OPINI
Presiden Hiper
Proses sejarah sedang berlangsung ke depan hiper akan beranak pinak ada hiper cebong, hiper plonga-plongo, hiper nanar, hiper nyinyir, Hiper mbelgedes. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih INI bukan siapa mendukung siapa, capres dari partai apa koalisi dengan siapa mencalonkan siapa. Tetapi ini yaitu fenomena proses demokrasi yang memang belum bisa berkembang dengan normal. Di negara agraris yang masih memproduksi generasi politik loyalitas total, tunduk dan menjadi relawan membabi buta karena ikatan politik transaksional. Fungi akal sehat begitu mudah ambyar hanya kena gendam politik ecek ecek transaksi recehan. Bahkan merasa nyaman menjadi peternakan para, bandit, bandar dan badut politik. Bagi pengamat politik eselonnya sudah tamat sekolah kejar paket A atau B dengan sertifikat asli, cukup bisa baca tulis. Tidak perlu selevel Profesor honor /hororis causa bisa menikmati fenomena capres yang sudah mengacaukan kerajaan rezim menjadi limbung, maka sang capres tersebut harus dicegah, dihentikan dan dimatikan dengan berbagai rekayasa. Kita cermati hiburan murah gratis lagi: Presiden dengan percaya diri mengatakan setelah saya adalah menjadi jarah PS = Hiper dungu. Capres ke depan rambut putih berwajah keriput = “hiper lingkung” Bahwa AB bukan orang Indonesia asli (dia keturunan Arab), bahkan sekarang di-backup oligarki, tidak layak maju sebagai calon = Hiperbolik Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyebut bahwa safari politik AB mencuri start kampanye. Ha ha ha .. Anies sendiri saat ini belum resmi ditetapkan sebagai calon presiden (capres) = Hiper koplak. AB dituding curi panggung, padahal setiap ketemu masa kadang dari atas mobil atau panggung disediakan para relawan, kenapa dibilang mencuri = hiper cemas. Tiba tiba muncul rekayasa penundaan pemilu, bisa ditebak ada ketakutan yang akut = Hiper ketakutan. Rezim sibuk mencegat ijin atau mencabut lokasi pertemuan yang sebelumnya sudah diijinkan = Hiper sontoloyo. Proses koalisi yang biasanya menjadi ajang dan lahan jualan lapak bagi partai yang tidak bisa mencalonkan capresnya, semua bobor (tidak laku) = Hiper bingung. Munculnya antusias masyarakat yang luar biasa menyambut kehadiran Anies Baswedan di setiap momen pertemuan dengan rakyat, tanpa rekayasa dan semua spontanitas, jelas ini membuat rezim = Hipertensi. Proses sejarah sedang berlangsung ke depan hiper akan beranak pinak ada hiper cebong, hiper plonga-plongo, hiper nanar, hiper nyinyir, Hiper mbelgedes. Sebuah tontonan yang menyenangkan, menggembirakan dan mengasikan ketika mereka dari hasil kesepakatan, musyawarah atau melalui voting semua masuk kolam kesurupan. (*)
Bupati Meranti Sebut Kemenkeu Iblis dan Setan: Inikah “Politik Pembangkangan” Pejabat Daerah terhadap Pemerintah Pusat?
2. Protes Bupati Meranti terkait DBH migas menunjukkan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Dan ini bukanlah kasus pertama yang terjadi. Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati, Dosen Universitas Online (UNIOL) 4.0 Diponorogo I. PENGANTAR Heboh! Pernyataan keras Bupati Meranti Muhammad Adil yang menyebut pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai iblis atau setan, berbuntut panjang. Adil mengatakan Kemenkeu telah mengeruk keuntungan dari eksploitasi minyak di daerah Kepulauan Meranti. Tak ayal, Adil mendapat teguran keras dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, usai bertemu langsung pada Senin, 12 Desember 2022. Teguran tersebut sekaligus penegasan bahwa sebagai kepala daerah apa pun masalahnya harus menggunakan bahasa yang beretika dan menunjukkan sikap kenegarawanan (tempo.co, 13/12/2022). Mendagri sebagai atasan dari kepala daerah (gubernur, bupati, serta walikota) sudah sewajarnya untuk mendidik dan mengarahkan bawahannya. Dan kami kira, teguran keras itu lebih dari sekadar etika saat berkomunikasi, namun sebagai bentuk peringatan keras agar kepala daerah tidak melawan, menentang, atau protes terhadap kebijakan publik oleh pusat. Meski beberapa pengamat menilai tindakan Bupati Meranti tersebut bisa menginspirasi kepala daerah lainnya untuk mengkritik pemerintah pusat, namun sebagai pejabat mestinya harus tahu tata krama. Dalam Tap MPR No.6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Politik dan Pemerintahan telah diatur bahwa etika harus terwujud dalam perilaku politik seperti tidak arogan, tidak munafik, tidak manipulatif, dan berbagai tindakan tak terpuji lainnya. Kata iblis tentu tidak pantas diucapkan demi memberi stempel terhadap orang lain apa pun alasannya. Selain itu menyisakan sebuah pertanyaan, benarkah tindakan Adil merupakan bentuk \"politik pembangkangan\" dari pejabat daerah terhadap pemerintah pusat. II. PERMASALAHAN Untuk menyelisik di balik ucapan Bupati Meranti yang menyebut pegawai Kemenkeu sebagai iblis dan setan, penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang melatarbelakangi Bupati Meranti menyatakan bahwa Kemenkeu berisi iblis dan setan? 2. Apakah protes Bupati Meranti terkait dengan dana bagi hasil (DBH) migas menunjukkan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah? 3. Bagaimana pola hubungan pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan prinsip kepemimpinan yang berkeadilan sosial? III. PEMBAHASAN A. DBH Tak Sesuai, Bupati Meranti Sebut Kemenkeu Berisi Iblis dan Setan Cnbcindonesia.com (13/12/2022) mewartakan, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah se-Indonesia, Bupati Meranti, Muhammad Adil tampak marah saat bertemu dengan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lucky Alfirman. Kemarahan Adil terkait besaran dana bagi hasil (DBH) produksi minyak yang kian minim diberikan oleh Kemenkeu. Padahal realitasnya, harga minyak Meranti terus meninggi di tengah terkereknya harga minyak dunia dan naiknya nilai tukar dolar AS. Jumlah minyaknya pun bertambah bahkan hampir 8.000 barel perhari. Dengan besaran produksi ini, seharusnya DBH yang diberikan sesuai. Adil telah berulang kali menyurati Kemenkeu untuk melakukan audiensi, tetapi jajaran kementerian meminta audiensi dilakukan online. Adil lalu mengadu kepada Kemendag dan semua bisa dijalankan secara offline. Menurut Adil, pada 2022 Meranti menerima DBH Rp 114 miliar dengan asumsi harga minyak di US$ 60 dolar