OPINI
BPK Temukan Aneka Ketidaksesuaian Penggunaan Dana Covid-19
Oleh Djony Edward - Wartawan Senior FNN BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021 menemukan aneka ketidaksesuaian penggunaan dana Program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC PEN) mencapai Rp230,34 triliun. Dalam LHP tahun 2021 yang diterbitkan pada Mei 2022, BPK menyebutkan dari total dana PC PEN yang ditandai (ditagging) sebesar Rp665,14 triliun, sebanyak 34,63% atau Rp230,34 triliun berbeda dengan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). SP2D merupakan salah satu kelengkapan berkas yang penting terutama untuk ranah perkantoran yang berfungsi sebagai syarat dalam pencairan dana oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) yang telah disesuaikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Temuan lainnya, menurut LHP BPK, adalah penggunaan dana oleh Kementerian/Lembaga sebesar Rp364,07 triliun, yang seharusnya menggunakan akun khusus Covid-19, ternyata sebesar Rp80,26 triliun menggunakan akun reguler. Selain itu, menurut BPK, realisasi fasilitas PPN PC-PEN tahun 2021 sebesar Rp3,71 triliun tidak akurat dan diantaranya Sebesar Rp154,83 miliar diindikasikan tidak sesuai dengan ketentuan. Hasil pengujian atas database e-faktur dan laporan realisasi fasilitas PPN DTP PC PEN tahun 2021, diketahui bahwa terdapat 77.409 transaksi pemanfaatan fasilitas PPN alkes DTP sebesar Rp3,06 triliun, namun pemanfaatan tersebut tidak tercatat pada database laporan realisasi. LHP BPK juga mengungkapkan terdapat potensi ketidaktepatan sasaran terkait transaksi anomali sebesar Rp2,70 triliun dalam realisasi insentif dan fasilitas pajak PC-PEN tahun 2021 yang belum selesai ditindaklanjuti. Sehingga mengakibatkan nilai realisasi insentif dan fasilitas pajak PC-PEN TA 2021 sebesar Rp2,58 triliun terindikasi tidak valid. Artinya belum ada pengungkapan atas data anomali realisasi insentif dan fasilitas pajak PC PEN atas sepuluh jenis pajak dalam catatan atas laporan keuangan LKPP Tahun 2021 sebesar Rp2,58 triliun. Selain itu diungkapkan pengendalian dalam pelaksanaan belanja program PC-PEN Sebesar Rp10,20 Triliun pada 10 Kementerian/Lembaga tidak memadai. Adapun 10 Kementeria/Lembaga dimaksud adalah sebagai berikut. Hasil pemeriksaan BPK lebih lanjut terhadap penyaluran seluruh Bantuan Pelaku Usaha Mikro (BPUM) pada tahun 2021 menunjukkan hal-hal sebagai berikut: Terdapat indikasi sebanyak 38.278 penerima BPUM sebesar Rp45,93 miliar berstatus aktif sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Terdapat 135.861 penerima BPUM yang sedang menerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp163,03 miliar. Terdapat 1.720.424 penerima BPUM yang juga penerima Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan/atau Bantuan Sosial Tunai (BST) sebesar Rp2,06 triliun. Terdapat penyaluran BPUM sebesar Rp3,49 triliun kepada 2.914.757 penerima yang sedang menerima kredit atau pinjaman perbankan lainnya. Terdapat 330.842 penerima berstatus ineligible pada BPUM Tahun 2020 sebesar Rp397,01 miliar, karena merupakan penerima yang dananya dikembalikan ke Kas Negara, namun ditetapkan menjadi penerima BPUM Tahun 2021. Dari temuan LHP BPK tersebut di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan PC PEN masih perlu banyak perbaikan dan yang terpenting pertanggungjawaban penggunaan dana yang tidak sesuai dengan ketentuan. Bisa saja, Tim Ekonomi Jokowi di kemudian hari harus mempertanggung jawabkan secara hukum atas sejumlah ketidaksesuaian yang mencapai Rp230,34 triliun. Itu sebabnya diperlukan pemimpin yang bisa mengoreksi dan mengevaluasi, bahkan mengenakan hukuman yang tegas atas besarnya ketidaksusaian penggunaan dana PC PEN tersebut. Mari kita dukung adanya perubahan dan perbaikan atas kinerja keuangan Pemerintah Jokowi yang tidak cukup menggembirakan itu. Mungkin faktor ini yang membuat Presiden Jokowi sibuk mencari calon Presiden yang bisa melanjutkan program-programnya, termasuk mengamankan penggunaan dana PC PEN yang luar biasa besar menyimpang dari ketentuan. (*)
Mengapa Harta Rafael Alun Diperiksa KPK?
