Demokrat dan PKS Akhirnya Memecah Kebuntuan
Oleh Yarifai Mappeaty - Kolumnis
PENSUKUNG Anies di seantero negeri pun mengucap syukur, lantaran Demokrat dan PKS telah menyatakan secara resmi mencapreskan Anies. Dengan bergabungnya kedua parpol itu, utuh sudah perahu “Koalisi Perubahan” yang akan mengantar dan mengawal Anies, setelah syarat presidential threshold (PT) 20 % telah terpenuhi.
Begitu bahagianya, tak sedikit yang berpuasa tiga hari. Bahkan ada yang hendak memotong kambing melepas nazar. Maklum, semanjak Nasdem mendeklarasikan Anies, hampir empat bulan lamanya mereka hanya diam sambil menahan rasa sakit di-bully.
Bayangkan ketika mereka dibilangi, “Partai mana yang mau usung Anies? Ngimpi kalian. Surya Paloh paling-paling cuma ngeprank, tak sungguh-sungguh mengusung Anies. Bagi Surya Paloh, mau Anies capres atau tidak, gak ada urusan. Yang penting, Nasdem sudah meraup untung dengan meraih simpati kalian.”
Masih banyak lagi lontaran yang lebih menyakitkan dari pada itu. Tapi mau bilang apa? Sebab realitasnya, Nasdem saja memang tak cukup. Setidaknya, masih butuh dua parpol lagi. Harapannya tentu pada Demokrat dan PKS. Namun belum apa-apa, keduanya sudah pada ngotot mengajukan kadernya masing-masing sebagai cawapres.
Masih ingat bagaimana media-media mainstream mem-blow up Demokrat mengajukan AHY, sedangkan PKS mengajukan Ahmad Heryawan? Akibatnya, “Koalisi Perubahan” yang telah digagas pun seolah menemui jalan buntu. Nasib pencapresan Anies juga seperti terkatung-katung tanpa kepastian.
Sebenarnya masih ada alternatif. Jika merujuk pada histori antara Anies dan Prabowo, maka Gerindra adalah sebuah opsi. Dapat disebutkan bahwa Anies sampai di titik ini, saat ini, berkat campur tangan Prabowo. Di lain pihak, antara Prabowo dan Surya Paloh, biar bagaimanapun adalah kawan lama, sehingga tidak sulit menjalin komunikasi.
Koalisi Nasdem dengan Gerindra menghasilkan 23,8% kursi di Parlemen. Tetapi masalahnya, peluang terbentuknya koalisi ini, nyaris mustahil. Sebab Prabowo sendiri adalah capres Gerindra. Elektabilitasnya cukup diperhitungkan, meskipun trennya terus menurun. Kecuali jika Prabowo mendapat wangsit untuk mengalah.
Opsi lainnya adalah PAN dan PPP. Pertimbangannya, Anies memiliki kedekatan secara emosional dengan kedua partai ini di tingkat akar rumput. Buktinya, massa kadua partai bersangkutan sedang melakukan pergolakan untuk mendesak partainya mengusung Anies. Jika koalisi Nasdem, PAN, dan PPP terwujud, akan meraup 21,22% kursi di parlemen.
Tetapi terbentuknya koalisi ini juga hampir tidak mungkin, karena sejak jauh hari, PAN dan PPP telah dipasung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Lagi pula, misi KIB adalah mengawal Anies agar tetap zonder parpol pengusung. Bahkan, konon, motif pelengseran Suharso Monoarfa dari pucuk pimpinan PPP, adalah untuk mencegah partai tersebut membelot ke Anies.
Pendukung Anies pun semakin kehilangan asa, terlebih setelah melihat sikap Jokowi yang terkesan tak rela kehilangan kekuasaan. Idea perpanjangan masa jabatan presiden juga makin kencang diwacanakan oleh para penikmatnya, meski hal itu jelas-jelas melanggar konstitusi. Jika saja idea haram itu sampai dilegalkan, maka, peluang Anies juga ikut melayang.
Namun sayang bagi Jokowi, hasratnya untuk terus berkuasa pupus, terutama karena ditentang keras oleh PDIP, parpol pendukung utamanya sendiri. Sadar kalau idea itu sulit terwujud, maka pilihan yang tersisa tinggal meng-endorse sosok capres tertentu. Menurutnya, sosok itu ialah rambutnya putih semua dan banyak kerutan di wajahnya.
Upaya menjegal Anies tak hanya dari sisi politik, tapi juga dari sisi hukum, di mana skenario “merompiorangekan” Anies dijalankan secara simultan. Firli Bahuri, Ketua KPK, sudah pernah mencobanya. Namun percobaan itu gagal untuk sementara, karena keburu bocor.
Tetapi jangan senang dulu, sebab konspirasi merompiorangekan Anies tampaknya tak pernah surut. Seluruh rekam jejaknya selama menjadi gubernur, terus dikutui. Terbaru, Anies diisukan korupsi bansos beras. Padahal, ternyata beras yang ditemukan menumpuk di sebuah gudang di Pulogadung itu, adalah sisa hasil usaha milik Perumda DKI Jakarta yang menunggu dilelang.
Melihat semua itu, pendukung Anies mulai patah arang. Bahkan tak sedikit yang berpendapat bahwa mungkin perjalanan Anies memang hanya sampai di situ. Namun di tengah situasi itu, muncul secercah harapan tatkala PKS menampik rayuan istana.
Meski ditawari dua pos Menteri, PKS tak tergiur dan tetap bergeming memilih sebagai oposisi. Selain hal itu memberi keyakinan bahwa PKS tak kemana-mana, juga sekaligus menepis isu kalau PKS bisa dibeli, seperti yang ditudingkan selama ini.
Jika PKS memilih tetap bergeming, maka, Demokrat apa lagi. Deklarasi mendukung Anies, hanya soal waktu, menunggu hari baik. Benar saja, AHY, Ketum Partai Demokrat, memilih hari baik 25 Januari 2023, sedangkan PKS memilih 30 Januari 2023. Demokrat dan PKS pada akhirnya memecah kebuntuan bagi terbentuknya “Koalisi Perubahan”.
Saya lalu membayangkan permainan sepakbola. Dengan penuh percaya diri, Nasdem menjemput bola dari bawah. Tebasan lawan dari berbagai arah, tak membuatnya surut. Ketika bola sampai di tengah, Demokrat menyambutnya. Gocek sedikit sembari meliuk-liuk, lalu melepas umpan lambung ke daerah gawang lawan. PKS yang berdiri bebas di sana kemudian menyambarnya dengan tendangan first time, dan, gol.
Sementara itu, dari bangku VVIP Koalisi Indonesia Bersatu, tampak PAN dan PPP duduk termangu setelah menyaksikan gol yang terjadi. Mungkin keduanya sedang memikirkan untuk segera membubarkan diri, demi menyelamatkan partai masing-masing.
Makassar, 02 Pebruari 2023.