per barel. Adapun tahun depan, Meranti akan mendapatkan DBH mengacu asumsi harga minyak US$ 100 dolar per barel sesuai nota keuangan. Namun kata Adil, hal di atas harus dikonfirmasi dengan susah payah ke Kemenkeu. Adil pun menceritakan, dirinya harus mengejar jajaran Kemenkeu hingga ke Bandung, Jawa Barat. Sayangnya, pertemuan tidak dihadiri oleh pejabat yang kompeten. Hingga Adil menyebut, “Ini uang keuangan isinya iblis atau setan.” Perlu diketahui, Meranti merupakan salah satu daerah produsen minyak terbesar di Indonesia yang mampu memproduksi minyak mentah hingga 7.500-8.000 barel per hari, dari sebelumnya hanya di kisaran 3.000-4.000 barel per hari. Jumlah produksi itu menurut Adil telah hampir menyamai target yang diberikan SKK Migas yaitu 9.000 barel perhari. Untuk mengejar target itu, Meranti gencar menggali sumur dari tahun ini 15 sumur, hingga 2023 sebanyak 19 sumur minyak mentah. Tapi ternyata dengan kinerja produksi itu, ia menganggap uang hasil produksi Meranti yang diserahkan ke pemerintah pusat tidak diberikan secara benar. Sebagaimana disampaikan di atas, DBH tahun 2022 sebesar Rp 114 miliar dan tahun depan, nilainya hanya naik sekitar Rp 700 juta. Padahal, asumsi harga minyaknya US$ 100 perbarel. Adil menilai, dana yang tidak terserahkan ini menjadi masalah karena Meranti merupakan daerah miskin ekstrem berjumlah penduduk miskin mencapai 25,68%. Padahal Presiden Jokowi telah memerintahkan penuntasan kemiskinan ekstrem pada 2024. Ia mempertanyakan, jadi kalau Meranti daerah miskin, pusat mengambil uangnya beralasan pemerataan, pemerataan ke mana? Bila tidak ada kejelasan, Adil meminta agar pemerintah tidak mengambil minyak dari Meranti. Demikianlah latar belakang Bupati Meranti menyatakan Kemenkeu berisi iblis dan setan karena menganggap besaran DBH migas yang diterima tidak sepadan dengan banyaknya hasil produksi minyak Meranti yang diambil oleh pemerintah pusat. B. Disharmonisasi Relasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Balik Protes Bupati Meranti Ekonom Senior INDEF Didik Junaidi Rachbini memahami kekesalan dan kekecewaan Bupati Meranti Muhammad Adil. Menurutnya, persoalan DBH sudah berjalan cukup lama bahkan sejak orde baru sehingga keluhan ini terbilang wajar. Meski bukan berarti ucapan kasar boleh terlontar dari mulut pejabat publik, dari menghina Kemenkeu, mengancam untuk angkat senjata dan bergabung dengan negeri sebelah, serta menggugat ke mahkamah. Didik menilai, ucapan dan tindakan seorang pejabat negara seperti ini sudah bisa dikategorikan makar. Dan jika hal ini dibiarkan, akan banyak lagi pejabat negara yang mulai mengoyak NKRI dan kesatuan bangsa menjadi rapuh. Sehingga persoalan menjadi lebih berat lagi masalah NKRI dan makar (cnbcindonesia, 13/12/2022). Tak dipungkiri, aroma disharmonisasi relasi antara pemerintah pusat dan daerah pun tercium dari protes Bupati Meranti ini. Terkesan terjadi persetujuan antara Bupati Meranti dengan Kemenkeu. Seiring penjelasannya soal mekanisme DBH, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menyayangkan pernyataan Bupati Meranti. Prastowo meminta Adil memperbaiki kinerjanya untuk memajukan daerah miskin alih-alih menyampaikan pandangan tak berdasar dan tak sesuai mekanisme kelembagaan. Ia menganggap, publik terkecoh dengan sikap Adil yang seolah heroik untuk rakyat. Padahal menurutnya, faktanya ini manipulatif karena justru pusat terus bekerja dalam bingkai konstitusi dan NKRI. Prastowo lantas menyoroti rendahnya penyerapan anggaran Meranti yang menunjukkan bahwa kabupaten ini belum optimal mengelola anggaran terutama dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan yang tinggi, 25,68 persen. Ia menunjuk, dari pengelolaan APBD, sejak 2016 rata-rata serapan belanja hanya 82,11 persen. Untuk 2022 baru terealisasi 62,49 persen saja per 9 Desember 2022 (tempo.co, 11/12/2022). Persoalan kurang harmonisnya pemerintah pusat dan daerah dalam tata kelola dana hasil produksi migas memang tak hanya terjadi kali ini. Sebelumnya, pada tahun 2014-2016, Pemprov Kalimantan Timur maupun pemerintah kabupaten/kota mengalami penurunan sumber pendapatan daerah yang cukup drastis dari dana perimbangan keuangan. Pemerintah pusat dipandang tidak adil dalam memberikan porsi dana perimbangan kepada daerah penghasil sumber daya alam (SDA). Mengapa hal ini bisa terjadi? Sejak masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan pola hubungan pusat daerah yang cenderung sentralistik, menyebabkan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit terwujud hingga saat ini. Kesenjangan antara daerah berlanjut dengan ketidakadilan pembagian hasil alam. Meski migas dan batu bara melimpah, Kalimantan Timur tidak dapat menikmati hasil alamnya lantaran terganjal regulasi atau peraturan perundang-undangan yang tidak memihak kepada daerah penghasil. Sementara kondisi infrastruktur seperti listrik masih sangat memprihatinkan. Lebih ironis lagi di Kota Samarinda, dikepung oleh operasional izin kuasa pertambangan batu bara. Akibatnya setiap hujan Samarinda banjir, bahkan lebih dari sepuluh anak tercebur dan mati sia-sia di kolam eks galian tambang. Bagi daerah yang memiliki hasil alam seperti pertambangan, regulasi yang ada dirasa belum adil, karena DBH antara pusat dan daerah mengenai hasil tambang sangat sedikit proporsinya untuk daerah bersangkutan. Padahal dampak akibat eksploitasi tambang menimpa masyarakat penghasil SDA. Mencermati pasal 14 huruf c UU Nomor 33 Tahun 2004, daerah hasil pertambangan umum hanya menerima 20%, sedangkan 80% untuk pemerintah pusat. Selanjutnya pada huruf e pasal sama, daerah penghasil minyak bumi hanya menerima 15,5%, sedangkan 84,5% menjadi hak pemerintah pusat. Pasal 14 huruf f yang mengatur bagi hasil pertambangan gas bumi agak sedikit menggembirakan bagi daerah penghasil, karena proporsi yang diterima sebanyak 30,5% bagi daerah penghasil, sedangkan 69,5% menjadi hak pemerintah pusat. Demikianlah gambaran tidak harmonisnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di balik protes Bupati Meranti. Dan ternyata ini adalah persoalan klasik terkait DBH hasil tambang yang mencerminkan ketidakadilan terhadap masyarakat di daerah. C. Pola Relasi Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mencerminkan Prinsip Kepemimpinan yang