Hasil Kerja Tim PPHAM sebagai Ajang "Bersih-bersih" Rezim dan Moderasi Komunisme?

Oleh Profesor Pierre Suteki - Guru Besar Universitas Diponegoro 

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023). Dari laporan yang diberikan oleh PPHAM, Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia. Sepintas sangat beralasan jika pengakuan Presiden Joko Widodo terhadap beberapa peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, patut diapresiasi. Harus diapresiasi seberapa pun urgensi pengakuan tersebut. Hanya yang saya sayangkan, keputusan apakah suatu peristiwa masa lalu itu dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak itu tidak ditindaklanjuti secara Yudisial melalui tata cara sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 melainkan dilakukan secara Non-Yudisial melalui PPHAM yang dibentuk oleh Presiden dengan Keppres 17 Tahun 2022. Apa itu pelanggaran HAM berat, tentu mengacu pada UU Pengadilan HAM 2000.

Pada Pasal 7 disebutkan bahwa:

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:

a. kejahatan genosida;

b. kejahatan terhadap kemanusiaan

Pasal 8

Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a. membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Pasal 9

Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a. pembunuhan;

b. pemusnahan;

c. perbudakan;

d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secarasewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. penyiksaan;

g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. penghilangan orang secara paksa; atau

j. kejahatan apartheid.

Lalu siapa yang menentukan adanya pelanggaran HAM berat? Komnas HAM melalui Panitia Ad Hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (Pasal 18 ayat 2 UU PHAM). Apakah Komnas HAM sudah membentuk Panitia Ad Hoc secara khusus untuk penyelidikan peristiwa dari  tahun 1965 sampai  tahun 2020? Setahu saya sudah dibentuk sehingga ditetapkan setidaknya 12 jenis pelanggaran HAM berat di masa lalu. PPHAM ini dibentuk oleh Presiden dengan Keppres 17 Tahun 2022, bukan oleh Komnas HAM sebagaimana Panitia Ad Hoc yang diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU PHAM.

Sesuai dengan Keppres No. 17 Tahun 2022, Tim Pelaksana (PPHAM) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b mempunyai tugas:

a. melakukan pengungkapan dan analisis pelanggaran hak asasi rnanusia yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sampai dengan tahun 2O2O;

b. mengusulkan rekomendasi langkah pemulihan bagi para korban atam keluarganya;

c. mengusulkan rekomendasi untuk mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia yang serupa tidak terulang lagi di rnasa yang akan datang; dan

d. menyusun laporan akhir.

Tugas awal Tim PPHAM seharusnya dilakukan oleh Panitia Ad Hoc Komnas HAM untuk menentukan mana peristiwa masa lalu dari tahun 1965 sampai tahun 2020 yang merupakan pelanggaran HAM berat. Barulah kemudian atas penetapan Komnas HAM Tim PPHAM melakukan upaya penyelesaian secara NON Yudisialnya.

Di sisi lain, muncul pertanyaan apakah pengakuan Jokowi itu bisa menjadi kehilangan makna karena tidak mengakui hilangnya nyawa Laskar FPI yang dikenal sebagai Peristiwa KM50 sebagai pelanggaran HAM termasuk ratusan terduga teroris, baru diduga sudah dibunuh. Apakah ini seperti pepatah 'gajah di depan mata tidak terlihat, semut dikejauhan tampak besar. Menurut saya, kita perlu kembali ke  prinsip "due process of law"-nya. Pengakuan  Presiden Jokowi juga tergantung temuan dan penetapan status pelanggaran HAM oleh Panitia Ad Hoc Komnas HAM, yang dalam hal ini secara keliru dilakukan oleh Tim PPHAM. Menurut PPHAM yang tidak berkompeten tersebut, peristiwa pembunuhan 6 laskar FPI bukan merupakan pelanggaran HAM berat dan dengan demikian mustahil Presiden yang berkuasa (Jokowi) akan menyatakan dan mengakui peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.

