OPINI
Gereja, Natal, dan Toleransi Anies Baswedan
Oleh: Billy David Nerotumilena, Putra Papua - Ketua Cahaya Dari Timur Foundation ANIES Baswedan sering diserang sekelompok orang—sebenarnya orangnya ya itu-itu saja—sebagai sosok intoleran. Benarkah tudingan tersebut? Saya akan bercerita tentang Gereja yang dibangun orang tua saya di Kabupaten Jayapura, peringatan Natal, dan Anies Baswedan. Pada saat terjadi banjir bandang di Sentani, Jayapura, Maret 2019, banyak rumah warga yang terdampak dan rusak. Salah satunya adalah rumah orang tua saya. Karena pemberitaan bencana di Papua sangat lambat, saya lalu berinisiatif membuat crowdfunding melalui KitaBisa dan mencoba menghimpun dana untuk membantu saudara-saudara di Sentani dan Jayapura. Waktu itu Pak Anies yang masih menjabat sebagai Gubernur DKI, membantu kami dengan memposting konten pengumpulan dana tersebut dalam akun sosial medianya. Di Instagramnya, beliau menyatakan bahwa ada pengumpulan dana untuk membantu saudara di Papua yang dilakukan oleh anak muda asal Papua, yaitu saya. Setelah posting tersebut, aliran dana yang masuk dalam penggalangan dana cepat sekali. Awalnya kami tidak punya target muluk-muluk terhadap pengumpulan dana tersebut. Ternyata dana yang terkumpul bisa mencapai lebih dari 300 juta. Hal tersebut tak lepas dari jasa Pak Anies yang membantu memposting penggalangan dana tersebut. Lantas, untuk apa dana yang terkumpul tersebut? Dananya kami gunakan untuk membangun gedung gereja yang tujuannya selain untuk beribadah juga untuk menampung warga yang tidak punya tempat tinggal akibat banjir bandang di Sentani. Mimpi orang tua saya untuk bisa membangun gedung gereja sendiri akhirnya terwujud. Tidak hanya itu, bahkan bantuan pasca bencana bisa disalurkan melalui tiga lembaga lain di Sentani. Tentunya itu digunakan untuk membantu saudara-saudara yang terdampak musibah banjir di sekitar kami. Jadi, berdirinya gedung gereja yang bernama Rumah Doa Alfa Omega ini tidak lepas dari jasa Pak Anies yang membantu menyebarkan kampanye crowdfunding waktu itu. Dari kejadian ini, kita tahu Pak Anies mengutamakan kemanusiaan dalam bekerja. Tidak pernah membeda-bedakan latar belakang seseorang. Kepedulian kepada saudara di Papua bukan satu-satunya contoh kepedulian dan toleransi Anies Baswedan. Saat saya menikah secara Kristen awal tahun 2015, Pak Anies yang jadi saksi nikah di depan pencatatan sipil pernikahan saya. Masih perlu bukti lain? Pernah suatu ketika memperingati Hari Raya Natal, kami pernah mengundang beliau ke rumah untuk makan siang bersama keluarga, beliau datang. Dan tidak hanya keluarga kami saja, saya jadi saksi kalau beliau hadir untuk undangan perayaan hari-hari besar agama lain di keluarga lain. Hal itu dikerjakan tulus tanpa pemberitaan dan tanpa pencitraan. Dan setiap tahun, beliau tidak pernah absen mengucapkan ucapan Natal dan seringkali lengkap dengan bingkisan Natal. Tidak hanya kepada keluarga kami tapi juga kepada semua kolega yang beragama Kristen. Jadi itu hanya sedikit cerita hidup bahwa Pak Anies itu sangat toleran. Beliau itu dekat dengan semua golongan. Tidak pernah membeda-bedakan. Jadi, saya berani menjamin tidak benar sama sekali kalau ada tuduhan beliau intoleran. Rekam jejak serupa bisa dilihat ketika Gubernur DKI Jakarta, semua golongan dirangkul. Natal tidak hanya dirayakan di tempat-tempat ibadah, tapi perayaannya bisa digelar di tempat publik. Selain itu, izin mendirikan bangunan gereja yang diberikan ke beberapa gereja Kristen dan Katolik di momen Natal tahun tahun 2021 juga jadi bukti. Izin mendirikan bangunan yang sudah sangat dinantikan selama puluhan tahun di momen Natal itu, juga jadi salah bukti toleransi yang kuat di Jakarta. Kisah saya adalah pengalaman hidup dengan Pak Anies. Sembilan tahun lamanya, karena saya sudah menjadi personal asisten sejak 2013. Saya ini beragama Kristen dan kebetulan anak dari seorang pendeta. Tapi Pak Anies tak pernah membeda-bedakan latar belakang seseorang. Pak Anies selalu menerapkan prinsip meritokrasi dalam bekerja. Akhirnya, saya tak pernah sekalipun melihat dan menyaksikan, apa yang dituduhkan orang-orang di media sosial tentang intoleransi Anies Baswedan. Ia adalah orang yang sangat toleran. Saya adalah saksi hidupnya. (*)
Umbaran Wibowo: Fenomena Intelijen Melayu?