Berkeadilan Sosial Adanya pembedaan proporsi DBH antara sumber penghasilan satu dengan lainnya akan berakibat ketimpangan penerimaan daerah. Bagi daerah yang mempunyai SDA seperti sektor pertambangan akan merasakan ketidakadilan. Apalagi dampak negatif eksploitasi tambang cukup besar dan cukup lama dirasakan masyarakat lokasi pertambangan. Bagi daerah penghasil SDA yang cukup melimpah, merasakan kebijakan DBH sangat tidak adil. Problematika yang muncul akibat pemberlakuan pola perimbangan keuangan antara pusat dan daerah seperti ini, khususnya dalam DBH sektor pertambangan perlu dicarikan formula tepat agar tidak terjadi ketimpangan keuangan (kesejahteraan) antara satu daerah dengan daerah yang lain, maupun ketimpangan antara pusat dan daerah. Layak untuk menggagas sebuah pola relasi pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan prinsip kepemimpinan yang berkeadilan sosial, khususnya soal DBH sektor migas yaitu: 1. Relasi pemerintah pusat dan daerah harus terjalin baik dan harmonis dalam bingkai melaksanakan kewajiban meri\'ayah (melayani) rakyat demi mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran mereka. Bukan demi kepentingan penguasa atau segelintir orang baik di pusat maupun daerah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Imam adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.” (HR. Bukhari). 2. Terkait pengelolaan hasil SDA, pemerintah semestinya memahami bahwa kekayaan alam merupakan kepemilikan umum (harta rakyat). Adapun pemerintah wajib mengelolanya dengan baik dan amanah, serta \"mengembalikan\" hasilnya untuk kepentingan rakyat. Sehingga pemerintah memastikan betul bahwa hasil SDA tidak akan dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak sah memilikinya. 3. Untuk menghindari kesenjangan kesejahteraan antardaerah dan antara pusat dengan daerah, pemerintah mendistribusikan DBH berdasarkan kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah, terutama kebutuhan pokok baik individual (pangan, sandang, papan) maupun komunal (pendidikan, kesehatan). Pun kebutuhan infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, dan lain-lain yg mendorong pada terwujudnya kemaslahatan rakyat. Maka DBH dibagi tanpa memandang daerah tersebut menghasilkan SDA lebih banyak atau tidak, atau lebih mementingkan pemerintah pusat. Tapi yang menjadi ukuran adalah jumlah DBH diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bila kebutuhan terpenuhi, kesejahteraan terwujud, masyarakat dan pejabat daerah tidak akan mengeluarkan protes. 4. Bila terjadi permasalahan; ketidakpuasan, keluhan, kekecewaan dari masyarakat, pemerintah daerah mengkomunikasikan secara baik ke pusat dan pusat mesti menanggapi secara transparan. Jangan sampai pejabat daerah mengkomunikasikan kekesalannya tanpa etika memadai bahkan cenderung provokatif. Ini akan menjadi pembelajaran negatif bagi rakyat, dan memicu konflik dengan pemerintah pusat. 5. Jika perlu ada perbaikan regulasi, baik undang-undang maupun aturan main di bawahnya, demi memastikan bahwa tujuan negara mewujudkan kesejahteraan rakyat bisa teraih. Demikianlah pola relasi pemerintah pusat dan daerah untuk mewujudkan kepemimpinan yang berkeadilan sosial. Dalam sistem pemerintahan bernuansa kapitalistik sekuler, penguasa memang cenderung hanya memikirkan keuntungan diri dan kroninya. \"Wajar\" bila rakyat atau pejabat daerah berteriak menyuarakan protes ketidakadilan. Bila menghendaki terwujudnya keadilan hakiki bagi seluruh rakyat, sistem Islam adalah alternatif pilihannya. Tinggal manusianya, mau atau tidak menerapkannya? IV. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas, penulis mengajukan kesimpulan sebagai berikut: 1. Bupati Meranti menyatakan Kemenkeu berisi iblis dan setan karena menganggap besaran DBH migas yang diterima tidak sepadan dengan banyaknya hasil produksi minyak Meranti yang diambil oleh pemerintah pusat. 2. Protes Bupati Meranti terkait DBH migas menunjukkan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Dan ini bukanlah kasus pertama yang terjadi. 3. Pola relasi pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan prinsip kepemimpinan yang berkeadilan sosial khususnya terkait DBH migas, yaitu: relasi pemerintah pusat dan daerah harus terjalin baik dan harmonis dalam bingkai melaksanakan kewajiban meri\'ayah (melayani) rakyat, terkait pengelolaan hasil SDA pemerintah semestinya memahami bahwa kekayaan alam merupakan kepemilikan umum (harta rakyat), lalu untuk menghindari kesenjangan kesejahteraan antardaerah dan antara pusat dengan daerah, pemerintah mendistribusikan DBH berdasarkan kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah. Selain itu, bila terjadi permasalahan, pemerintah daerah mengkomunikasikan secara baik ke pusat dan pusat mesti menanggapi secara transparan. Jika perlu ada perbaikan regulasi, baik undang-undang maupun aturan main di bawahnya, demi memastikan tujuan negara mewujudkan kesejahteraan rakyat bisa teraih. Pustaka Menyoal Hubungan Pusat dan Daerah, dpmpd.kaltimprov.go.id, 17 Februari 2016. (*)
Hanya Kecurangan yang Bisa Mengalahkan Anies
Tetapi bagi kelompok yang kehilangan nalar dan akal sehatnya ini, perbuatan ini tidak disebut sebagai curi start, melanggar aturan pemilu dan hal-lain yang menjadi aturan pemilu. Tuduhan itu hanya untuk Anies saja. Oleh: Isa Ansori, Kolumnis ANIES Baswedan memang hanyalah mantan seorang pejabat Gubernur DKI Jakarta. Anies kini juga hanya rakyat biasa sebagaimana kebanyakan rakyat Indonesia yang lainnya. Yang membedakan Anies dengan rakyat yang lainnya, Anies merupakan bakal calon presiden yang diusung oleh Partai Nasdem dan bahkan akan menyusul Partai Demokrat dan PKS yang tergabung dalam koalisi perubahan. Mengapa Anies diusung oleh Partai Nasdem dan tinggal menunggu momentum oleh Partai Demokrat dan PKS? Tentu ini karena semangat idealisme Partai koalisi perubahan untuk memperbaiki Indonesia. Lalu apa yang menyebabkan Indonesia harus diperbaiki? Tentu saja berangkat dari apa yang terjadi selama hampir 10 tahun ini dan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Selama hampir 10 tahun masa kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo yang terlihat merakyat, ternyata Jokowi sangat mudah dimanfaatkan oleh Oligarki. Negara berbisnis kepada rakyatnya, sehingga