Sodetan Kali Ciliwung, Antara Kepatuhan Hukum dan Keberpihakan Pada Rakyat
Oleh Usamah Abdul Aziz - Ketua Jakarta Maju Bersama (JMB).
Belakangan ini, muncul isu mengenai proyek sodetan Kali Ciliwung yang dianggap mangkrak selama enam tahun. Lucunya, komentar tersebut dilontarkan oleh Menteri PU Basuki dan PJ Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi. Mengapa lucu? Mari ku jelaskan sedikit.
Pertama, perlu saya garis bawahi, bila isu tersebut diterima oleh orang yang tidak memahami prosedur sebuah kebijakan publik, tentu akan ditelan mentah-mentah. Sayangnya juga, beberapa media ikut menelan mentah-mentah isu tersebut. Walau ada kabar baiknya juga, yaitu beberapa media yang melakukan fact check dan menulis kronologinya.
Bila berbicara mengenai sebuah proyek pembangunan, tentu tak bisa dilepaskan dari yang proses pembebasan lahan. Menilik proyek sodetan Kali Ciliwung, tentu juga tak bisa dilepaskan dari prosedur pembebasan lahan.
Proyek ini sebenarnya bermasalah di masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama. Pada tahun 2015, proyek ini mendapat gugatan warga, khususnya di daerah Bidara Cina. Mereka menuntut proyek ini dihentikan karena dilakukan secara semena-mena dan tanpa sosialisasi ke warga.
Di tahun berikut, tepatnya 25 April 2016, PTUN mengabulkan gugatan warga. Gubernur DKI Jakarta dinyatakan bersalah. Tapi pak BTP, tidak terima dengan keputusan tersebut dan mengajukan kasasi atas putusan PTUN pada 27 April 2017.
Setelah pilkada 2017 selesai dan dimenangkan oleh Anies Baswedan, proyek ini sempat tidak jelas statusnya. Artinya proyek tidak bisa dilanjutkan karena masih dalam status sengketa di pengadilan. Hal ini tentu membuat proyek terhenti.
Setelah hadir langusung kelokasi dan melakukan diskusi di rumah warga, Pada 2019, akhirnya Anies Baswedan mencabut kasasi yang pernah dilayangkan pak Ahok ke PTUN. Langkah ini perlu diambil, agar proyek sodetan Kali Ciliwung bisa dilanjutkan lagi. Setelah kasasi dicabut, Anies menyiapkan langkah-langkah untuk melanjutkan proyek sodetan Kali Ciliwung.
Pada 2021, proses pembebasan lahan dimulai, sosialisai ke warga dijalankan, kali ini warga terlibat, pendapatnya didengar . Penganggaran juga dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Bahkan pada 4 Agustus 2021, Anies Baswedan bersama Luhut Binsar Panjaitan dan Basuki Hadimoeljono meninjau proses lanjutan sodetan dan normalisasi Kali Ciliwung yang sudah lebih dari 50% rampung dan di targetkan akan selesai pada awal 2023, persis dengan waktu yang di claim oleh pak menteri dan pak PJ saat ini, dan sebenarnya target ini sudah ditentukan oleh Kemen PU dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) sejak 2021, fakta tersebut bisa dilihat di twitter resmi kemen PU.
Mengapa proyek ini terlihat sedikit tertunda? Jawabnya adalah karena Anies taat hukum dan peduli dengan nasib rakyat kecil. Bila proyek ini lanjut terus, sementara perkara hukum belum selesai, berarti pejabat publik mengajari rakyat bagaimana cara melanggar hukum. Anies tak mau melakukan itu.
Selain untuk menunjukkan bahwa setiap kebijakan harus berdasar dan tunduk pada hukum, tujuan Anies juga sebagai bentuk tanggung jawab dan keberpihakan kepada rakyat kecil. Bila status hukum sudah pasti dan sosialisasi sudah dilakukan dengan menyeluruh, maka rakyat terjamin hak-haknya. Mereka bisa mendapatkan hak-hak mereka secara layak.
Begitulah, sebuah kebijakan yang diambil oleh seorang pejabat sudah seharusnya taat hukum dan berpihak kepada rakyat banyak. Anies Baswedan menjadi contoh. (*)