Itu kalau Umbaran sejak awal kariernya ditugaskan macak wartawan ya harus tetap jadi wartawan, jangan pernah muncul jadi seorang polisi. Begitu yang seharusnya berlaku di dunia intelijen. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network-FNN NAMA Umbaran Wibowo yang selama 14 tahun dikenal sebagai Kontributor TVRI, kini menjadi pembicaraan publik. Pasalnya, setelah lama tidak muncul, tiba-tiba Umbaran diangkat menjadi Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah. Pangkatnya: Inspektur Satu Polisi (Iptu). Pangkat Iptu di pundak Umbaran itu bukanlah seperti pangkat Letnan Kolonel Titular yang diterima Deddy Corbuzier. Tapi ini adalah pangkat yang diperoleh dari hasil pendidikan dan karier di Kepolisian RI. Ternyata, Umbaran seorang polisi yang ditugaskan sebagai “wartawan”. Umbaran sendiri sudah buka suara soal polemik ini. Ia mengatakan kiprahnya sebagai wartawan murni menjalankan tugas dari pimpinan. Menurut Umbaran mutasi itu wajar untuk penyegaran dan mendongkrak kinerja anggota. “Terkait saya dulu pernah aktif di jurnalistik, itu juga bagian dari pelaksanaan tugas dan perintah pimpinan,” kata Umbaran, seperti dilansir dari NTMC Polri, Rabu (14/12/2022). Polda Jawa Tengah juga telah membenarkan Umbaran pernah bekerja menjadi kontributor TVRI Jawa Tengah untuk wilayah Pati. “Iptu Umbaran memang betul anggota Polri dan benar pernah bekerja sebagai kontributor di TVRI Jateng untuk wilayah Pati,” kata Kabid Humas Polda Jateng Kombes Iqbal Alqudusy dalam keterangannya. Iqbal menyebut Umbaran bukan pegawai tetap TVRI, melainkan hanya sebagai pekerja lepas. Menurutnya, Umbaran pernah mendapat tugas intelijen di wilayah Blora. Tugas intelijen yang diberikan kepada Umbaran itu telah selesai pada Januari 2021 lalu. Umbaran sudah bekerja sebagai jurnalis selama 14 tahun. “Januari Tahun 2021 penugasan tersebut selesai dan dia pindah menjadi organik Polres Blora sebagai Kanit Intel di Polres Blora. Selanjutnya diangkat sebagai Wakapolsek Blora,” ujarnya. Iqbal membantah Umbaran dicopot dari Kapolsek Kradenan, Blora. Isu ini berhembus setelah terungkap Umbaran pernah menjadi kontributor TVRI Jateng untuk wilayah Pati. “Isu pencopotan yang bersangkutan dari jabatannya selaku Kapolsek tidak benar,” kata Iqbal. Di sisi lain, Dewan Pers segera memproses pencabutan status Umbaran sebagai wartawan usai dirinya menjadi Kapolsek Kradenan. Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan mekanisme pencabutan status Umbaran telah diatur. Pihaknya kini tengah melakukan verifikasi terkait kasus tersebut. “Mekanisme pencabutan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sudah ada, tinggal verifikasi oleh Dewan Pers,” kata Arif seperti dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (14/12/2022). Perlu Diusut Terkait polemik Iptu Umbaran Wibowo ini, yang perlu diungkap, apakah tugas itu atas perintah Kapolda Jateng? Apakah dia ini terima gaji kontributor TVRI? Jika salah satu dipenuhi, maka wajib diproses etika! 1. Jika status kontributor TVRI Jateng atas perintah Kapolda, bisa dipastikan harus ada surat penugasan dari Kapolda. Tugas menyamar atau kerjasama? Jika kerjasama dengan TVRI Jateng, maka harus ada surat kerjasama itu. Sehingga Iptu Umbaran tidak boleh menerima honor dari TVRI. 2. Jika tugas menyamar atau klandestein dari Kapolda, maka Iptu Umbaran diperbolehkan menerima honor berita dari TVRI. Namun honor tersebut wajib diserahkan pada Polda Jateng. 3. Jika tidak ada surat tugas dari Kapolda Jateng untuk menyamar sebagai kontributor TVRI Jateng, maka secara hukum, Iptu Umbaran telah melanggar Peraturan Polri. Tidak profesional. Bekerja rangkap. Yang dilarang oleh Peraturan Mendagri terhadap semua ASN sipil, militer, dan Polri. 