apa yang menjadi tugas negara sebagaimana amanah konstitusi tak berjalan, mendamaikan, mensejahterakan dan mempersatukan. Situasi bangsa terasa sangat terbelah, diksi kadrun sebagaimana jargon yang seringkali dipakai oleh Partai Komunis Indonesia terhadap kelompok Islam menjadi diksi sehari hari yang bisa kita dengar dan baca. Pengguna diksi kadrun tentulah mereka yang menumpang pada kekuasaan Jokowi, mereka seolah terlindungi, kebal hukum bahkan semakin merajalela menghinakan Islam sebagai agama dan kelompok mayoritas. Tidak ada lagi penghormatan dan empati. Sehingga wajar saja sebagian kelompok Islam merasakan bahwa kekuasaan Jokowi tak berlaku adil. Ada suasana kebangsaan yang terkoyak. Kelompok-kelompok Islam yang merasa diperlakukan tidak adil berupaya dengan baik menjalankan prosedur hukum sebagaimana yang diatur, tapi apalah yang terjadi, tak ada satupun para penghina Islam dan perusak demokrasi yang ditindak, apalagi dihukum. Begitu juga dengan kelompok masyarakat lain yang merasa diperlakukan tidak adil dan bahkan dari kelompok-kelompok agama non muslim yang selama ini juga tidak mendapatkan perhatian, mereka merasa sebagai kelompok yang dipinggirkan, meski ketika pemilu mereka adalah para pemilih Jokowi, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh masyarakat Hindhu Tamil di Jakarta ketika dibangunkan Anies tempat ibadah untuk mereka. Sebagai rakyat yang masih mempercayai pemerintahan, tentu kami percaya bahwa Jokowi hanya dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang selama ini mengelilingi Jokowi. Ada harapan di masa terakhir kepemimpinannya, Jokowi bisa menjalankan kembali apa yang menjadi janji politiknya dan tugasnya sebagaimana yang ada di dalam UUD 1945. Tapi sayangnya, Jokowi kadang juga menikmati apa yang menjadi provokasi para oligarki dan relawan pengkhianat reformasi. Kita doakan saja Jokowi kembali kepada konstitusi dan janji politiknya untuk menyejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan, sehingga berakhir dengan husnul-khatimah. Menjelang pergantian kepemimpinan nasional 2024, tampaknya pertarungan antara kejujuran dan kecurangan terlihat begitu telanjang. Kontestasi kepemimpinan yang seharusnya menggembirakan dan berlangsung sehat, ternodai dengan perilaku-perilaku culas dan curang. Sehingga terjadi suasana yang diciptakan mencekam dan berpotensi adanya kegaduhan. Sebagaimana yang disampaikan oleh mereka yang bisa disebut dan dikategorikan para teroris konstitusi dan pembajak konstitusi. Ada upaya dari para teroris dan pembajak tersebut untuk menodai UUD 1945 dan peraturan lain tentang pemilu dengan gagasan Jokowi tiga periode, pemilu ditunda dengan alasan adanya pandemi dan potensi kegaduhan dan lain lain yang sejatinya adalah pembohongan. Ada juga yang mengusulkan Jokowi bisa mencalonkan sebagai cawapres bagi capres tertentu, atau Jokowi diprovokasi untuk mengendorse capres tertentu. Demokrasi dan pemilu 2024 terancam diwarnai oleh upaya-upaya kelompok tertentu untuk melakukan kecurangan demi bisa memenangkan kontestasi meski dilakukan dengan cara cara yang kotor dan curang. Musuh penegakan demokrasi kita saat ini adalah kecurangan yang dilakukan oleh kekuatan tertentu untuk mempertahankan cengkramannya di dalam kekuasaan. Jokowi harus diselamatkan dari upaya-upaya kelompok ini, atau kalau tidak, Jokowi akan dicatat dalam sejarah sebagai presiden yang haus kekuasaan dan menabrak konstitusi. Munculnya nama Anies Baswedan menjadi sangat fonomenal. Meski tidak didukung oleh Istana dan oligarki, Anies seolah menjadi sosok yang bisa diharapkan mewujudkan apa yang menjadi kegelisahan masyarakat, hilangnya persatuan, bangsa terbelah, sirnanya ketidak-adilan bahkan kesejahteraan menjadi sesuatu yang hanya mimpi. Negara lebih memberi hak istimewa kepada elit dan oligarki dibanding kepada rakyat kebanyakan. Negara pun mencari untung dengan berbisnis kepada rakyat. Anies menjadi harapan baru dari sekian banyak calon presiden yang muncul dipermukaan. Kemunculan Anies sebagai calon presiden apalagi kemudian Partai Nasdem dengan semangat restorasinya memperbaiki Indonesia, menjadikan Anies sebagai capresnya, membuat para penikmat kekuasaan menjadi blingsatan dan panik. Sehingga menimbulkan kecemasan. Kecemasan-kecemasan itu terakumulasi dalam bentuk fitnah dan berita bohong berkaitan dengan Anies, tujuannya hanya satu, agar Anies gagal sebagai capres atau kalau toh Anies menjadi capres, rakyat ragu memilihnya. Namun sayangnya rakyat Indonesia sudah cerdas, mereka tahu betul rekam jejak Anies selama memimpin Jakarta, Anies mampu memenuhi seluruh janji politiknya kepada rakyat Jakarta, berpihak kepada rakyat, mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Jakarta. Dan, Anies menjadi pejabat yang tidak mau tunduk kepada kepentingan oligarki, ketika para oligarki itu ingin mencengkeram dan menghisap darah rakyat. Anies tidak menolak oligarki bersama kekuasaan, yang ditolak Anies adalah oligarki yang akan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Nama Anies yang dipilih oleh sebanyak 77 % rakyat Indonesia dari hasil pooling ILC, menunjukkan bahwa rakyat kita semakin cerdas dan semakin rindu hadirnya pemimpin yang adil dan mensejahterakan. Tantangan Anies dan partai pengusungnya kelak bukanlah pada penerimaan masyarakat, tetapi lebih kepada kecurangan yang akan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Aroma kecurangan sudah terasa dan tercium baunya. Tuduhan Anies telah melanggar aturan pemilu, mencuri start, Anies melanggar etika dan lain-lain yang bernada menjatuhkan, yang dilontarkan oleh elit politik, kelompok masyarakat dan oknum penyelenggara pemilu. Tuduhan kepada Anies tidak disematkan kepada capres lain atau pejabat negara yang lain yang juga menjadi capres, meski di saat menjabat mereka keluyuran ke daerah-daerah lain yang tidak ada tupoksinya, bahkan lebih cenderung abai kepada tugasnya. Tetapi bagi kelompok yang kehilangan nalar dan akal sehatnya ini, perbuatan ini tidak disebut sebagai curi start, melanggar aturan pemilu dan hal-lain yang menjadi aturan pemilu. Tuduhan itu hanya untuk Anies saja. Anies dan pendukungnya, rakyat dan koalisi perubahan menghadapi ancaman kecurangan. Hanya kecurangan yang bisa mengalahkan Anies. Dukungan kepada Anies di daerah-daerah seringkali tidak berkorelasi dengan hasil pemilu yang menjadi otoritas KPU. Merujuk pada pemilu 2019, sudah saatnya rakyat Indonesia, ormas, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan orsospol yang mencintai Indonesia bahu-membahu untuk menjadi bagian penegakan demokrasi yang sehat dan jurdil. Saatnya kita semua tegak melawan kecurangan dan ketidak-adilan yang ada, agar kita bisa mendapatkan presiden yang adil dan menjalankan amanah konstitusi serta mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Surabaya, 19 Desember 2022. (*)
