Tokoh Agama dan Pemilu

Oleh Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Jogjakarta 

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Pemilu merupakan cara untuk menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan. Pemilu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat yang berkontribusi untuk menemukan pemimpin terbaik bagi bangsa Indonesia melalui pesta demokrasi. 

Pemilu ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPD, serta DPRD Kabupaten/Kota yang dilakukan setiap 5 tahun sekali. Melalui amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, dilakukan langsung oleh rakyat dan dari rakyat. 

Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan 11 prinsip penyelenggara Pemilu, yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.

Pilpres sebagai bagian dari Pemilu diadakan pertama kali pada 2004. Pemilu harus dilakukan secara berkala, karena memiliki fungsi sebagai sarana pengawasan rakyat terhadap wakilnya.

Pemilihan Umum di Indonesia menganut asas LUBER, singkatan dari Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung, dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

Pada era reformasi berkembang asas Jurdil, yakni Jujur dan Adil. Asas jujur mengandung arti bahwa Pemilihan Umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan; bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya; dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat. 

Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat peserta pemilu, dan juga penyelenggara pemilu.

Peradaban manusia sudah demikian maju. Masyarakat menikmati hasil cipta, rasa, dan karsa berupa produk-produk budaya yang tergolong modern. Seluruh umat manusia merasakan betapa dunia telah dipersatukan oleh globalisasi teknologi informasi, sebagai kelanjutan dari peradaban umat manusia yang dibangun bersama.

Berbagai perubahan terjadi menyangkut tatanan kehidupan sosial, agama, politik, dan kebudayaan. Bangsa Indonesia tidak boleh melupakan akar budayanya yang mengandung nilai-nilai luhur: Bhinneka Tunggal Ika; bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.

Berbagai fenomena sosial yang muncul akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan. Kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi hal yang umum. Pemaksaan kebijakan terjadi pada hampir setiap level institusi, dan dianggap biasa, dan manipulasi informasi menjadi hal yang lumrah. 

Karakter masyarakat yang santun dalam berperilaku, bermusyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, dan gotong-royong, berubah menjadi hegemoni kelompok yang saling mengalahkan. Hal itu dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Salah satu agenda penting bangsa kita adalah menggelorakan ajakan penegakan titik temu, untuk menghindari keretakan dan ketercerai-beraian, serta kehancuran.

Betapa agama kuat sekali menyerukan titik temu itu, karena kita dihadirkan ke dunia untuk membawanya secara bersama ke arah yang lebih maju dan lebih baik. 

Banyak orang yang telah memisahkan manusia atas kategorisasi organisasi primordial, hingga memposisikan dirinya atas kategorisasi kami, dan mereka. Idiom-idiom yang digunakan di publik cenderung tidak sesuai dengan pesan Sumpah Pemuda Indonesia tahun 1928: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.

Hidup beriman dan beragama menyangkut seantero hidup dan kehidupan pribadi dan masyarakat. Semua umat beragama niscaya saling menghargai dan menghormati. Dalam kehidupan masyarakat hendaknya mengembangkan sikap-sikap saling menghargai dan kerja sama antar pemeluk agama yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup. 

Kerukunan hidup memancarkan sikap toleransi dan perdamaian antar-umat beragama, tanpa mencampur aduk ajaran satu agama dengan yang lain; membedakan atara ritual dan seremonial; hubungan vertikal dan horizontal. 

Agama menembus batas-batas kesukuan, kedaerahan, dan kebangsaan, serta mempersatukan bangsa, membawa damai, dan yang menyokong pembangunan. Agama meneguhkan persaudaraan universal.

Agama dapat menjadi sumber pertentangan yang mengganggu stabilitas kesatuan bangsa, kerukunan, keamanan, kedamaian, dan ketahanan nasional. Pancasila menjadi bingkai, perekat, dan pemersatu kehidupan bangsa Indonesia. 

Sikap memandang rendah agama-agama bukan-agamanya merugikan agama sendiri dan agama lain, dan dapat menjadi sumber konflik yang menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. 

Keragaman agama yang dikenal dengan istilah pluralisme, kian hari kian mendapatkan perhatian. Pluralisasi dan orientasi keberagaman yang mengemuka secara massif seringkali tak dapat dikendalikan oleh siapa pun dan kekuatan apa pun. Pluralisme berlandaskan atas prinsip agree in disagreement — setuju dalam perbedaan.

Dinamika ekspresi keberagaman di era demokrasi berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik antar masyarakat. Diperlukan moderasi untuk menjaga keharmonisan di masyarakat dengan semboyan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.”  

Moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga, dan masyarakat dengan indikator: (1) anti kekerasan, (2) komitmen kebangsaan, (3) pemahaman, dan (4) akomodatif terhadap budaya lokal.  

Belakangan ramai perbincangan mengenai politik identitas. Seorang muslim dianggap tidak baik jika memilih pemimpin berdasarkan agamanya, dengan alasan hal itu merupakan bentuk “politik identitas” yang buruk akibatnya. 

Jika yang dimaksud dengan “politik identitas” adalah memilih pemimpin muslim yang memperjuangkan kemaslahatan umat dan bangsa, maka hukumnya wajib. Namun, jika yang dimaksud mengeksploitasi dan memperjualbelikan Islam dan simbol-simbolnya untuk kepentingan politik pribadi dan golongan tertentu, maka hukumnya haram, dan merupakan kemunafikan. 

Tokoh agama dan masyarakat bertanggung jawab mewujudkan kerukunan umat beragama yang dilandasi saling pengertian, dan saling menghormati dalam pengamalan ajaran agamanya.

Para tokoh agama, dengan tempat ibadahnya masing-masing, menjadi modal masyarakat Kota Yogyakarta dalam mewujudkan keamanan dan kedamaian di masa Pemilu. Ing ngarsa asung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Tokoh agama menjadi jembatan strategis bagi umat untuk menjaga dan mewujudkan keamanan, kedamaian, pencegahan, mediasi, dan penyelesaian konflik di masyarakat.  

Pengurus Rumah Ibadah diharapkan memberikan pemahaman tentang dinamika pelaksanaan Pemilu yang selalu berkembang, dan aktif mengajak jamaah memelihara kondisi yang aman dan damai untuk mewujudkan Pemilu yang LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, serta Jujur, dan Adil). 

Stake holder hendaknya ikut berperan aktif menjaga dan memelihara kondisi masyrakat agar tidak terpecah belah karena adanya perbedaan hak pilih dalam Pemilu.

Semua pihak niscaya mengantisipasi dan mencegah tindakan-tindakan yang dapat merusak kerukunan, keamanan, dan kedamaian masyarakat.

Pilihan Boleh Beda, Kerukunan, Keamanan, dan Kedamaian Harus Tetap Terjaga. (*)

442

Related Post