Oleh Djony Edward - Wartawan Senior FNN Tindakan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencopot Kabag Umum Kanwil DJP Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo, setelah pemukulan Kristalino David Azora oleh Mario Dandy Satriyo patut diacungkan jempol. Karena langkah itu dianggap tepat sebagai respons cepat sang menteri atas perilaku anaknya yang selain kejam juga hedonis. Mario diketahui mondar-mandir menggunakan motor gede Harley Davidson dan mobil Jeep jenis Rubicon, dan sejumlah rumah mewahnya yang tidak masuk dalam catatan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ini seolah memberi pembenaran atas pepatah air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan jua. Perilaku anak tak lebih sama dengan anaknya. Sehingga secara paralel anaknya diperiksa polisi sebagai tersangka tindak kekerasan, sementara bapaknya yang secara resmi juga mengundurkan diri dari posisi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) segera setelah pencoopotan atas dirinya. Sampai di sini apakah Kementerian Keuangan atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhasil melokalisir kasus hedonisme aparat pajak pada level Rafael Alun? Ternyata tidak, karena variabelnya meluas. Tak hanya harta Rafael yang beredar di medsos sebesar Rp56,1 miliar, juga harta Dirjen Pajak Suryo Utomo sebesar Rp14,45 miliar yang terkuak. Bahkan harta Dirjen Kekayaan Negara Ronald Silaban sebesar Rp53,33 miliar ikut terpapar. Termasuk yang beredar adalah harta Dirjen Bea Cukai Askolani sebesar Rp43,26 miliar, Dirjen Anggaran Isa Rachmatawat sebesar Rp25,43 miliar, Dirjen Perimbangan Keuangan Lucky Alfirman Rp23,60 miliar, juga Sekretaris Jenderal Kemenkeu Heru Pambudi dengan harta sebesar Rp20,74 miliar. Parade harta ini menunjukkan bahwa tidak hanya tertuju pada Rafael Alun di eselon III, tapi juga harta sejumlah petinggi Kemenkeu di eselon I dan II. Bahkan beredar juga besaran harta Menkeu Sri Mulyani yang mencapai Rp67,26 miliar. Sampai di sini kita paham, bahwa harta pejabat Kemenkeu benar-benar besar, tajir melintir, dan fantastis. Lantas apakah adil kalau hanya harta Rafael Alun yang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran ketahuan sikap hedonis dari anaknya? Apakah masuk akal hanya harta Rafael yang diaudit? Kabarnya Presiden Jokowi menginginkan agar kasus hedonis para aparat pajak ini dihentikan. Di sisi lain Presiden Jokowi juga menginginkan semua harta pejabat eselon I, II, II dan Menteri Keuangan juga diperiksa untuk memastikan bahwa tidak ada korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan. Bahkan kabarnya Rafael Alun dalam pemeriksaan oleh KPK akan mengakui besaran hartanya sebesar Rp56,1 miliar apa adanya. Untuk memastikan bahwa kalau ada ada harta lain yang tidak masuk dalam LHKPN juga dilakukan pejabat di Kemenkeu, bahwa itu adalah fenomena umum di kementerian paling basah itu. Wallahu a’lam. Konon kabarnya laporan harta di LHKPN hanya seper sepuluh dari dari harta sesungguhnya. Kalau benar demikian, menjadi tugas berat Ketua KPK Firli Bahuri untuk membuktikannya, dan Firli harus nafsu atau punya daya terkam atas kemungkinan menemukan harta tidak halal dari para pejabat itu. Bukan malah ngotot memaksakan kasus Formula E ada unsur korupsi, walaupun sudah sembilan kali dilakukan ekspos perkara di internal penyidik KPK. Kita ambil hikmahnya, bahwa harta yang dimiliki para pejabat bisa saja diperoleh secara halal, pemeriksaan oleh KPK hanya ingin mengonfirmasi seberapa halal harta tersebut, kalau-kalau terselip angka yang diperoleh secara tidak halal, seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Mari kita beri kesempatan KPK bekerja dengan sungguh-sungguh, cepat dan akurat. Pada saat yang sama, kita juga melihat lemahnya komunikasi internal DJP, hal ini konon kabarnya dana komunikasi DJP sudah lima tahun terakhir dihapus. Sekarang baru dirasakan perlukan pola komunikasi yang cerdas yang bisa mengarahkan dan melokalisir persoalan hanya pada pihak yang dianggap menyimpang. Akibat lemahnya komunikasi di DJP, dan mungkin saja di Kemeneu, maka bola liar kasus Rafael Alun kemana-mana. Semoga segera terkuak semuanya, dan semoga DJP dan Kemenkeu mengambil pelajaran besar dari kasus Rafael Alun, bila perlu dijadikan mailstone reformasi internal DJP dan Kemenkeu. Kalau dalam pemeriksaan KPK terbukti Rafael Alun menerima harta tak halal semisal TPPU, maka yang bersangkutan harus ikhlas hartanya diserahkan ke negara dan menjalani hukuman sesuai dengan perbuatannya. Demikian pula dengan Menkeu, Sekjen Kemenkeu, Dirjen Pajak, Dirjen Anggaran, Dirjen Kekayaan Negara, Dirjen Perimbangan Keuangan dan lainnya siap-siap mendapat perlakuan yang sama. (*)
Pengamat "Kacung" Oligarki Asal Bunyi?
Oleh: Arief Sofiyanto - Wartawan Senior FNN Ada okmum-oknum yang mengaku sebagai pengamat tetapi waton njeplak alias asal mangap. Dia bilang bahwa Anies Baswedan sudah mencuri start kampanye. Pernyataan seperti ini bisa jadi ini diduga pesanan rezim oligarki atau oknum pengamat yang memang cekak cingkrang pikirane. Bagaimana Anies bisa dituding curi start, lha wong jadwal kampanye saja belum ditetapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan lagipula Anies belum resmi jadi capres (calon presiden) yang didaftarkan di KPU. Harusnya Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) justru menyemprot dua sosok ambisius yang ngebet ingin jadi capres. Yakni, Menteri BUMN Erick Thohir dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Pembantu presiden dan \"Raja\" daerah ini keliling terus seantero wilayah Indonesia. Bahkan