Modus Mau Kembali ke UUD 45 Asli, Padahal Pengen Menunda Pemilu dan Perpanjang Si Tukang Boong Menjabat Lagi
Kata Benny K Harmain, kalau mau tangkap sekarang saja gak usah tunggu tahun depan. Mereka sudah siap ditangkap karena Partai Demokrat dan PDIP yang gak setuju Pemilu ditunda dan perpanjangan jabatan presiden. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung INGAT, apapun skenario Istana dan oligarki sudah bisa kebaca oleh rakyat. Kalian kentut angin aja biar gak bau rakyat udah tahu. Kalian punya BIN tapi rakyat lebih ahli dari BIN dalam mengendus niat jahat kalian karena gak adil pada rakyat. Hanya mau melayani oligarki dari China. Itu hanya karena rakyat dibisikin terus sama malaikat niat busuk kalian. Gak percaya, lihat saja di medsos jadi viral niat busuk kalian kepada rakyat. Walau kalian di-back up oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD LaNyalla Hahmud Mattalitti untuk memperpanjang jabatan presiden tetapi rakyat gak bodoh. Mereka sudah melek melihat niat busuk kalian mau jadikan Indonesia jadi bancakan kalian. Allah masih berpihak kepada rakyat Indonesia. Tapi Allah belum menunjukkan kekuasaanNYA kepada rakyat Indonesia. Rakyat disuruh usaha dulu mengganti rezimnya. Baru Allah akan tunjukkan kekuasaanNYA. Karena Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya”. (AlQuran) Kalau pengen kembali ke UUD 1945 yang asli maka sabar saja dulu. Kan tinggal beberapa hari lagi yang merasa jadi raja sudah mau habis masa jabatannya yang sudah dua periode. Tunggu saja presiden diganti oleh pilihan rakyat. Dan pilihan mayoritas rakyat itu Anies Rasyid Baswedan. Kalian itu gak bisa melawan Sunnahtullah. Kalian sudah selesai dan mau tamat. Sdah cukup 2 periode Allah kasih kesempatan mengeruk kekayaan Indonesia. Belum puas ya? Sehingga mau mengeruk lebih banyak lagi? Ingat di ibukota Peru, Lima. Presidennya ditangkap polisi dan dipenjarakan. Apakah di Indonesia bisa? Kelihatan gak mungkin. Apalagi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pernah jadi ajudan Presiden Joko Widodo. Maka dari itu tak henti-hentinya kita selalu tetap ingatkan akan people power rakyat berdaulat dan bersatu tak ada yang bisa mengalahkannya. Rezim kalau kelamaan menjabat maka pasti rezim itu akan menjadi diktaktor dan otoriter. Menurut Benny K Harmain, Wakil Ketua Partai Demokrat dan anggota DPR, penguasa sudah siap-siap mau memperpanjang kekuasaannya maka dia sudah siapkan undang-undang dan kalau rakyat mau protes maka rakyat yang protes itu akan ditangkap dan disingkirkan di tempat terpencil. Kata Benny K Harmain, kalau mau tangkap sekarang saja gak usah tunggu tahun depan. Mereka sudah siap ditangkap karena Partai Demokrat dan PDIP yang gak setuju Pemilu ditunda dan perpanjangan jabatan presiden. Terimalah kenyataan karena kalian sudah mau tamat. Nanti kalau Anies yang jadi presiden maka dia yang akan melindungi kalian dan keluarga kalian. Tapi bagaimana dengan rakyat? Tak taulah. Karena rakyat selalu dibohongin maka rakyat udah muak kepada kalian semua. Tapi ketahuilah, rakyat Indonesia pemaaf. Biar sudah mau mati tapi masih pemaaf. Tapi kalau yang satu ini ... taaauuuu ... Wallahu A\'lam ... (*)
World Cup, Qatar dan Dakwah Ketauladanan
Apa yang telah diperlihatkan oleh Qatar baik sebagai tuan rumah sepak bola, dan lebih khusus lagi dalam menampilkan karakternya sebagai negara Islam merupakan Dakwah Islam yang perlu diapresiasi. Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation KETIGA hal pada judul tulisan ini memang tidak terkait secara langsung. Walau mungkin Qatar saat ini sangat identik dengan kejuaraan sepak bola dunia tahun 2022 ini. Lalu apa relasinya dengan Dakwah Islam? Apakah ini bagian dari upaya mengait-ngaitkan agama dengan sepak bola? Sebagian mengkritisi bahwa upaya mengaitkan bola dengan agama adalah upaya “bolasasi agama”. Kira-kira ingin disamakan dengan mengaitkan politik dan agama yang kemudian dituduh sebagai “politisasi agama”. Sejujurnya malas membahas isu ini. Tapi saya ingin ingatkan bahwa kehidupan manusia itu saling terkait. Satu aspek tidak bisa terpisahkan dari aspek yang lain. Apalagi dalam perspektif keislaman yang sesungguhnya. Bermain bola dengan profesional tinggi (semangat dan skill) bagi seorang Muslim boleh jadi bagian dari pengamalan hadits: “sesungguhnya Allah mencintai seseorang ketika melakukan sesuatu dia melakukannya dengan itqan” (hadits). Sehingga bermain secara profesional, terlepas dari menang atau tidak, itu bagian dari semangat keislaman. Yang ingin saya sampaikan kali ini adalah satu kenyataan pahit bahwa dunia kita didominasi oleh ketidak-jujuran, bahkan kemunafikan. Salah satunya adalah tendensi sebagian manusia, khususnya mereka yang mengaku “western” (Barat) sebagai kelompok yang lebih dalam segalanya. Lebih pintar, lebih hebat, dan merasa paling beradab (civilized). Sebaliknya dunia non Barat (disebut dunia Timur) sebaliknya dari semua itu. Terbelakang, kurang berwawasan bahkan kurang berperadaban (less civilized). Ketika Islam diidentikkan sebagai agama ketimuran (Orientalism) maka Islam pastinya adalah agama yang menginspirasi keterbelakangan, kebodohan ketidak beradaban. Bahkan lebih jauh, Islam ditampilkan sebagai inspirasi bahkan agama kekerasan. Kenyataan bahwa Qatar mampu menjadi tuan rumah perhelatan olahraga terpopuler dunia itu dengan sangat profesional, bahkan diakui oleh banyak kalangan di atas rata-rata (above average) menyampaikan banyak hal. Minimal ada empat hal yang ingin saya tampilkan kali ini: Pertama, Qatar menampilkan keindahan Islam sebagai agama kehidupan yang berkemajuan, modern dan inklusif di satu sisi. Tapi punya komitmen dan pendirian yang jelas dan tegas di sisi lain. Qatar telah membuka diri