Mengapa Tesla dan Air Products Batal Investasi?

Oleh Jon A.Masli, MBA - Corporate Adviser, Pengamat FDI & Diaspora USA

TULISAN ini bermaksud menganalisa tentang mengapa dua perusahaan raksasa Fortune 500 Amerika, yang bernilai buku dan market capitalization ratusan milyar dollar, yaitu Tesla dan Air Products, hengkang investasi di Indonesia?

Mereka bikin heboh iklim investasi FDI di Indonesia dalam kurun waktu kurang dari dua minggu ini, Air Products & Tesla batal investasi di Indonesia. Indonesia kita tahu pasar dengan potensi penduduk  nomor 4 terbesar di dunia dan ekonomi terbesar di ASEAN, meskipun ekspor Indonesia masih ranking ke 5 mengekor negara-negara tetangga kecil seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura.

Padahal sumber daya alam kita kaya dengan aneka mineral seperti nickel yang berlimpah untuk EVnya Tesla dan juga batubara untuk produk methanol dan gasifikasinya Air Products. Namun mengapa mereka tetap hengkang?

"Tega sekali," kata banyak netizen. Padahal mereka  sudah di-lobby mesra  all out oleh Presiden Jokowi dan  Menko Marinvest, Opung Luhut Binsar Panjaitan beserta  delegasinya berjas hitam lengkap berdasi ke Headquartersnya Tesla di Texas dan California. Mereka disambut hangat santai oleh Elon Musk dengan berkaos oblong sambil mencicipi permen kopiko.

Demikian juga CEO Air Products, Seifi Chasemi, eksekutif kondang warga negara Amerika keturunan Iran/Persia lulusan Stanford University,  sempat diundang khusus Presiden Jokowi ke istana  bertemu tim Bahlil. Beliau konon sudah berkomitmen berinvestasi $2 milyar J/V dengan PT Kaltim Prima Coal memproduksi methanol. Bahkan Seifi-pun turut hadir di ground breaking proyeknya di Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Ada beberapa hal yang membuat dua perusahaan raksasa ini hengkang. Pertama, perubahan teknologi super cepat. Terutama dalam kasus Tesla, domains perkembangan baru belasan teknologi baterei mobil listrik  switch dari Nickel metal hydride menjadi Lithium- ion. Mungkin ini pemicu utama batalnya Tesla berinvestasi di Indonesia. Teknologi baterei mobil listrik sekarang berkurang menggunakan Nickel, tapi Lithium-ion. Bahkan baru-baru ini ada EV batterei dari bahan Fluoride, Salt dan Sodium. Silahkan google dan lihat di Youtube betapa maju pesatnya perkembangan teknologi batterei mobil listrik ini. MIT atau Massachusetts Institute of Technology-pun ikut-ikutan  menawarkan tech EV batterey dengan bahan plastic high grade. Demikian juga CATL dari Cina ternyata sudah invest di Thacker Pass, Nevada( konon ini tempat tambang Lithium deposit terbesar di AS). CATL sudah kontrak memproduksi baterei Lithium-ion untuk Tesla. 

Jadi Nickel sudah tidak menjadi daya tarik lagi bagi Tesla. Elon Musk juga barusan mengumumkan proyek investasi $ 376 juta membuat pabrik Lithium refinery di Robstown, Texas, 25 menit dari Corpus Christie. Barangkali petinggi-petinggi Indonesia waktu melobi Tesla, mereka     masih yakin  bahwa Nickel adalah andalan batterei mobil listrik. Faktanya: "Ain't no more Jose! EV tech changed too fast!".

Kini batterei Lithium-ion lagi in high demand.  Saya baru tahu setelah melihat belasan video Tesla, Ford, BMW   Neo, dan Hyundai dll  sudah meninggalkan Nickel Metal Hydride Batterey, dan sudah fokus di Lithium dan zodium yg lebih efisien,  environment friendly, dan murah dengan charging speed yang  lebih cepat dan longer range. Sayang Indonesia tidak punya SDA Lithium yang memadai.