Erick Thohir diduga menggunakan fasilitas-fasilitasi perusahaan BUMN untuk kampanye menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2024. Ganjar pun terlihat ngacir pelesir nyisir keliling wilayah di Indonesia. Rupanya, Gubernur Jateng ini merangkap menjadi Gubernur wilayah se-Indonesia menyaingi Opung Luhut yang merangkap jabatan macem-macem alias tetek bengek hingga ada yang menyebut sebagai Menteri segala urusan, bahkan ada yang menyindir jadi \"perdana menteri\" bayangan. Erick Thohir juga tak mau ketinggalan, kini merangkap menjadi Ketua Umum PSSI. Jabatan di negeri ini seperti jadi jatah yang dibagi-bagi seenak udelnya? Negara dijadikan perusahaan milik mbahnya? Tampaknya, buzer-buzer maupun pasukan pendukung tim bakal capres-capres gencar menyerang Anies Baswedan. Maklum, mereka semakin keder (takut, red) menghadapi Anies. Bagaimana tidak, dukungan terhadap Anies yang keliling wilayah Indonesia meluber alias menyemut massa yang menyambut capres mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Bahkan makin dekati pemilu/pilpres, massa pendukung yang menyambut kedatangan Anies di wilayah se-Indonesia makin mbludak dan mengalir deras bak banjir bandang. Padahal, mereka tidak dibayar ataupun dikasih amplop dan nasi bungkus. Mereka hanya berdasar kesadaran hati nurani yang ingin perubahan di negeri yang sudah sumpek ini. Dugaan korupsi makin marak. Tidak lagi korupsi di bawah meja seperti saat era Orba, tapi malah di atas meja dan bahkan mejanya sekalian digondol atau dicolong. Terkesan, pasca reformasi KKN makin sontoloyo. Apalagi, makin banjir PHK, pengangguran melonjak, UMKM banyak yang bangkrut, harga-harga makin meroket menyaingi roktet perang di Ukraina. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga pesanan oligarki dipakai untuk kriminalisasi terhadap Anies, melakukan politik standar ganda. Kabarnya, Anies dicari-cari kesalahannya meski tidak terbukti, termasuk dalam pengadaan event Formula E di Jakarta. Anies diperiksa KPK terkait Formula E yang hanya membutuhkan biaya total Rp635 miliar dari APBD dan sudah disetujui DPRD. Gelaran Formula E pun ternyata meraup keuntungan dan berpotensi mendatangkan investasi. Keuntungan penyelenggaraan Formula E Jakarta 2022 mencapai Rp 5,29 miliar sesuai audit kantor akuntan publik (KAP). Namun, KPK tidak memeriksa Presiden yang menggelar perhelatan MotoGP Mandalika 2022 menyedot dana Rp 2,5 triliun yang ada duit APBN menurut pengakuan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Malah ada penduduk setempat yang protes ganti rugi tanahnya belum dibayar untuk proyek MotoGP Mandalika di NTB tersebut seperti diberitakan media-media online dan YouTube Kayaknya perbaikan ekonomi untuk membenahi nasib rakyat dan penegakan hukum sesuai aspirasi rakyat, belum bisa diharapkan. Kini, karena masyarakat ngebet gandrung segera ada perubahan, akibatnya muncul relawan-relawan tanpa dibayar dan massa sukarela mendukung Anies dan gempar menyambut kedatangan Anies di daerah-daerah NKRI. Pasalnya, Anies dianggap sebagai capres pro perubahan dan anti oligarki yang diduga hanya \"mencekik\" dan \"menindas\" rakyat. Artinya, Anies hingga saat ini jadi satu-satunya capres pilihan buat mereka. Kaum intelektual, ulama dan bahkan emak-emak pun yang dulu dukung Prabowo, kini putar haluan 180 derajat dukung Anies untuk terpilih jadi presiden 2024. Kenapa sekarang Anies harus tampil? \"Wis wayahe (sudah saatnya)!\" kata Cak Nun alias Emha Ainun Najib Menurut Cak Nun, proyek reklamasi asing aseng sudah merambah di lebih 30 tempat di provinsi Indonesia. Reklamasi bukan untuk kepentingan rakyat banyak. Anies lah satu-satunya Gubenur yang menolak reklamasi di pantai Jakarta. Bahkan dalam acara Najwa Shihab, Anies berani \"melawan\" Menko Investasi Luhut Panjaitan yang kelihatan memaksakan reklamasi pulau di pantai Jakarta. Anies tetap berpegang pada aturan dan perundangan-indangan untuk menolak reklamasi yang dinilai tidak bermanfaat untuk rakyat. Reklamasi adalah salah satu proyek kepentingan oligarki? Memang oligarki pasti ada di setiap negara demokrasi yang memberikan kesempatan/kebebasan kepada orang untuk meraup kekayaan. Diduga pula banyak oknum pejabat yang manut pada taipan bahkan cukong oligarki. Bahkan pengamat bayaran dan lembaga survei pesanan, bisa menyulap capres oligarki tempati urutan teratas dalam ranking perolehan suara alias pembohongan publik. Masalahnya bukan kita anti oligarki. Namun, bagaimana agar rezim penguasa bisa kendalikan oligarki. Bukan oligarki yang mengendalikan pemerintah. Kini, mayoritas rakyat meyakini bahwa Anies yang terpilih jadi presiden nanti bisa mengendalikan oligarki. Ayo, Anies maju terus! \"Wis wayahe\". Hadapi capres oligarki di pemilu/pilpres 2024. (*)
Setelah Gagal Memperpanjang Masa Jabatan