4. Jika tidak ada surat tugas menyamar dari Kapolda Jateng, maka honor berita dari TVRI Jateng yang diterima Iptu Umbaran terkategori sebagai korupsi. Ini harus dilakukan proses etika. Untuk dipecat. Pun pidana oleh @KPK_RI 5. Mengapa item 1 sampai 4 harus ditegaskan Kapolri Jenderal @ListyoSigitP terhadap Iptu Umbaran? Proses ini harus dilakukan untuk pelaksanaan UU Polri, Peraturan Kapolri, Peraturan Mendagri, dan UU tentang ASN sipil, militer, dan Polri. 6. Mengapa soal surat penugasan menyamar dari Kapolda Jateng buat Iptu Umbaran itu harus dibuktikan. Sebab, penugasan itu bukan terjadi di masa rezim OrBa. Sehingga semua penugasan terhadap personil TNI-Polri harus terdokumentasi secara resmi. Untuk kepastian karier personil. Sejak rezim Presiden Soeharto, dunia wartawan itu sama dengan intelijen. Dunia pakai otak kiri dan kanan. Fakta itu terkonfirmasi oleh karier Iptu Umbaran yang kini menjabat Kapolsek. Seharusnya, sebagai seorang intelijen di kepolisian, Polri tidak perlu memberi jabatan publik (sebagai Kapolsek, atau jabatan yang perlu nama dia keluar ke publik). Jadi, seharusnya dia tetap jadi seorang wartawan saja. Itu kalau Umbaran sejak awal kariernya ditugaskan macak wartawan ya harus tetap jadi wartawan, jangan pernah muncul jadi seorang polisi. Begitu yang seharusnya berlaku di dunia intelijen. Yang kurang cerdik – untuk tidak menyebut goblok – di sini adalah pimpinan wilayahnya, mengapa Umbaran harus diberi jabatan publik. Inilah bedanya jika dibandingkan dengan intelijen berlatar militer. Setelah dia direkrut lembaga intelijen, dia akan disekolahkan untuk bidang yang akan jadi tempat tugasnya. Kalau nantinya akan ditugaskan di lembaga terkait dengan persoalan hukum, maka dia akan sekolah bidang hukum. Setelah lulus, dia akan bekerja di LBH atau lembaga advokasi lainnya. Tapi, karena di dunia intelijen yang dibutuhkan itu mudah masuk ke mana-mana maka profesi wartawan biasanya akan dimanfaatkan, seperti Umbaran tadi. Dan, pada umumnya, seorang intelijen berlatar militer ini, tidak akan pernah buka jati dirinya, meski akan meninggal dunia. (*)
KPK atau Kejagung Periksa Kaesang
Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan KETIKA ada tulisan \"Audit Pesta Kawin Kaesang\" muncul komentar siapa yang berani audit pesta keluarga Presiden? Tentu dengan nada pesimistis. Mungkin benar juga, tanpa kesadaran dan kesiapan Kaesang atau Presiden sendiri maka usulan itu hanya akan hilang bagai tertiup angin. Tidak ada pihak yang memiliki kekuatan politik untuk mengotak-atik dana pernikahan putera Presiden Jokowi. Lain halnya apabila ada dugaan kuat telah terjadi korupsi dalam penghelatan spektakuler tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung (Kejagung) segera bisa masuk melakukan penyidikan. Bedanya KPK akan berujung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sedangkan Kejaksaan Agung berakhir pada Pengadilan Umum. Sebenarnya dasar dugaannya cukup kuat, di samping aspek pembiayaan keseluruhan yang dinilai besar, juga pengerahan aparat secara khusus hingga mencapai 10.800 personal. Ribuan aparat menjadi bagian dari \"panitia pernikahan\". Ada indikasi penggunaan uang negara. Siapa atau dari mana sumber biaya pengerahan aparat khususnya \"pasukan tempur\" untuk mengamankan ? Pernikahan adalah masalah privat bukan kerja kenegaraan. Karenanya tidak boleh dibiayai oleh negara. Apalagi membiayai tentara yang tidak lazim dalam sebuah pesta pernikahan. Tentara bukan tupoksinya untuk mengawal pernikahan, meski itu adalah keluarga Presiden. Jumlahnya ribuan lagi. Berbeda dengan pernikahan putera Raja di negara Kerajaan yang berhubungan dengan kelangsungan tahta dalam negara. Putera mahkota, misalnya. Wajar jika penghelatan dibiayai sebagian atau seluruhnya oleh negara. Presiden dalam sebuah negara demokrasi tidak boleh karena status anak Presiden tidak berhubungan dengan fasilitas khusus kenegaraan. Ritual dan seremonial yang murni privat. Jika pengerahan tentara itu karena adanya sumbangan pembiayaan dari pihak ketiga, maka hal itu juga penyimpangan. Prajurit