Beda dengan extrajudicial killing terhadap para terduga teroris,  hal ini  memang ada pelanggaran HAM tetapi, sama nilainya tidak dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat bahkan tidak banyak APH yang dipidana karena perbuatan unlawfull killings tersebut. Semua tergantung rezim yang berkuasa, apalagi rezim ini mengamini "war on terrorisme" yang diduga merupakan perpanjangan tangan AS.

Atas temuan Tim PPHAM dan pengakuan Jokowi atas tragedi 1965,  apakah ada potensi untuk menghidupkan NEO - PKI? Apakah saat ini ada penunggang gelap yang berupaya membangkitkan komunisme? Jika merujuk pada pernyataan Menkopolhukam yang sekaligus Ketua Tim PPHAM, Mahfud MD menegaskan agar khalayak tidak lagi menuduh bahwa kerja Tim PPHAM sebagai upaya untuk mengerdilkan umat Islam atau menghidupkan kembali komunisme. Justru ini yang direkomendasikan sekurang-kurangnya ada empat yang basisnya itu Islam. Mahfud mencontohkan bahwa tiga dari 12 peristiwa yang diakui pemerintah Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat terjadi di Aceh, sehingga tidak masuk akal untuk menyebut kerja Tim PPHAM untuk mendiskreditkan umat Islam. Kemudian (peristiwa pembunuhan) dukun santet, itu ulama semua 142 jadi korban dan keluarganya ya sampai sekarang masih menderita sehingga kita harus turun tangan.

Soal kemungkinan adanya sikap keberpihakan terhadap ideologi komunisme, pengakuan Presiden Jokowi bernuansa orde lama. Hal itu terlihat pada statement Presiden yang mengakui ada pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa. Mulai dari peristiwa 1965-1966, tragedi yang mewarnai reformasi 1998, sampai insiden-insiden besar di Papua dan Aceh pasca reformasi. Yang disayangkan adalah, tidak terdengar dari mulut Presiden Joko Widodo akan menyeret para terduga pelaku pelanggaran HAM berat ke pengadilan, padahal mereka masih bernafas, dan diperkirakan ada di sirkel sendiri. Malah menurut M. Rizal Fadilah, di antara mereka ada yang jadi pendukung saat kampanye 2014 dan 2019. Selanjutnya Rizal menyatakan bahwa pengakuan terhadap 12 peristiwa yang dianggap melanggar HAM berat juga terkesan politis, dan terkesan sekadar ingin permalukan dan salahkan Orba, bahkan ada maksud tertentu. Ini seperti Pintu Awal untuk minta maaf ke PKI. Dan lanjut  arahnya seperti ke pembersihan nama dan juga keturunan PKI. Benarkah demikian? Apakah hal ini akan menghidupkan kembali komunisme di Indonesia?

Dalam pandangan saya,  soal upaya menghidupkan kembali komunisme semua sangat mungkin baik dengan kembali mengaktifkan organisasinya atau menunggangi kendaraan ormas dan orpol yang ada. Namun, kita harus ingat, apa pun harus dipegang Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 masih berlaku, begitu pula UU No. 27 Tahun 1999 masih berlaku, begitu pula KUHP Baru juga menegaskan larangan penyebaran ideologi komunisme, maka di negeri ini tetap tidak ada tempat untuk persemaian komunisme, dan bangkitnya organisasi PKI.

Jika mau jujur, penyelesaian kasus Penumpasan PKI 1965-1966 adalah pekerjaan yang pelik hingga saat ini. Penumpasan itu terjadi tidak dapat dipisahkan dari makar PKI khususnya pada tahun 1956. Rupanya di Indonesia, lebih mudah untuk memasukkan unta ke dalam lubang jarum daripada menyelesaikan kasus Penumpasan PKI ’65. Rekonsiliasi yang berusaha mengklaim bahwa PKI adalah korban, bukan pelaku makar pada 30 September 1965 tampaknya akan sulit terwujud bahkan akan terus membuka luka lama, berupa dendam politik yang tidak berkesudahan. Sejarah telah membuktikan bahwa makar partai yang berpaham komunisme telah merenggut ribuan jiwa di negeri ini. Ini sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Jadi, masih perlukah kita melakukan rekonsiliasi?