seluas-luasnya, merangkul semua pihak. Tapi tegas dengan nilai-nilai yang diyakininya sesuai keimanan yang dianutnya. Kedua, menelanjangi ketidak jujuran bahkan kemunafikan sebagai orang tentang nilai-nilai universal yang selama ini dipropagandakan. Ambillah salah satunya nilai toleransi dan kebebasan. Ternyata bagi sebagian, khususnya dunia Barat, toleransi dan kebebasan itu terdefenisikan dengan “keberpihakan” kepada cara pandang mereka. Ketika kebebasan dan toleransi itu dilihat tidak sejalan dengan kepentingan mereka, maka itu bukan lagi kebebasan dan toleransi. Tidakkah mereka seharusnya toleran dengan kebebasan Qatar dalam memegangi nilai-nilai yang diyakininya? Ketiga, perhelatan sepak bola dunia dengan Qatar sebagai tuan rumahnya sekaligus mengafirmasi jika dunia kita didominasi persepsi yang terbangun. Dan ternyata persepsi itu pada galibnya ditentukan oleh kekuatan informasi (media). Qatar telah berhasil mengafirmasi bahwa terlalu banyak hal yang dibangun oleh media demi kepentingan kelompok tertentu. Kehadiran tamu-tamu dari berbagai belahan dunia di Qatar menjadikan mereka menemukan realita di balik dari berbagai kebohongan tentang dunia Islam dan Islam itu sendiri. Keempat, Qatar telah mengingatkan sekaligus mengajarkan kepada Umat ini dan dunia Islam secara keseluruhan bahwa Dakwah yang paling efektif untuk mengembangkan Islam bukan dengan retorika tinggi dan ceramah di mimbar-mimbar. Tapi dengan perilaku dan ketauladanan dalam kehidupan nyata. Apa yang telah diperlihatkan oleh Qatar baik sebagai tuan rumah sepak bola, dan lebih khusus lagi dalam menampilkan karakternya sebagai negara Islam merupakan Dakwah Islam yang perlu diapresiasi. Kesemua di atas sesungguhnya tersimpulkan dalam ayat-ayat Al-Quran. Di antaranya ketika Allah menyampaikan: “Dan adakah ucapan yang lebih baik dari ajakan ke jalan Allah, beramal saleh dan berkata: sungguh aku termasuk orang-orang Muslim” (Surah Yusuf). Ayat ini seolah mengatakan bahwa prioritàs dakwah itu ada pada upaya Umat ini untuk membangun ketauladanan. Sehingga ketika orang lain mulai belajar Islam mereka tidak lagi mempertanyakan: “bagaimana bentuk Islam yang akan mereka ikuti?” Terima kasih Qatar. Bravo! NYC Subway, 16 Desember 2022. (*)
Jokowi Bisa Jatuh Seperti Sitting Duck
Para taipan yang selama ini mendukung pencitraan Jokowi juga pasti kabur. Karena yang namanya pengusaha pasti kutu loncat. Selalu menempel kepada siapapun yang berkuasa. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih OTORITARIANISME biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu. Gaya kepemimpinan otoriter adalah memiliki kecenderungan memaksakan kepatuhan mutlak. Sistem ini biasanya menentang demokrasi, sehingga pada umumnya kuasa pemerintahan diperoleh tanpa pemilihan umum secara demokratis. Kalau terpaksa harus melewati pemilu maka rekayasa untuk menang dengan cara apapun menjadi target utamanya. Sinyal itu sudah terlihat dengan jelas bahwa Joko Widodo akan membangun dinasti otoriter perpanjangan masa jabatannya, ala Xi Jinping bahkan saatnya tiba momentumnya bisa diperlakukan darurat militer ala presiden Ferdinand Marcos. Membangun dinasti otoriter dengan kudeta konstitusi, bisa berakhir dengan tragis. Jokowi bisa mengakhiri masa jabatannya dengan tragis dan tidak akan ada yang melindungi Jokowi setelah jatuh. Dia tidak memiliki kekuatan apapun kalau sampai jatuh terkapar dari kekuasaannya. Otak penyesatan untuk skenario perpanjangan masa jabatan Presiden atau keinginan untuk jabatan 3 periode sudah terdeteksi dengan terang benderang, diduga kuat bukan pada kekuatan pribadi Jokowi, terasa hanya sebagai wayang permainan kekuatan di luar dirinya. Kondisi seperti ini sangat rentan begitu skenario gagal, Jokowi akan ditinggal atau dibiarkan sendirian. Kalau Jokowi tidak hati hati karena tidak ada kawan politik yang abadi. Mereka bisa saja meninggalkannya ketika kepentingan pribadi politiknya sudah menguap. LBP (Luhut Binsar Panjaitan) dan kawan kawan yang sudah kita ketahui sebagai king maker politik yang konon bisa menentukan perpolitikan Jokowi sesungguhnya bukan kekuatan yang memadai untuk melindungi Jokowi ketika bencana datang menerkamnya. Bisa saja terjadi, kejelian LBP justru akan terbang melarikan diri sebelum bencana datang menerjangnya, dia tidak akan peduli dengan nasib mantan bosnya. Saat itu Jokowi bisa seperti seekor bebek terduduk (sitting duck) di hamparan tanah terbuka yang menjadi sasaran empuk para pembidiknya. Setelah menjadi sitting duck, jangan harap TNI dan Polri akan melindungi Jokowi setelah lengser dari kekuasaannya. Karena sudah jadi rahasia umum, diduga kuat selama jadi presiden, Jokowi telah merusak pola karir para perwira. Dia memilih perwira-perwira di posisi strategis hanya karena faktor kedekatan pribadi, sebagai bumper pelindung dirinya, ini merusak soliditas TNI dan Polri. Setelah Jokowi lengser dari kekuasaannya, para perwira pilihan Jokowi itu pasti dicopot atau cari selamat sendiri. Tidak akan ada satupun yang berani melindunginya karena mereka orang lemah, perwira yang tidak mendapat “pengakuan” dari teman dan para prajuritnya. Hura-hura selama ini dengan mengumpulkan massa Pro Jokowi (Projo), pada kesempatan lain berubah dikemas nama masa rakyat, itu bukan pendukung believe karena kecintaan itu hanya fatamorgana karena kepentingan politik sesaat, sangat rentan dalam sekejap mata ambyar berantakan. Mereka itu bukan relawan militan, melainkan gerombolan yang dimobilisi. Bergerak karena transaksi politik yang terus terbongkar massa marah karena dibohongi baik dalam bentuk pertemuan atau uang saku yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Cebong sulit digerakkan tanpa iming-iming uang dan pembagian goodybag (berisi kaos dan sembako). Relawan seperti ini mustahil mau dimobilisasi sebagai tameng hidup ketika Jokowi jadi bidikan politik apalagi setelah dia lengser dari kekuasaannya. Sejatinya mereka cuma pasukan hura-hura. Para taipan yang selama ini mendukung pencitraan Jokowi juga pasti kabur. Karena yang namanya pengusaha pasti kutu loncat. Selalu menempel kepada siapapun yang berkuasa. Tidak hati dan legawa dengan ikhlas berhenti setelah menjalani dua kali masa jabatannya harus siap siap jadi “sitting duck”. Seekor bebek yang terduduk lemah, menjadi sasaran empuk para pembidik politik, baik dari masyarakat sipil dan dari kalangan barisan para jenderal dan purnawirawan TNI-polri sakit hati. Lebih rumit lagi, ternyata perilaku otoritarianisme dengan segudang prestasi pembatasan kritikan publik, pembubaran ormas Islam, radikakisasi Islam, persekusi ulama serta pembantaian dan pelanggaran HAM berat selama ini yang ditonjolkan selama memimpin, mendudukkan Jokowi sebagai public enemy number one. Jokowi bisa menjadi musuh masyarakat nomor satu sekalipun sudah lengser dari kekuasaannya, lebih celaka lagi kalau sampai menjadi pesakitan proses hukum dari macam-macam masalah hukum yang melilitnya. (*)