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Mahkamah Konstitusi telah memutuskan menolak Gugatan Judicial Review atas UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Pemohon Herifudin Daulay dalam Perkara No 4/PUU-XXI/2023 dengan Amar Putusan \"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya\". Artinya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU No 7 tahun 2017 yang menjadi obyek gugatan adalah konstitusional. Putusan MK ini sama dengan Putusan terdahulu dalam perkara Judicial Review No. 117/PUU-XX/2022. Bahkan dengan pertimbangan hukum yang sama pula. Dalam pembacaan Putusan Hakim Ketua Anwar Usman menyatakan \"oleh karena itu pertimbangan hukum dalam putusan MK No 117/PUU-XX/2022 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo\". Maka gagal lagi upaya untuk memperpanjang masa jabatan Presiden melalui proses Judicial Review lewat Mahkamah Konstitusi. Meski Judicial Review ini diajukan oleh pemohon perseorangan akan tetapi fakta politik sulit ditepis akan adanya \"kemauan istana\" untuk memperpanjang masa jabatan tersebut. Jokowi berwajah formal \"tidak menginginkan\" tiga periode, akan tetapi \"aspirasi\" yang menghendaki perpanjangan menurutnya tidak boleh dilarang karena itu konsekuensi dari demokrasi. Jokowi memainkan kebijakan dubious melalui \"kasak kusuk politik\". Atas kegagalan memperpanjang melalui proses gugatan MK tersebut, maka beberapa hal yang mungkin menjadi implikasi atau konsekuensi adalah : Pertama, Pemilu 2024 harus dan akan dijalankan dengan terus menyiapkan Presiden boneka Istana untuk menghadapi calon yang dinilai kuat. Skema menang dengan segala cara termasuk curang adalah \"sacred mission\". Kedua, memperpanjang dengan alasan non yudisial. Pandemi Covid 19 hampir sukses untuk menjadi sebab, kondisi keuangan yang berat dibuat sebagai alasan rasional serta kekacauan yang mungkin diciptakan. Hukum pun dapat dimainkan untuk sejumlah kepentingan. Di samping upaya Istana tentu rakyat pun memiliki peluang untuk menindaklanjuti Putusan penolakan perpanjangan. Sekurangnya dua hal, yaitu : Pertama, segala cara yang dilakukan Presiden selama ini telah banyak melanggar asas kejujuran, amanah, sportif dan pemuliaan atas hak-hak rakyat. Sesuai dengan Tap VI/MPR/2001 maka sudah saatnya untuk mendesak secara kuat agar Presiden mundur dari jabatannya karena telah banyak melakukan penistaan etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, melawan Undang-Undang. Dengan Perppu No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang melabrak UU No 24 tahun 2003 tentang MK Presiden Jokowi telah melakukan \"penghianatan negara\". Begitu juga dengan penerbitan Keppres No 17 tahun 2022 yang melawan UU No 26 tahun 2000. Terakhir Presiden telah melanggar UU No 39 tahun 2008 mengenai rangkap jabatan. Dengan dapat didesak untuk mundur sesuai Tap MPR No VI/MPR/2001 dan dapat dimundurkan atau dimakzulkan sesuai aturan UUD 1945 Pasal 7A maka sebenarnya Presiden Jokowi saat ini memang sudah tidak layak lagi untuk menjabat sebagai Presiden RI. Maka gagalnya upaya untuk \"memperpanjang\" masa jabatan Presiden melalui mekanisme hukum ternyata dapat berimbas pada upaya untuk \"memperpendek\" masa jabatan Presiden secara hukum pula. Bangsa ini butuh pemimpin yang lebih segar dan mumpuni. Bukan pemimpin basa basi dan tukang cari sensasi. Miskin prestasi dan anti demokrasi. Bandung, 1 Maret 2023
Rezim Joshep Stalin
Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih JOSHEP Stalin salah seorang pemimpin Uni Soviet, pernah mencabuti bulu seekor ayam hingga gundul, dia membiarkan ayam menjadi ringkih, merintih dan lemah, kemudian memberinya sedikit demi sedikit remah roti. Seolah melupakan rasa, pedih dan sakit, ayam itu mendekati Stalin dan memakan setiap remahan roti yang diberikan Stalin. Tentu tidak terlalu mengenyangkan dan juga tidak menyembuhkan luka si Ayam, namun perilaku Stalin berhasil menjadikan ayam penurut dan terus menerus mengikutinya. Fragmen ini merupakan tutorial kejam lagi sadis bagi para penguasa untuk menjadi otoriter agar mampu menundukkan rakyatnya dan meredam gejolak. Caranya adalah perlakukan rakyat seperti ayam, singkirkan semua yang rakyat miliki, miskinkan rakyat dan kemudian berikan rakyat sedikit bantuan serta harapan, selanjutnya rakyat akan mengikuti penguasa selamanya. Terkadang dalam kondisi sangat terjepit, rakyat kehilangan nalar dan ketajaman akal sehingga rela melakukan apapun berdasarkan keinginan penguasa dan sistem otoriter yang menguasai mereka. Beralasan sekadar untuk bertahan hidup, padahal merekapun mengetahui justru sumber masalah bagi kehidupan mereka adalah berkuasanya penguasa dan diterapkannya sistem otoriter. Maka untuk menuju perubahan memang sangat membutuhkan usaha serius membangun kesadaran, meningkatkan taraf berfikir, mempertajam pemikiran, menumbuhkan keberanian, menjaga konsistensi dan siap mempersembahkan pengorbanan.***
Hidup Mewah Pegawai Pajak Cermin Kegagalan Kementerian Keuangan
Oleh: Anthony Budiawan- Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PAJAK merupakan sumber pendapatan utama pemerintah, diperoleh dengan cara paksa, melalui undang-undang. Di lain pihak, penerimaan pajak akan digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, meningkatkan kesejahteraan, mencerdaskan bangsa, menjaga kesehatan publik, dan lainnya. Intinya, pajak merupakan hak masyarakat, pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, penerimaan pajak harus diawasi secara ketat, tidak boleh ada kebocoran, tidak boleh dikorupsi. Kebocoran pajak bisa berakibat sangat buruk, apalagi untuk negara seperti Indonesia yang mempunyai angka kemiskinan sangat tinggi, membuat pemerintah sulit memberantas kemiskinan, membuat utang pemerintah membengkak. Ironinya, sudah banyak kasus korupsi pajak yang melibatkan pejabat pajak. Antara lain kasus korupsi oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan periode 2016-2019, Angin Prayitno Aji. Pelaku penyuapan adalah PT Gunung Madu Plantations (GMP) untuk tahun pajak 2016; PT Bank PAN Indonesia (Panin) Tbk. tahun pajak 2016, dan PT Jhonlin Baratama untuk tahun pajak 2016 dan 2017. Itu yang ketahuan. Mungkin masih banyak kasus kebocoran pajak yang tidak atau belum ketahuan. Ya bisa saja. Karena, faktanya, ada pejabat pajak yang hidup mewah, mungkin tidak sesuai dengan pendapatannya sebagai