi subsidi BBM dan LPG 3 Kg untuk tahun 2022 ternyata hanya Rp115,6 triliun saja. Bahkan subsidi listrik 2022 turun 0,64 persen dibandingkan 2021, akibat kenaikan tarif listrik. Terakhir, keempat yang tidak kalah fatalnya, realisasi defisit APBN 2022 hanya Rp464 triliun, jauh di bawah defisit yang dianggarkan sebesar Rp868 triliun. Selisih Rp404 triliun! Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempunyai ruang gerak fiskal sangat besar untuk menekan tingkat kemiskinan. Misalnya, kenaikan harga BBM pada 3 September 2022 diperkirakan hanya mengurangi subsidi BBM sekitar Rp32 triliun saja. Angka ini sangat tidak signifikan dibandingkan kenaikan pendapatan negara maupun ruang gerak defisit anggaran yang masih sangat besar, yaitu Rp404 triliun. Tetapi, dampak kenaikan harga BBM ini sangat fatal, tingkat kemiskinan naik. Membiarkan realisasi defisit APBN jauh di bawah yang dianggarkan, tetapi di saat bersamaan mengakibatkan tingkat kemiskinan meningkat, dapat masuk kategori kejahatan kemanusiaan. Apa gunanya APBN yang sudah disetujui oleh DPR kalau realisasinya jauh melenceng dari rancangan, yang berakibat fatal bagi kepentingan rakyat? Bukankah APBN dirancang untuk kepentingan rakyat banyak? Maka itu, DPR seharusnya memanggil Menteri Keuangan dan Presiden untuk minta penjelasan terkait realisasi defisit APBN yang jauh melenceng tersebut. Di mana peran DPR? Apa gunanya DPR? Semua ini terkesan ada pembiaran dan kesengajaan pemiskinan. (*)
Demokrat dan PKS Akhirnya Memecah Kebuntuan
Oleh Yarifai Mappeaty - Kolumnis PENSUKUNG Anies di seantero negeri pun mengucap syukur, lantaran Demokrat dan PKS telah menyatakan secara resmi mencapreskan Anies. Dengan bergabungnya kedua parpol itu, utuh sudah perahu “Koalisi Perubahan” yang akan mengantar dan mengawal Anies, setelah syarat presidential threshold (PT) 20 % telah terpenuhi. Begitu bahagianya, tak sedikit yang berpuasa tiga hari. Bahkan ada yang hendak memotong kambing melepas nazar. Maklum, semanjak Nasdem mendeklarasikan Anies, hampir empat bulan lamanya mereka hanya diam sambil menahan rasa sakit di-bully. Bayangkan ketika mereka dibilangi, “Partai mana yang mau usung Anies? Ngimpi kalian. Surya Paloh paling-paling cuma ngeprank, tak sungguh-sungguh mengusung Anies. Bagi Surya Paloh, mau Anies capres atau tidak, gak ada urusan. Yang penting, Nasdem sudah meraup untung dengan meraih simpati kalian.” Masih banyak lagi lontaran yang lebih menyakitkan dari pada itu. Tapi mau bilang apa? Sebab realitasnya, Nasdem saja memang tak cukup. Setidaknya, masih butuh dua parpol lagi. Harapannya tentu pada Demokrat dan PKS. Namun belum apa-apa, keduanya sudah pada ngotot mengajukan kadernya masing-masing sebagai cawapres. Masih ingat bagaimana media-media mainstream mem-blow up Demokrat mengajukan AHY, sedangkan PKS mengajukan Ahmad Heryawan? Akibatnya, “Koalisi Perubahan” yang telah digagas pun seolah menemui jalan buntu. Nasib pencapresan Anies juga seperti terkatung-katung tanpa kepastian. Sebenarnya masih ada alternatif. Jika merujuk pada histori antara Anies dan Prabowo, maka Gerindra adalah sebuah opsi. Dapat disebutkan bahwa Anies sampai di titik ini, saat ini, berkat campur tangan Prabowo. Di lain pihak, antara Prabowo dan Surya Paloh, biar bagaimanapun adalah kawan lama, sehingga tidak sulit menjalin komunikasi. Koalisi Nasdem dengan Gerindra menghasilkan 23,8% kursi di Parlemen. Tetapi masalahnya, peluang terbentuknya koalisi ini, nyaris mustahil. Sebab Prabowo sendiri adalah capres Gerindra. Elektabilitasnya cukup diperhitungkan, meskipun