TNI bukanlah tentara bayaran. Pengerahan pasukan termasuk kendaraan tempur hanya bisa dilakukan atas perintah dan kewenangan Panglima TNI. Adakah pengerahan tersebut didasarkan pada permintaan Presiden? Karenanya dugaan terjadinya kolusi dan korupsi menjadi kuat. KPK atau Kejagung harus segera turun tangan. Apalagi muncul isu bahwa uang mahar Kaesang untuk Erlina itu ternyata dipesan dan dicetak khusus dari Bank Indonesia. Jika hal itu benar, maka pembelian atau pemesanan itu merupakan bentuk dari penyelewengan kekuasaan (abus de droit). Bank Indonesia tidak bisa mencetak uang atas pesanan pribadi. Banyak hal yang harus segera diklarifikasi oleh Jokowi dan keluarganya atas penghelatan yang dinilai tidak lazim tersebut. Jika tidak ada kejelasan atau klarifikasi, maka KPK atau Kejagung harus segera melakukan pemeriksaan. Ada dugaan perbuatan melawan hukum dan kerugian negara pada kasus ini. Saatnya KPK dan Kejagung berlomba untuk berkhidmat kepada rakyat. Bekerja serius untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Apakah itu pegawai rendahan atau pejabat tinggi. Presiden atau puteranya. Asas Indonesia sebagai negara hukum adalah equal before the law. Bandung, 16 Desember 2022.
Pejabat Negara Bermental Jongos
Perang asimetris saat ini sudah menelan korban MPR digusur bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara musyawarah, oleh partai politik melalui pemilu langsung one-man one-vote dalam rekrutmen eksekutif. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih DRAKOR berjudul The Emperor: Owner of the Mask. Kisahnya tentang raja palsu yang dijadikan boneka. Namun ketika raja asli hendak kembali ke Istana, justru terjadi perebutan tahta antara keduanya. Serangan Oligarki makin ganas, semua potensi yang akan menggangu kekuasaannya mencengkeram negara dengan segala cara akan dilibas dan dihabisi. Aspirasi masyarakat agar negara kembali ke UUD 1945 asli, akan dijadikan mangsa politik oleh para bandar dan bandit politik untuk menunda pemilu dan menambah masa jabatan presiden. Model pencitraan masih saja dilakukan oleh Presiden, bergaya lugu, lugas dan seolah-olah tampil sebagai negarawan. Presiden Joko Widodo menegaskan tak setuju dengan usul masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tiga periode. Ia pun merasa curiga pihak yang mengusulkan wacana itu justru ingin menjerumuskannya. “Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” ungkap Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12/2019). Beda waktu dalam hitungan detik dan menit sudah kembali kewatak aslinya. Dengan percaya diri dan dibalut diplomasi gaya katak tanpa beban dan dosa, Presiden mengatakan bahwa itu terserah rakyat, saya akan taat pada undang undang. Logika dan nalar politik normal diterabas, seolah-olah semua manusia dungu tidak bisa menangkap ke-dungu-an yang muncul. Begitu ada aturan yang menghambat segara diganti dengan instrumen aturan baru melindas aturan lama. Semua masalah kenegaraan yang melibas dan menabrak konstitusi bersumber dari Presiden sendiri, lepas karena tekanan atau apapun alasan politiknya. Menambah masa jabatan tiga tahun atau nafsu keinginan berkuasa 3 periode atau seumur hidup, sama saja dengan, akan menabrak konstitusi. Tampaknya rekayasa ini setali tiga uang (drie pennies). Artinya, sepaham atau sama dan tidak ada bedanya, rekayasa Oligarki dengan keinginan Jokowi sendiri. Bahwa Negara Indonesia itu saat ini tidak ada atau tidak hadir, karena negara, rezim, dan presiden saat ini hanya boneka kapitalis yang tidak sesuai dengan cita cita kemerdekaan bangsa Indonesia (Emha Ainun Najib alias Cak Nun). Sesungguhnya setelah penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002, kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin menjauh dari amanat para pendiri bangsa sudah makin jelas bagi mereka yang jeli, peka dan terlatih. UUD45 adalah pernyataan kehendak bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, kehendak itu kini makin surut karena dikalahkan dalam perang asimetris yang dilancarkan kekuatan asing nekolimik yang bersekongkol dengan para kaki tangan domestiknya. Perang asimetris saat ini sudah menelan korban MPR digusur bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara musyawarah, oleh partai politik melalui pemilu langsung one-man one-vote dalam rekrutmen eksekutif. Parpol berubah menjadi algojo rakyat memonopoli secara radikal, aristektur legal politik dirancang untuk mengkonsentrasikan kekuasan ke segelintir elit parpol, sementara itu Pemilu dijual murah bahkan seperti dihibahkan secara cuma-cuma kepada para bandit, bandar, dan badut politik. Perlu diingat bahwa Pemilu yang jujur dan adil hanya mungkin dilaksanakan oleh bangsa yang merdeka, bukan bangsa yang bermental jongos yang mudah diintimidasi oleh politik uang, BLT dan bagi-bagi sembako menjelang pemilu dan hidup dari hutang. Para pejabat dengan logika politik pas-pasan karena minimnya pengalaman dan miskin wawasan serta kering kerontang dari kognisi pemahaman sejarah serta kosong dari asupan betapa sakralnya UUD 1945, malah berjoged ria dengan bergaya manusia kesurupan dan bertingkah laku seperti jongos neokolonialisme. Kondisi ini diperparah oleh partai politik tidak pernah mampu melakukan pendidikan politik, bahkan partai politik hanya bisa hidup dari political illiteracy dan penjongosan politik konstituen mereka. Bergaya seperti raja, the government can do no wrong (Daniel M Rosyid). Para pejabat negara yang bermental jongos telah menyeret, membuat dan membawa Republik ini kehilangan akal sehat dan kemampuannya untuk beradaptasi secara cepat dan tangkas sehingga menjerumuskan bangsa ini ke tepi jurang failed state. (*)
Qatar dengan Rp 2.880 Triliun Bisa Membangun Infrastruktur Modern, Tapi Indonesia dengan Hutang Rp 6.000 Triliun Sudah Bangun Apa?
Kasihan rakyat Indonesia hidup mereka tidak diberkahi Allah, sehingga hidup rakyat Indonesia makin hari makin susah ditambah lagi dengan bencana yang datang bertubi-tubi. BUKAN mau banding-bandingkan tapi ini kenyataan dan fakta. Qatar memang negara kecil di Timur Tengah. Sumber kekayaan alamnya tidak kalah, justru lebih banyak Indonesia. Mereka hanya punya minyak dan gas alam. Tapi, kita punya segala-galanya. Kalau kata Koes Plus, orang bilang tanah kita tanah surga tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Juga kita punya minyak dan gas serta tambang melimpah. Namun yang membedakannya, meski Qatar negara kerajaan monarki dan kita Indonesia republik tapi kedua negara ini banyak sekali perbedaan yang sangat mencolok, diantaranya adalah dari orang yang diberi amanat pegang jabatan memerintah. Qatar konstitusi mereka diambil dari Al-Quran. Kalau kita konstitusinya buatan manusia. Bahkan, sekarang setelah diubah lagi menjadi berbau oligarki setan jahannam. Dan orang yang memegang jabatan di Indonesia tidak seamanah dari para Sultan dan Raja di Qatar. Walaupun Sultan di Qatar sudah kaya tajir melintir tapi mereka tetap masih ibadah shalat 5 waktu karena takut sama Tuhan. Kalau di Indonesia, sedangkan Tuhan gak ditakuti, sebagaimana kata Prof. Dr. Salim Said. Apalagi shalat 5 waktu. Bahkan Tuhanpun dibohongin. Kelihatan pakai baju koko, kopiah, dan sorban tapi nyatanya musuh utamanya adalah Ulama dan Islam. Qatar negeri yang diberkahi Allah, sehingga rizkinya melimpah hingga mereka berani menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepakbola. Coba lihat hanya dengan Rp 2.880 triliun Qatar bisa membangun rumah sakit, rel kereta api, stadion, jalan bandara baru dan infrastuktur-infrastruktur lain. Kesemuanya dibangun dengan megah dan super modern. Nah, bagaimana dengan Indonesia yang hutangnya sampai Rp 6.000 triliun bahkan mau ditambah lagi. Apa yang sudah dibangun pemerintah Indonesia? Jangankan membangun, membayar pesanannya