pejabat pajak, sehingga patut diduga dari korupsi pajak. Masih ada 13 ribu lebih pegawai pajak yang belum mengisi laporan hartanya (LHKPN). Ada apa? Di lain sisi, penerimaan pajak turun terus. Apakah kondisi ini ada hubungannya dengan korupsi dan kebocoran pajak? Rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) hanya sekitar 10 persen, salah satu yang terendah di ASEAN, lebih rendah dari Vietnam, Malaysia, atau Thailand. Salah satu target kebijakan tax amnesty 2016/2017 akan meningkatkan rasio pajak menjadi 14,6 persen di 2019, nyatanya hanya 9,8 persen. Ada selisih sekitar 5 persen. Jumlah ini hampir mencapai Rp1.000 triliun dengan PDB 2022 yang mencapai hampir Rp20.000 triliun. Kenapa rasio pajak Indonesia begitu rendah? Apakah karena ada kebocoran pajak, dan yang tertangkap hanya fenomena puncak gunung es, yang artinya, yang tidak terungkap, atau belum terungkap, jauh lebih besar dari yang kelihatan? Sepertinya, Menteri Keuangan tidak mampu menaikkan rasio pajak yang terus turun. Tax amnesty gagal total, rasio pajak malah turun setelah diberlakukan tax amnesty. Yang menjadi sasaran, masyarakat kelompok bawah. Pajak PPN naik, harga BBM naik. Angka kemiskinan naik. Semua ini mencerminkan Menteri Keuangan gagal total. Wajib mundur. (*)
Wayang Zulkifli
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan DALAM Pembukaan Rakornas Pemenangan Pemilu PAN di Semarang Ketum PAN Zulkifli Hasan menjelaskan tokoh pewayangan Werkudara atau Bimasena yang diasosiasikan kepada PAN sebagai panglima perang yang siap bertempur pada tahun 2024 dengan tambahan kalimat \"keputusan tetap ada pada panglima tertinggi\". Kalimat tersebut dikaitkan dengan sinyal PAN yang memberi tempat kepada Ganjar Pranowo dan Erick Thohir. Mungkin sebagai Capres dan Cawapres. Secara resmi PAN sendiri saat Rakernas Agustus 2022 mengajukan 9 nama untuk Capres yang diantaranya Ganjar Pranowo, Erick Thohir, Anies Baswedan, Khofifah Parawansa, Airlangga dan lainnya. Panglima tertinggi yang disebutkan dan dimaksud Zulhas adalah Presiden sebagaimana ungkapannya \"bagi kami Presiden adalah segala-galanya. Bagi kami Presiden adalah panglima tertinggi kami. Jadi kami akan mengikuti setiap arahan Presiden\". Saat menyebut panglina tertinggi Zulkifli menatap kepada Jokowi dan Jokowi pun tersenyum. Ada empat hal yang menjadi problema demokrasi dari fenomena ini, yaitu : Pertama, budaya jilat yang merajalela dan menjadi penyakit dari Ketum Partai Politik. Di samping tampilan Ketum PAN Zulkifli Hasan di Rakornas ini, juga Ketum Partai Gerindra yang rajin berpolitik puja puji. Padahal Presiden Jokowi sendiri adalah \"kader\" PDIP. Ironi ada pernyataan \"bagi kami Presiden adalah segala-galanya\". Kedua, panglima perang yang menunggu arahan panglima tertinggi dalam pewayangan itu tidak bisa dibawa ke dalam sistem politik berbasis Konstitusi. Ketum Partai bukan bawahan Presiden. Presiden menurut UUD 1945 bukan pula panglima pertinggi angkatan perang. Panglima tertinggi adalah Panglima TNI. Teringat budaya mohon arahan atau petunjuk itu kepada figur Harmoko di masa Orba dulu. Ketiga, Capres tebak-tebakan atau untung-untungan. Secara resmi PAN menyodorkan 9 nama , tetapi disebut dalam pantun \"Indonesia jaya\" nya Zulhas hanya Ganjar Pranowo dan Erick Thohir. Sudah begitu tergantung arahan Jokowi lagi. Beginilah sikap politik yang tidak jelas. Rakyat dipaksa untuk menonton pemimpin yang semakin tidak jelas. Keempat, kesalahan utama di negeri ini adalah Ketum partai yang merangkap dengan jabatan Menteri. Sementara kedudukan Ketum itu menentukan. Akibatnya partai politik sebagai kekuatan infrastruktur politik terkooptasi oleh Presiden. Sebagai alat perjuangan politik rakyat partai politik telah bergeser menjadi aparat Pemerintah. Akhirnya demokrasi menjadi slogan semata. Pemilu bukan menjadi ciri dari demokrasi akan tetapi demokrasi ada untuk Pemilu. Diluar itu bisa otokrasi atau monarki. Kalimat \"Presiden adalah segala-galanya\" menjadi bukti dari sebuah sistem politik otokrasi, atau monarki. Wayang Zulkifli tentang Werkudara sedang bermain atau dimainkan. Dalang semakin bersemangat bertutur tentang perang saudara antara Amarta dan Astina. Ternyata pemenangnya bukan Pandawa atau Kurawa tetapi sang Dalang itu sendiri. Dalang itu bernama Ki Oligarki. Bandung, 28 Februari 2023
Memberi Angin PKI
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan Keppres No 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ternyata mengarah pada permohonan maaf dan pemberian kompensasi kepada aktivis, simpatisan dan keluarga PKI. Meski terkait dengan pelanggaran HAM berat lain akan tetapi yang mencuat dan hangat sejak awal adalah tuntutan agar Pemerintah memohon maaf kepada kader dan keluarga PKI. Jokowi sendiri telah menyatakan pengakuan yang secara implisit dinilai sebagai permohonan maaf. Pengakuan yang disampaikan pada bulan Januari 2023 tersebut menuai berbagai tanggapan baik pro maupun kontra. Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom langsung mengusulkan penghapusan peristiwa-peristiwa tersebut dari pelajaran sejarah. Hebat sekali. Keppres No 17 Tahun 2022 itu ternyata bertentangan dengan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU tersebut tidak membuka peluang bagi terjadinya penyelesaian non yudisial. Pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui proses peradilan. Atas kesewenang-wenangan tersebut sebaiknya dilakukan Judicial Review melalui Mahkamah Agung. Teriakan kader, simpatisan serta keluarga PKI bahwa mereka adalah korban dan PKI itu tidak bersalah adalah bertentangan dengan fakta sejarah yang sebenarnya. PKI terbukti sebagai dalang gerakan penghianatan negara. Melakukan pembantaian terhadap petinggi TNI dan umat Islam. PKI itu anti agama. Pada masa Pemerintahan Jokowi ini ada nuansa memberi angin kepada PKI untuk merehabilitasi diri dan bangkit kembali. Muncul semangat untuk mencabut Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI dan penyebaran faham Komunisme-Marxisme/Leninisme. Kemudian kader atau keluarga PKI berada di Parlemen dan jabatan Pemerintahan, larangan sweeping simbol PKI dengan alasan demokrasi serta keluarga PKI yang dibolehkan masuk TNI. Gonjang ganjing hubungan keluarga Jokowi dengan PKI yang dikemukakan Bambang Tri belum terklarifikasi tuntas. Bambang sendiri terus menerus menjadi pesakitan. Pembelian lukisan mahal \"Petruk dadi Ratu\" dari mantan Seniman Lekra sayap PKI dinilai bentuk simpati. Hingga kini belum ada satu katapun dalam pidato Presiden Jokowi tentang perlunya mewaspadai bahaya PKI dan Komunisme. Tidak masuk Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 dalam konsiderans RUU HIP, pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, Pancasila 1 Juni 1945 serta minimalisasi fungsi agama adalah indikasi adanya upaya agar RUU ini menjadi \"pintu ideologis\" bagi komunisme atau sekurang-kurangnya ideologi kiri untuk menginfiltrasi atau mendominasi. Untunglah gerakan MUI dan kekuatan umat Islam berhasil menggagalkan. Buku anggota DPR RI \"Aku Bangga Menjadi Anak PKI\" merupakan cermin dari atmosfir ruang terbuka bagi penerimaan dan kebangkitan PKI di rezim Jokowi. Keppres penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat untuk peristiwa tahun 1965 menjadi bagian dari agenda itu. PKI dianggap sebagai korban. Mahfud MD minta masyarakat agar percaya kepadanya bahwa Keppres 17 tahun 2022 itu bukan untuk menghidupkan PKI, masalah utamanya saat ini adalah siapa yang percaya? Bandung, 27 Februari 2023
Pamer Kekayaan dan Hancurnya Revolusi Mental Jokowi
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle Telah menjadi perbincangan publik yang mengenaskan saat ini ketika anak pejabat pajak, Mario, hampir membunuh David, anak petinggi Anshor. Sebenarnya ini urusan personal, soal perempuan, soal remaja, namun bergeser kepersoalan nasional, karena Mario menggunakan mobil harga milyaran pada saat menganiya David. Rakyat heran, bagaimana pejabat pajak eselon3 bisa punya mobil Rubicon? Lalu orang mengetahui pejabat itu memiliki uang Rp. 56 Milyar. Dari mana? Padahal dengan asumsi penghasilan dia Rp. 25 juta sebulan, selama setahun kekayaan dia Rp. 300 juta. Itu kalau tidak dikurangi belanja dan bersisa untuk ditabung. Jika penghasilan dia selama sepuluh tahun konsisten Rp 300 juta setahun, maka kekayaan dia maksimal Rp. 3 Milyar. Dari mana pejabat pajak itu memperoleh Rp. 53 Milyar lainnya? Goreng-menggoreng isu dan keinginan tahuan masyarakat, khususnya di dunia maya, bergeser dengan isu para pejabat pajak mempunyai klub mewah, MOGE (motor gede). Klub MOGE di Indonesia diasosiasikan dengan kalangan kaya raya, karena motor ini harganya seratusan juta lebih. Kalau \"touring\", untuk rekreasi, kalangan ini pastinya menghabiskan uang belanja yang besar, karena Club seperti ini terkait dengan restoran mewah dan fasilitas mewah lainnya. Berapa uang yang mereka keluarkan? Uang sendiri atau uang pembayar pajak, klien gelap mereka? Adanya Club MOGE Blasting Rijder ini diungkapkan oleh Sri Mulyani, menteri keuangan, yang prihatin dengan terbongkarnya kekayaan Rafael, ayah Mario. Namun, Sri Mulyani tidak bisa berkelit bahwa dia sendiri memiliki MOGE, sebagaimana dilancir CNN Indonesia, 27/2/23 dalam tema \"Daftar Pejabat Kemenkeu Punya Motor Gede\". Bak pepatah \"mendulang air memercik muka sendiri\", dengan simbol kepemilikan MOGE ini, maka anak-anak buah Sri Mulyani tentunya bangga mencontoh pemimpinnya. Harga MOGE Sri Mulyani itu mencapai Rp. 147 juta. Sri Mulyani tentu sadar membeli atau memiliki ini. Begitu juga ketika Sri Mulyani beberapa tahun lalu diberitakan punya sepeda super mewah, Brompton. Isu di seputar kementerian keuangan berlanjut bahwa saat ini 13.800 pegawai kemenkeu atau sekitar 40% belum menyerahkan laporan kekayaannya ke KPK. Meski ini sudah diperdebatkan oleh Sri Mulyani, bahwa masih ada waktu sebulan lagi untuk melengkapinya, namun kepercayaan rakyat atas kementerian keuangan, saat ini menurun dahsyat. Bagaimana membandingkan pejabat kita dengan pejabat Malaysia yang saat ini memotong gaji sebesar 20%, karena prihatin. Pemerintah Malaysia, dalam berita theedgemarkets.com/node/646796, setuju pemotongan gaji ini sampai ekonomi recovery. \"Air hujan turun dari langit\" tentunya. Ini sering dikutip untuk merujuk pada isi keteladanan. Orang-orang itu mencontohkan apa yang pemimpinnya lakukan. Apakah cuma pejabat Kemenkeu dan atau keluarganya yang mempunyai budaya hedonisme, glamour diantara kemiskinan rakyat saat ini? Jokowi adalah Presiden Indonesia yang menganjurkan kehidupan sederhana. Dalam tempo 27/3/2019 Jokowi mengatakan \"\"Kalau pake jas mahal, dan jas itu pakaian orang Eropa, Amerika. Orang Indonesia cukup pakai yang murah, baju putih, seperti yang saya pakai\". Pada tahun 2014, Jokowi mengiklankan pakaiannya, dari sepatu, celana hingga kemeja, yang ditotak hanya seratusan ribu rupiah. Dalam tulisannya tentang Revolusi Mental, Jokowi mengatakan bahwa hedonisme dan budaya materialistik harus dikikis habis. Percayakah kita dengan Jokowi? Marilah kita lihat daftar tas yang digunakan anak mantu Jokowi. Sebagaimana diberitakan Era. Id , 2/1/23, pertama adalah