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah mengabaikan sejarahnya. Moshe Dayan, seorang ahli strategi militer Israel  bahkan menyatakan bahwa suatu bangsa  tidak akan bisa bangkit kembali ketika (1) Tidak peduli dengan sejarahnya; (2) Tidak memiliki perencanaan yang matang dan detail melainkan spontanitas dan tidak detail; (3) Tidak memiliki literasi tinggi (malas baca). Bangsa ini pun telah mengalami pahit getirnya kehidupan akibat sering melupakan sejarah, tidak mengambil pelajaran darinya dan membiarkan sejarah pilu terus berulang. 

Komunisme yang pernah mengejawantah ke dalam PKI telah terbukti melakukan makar, baik terhadap ideologi Pancasila maupun kekuasaan pemerintahan yang sah namun moderasi demi moderasi terhadapnya melalui kebijakan publik makin terasa. Jika kita tidak waspada, pasti ideologi yang jelas bertentangan dengan sebagian besar anak bangsa Indonesia ini akan bangkit kembali melalui kebijakan publik yang makin menguatkan posisinya. 

Ideologi tidak akan pernah mati, sekali pun ideologi itu tidak bersesuaian dengan fitrah manusia. Eksistensinya untuk menguji seberapa tangguh bangsa ini memahami, mematuhi serta mengadaptasikan ideologi bangsa yang dianut, yakni Pancasila. Pancasila sebagai mahakarya umat Islam bersama kaum nasionalis mesti dijadikan tameng perlawanan terhadap komunisme. Namun, perlawanan itu akan tak berarti ketika religiusitas bangsa ini makin ambyar alias rapuh. 

Musuh bersama kita adalah komunisme dengan segala pengejawantahannya, bukan Islam dengan segala ajarannya, termasuk fikih siyasah perihal kekhalifahan. Umat ini seharusnya memahami bagaimana menempatkan fikih untuk diyakini, dipelajari, didakwahkan. Yang penting tidak pernah ada pemaksaan, kekerasan apalagi makar.

Lalu, bagaimana seharusnya langkah negara untuk menangkal kebangkitan PKI dan penyebaran paham komunisme termasuk ideologi radikal kapitalisme di Indonesia? Kewaspadaan tetap harus digalakkan oleh siapa pun yang peduli terhadap kelestarian negeri ini berbasis Religious Nation State. Hukum tidak boleh dipakai sbg alat melegitimasi ideologi yang bertentangan dengan Pancasila baik ideologi kiri (komunisme) maupun ideologi kanan (liberal kapitalisme). Keduanya bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai religious nation state. 

Sepanjang sejarah reformasi, kita patut menduga telah terjadi upaya moderasi ideologi komunisme plus organisasi terlarang PKI. Mulai dari upaya penghapusan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966, Putusan MK tentang Hak Dipilih Orang yang terlibat G 30 S PKI dan Keturunan PKI, Pemberian SKKPH kepada korban G 30 S PKI dan yang terkait dengan PPHAM ini adalah soal rekonsiliasi korban G 30 S PKI. Lebih tepatnya, "Upaya Rekonsiliasi PKI sebagai "Korban"."

Balairung tanggal 27 Juli 2019 menurunkan suatu pawarta tentang rekonsiliasi korban "pembantaian 1965". Upaya untuk melakukan rekonsiliasi antara pihak "korban" pemberontakan PKI terus dilakukan. Namun demikian, dari pihak pendukung rekonsiliasi, ada dua kelompok yang saya kira cukup sulit untuk menerima upaya rekonsiliasi seperti angkatan bersenjata dan beberapa kelompok keagamaan. Mengapa perlawanan tersebut terjadi?