Mirip dengan alasan Tesla tapi beda. Air Products juga beralasan technologi mengingat mereka lagi berinvestasi $ 4 miliar dengan AES Corporation, membangun hydrogen plant energi terbarukan/ green energy dengan tenaga angin dan solar sel matahari.Tadinya Air Products akan memanfaatkan batubara untuk proyek gasifikasi membuat methanol joinan dengan KPC. Tapi batubarakan teknologi fosil.Pemegang saham Air Products-pun menyambut baik proyek green energy baru mereka, apalagi investasinyadi AS. Mungkin inilah juga yang menjadi pertimbangan Air Products batal invest di Indonesia.

" Does it make sense, if you invest in fossil tech in a country located 17,000 miles away whilst you can also invest in green energy project in your own backyard here in Texas, USA  with much less risks.Which option do you prefer?"kata Wayne J, temanku eksekutif senior, sebuah perusahaan private equity fund di NYC. Itulah alasan tehnologi yang mungkin menjadi alasan  utama mengapa Tesla dan Air Products   hengkang.

Kedua, pemasaran dan distribusi.Tesla ke Malaysia untuk tujuan marketing dan distribusi menjual mobil-mobil listriknya ke negara-negara Asia dan ASEAN dengan memanfaatkan ASEAN and China trade agreement. Tesla mungkin mempertimbangkan masalah logistik juga. Mereka masih belum pasti dimana  membuat pabrik EV di Indonesia? Kalau Air Products sudah ditawarkan di Bengalon, Kalimantan.Tapi untuk Tesla itu sulit mengingat biaya logistik Indonesia yang masih mahal. Tesla pilih di Malaysia, karena semua bahan body dan batterei mobil listrik Tesla tinggal dikirim dari Cina Ke Malaysia lewat darat. Kalau CBU juga praktis tinggal masalah bea masuk.

Bila di Indonesia, import bahan-bahan EV CKD dari Cina, lewat laut, di-asembling di Jawa, jual ke Asia dan Asia Tenggara, juga harus lewat laut lagi. Jadi  biaya logistik tetap lebih mahal. Begitulah makanya Tesla putusin ke investasi di Malaysia. Apalagi kalau  mereka sudah lakukan FS oleh konsultannya. Tapi so pasti ada juga pertimbangan-pertimbangan lain seperti masalah kestabilan politik Indonesia  menjelang Pemilu 2024, faktor ekonomi untuk Air Products yang melihat tingginya harga batubara, kepastian hukum,  buruh militan dll. Sehingga mereka putuskan untuk batal investasi di Indonesia. Fakta lain Tesla juga memanfaatkan Trade agreement NAFTA bikin pabrik di Mexico, tetangga dekatnya.

Lalu solusinya apa dengan hengkangnya kedua raksasa ini? Well, usulan yang logis adalah kita berpaling dan melobi competitors Air Products di AS, seperti Linde Group. Atau di Afrika selatan, dengan Rhome & Haas dan Suzhou Chemical yang milik Cina. Mereka pemain besar bisnis gasifikasi.

Kalau pengganti Tesla, banyak kok mobil-mobil listrik Cina yang tidak kalah canggih dengan Tesla, seperti NEO dan BYD yang segera akan masuk pasar AS bersaing dengan Tesla, Lucid, Audi, Volvo, Hyundai dll. Tentu Pak LBP dan  Bahlil sudah pasti tahu apa yang harus dilakukan belajar dari  kasus hengkangnya Tesla dan Air Products  ini. Satu hal lagi, jangan lupa kita  juga perlu siapkan feasibility study waktu melobi para investor. High level lobbying itu perlu, tapi lebih bagus lagi kalau kita juga siap dengan FS yang mantab. Ini kelemahan kita pejabat-pejabat Indonesia, biasa kalau mengundang ngelobi investor kerap overlooked peran FS. Jadi ketika mereka ketemu Elon ngajak bikin pabrik batterei EV,  Elon sudah tahu,  kita tidak punya lithium dan graphite, bahan baku utama baterei EV. Sedang para pejabat kita tetap PD, punya nickel. Padahal Lithium yang menjadi primadona baterei EV, bukan nickel lagi. Menurut Google negara yang paling banyak deposit Lithium itu, adalah Chile, Argentina, Australia dan Cina. Baru-baru ini disinyalir  ada banyak Lithium di Afghanistan. Jadi bukan kita. (*)

3048

Related Post