trennya terus menurun. Kecuali jika Prabowo mendapat wangsit untuk mengalah. Opsi lainnya adalah PAN dan PPP. Pertimbangannya, Anies memiliki kedekatan secara emosional dengan kedua partai ini di tingkat akar rumput. Buktinya, massa kadua partai bersangkutan sedang melakukan pergolakan untuk mendesak partainya mengusung Anies. Jika koalisi Nasdem, PAN, dan PPP terwujud, akan meraup 21,22% kursi di parlemen. Tetapi terbentuknya koalisi ini juga hampir tidak mungkin, karena sejak jauh hari, PAN dan PPP telah dipasung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Lagi pula, misi KIB adalah mengawal Anies agar tetap zonder parpol pengusung. Bahkan, konon, motif pelengseran Suharso Monoarfa dari pucuk pimpinan PPP, adalah untuk mencegah partai tersebut membelot ke Anies. Pendukung Anies pun semakin kehilangan asa, terlebih setelah melihat sikap Jokowi yang terkesan tak rela kehilangan kekuasaan. Idea perpanjangan masa jabatan presiden juga makin kencang diwacanakan oleh para penikmatnya, meski hal itu jelas-jelas melanggar konstitusi. Jika saja idea haram itu sampai dilegalkan, maka, peluang Anies juga ikut melayang. Namun sayang bagi Jokowi, hasratnya untuk terus berkuasa pupus, terutama karena ditentang keras oleh PDIP, parpol pendukung utamanya sendiri. Sadar kalau idea itu sulit terwujud, maka pilihan yang tersisa tinggal meng-endorse sosok capres tertentu. Menurutnya, sosok itu ialah rambutnya putih semua dan banyak kerutan di wajahnya. Upaya menjegal Anies tak hanya dari sisi politik, tapi juga dari sisi hukum, di mana skenario “merompiorangekan” Anies dijalankan secara simultan. Firli Bahuri, Ketua KPK, sudah pernah mencobanya. Namun percobaan itu gagal untuk sementara, karena keburu bocor. Tetapi jangan senang dulu, sebab konspirasi merompiorangekan Anies tampaknya tak pernah surut. Seluruh rekam jejaknya selama menjadi gubernur, terus dikutui. Terbaru, Anies diisukan korupsi bansos beras. Padahal, ternyata beras yang ditemukan menumpuk di sebuah gudang di Pulogadung itu, adalah sisa hasil usaha milik Perumda DKI Jakarta yang menunggu dilelang. Melihat semua itu, pendukung Anies mulai patah arang. Bahkan tak sedikit yang berpendapat bahwa mungkin perjalanan Anies memang hanya sampai di situ. Namun di tengah situasi itu, muncul secercah harapan tatkala PKS menampik rayuan istana. Meski ditawari dua pos Menteri, PKS tak tergiur dan tetap bergeming memilih sebagai oposisi. Selain hal itu memberi keyakinan bahwa PKS tak kemana-mana, juga sekaligus menepis isu kalau PKS bisa dibeli, seperti yang ditudingkan selama ini. Jika PKS memilih tetap bergeming, maka, Demokrat apa lagi. Deklarasi mendukung Anies, hanya soal waktu, menunggu hari baik. Benar saja, AHY, Ketum Partai Demokrat, memilih hari baik 25 Januari 2023, sedangkan PKS memilih 30 Januari 2023. Demokrat dan PKS pada akhirnya memecah kebuntuan bagi terbentuknya “Koalisi Perubahan”. Saya lalu membayangkan permainan sepakbola. Dengan penuh percaya diri, Nasdem menjemput bola dari bawah. Tebasan lawan dari berbagai arah, tak membuatnya surut. Ketika bola sampai di tengah, Demokrat menyambutnya. Gocek sedikit sembari meliuk-liuk, lalu melepas umpan lambung ke daerah gawang lawan. PKS yang berdiri bebas di sana kemudian menyambarnya dengan tendangan first time, dan, gol. Sementara itu, dari bangku VVIP Koalisi Indonesia Bersatu, tampak PAN dan PPP duduk termangu setelah menyaksikan gol yang terjadi. Mungkin keduanya sedang memikirkan untuk segera membubarkan diri, demi menyelamatkan partai masing-masing. Makassar, 02 Pebruari 2023.