ke rakyat berupa alat pertaniannya saja gak bisa. Itu karena pemimpin Indonesia hidup dalam kebohongan dan maling uang rakyat. Kalau gak gitu Bupati dari daerah gak ngamuk-ngamuk di DPR dengan menyebut Departemen Keuangan itu diisi oleh para setan dan iblis. Bukan hanya setan dan iblis lagi tapi mereka kumpulan bandit-bandit berdasi yang suka menguras harta rakyat. Kasihan rakyat Indonesia hidup mereka tidak diberkahi Allah, sehingga hidup rakyat Indonesia makin hari makin susah ditambah lagi dengan bencana yang datang bertubi-tubi. Sudah susah penuh bencana lagi dan presiden gak mau tahu tetap bikin pesta meriah bagai peri dari kayangan dengan kereta kuda kencananya. Dia pikir dia raja. Dan mau berusaha menjabat 3 periode, padahal menyiksa rakyatnya. Kepemimpinan rezim ini harus segera dihentikan kalau negeri ini mau berkah. Karena gak akan berkah kalau negeri ini bergaya-gaya kayak komunis. Kapan People Power ya? Sebelum negeri ini hancur dijual ke China. Wallahu A\'lam ... (*)
Partai Politik Mencengkeram, L’etat C’est Moi: Negara adalah Saya
Presiden terpilih harus berani memacu Mahkamah Konstitusi agar berani memproses gugatan masyarakat terhadap partai politik yang melanggar konstitusi, untuk dibubarkan atau dibekukan. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PARTAI Politik mencengkeram. Merusak demokrasi, Konstitusi dan bangsa dan negara, menjelma dan membentuk pemerintahan otoritarian dan tirani, dengan cara melanggar konstitusi. Perusakan bangsa dan negara dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Menurut konstitusi, pasal 6A ayat (2), calon pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh satu atau gabungan partai politik. Arti “gabungan” harusnya bersifat suka rela, bukan memaksa. Artinya, kalau ada partai politik tidak mau bergabung dengan yang lain dalam pencalonan presiden, tetapi mau mengusulkan capres sendiri, maka menurut konstitusi dibolehkan. 2. Ketentuan konstitusi tersebut kemudian dilanggar. Undang-undang pemilu menetapkan presidential threshold 20 persen dari perolehan kursi di parlemen. Artinya, partai politik tidak bisa mencalonkan presiden kalau perolehan kursinya di parlemen kurang dari 20 persen. Maka itu, mereka dipaksa bergabung dengan partai politik lain agar dapat memenuhi threshold 20 persen. 3. Pelanggaran konstitusi pencalonan presiden ini mengakibatkan Partai Politik membentuk kartel, atau persekongkolan, yang dibungkus dengan bahasa “koalisi”. Persekongkolan ini membuat jumlah calon presiden menjadi terbatas, dan partai politik dengan mudah menguasai calon presiden, dan kemudian menguasai presiden terpilih (eksekutif), dan kabinetnya. 4. Karena partai politik menguasai legislatif (DPR) dan eksekutif (kabinet), maka check and balances tidak berfungsi: fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah tidak berfungsi. Bahkan undang-undang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan anggota DPR dan pemerintah: artinya untuk kepentingan partai politik dan kroninya (pengusaha oligarki). Antara lain, UU KUHP, KPK atau Ciptakerja. Dan sekarang sedang proses pembuatan UU PSPP (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan): penguatan atau pelemahan? 5. Selain itu, lembaga independen juga lumpuh. Semua pimpinan lembaga independen dicalonkan dan diseleksi oleh DPR maupun pemerintah. Lembaga independen dibuat menjadi tidak lagi independen, tetapi wajib mengikuti aturan main DPR dan eksekutif: partai politik dan kroninya. Misalnya KPU, Bawaslu, BPK, Komnas HAM, KPK, OJK, dan lainnya, semuanya sulit dikatakan masih independen, termasuk Bank Indonesia sudah tidak murni lagi independen? 