Menurut versi pendukung rekonsiliasi, ada 2 kelompok penolak upaya rekonsiliasi. Kelompok pertama adalah militer dan keluarganya. Tentu saja karena merekalah yang ikut memproduksi penyeragaman sejarah. Mereka memproduksi narasi tidak seimbang bahwa PKI adalah dalang tunggal penculikan dan pembunuhan perwira militer.

Kelompok kedua mereka sebut Islam Konservatif. Kesalahan memahami sejarah juga terjadi dalam faksi Islam konservatif. Mereka masih mewarisi pandangan sejarah yang manipulatif baik setelah maupun sebelum kemerdekaan Indonesia. 

Dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa elite yang terang-benderang menolak agenda rekonsiliasi ini memang tidak memiliki jarak dengan masa lalu. Sehingga rekonsiliasi menjadi sulit terwujud selain karena larangan resmi terhadap komunisme dalam TAP MPRS No. XXV 1966 dan Kepres No. 28 Tahun 1975, disebabkan juga karena dua kubu itu. Militer, khususnya TNI AD, dan Islam "konservatif" masih tidak berjarak dengan masa lalu. 

Ada yang berpandangan bahwa rekonsiliasi itu mustahil dilakukan bahkan dikatakan penyelesaian kasus Penumpasan PKI 1965-1966 adalah pekerjaan yang pelik hingga saat ini. Penumpasan itu terjadi tidak dapat dipisahkan dari makar PKI khususnya pada tahun 1965. Rupanya di Indonesia, lebih mudah untuk memasukkan unta ke dalam lubang jarum daripada menyelesaikan kasus Penumpasan PKI ’65. Rekonsiliasi yang berusaha mengklaim bahwa PKI adalah korban, bukan pelaku makar pada 30 September 1965 tampaknya akan sulit terwujud bahkan akan terus membuka luka lama, berupa dendam politik yang tidak berkesudahan. Sejarah telah membuktikan bahwa makar partai yang berpaham komunisme telah merenggut ribuan jiwa di negeri ini. Ini sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Jadi, masih perlukah kita melakukan rekonsiliasi? Jawabnya, ternyata menurut rezim ini perlu, sebagaimana bisa kita maknai dari rekomendasi PPHAM.

Kembali ke persoalan pengakuan Presiden Jokowi atas 12 pelanggaran HAM berat periode 1965 s/d 2020, menurut saya yang terpenting justru aspek yudisialnya harus dibereskan dulu agar generasi sekarang dan yang akan datang mempunyai kepastiannya. Baru setelah kepastian itu diupayakan langkah secara yudisial maupun non yudisial seperti yang direkomendasikan oleh Tim PPHAM bentukan Presiden. Bagaimana bisa sebuah peristiwa besar berupa pelanggaran HAM berat belum diadili baik secara penal maupun non penal lalu sudah dilakukan penyelesaiannya secara non yudisial? Siapa pelaku, siapa korbannya saja belum jelas, lalu bagaimana bisa menentukan kualitas dan kuantitas penyelesaian non yudisial? Bukankah hal ini terkesan hanya sebagai lips service dalam penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu sebelum rezim ini berkuasa sekaligus sebagai media "bersih-bersih" atas semua dugaan pelanggaran HAM berat karena Komnas HAM dan Tim PPHAM tidak pernah menetapkan satu pun peristiwa terbunuhnya banyak orang, puluhan hingga ratusan orang di masa pemerintahan Presiden Jokowi (2014 s/d 2024). Lalu siapa yang akan mengoreksi, menyelidikinya untuk menetapkan ada atau tidak adanya pelanggaran HAM berat dalam periode tersebut? Mau menunggu komitmen Presiden berikutnya?

Tabik...!!!

395

Related Post