Akhir Buruk Jenderal Andika
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan JENDERAL Andika telah mengakhiri jabatan sebagai Panglima TNI dan kini digantikan kedudukannya oleh Laksamana Yudo Margono. Sebelum meninggalkan posnya Andika pernah digadang-gadang sebagai Capres termasuk oleh Partai Nasdem bersama Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Sayang di penghujung tugas sebagai Panglima berbagai kebijakannya dapat dikualifikasikan buruk. Ada empat hal yang menjadi dasar penilaian tersebut, yaitu : Pertama, bulan April 2022 ada pernyataan kontroversial dan peka ketika Jenderal Andika menegaskan bahwa keturunan PKI boleh menjadi anggota TNI. Andika menegur syarat penerimaan anggota TNI yang melarang keturunan PKI. Kebijakan Panglima disambut baik PDIP tapi dikritisi tajam oleh publik. Kedua, menjelang penggantian, Jenderal Andika menandatangani SK pemberian pangkat Letkol TNI tituler kepada artis Deddy Corbuzier atas usulan Kemenhan. Pemberian ini kontroversial karena diragukan kepantasan atau urgensi Deddy Corbuzier untuk mendapatkan pangkat tersebut. Ketiga, dalam acara penghelatan perkawinan Kaesang Pangarep putera Presiden Jokowi Panglima mengerahkan ribuan personil TNI untuk menjaga atau mengawal penghelatan. Pesta perkawinan yang bersifat kepentingan pribadi dikerahkan pasukan tentara. Ini bukan saja tidak lazim akan tetapi juga telah merugikan keuangan negara. Keempat, Panglima Andika sama sekali tidak melakukan pengerahan pasukan yang maksimal dalam menghadapi KKB Papua. Gerakan separatis itu telah menimbukan korban yang banyak di kalangan sipil maupun aparat negara termasuk TNI. Jenderal Andika mewariskan persoalan Papua bukan menyelesaikan. Buruknya kebijakan dan langkah akhir masa jabatan Jenderal Andika sebenarnya disesalkan. Marwah TNI agak terganggu. TNI terkooptasi atau tersandera oleh kepentingan politik pragmatik. Undang Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI membedakan antara \"negara\" dengan \"pemerintah\" dan TNI adalah alat negara. TNI bertugas menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut aktif tugas pemeliharaan perdamaian regional maupun internasional. Adapun kebijakan yang diambil Panglima TNI Jenderal Andika di akhir masa jabatannya tersebut dapat dikategorikan di luar tugas, fungsi maupun jati diri TNI sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kecuali jika Panglima TNI mengelak atau mengeles dengan dasar aturan Pasal 3 UU No 34 tahun 20O4, yaitu : \"Pengerahan dan penggunaan kekuatan militer TNI berkedudukan di bawah Presiden\" (ayat 1) atau \"Dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan\" (ayat 2). Dasar tersebut tentunya tidak melepas tanggung jawab Panglima TNI untuk keempat hal yang menjadi keburukan akhir tugas Jenderal Andika di atas. Akan beristirahat atau terus berkiprah di kancah politik, Jenderal? Bandung, 17 Desember 20221
Betapa Susahnya Menjadi Indonesia
Tak seindah slogan dan jargonnya, Indonesia telah lama menjadi negeri kontradiksi. Pemimpinnya berlaku sebagai rezim tirani, di sisi lain rakyatnya menjadi langganan ironi. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI tak ubahnya sebuah uthopi. Semua hanya mimpi dan sekedar basa-basi, kata-kata adil makmur itu telah lama mati. Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI AKU bangga menjadi bagian dari negara yang termashur keindahan dan kekayaan alamnya. Tapi aku masih melihat tak sedikit yang bergelut berusaha keluar dari rasa lapar dan kemiskinannya. Aku merasa seakan tenang dengan keteduhan yang terpancar dari masyarakat yang dikenal religius. Tapi terlalu sering kujumpai banyak kegelisahan, ketakutan dan konflik dalam hidup karena jarang menghadirkan Tuhan. Aku juga yakin begitu nyaman merasakan pergaulan dalam kebinnekaan dan kemajemukan. Tapi kerapkali nampak ada upaya paksa menyamakan perbedaan, membelah dan memecah belah. Apa yang sesungguhnya terjadi?, begitu susahnya menjadi Indonesia. Aku terkesima pada negara yang menjanjikan kedaulatan rakyatnya. Tapi kenapa kenyataannya hanya segelintir yang berkuasa, tak tahu diri dan berlaku bak tirani. Aku merasa ada konstitusi yang menjadi permufakatan bersama yang menjamin disiplin, keteraturan dan keselamatan. Tapi kenapa masih ada yang ingin adu kuat dan merasa paling unggul, hegemoni dan dominasi. Aku sangat bergantung pada pemimpin yang bisa menjadi tempat mengadu dan memberi solusi. Tapi kian kemari terus muncul perasaaan tak aman dan tak percaya. Apa yang terjadi sesungguhnya?, begitu susahnya menjadi Indonesia. Aku ingin sekali punya tentara-tentara yang gagah berani, memiliki patriotisme dan nasionalisme tinggi. Tapi seperti kurang percaya diri dan terkesan tanpa prestasi mereka mengabdi. Aku juga ingin punya polisi-polisi yang sabar melayani dan menyayomi. Tapi justru banyak yang sibuk menyenangkan diri sendiri. Aku ingin punya wakil rakyat yang jujur dan amanah. Tapi sayangnya banyak yang basa-basi dan lupa diri. Apa yang terjadi sesungguhnya?, begitu susahnya menjadi Indonesia. Aku ingin suatu saat semua anak-anak dapat mengenyam pendidikan tinggi. Tapi kulihat di jalan banyak yang rendah diri dan frustasi dengan aneka ekspresi. Aku ingin semua orang leluasa menggapai akses pelayanan kesehatan tanpa terkecuali. Tapi kenapa nyawa masih saja tak menjadi prioritas. Aku ingin ada yang memastikan semua kebutuhan rakyat bisa terpenuhi tanpa pilih kasih. Tapi berulangkali yang terjadi hanya janji-janji yang Tak bertepi. Apa yang sesungguhnya terjadi?, betapa susahnya menjadi Indonesia. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 17 Desember 2022/23 Jumadil Awal 1444 H.