6. Pengusaha terlibat politik secara langsung, menjadi menteri dan anggota DPR, ikut mengatur dan menentukan calon pemimpin boneka yang bisa diatur dan bisa bekerja sama dengan keinginan partai politik dan pengusaha oligarki, meskipun harus melanggar undang-undang dan konstitusi. Pengusaha oligarki tersebut berfungsi sebagai bandar, mendanai pemilu, pilpres maupun pilkada. Modal Bandar akan kembali dengan bonus berkali-kali lipat, melalui berbagai proyek APBN, “dilindungi” dengan UU. 7. Persekongkolan atau kartel ini semakin sempurna dengan menguasai yudikatif, khususnya Mahkamah Konstitusi, yang fungsinya kini berubah, dari yang seharusnya menegakkan konstitusi menjadi mengabadikan pelanggaran konstitusi, dengan membatalkan setiap upaya uji materi terhadap undang-undang yang terindikasi melanggar konstitusi. 8. Kekuasaan partai politik sangat besar dan kokoh. Presiden tidak bisa membubarkan atau membekukan partai politik. Yang bisa membubarkan DPR hanya Mahkamah Konstitusi, yang notabene terdiri dari orang-orang pilihan mereka, untuk melindungi kepentingan mereka. Terbukti, belum lama ini ada hakim Konstitusi dicopot, karena tidak sependapat dengan salah satu UU usulan partai politik. Padahal hakim konstitusi tersebut sedang menjalankan tugasnya secara profesional: Terbukti, l’etat c’est moi, negara adalah saya. Atau I am the Law: saya adalah tiran. 9. Kekuasaan presiden juga sangat besar dan kokoh. Presiden tidak perlu bertanggung jawab kepada pihak manapun, atas semua janji kampanye maupun janji selama berkuasa. Misalnya, janji pemberian tax amnesty 2016/2017 akan meningkatkan pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi. Janji tersebut ternyata tidak terbukti. Walaupun demikian, tidak ada konsekuensi sama sekali terhadap jabatan presiden. Malah Jokowi terpilih kembali pada 2019. Maka itu, (calon) presiden bisa dengan mudah mengumbar janji, yang bahkan tidak mungkin bisa terpenuhi. Tapi secara politik aman-aman saja. Presiden juga tidak bisa diberhentikan oleh DPR/MPR, kecuali melalui Mahkamah Konstitusi, diajukan oleh DPR. Ketentuan ini tentu saja menjadi double protection bagi presiden. Karena DPR tidak akan mengajukan pemberhentian presiden, dan Mahkamah Konstitusi akan melindungi presiden. Semua ini demi kepentingan partai politik dan kroninya (pengusaha oligarki), bukan untuk kepentingan rakyat dan negara. 10. Oleh karena itu, demokrasi saat ini hanya ada di atas kertas, karena sudah dimanipulasi oleh kekuasaan partai politik, yang sudah di luar batas. Partai politik sudah menjelma menjadi hukum dan konstitusi. Apa yang diinginkan dan dikatakan akan terjadi. Perpaduan I am the law: Saya adalah tiran dan l’etat, c’est moi: negara adalah saya. Otoritarian, Tirani. 11. Dengan kondisi sistem parpol yang mencengkeram seperti ini, presiden terpilih, siapapun itu, akan sangat sulit mengubah dan memperbaiki Indonesia, meskipun yang bersangkutan merupakan antitesa rezim saat ini. Karena, presiden dapat dimakzulkan oleh DPR, oleh kartel atau persekongkolan partai politik, melalui Mahkamah Konstitusi. 12. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini. Presiden terpilih harus berani membuat yudikatif independen, sehingga dapat menegakkan konstitusi, dan membersihkan UU yang melanggar konstitusi. Presiden terpilih harus berani memacu Mahkamah Konstitusi agar berani memproses gugatan masyarakat terhadap partai politik yang melanggar konstitusi, untuk dibubarkan atau dibekukan. Hanya dengan cara ini, bangsa dan negara dapat diselamatkan. Kalau tidak, Indonesia akan terus dalam cengkeraman: l’etat c’est moi. (*)
Menemukan Titik Tengah Pilpres 2024, “Say Good Bye To Oligarchie”