Hermes. Harga tas ini senilai Rp. 503 juta rupiah. Harga ini setara dengan 5-10 rumah buruh di Bekasi. Koleksi tas mewah Silvi, menantu Jokowi itu cukup banyak, dengan harga fantastis. Daftar 10 tas mewah anak mantu Jokowi itu dapat dilihat di dream.co.id/photo/jarang-pamer-10-koleksi-tas-mewah-selvi-ananda-mantu-jokowi-terakhir-harganya-bikin-menjerit-2301051.html Keteladanan seorang pemimpin itu diuji dalam rumah tangga atau keluarganya. Dengan koleksi tas aja, hanya tas, yang harganya puluhan sampai ratusan juta rupiah, tentu Jokowi gagal dalam mengajarkan budaya hemat dan mencintai produk dalam negeri. Apalagi jika kita masuk lebih dalam dengan mempertanyakan bagaimana perolehan dana anak-anak Jokowi yang berangka ratusan milyar saat ini? Kenapa Jokowi membuat pesta perkawinan anaknya Kaesang yang begitu glamour? Jadi ketika berbagai berita mengulas harta dan pakaian glamour istri Sambo, Putri Chandrawati, istri-istri pejabat negara yang berpose di Swiss beberapa tahun lalu, jaksa Ema dengan tas mewah di sidang Sambo, Jaksa Pinangki dengan mobil milyaran, pejabat polisi Brigjen Andi Ryan dengan kemeja belasan juta dan lain sebagainya terdapat benang merah bahwa elit-elit kekuasan Jokowi adalah kelompok hedonis, hidup ber mewah, glamour dan jauh dari sensitifitas terhadap wong cilik. Agenda Perubahan Rusaknya budaya elit pejabat dan keluarga mereka sudah menjijikkan. Rakyat disuruh taat bayar pajak dan rakyat miskin hidup dengan subsidi. Pertumbuhan rekening orang-orang kaya naik naik 14% (2021) dan 13,8% (2022), ini diukur pada pemilik rekening Rp. 5 Milyar. Pemilik rekening Rp 2-5 Milyar juga naik signifikan. Tax ratio tetap kecil, di bawah 10%, karena orang-orang miskin gagal merubah nasib lebih baik, untuk bayar pajak. Gaji buruh tetap kecil, sehingga gagal bayar pajak lebih besar. Pejabat kemenkeu kaya raya. Apakah ini yang disebut Revolusi Mental? Yang jelas kita sudah tahu bahwa 9 tahun rezim Jokowi berkuasa, hedonisme dan budaya glamour pejabat semakin menjadi-jadi. Rakyat tidak bisa banyak kritik, karena demokrasi sudah mati. Aktifis dan ulama kritis di penjara, ditangkapi. Namun cita-cita Jokowi memperbaiki Indonesia semakin oleng, bak kapal yang akan tenggelam. Hutang bengkak terus, borokrasi rusak, rakyat kurang terurus. Untuk itu kita perlu memikirkan sebuah \"New Deal\", sebuah kesepakatannya baru tentang Indonesia. Mau dibawah kemana Indonesia setelah Jokowi? Anies sudah memaparkan pikiran poltiknya beberapa hari lalu, tentang Demokrasi dan Jalan Keadilan. Tapi bagaimana soal budaya glamour pejabat? Bagaimana memperbaiki akhlak penguasa? New Deal ini adalah perubahan. Bukan status quo. Status quo akan memperdalam krisis mental. Perubahan akan bicara kebangkitan. Kebangkitan seperti apa? Pertama, kita harus mereformasi total birokrasi negara. Mentalitas pejabat dirubah dengan akhlak. Revolusi mental dirubah dengan revolusi akhlak. Semua pejabat harus ikut pengajian-pengajian dan mendekat diri pada spiritualitas. Termasuk ibu2 pejabat. Kedua, kekayaan pejabat negara harus dibatasi. Orang-orang kaya boleh menjadi kaya, asalkan tidak terkait kekuasaan. Tidak boleh ada menteri, misalnya, yang punya ikatan dua tingkatan atau hubungan darah, dengan pengusaha besar. Ini untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Ketiga, memperluas kehidupan komunal yang religius. Kehidupan komunal untuk melihat rekam jejak pemimpin dalam lingkup rakyat secara langsung. Religiusitas terhubung dengan agenda komunal. Pilihannya bukan dengan clubbing dan arisan mewah lainnya. Sehingga menambah kekuatan moral elit dan rakyat. Penutup Budaya hedonisme dan glamour kalangan pejabat pajak dan pejabat negara lainnya semakin menghiasi perbincangan publik. Dari mulai mobil mewah Jaksa Pinangki, tas mewah Jaksa Ema, baju mahal Brigjen Rian Hidayat, tas 500 juta menantu Jokowi, pejabat pajak dengan Club MOGE, pejabat pajak Rafael dengan kekayaan 56 Milyar, dan lain sebagainya. Semua ini menunjukkan kegagalan total Revolusi Mental Jokowi yang menganjurkan kesederhanaan dan menyingkir budaya materialistik. Jokowi gagal menjadi panutan, karena keluarganya juga glamour, selain pembantunya. Ke depan perlu ada kesepakatan baru tentang perubahan, New Deal. Perubahan atau Change ke arah mana? Kita perlu mengeser Revolusi Mental dan menguburnya, dengan menggantikan dengan Revolusi Akhlak. Para penguasa ke depan harus berakhlak. Tidak suka glamour dan harus pro rakyat miskin. Di Malaysia misalkan, seluruh pejabat kementerian memotong gajinya 20% sebagai simbol keprihatinan. Sri Mulyani di Indonesia mempunyai Motor Gede dan sepeda Brompton yang mahal sekali. Kedepan pejabat keuangan negara harus steril dari glamour dan KKN. Mereka harus berakhlak kharimah. Jika kita pertahankan status quo, dengan rezim penerus Jokowi, Indonesia akan tenggelam. Musnah. (*)
Bobolnya Pajak Kami