Warning bagi Anies dan Pendukungnya Bisa Kalah Dalam Pilpres Karena KPU Dikuasai Orang-orang Opung LBP
Gak susah mereka mau ubah konstitusi karena duit atau cuan mereka tidak berseri. Ditambah lagi orang-orang di parlemen semua jadi rakus mata ijo lihat duit. Oleh: Moh. Naufal Dunggio, Aktivis dan Ustadz Kampung INI nyata dan fakta. Baru sekelas Amin Rais dan Partai Umat (PU) dikalahkan oleh orang-orang yang direkom oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang duduk di KPU. Nanti atau besok tidak mustahil Anies yang selalu disambut dengan lautan manusia di setiap berkunjung ke daerah bisa kalah di Pilpres nanti seperti peristiwa 2019 lalu. Itu kalau Anies dan pendukungnya gak Awas. Maka dari itu Ganjar Pranowo sangat pede bahwa dia biar gak didukung oleh partainya sendiri PDIP tapi tetap maju di Pilpres karena sudah ada jaminan oleh induk semangnya bisa menang walau tidak didukung rakyat. Sudah pasti tekanan dari KPU Pusat ke KPU daerah akan terulang lagi pada Pilpres nanti bahwa Anies akan dikalahkan. Ini yang terjadi sama Partai Umat. Sebab, partai-partai baru yang so pasti tidak akan dukung Anies. Yang mau dukung Anies hanya PU yang dinakhodai oleh Amien Rais, maka jauh-jauh hari PU ini harus diamputasi daripada jadi pengganggu rezim dan oligarki laknatullah. Mau lawan rezim ini jangan hanya pakai do\'a saja tapi harus dengan tindakan yang nyata. Memang menyedihkan dan menakutkan akibatnya tapi kalau kita hanya diam seribu bahasa maka rezim ini gak akan berhenti kalau belum juga ketemu Malaikat Maut. People Power adalah tindakan nyata. Akan buyar semua rencana oligarki dan Istana dalam menguasai republik ini jika rakyat bergerak dalam people power. Gak usah cari siapa yang memimpin. Semua yang turun yang menginginkan perubahan yang jadi pemimpin. Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan Semua sudah diambil oleh China. Apa kita mau tunggu nasib kita bangsa Indonesia seperti di Uigur? Atau negara-negara lain yang sudah dikuasai China? Kita bangsa pribumi terutama Melayu harus seperti Malaysia. Harus tumbuh di negeri ini seperti Anwar Ibrahim. Yang pasti seperti itu hanya Anies Rasyid Baswedan bukan yang lain. Hati-hati dengan KPU. Mereka semua direkomendasi oleh Opung LBP. Taukan siapa dia? Dialah biang kerok di republik ini. Kita harus lawan. Karena Opung and the gang-nya sudah dan akan jadi bandit-bandit konstitusi. Gak susah mereka mau ubah konstitusi karena duit atau cuan mereka tidak berseri. Ditambah lagi orang-orang di parlemen semua jadi rakus mata ijo lihat duit. Jadi gak susah mereka mau nambah jabatan presiden. Apalagi kalau sudah dikeluarkan PERPPU yang menguntungkan rezim dan oligarki. Hanya dengan People Power-lah buyar rencana mereka semua. Rakyat berani atau gak...? Terserah. Wallahu A\'lam ... (*)
Patut Diduga Ada Umbaran-Umbaran Lainnya yang Nyamar Jadi Wartawan
Dewan Pers bisa melaporkan kasus ini ke DPR dan Presiden. Sebuah preseden buruk dalam kehidupan demokrasi, karena pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Oleh: Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional (Unas), Jakarta SAYA melihat adanya keanehan dalam karier Iptu Umbaran Wibowo, Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah, yang namanya sedang viral dibicarakan dalam media sosial maupun media mainstraim. Keanehan bisa dilihat di sini. Umbaran memulai karier di Kepolisian dengan pangkat Brigadir Polisi Dua (Bripda) pada awal 2008. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (FH UNNES) 2006 ini merupakan lulusan Bintara Intelijen Khusus. Pada 2009, Umbaran naik pangkat menjadi Brigadir Polisi Satu (Briptu). Dia hanya butuh waktu satu tahun sudah naik pangkat. Bagaimana ceritanya? Padahal, kenaikan satu pangkat itu memakan waktu 4-5 tahun. Kok dia bisa satu tahun? Ada apa? Kenaikan pangkat luar biasa? Selama 14 tahun jadi anggota Polri dari Bintara, kini sudah berpangkat Perwira: Iptu. Ini juga aneh. Kok bisa secepat itu? Hitungan waktunya, sekarang ini mestinya baru Brigadir Kepala (Sersan Mayor, kalau di TNI). Kalau pun kariernya cepat, mestinya juga baru berpangkat IPDA, bukan Iptu. Dan, bukan untuk posisi Kapolsek. Jabatan yang ditujukan untuk pangkap Ajun Komisaris Polisi-AKP (Kapten jika di TNI). Jadi, sebentar lagi dia naik jadi Ajun Komisaris Polisi, hanya dalam waktu 14 tahun. Ini pembinaan karier yang aneh. Maka, jangan salah kalau ada yang tanya, “Siapa dia sebenarnya?” Terbongkarnya kasus ini menandakan institusi Kepolisian tidak menghormati profesi wartawan. Sejak saat ini akan muncul kecurigaan sesama wartawan. Jangan-jangan teman kerjanya seorang Intelijen. Pimpinannya mesti diusut. Siapa? Kabaintelkam Mabes Polri. Harus dimintai pertanggungjawaban institusi Badan Intelijen Keamanan Polri. Wartawan itu mitra strategis Polri. Mengapa merusak profesi jurnalis? Apa motifnya? Kecuali proses penyamarannya dalam menghadapi ancaman Kamtibmas di daerah konflik, itu bisa dipahami. Jawa Tengah bukan daerah konflik sosial. Dewan Pers dan PWI Pusat serta TVRI harus mencabut Sertifikat Kompetensi Wartawan Madya milik Umbaran. Sekaligus juga protes keras kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Jadi patut diduga ada “Umbaran-Umbaran” lainnya yang menyamar menjadi wartawan. Kalau begitu MoU Polri dengan Dewan Pers dan organisasi profesi wartawan lainnya sama saja tidak dihormati oleh polisi. Untuk apa MoU ini kalau tidak saling menghormati dan menghargai antar lembaga? Wartawan ini profesi yang sudah diatur Undang-undang. Bukan pekerjaan tanpa aturan hukum. Ada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sudah seharusnya Polri menghormati kesepahaman dengan Dewan Pers dan organisasi profesi wartawan lainnya. Untuk apa penandatanganan kerjasama jika ternyata polisi menempatkan aparat intelijen keamanan di lembaga pers umum? Bahkan di lembaga pers plat merah, TVRI milik pemerintah. Dewan Pers bisa melaporkan kasus ini ke DPR dan Presiden. Sebuah preseden buruk dalam kehidupan demokrasi, karena pers merupakan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ini sebuah kemunduran demokrasi dan kembali ke titik nadir seperti era Orde Baru Soeharto dan Demokrasi Terpimpin Sukarno. Sejatinya, prinsip-prinsip demokrasi seperti penegakan hukum, menghormati hak-hak sipil, serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia (HAM) telah menjadi paradigma baru Polri. Apa buktinya jika polisi mengacak-acak profesi wartawan? Sama saja tidak menghormati hak-hak sipil yang disandang profesi jurnalis. Kepolisian merupakan alat negara, bukan alat pemerintahan. Karena itu, kepolisian harus melindungi hak rakyat, bukan semata-mata menjadi alat perintah atasannya. Apa yang mau dilindungi jika polisi selalu memata-matai hak rakyat untuk mendapatkan informasi melalui kerja jurnalistik jika polisi terus menginteli wartawan? (*)