Oleh Djony Edward - Wartawan Senior FNN Kondisi Kristalino David Azora (17), korban penganiayaan anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Mario Dandy Satriyo (20), di RS Mayapada semakin membaik. Ventilator yang dikenakan David sudah mulai dicopot, pertanda kinerja kesehatannya semakin pulih. Di balik penganiayaan tersebut ternyata menguak banyak hal soal permainan di DJP, karena itu ayah Dandy, yakni Rafael Alun Trisambodo—Kabag Umum Kanwil DJP Jakarta Selatan II—mengundurkan diri bersamaan dengan pencopotan jabatannya oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Penopotan jabatan itu untuk melancarkan pemeriksaan atas kekayaan Rafael yang tidak wajar. Penganiayaan itu berhasil membongkar banyak hal di DJP, termasuk harta kekayaan Rafael Alun, Dirjen Pajak, Dirjen Anggaran, Dirjen Bea Cukai, bahkan kekayaan Menkeu Sri Mulyani. Rafael Alun adalah puncak gunung es dari permainan di DJP. Karena jumlah kekayaan yang didaftaran di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mencapai Rp56,1 miliar, jumlah yang sangat fantastis. Andaikan gaji Rafael Rp100 juta per bulan, maka dibutuhkan 500 bulan, atau 41 tahun, untuk mendapatkan kekayaan sebesar itu. Selain itu Rafael ternyata tidak memasukkan mobil Jeep JK Rubicon, motor gede Harley Davidson, sejumlah rumah mewah, dan mungkin saja sejumlah aset lainnya yang disembunyikan. Sosok Rafael adalah puncak gunung es dari permainan pejabat DJP yang berhasil memperkaya diri sendiri, di belakang itu kemungkinan besar masih banyak pejabat DJP—atau pejabat Kemenkeu--yang bermain, hanya saja belum terbongkar. Dalam sebuah informasi bersumber dari LHKPN yang beredar di Whatsapp, sejumlah pejabat eselon II Kemenkeu ternyata memiliki kekayaan super mewah. Sebut saja Dirjen Kekayaan Negara Sionald Silaban memiliki kekayaan mencapai Rp53,33 miliar pada 2021. Jumlah itu melombat 150,61% dibandingkan kekayaannya pada 2017 yang masih di level Rp21,28 miliar. Sementara Dirjen Anggaran Askolani, dalam informasi tersebut, disebutkan memiliki kekayaan Rp43,26 miliar pada 2021. Jumlah tersebut meningkat 99,44% jika dibandingkan kekayaannya pada 2017 sebesar Rp21,69 miliar. Sementara Dirjen Pajak Suryo Utomo pada periode yang sama memiliki kekayaan sebesar Rp14,45 miliar pada 2021, atau naik 135,34% dibandingkan posisi 2017 sebesar Rp6,14 miliar (selengkapnya lihat tabel). Suryo Utomo diketahui aktif di klub BlastingRijder DJP dan sempat memamerkan motor gedenya bersama para pejabat DJP lainnya. Karuan saja Menkeu Sri Mulyani minta klub itu dibubarkan karena dianggap membangun persepsi negatif terhadap DJP. Tindakan penganiayaan Dandy terhadap David, benar-benar membongkar betapa pejabat DJP telah membobol kekayaan negara. Aset negara yang seharusnya masuk ke kas negara, dinikmati sendiri oleh Rafael, dan tentu saja terbuka kemungkinan oleh para pejabat Kemenkeu lainnya. Walaupun kita sangat meyakini, dari 32.191 pegawati Kemenkeu—dimana lebih dari 25.000 ada di DJP--masih lebih banyak lagi para pejabat atau pegawai DJP lainnya yang bersih, jujur, dan menghindari tindakan hanky pengky atau jabatan yang disandangnya. Terkait kekayaan Rafael Alun, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkapkan lembaga yang dipimpinnya sudah lama memantau keanehan transaksi di rekeningnya sejak tahun 2012. Transaksi di rekeningnya mencurigakan dan tidak sesuai dengan profilenya, menggunakan pihak ketiga sebagai nominee. Menko Polhukam Mahfud MD mencurigai transaksi di rekening Rafael, ada unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Karena itu ia minta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit khusus transaksi di rekening Rafael. Dan hasil audit tersebut dapat ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juru Bicara KPK Ali Fikri mengaku lembaganya segera memanggil yang bersangkutan terkait hal tersebut. Waktu pemanggilan sedang dijadwalkan. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, para tikus-tikus di DJP, di Kemenkeu, benar-benar berhasil merobohkan keuangan negara. Penerimaan pajak pada 2022 sebesar Rp1.717,8 triliun yang susah payah dipungut seperak demi seperak, harusnya bisa lebih besar untuk kemakmuran rakyat. Seorang mantan Direktur Intel Pajak yang enggan menyebutkan namanya mengatakan potensi penerimaan pajak bisa 5 hingga 10 kali lebih besar dari kenyataannya. Karena selain masih banyak underground ekonomi, juga karena adanya permainan para pegawai pajak. Ada beberapa modus para pegawai, bahkan pejabat DJP, bermain dengan wajib pajak (WP), terutama WP raksasa. Pertama, mengecil-kecilkan laporan revenue perusahaan, sehingga basis pengenaan pajak bisa lebih kecil. Kedua, membesar-besarkan biaya, sehingga basis pengenaan pajak juga bisa lebih kecil. Ketiga, melakukan negosiasi mengenai besaran pajak yang harus dikenakan. Keempat, melakukan transfer of pricing, seperti mengenakan harga ekspor yang lebih rendah kepada rekanan atau bahkan perusahaan afiliasi di luar negeri. Sehingga basis pengenaan pajak bisa lebih rendah. Kelima, mendirikan perusahaan-perusahaan baru dan mengkondisikan perusahaan baru tersebut dalam keadaan merugi, sehingga basis pengenaan pajak terhadap perusahaan induk bisa lebih kecil. Masih banyak lagi financial engineering yang bisa dilakukan pegawai atau pejabat DJP dengan WP. Mereka selain menjadi pegawai atau pejabat DJP, juga menjadi konsultan atas WP-WP jaringannya, atas tindakan tersebut mereka mendapatkan fee atau kick back. Tentu saja semua tindakan ini sangat disesalkan terjadi, karena telah merobohkan sendi-sendi penerimaan pajak yang seharusnya bisa lebih besar. Itu sebabnya diperlukan sistem yang baku yang bisa mengeleminir semua tindakan hanky pangky Rafael Alun dan kawan-kawan. Dikabarkan ada 13.000 pegawai Kemenkeu yang tidak melaporkan LHKPN, walaupun Menkeu Sri membantah, namun hal itu diyakini ada walaupun tidak sebesar yang dikabarkan. Kalau kekayaan Rafael mencapai Rp56,1 miliar harus diperiksa, dipelototi, diaudit, apakah kekayaan Menkeu Sri Mulyani sebesar Rp67,26 miliar perlu diperlakukan sama? Negeri ini terlalu kaya untuk dipermainkan oleh Rafael dan kawan-kawan. Negeri ini terlalu kuat untuk digerogoti para tikus pajak. Negeri ini harus dibenahi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Harapan itu masih ada! (*)