Idealisme di dalam mengusung perubahan adalah suatu keharusan, tapi kalau dengan idealisme yang ada ternyata menimbulkan banyak korban di antara rakyat, maka jalan tengah menjadi pilihan. Oleh: Isa Ansori, Kolumnis PILPRES adalah sebuah peristiwa konstitusi yang sudah diatur dalam UUD 1945, dilaksanakan selama 5 tahun sekali dan masa jabatan dibatasi selama dua periode. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, dan anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 7. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali, diubah menjadi Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Setidaknya bila merujuk pada UUD 1945, Pilpres adalah sebuah arena kontitusi untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat. Tidak boleh ada kecurangan atau memanipulasi aturan untuk kepentingan kekuasaan dan kepentingan golongan apalagi kepentingan pribadi. Pilpres adalah arena memilih pemimpin yang berintegritas yang bertugas melayani dan menjalankan amanah kontitusi sebagaimana tertuang didalam Pembukaan UUD 1945, mencerdaskan, mendamaikan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keterlibatan pihak-pihak lain yang selama ini memanipulasi kepentingan rakyat dan ternyata hanyalah kepentingan diri sendiri dan kelompoknya mesti harus dikurangi atau dihabisi, sehingga dibutuhkan keberanian untuk mengatakan selamat tinggal pada para oligarki, “Say Good Bye To Oligarchie”. Oligarki selama masa pemerintahan Joko Widodo mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa, sehingga mereka acapkali melakukan upaya-upaya manipulasi suara rakyat, sabotase konstitusi atas nama lembaga survey dan opini para pakar tukang dengan satu tujuan agar kekuasaan tetap berpihak pada keserakahan yang selama ini dilakukan. Setidaknya ada dua jalan yang dilakukan dalam rangka memotong pengaruh oligarki, pertama rakyat yang mengusung isu perubahan bergotong-royong untuk menjalankan agenda perubahan yang sudah disusun. Rakyat bisa bergotong-royong menyumbang tema perubahan yang sedang berjalan ini. Tentu saja dalam menjalankan agenda ini dibutuhkan sosok yang bisa dipercaya. Anies Baswedan adalah satu-satunya bakal Capres 2024 yang mengusung agenda perubahan dan keberlanjutan, “Change and Continuity”. Apalagi Anies seringkali dianggap sebagai antitesa atau bahkan sintesa dari kepemimpinan Jokowi. Anies Baswedan sangat diuntungkan dengan harapan perubahan yang diinginkan rakyat. Dana sangat dibutuhkan, karena selama ini, para Oligarki dan penguasa kotor menjalankan agenda busuknya dengan memanipulasi suara rakyat. Untuk itu setidaknya dibutuhkan energi besar untuk mengawal suara rakyat dan mencegah terjadinya cara-cara manipulatif yang dilakukan. Yang kedua adalah dengan melakukan kompromi yang dibenarkan dalam konstitusi. Pilihannya adalah mencari dampak negatif yang paling kecil. Dampak negatif yang dimaksudkan adalah perubahan tetap harus terjadi tapi jangan sampai mengorbankan rakyat. Yang bisa dilakukan dalam konteks transisi kekuasaan adalah adanya jaminan keselamatan bagi para penguasa terdahulu dan tentu saja terjaminnya agenda-agenda pembangunan yang sudah dan sedang berjalan. Lalu siapa mereka para capres yang termasuk diantara kelompok ini. Jokowi secara terbuka sudah memberi sinyal bahwa mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto. Ada juga para capres yang tidak harus mematok sebagai capres, di sana ada Erick Thohir, Sandiaga Uno, ada juga nama lain seperti Panglima TNI Andika Perkasa. Dari partai politik pemenang pemilu 2019, PDIP ada nama Puan Maharani, ada nama Airlangga Hartarto dan ada juga nama Gubernur Jawa Timur, Khofifah. Sebagai seorang presiden, Jokowi tentunya sangat berharap di akhir masa kepemimpinannya, dia bisa meletakkan pondasi menuju Indonesia emas, sehingga sikap negarawan Jokowi sangat diharapkan. Jokowi tidak lagi sibuk “berkampanye” untuk dirinya dan calon-calon tertentu, Jokowi cukup menjadi guru bangsa yang bisa mengawal proses transisi ini dengan baik tanpa percikan darah. Menemukan titik tengah dua kutup yang ada, perubahan dan menjamin keberlangsungan pembangunan yang sedang berjalan ini menjadi sesuatu yang harus layak untuk dipertimbangkan. Idealisme di dalam mengusung perubahan adalah suatu keharusan, tapi kalau dengan idealisme yang ada ternyata menimbulkan banyak korban di antara rakyat, maka jalan tengah menjadi pilihan. Jalan tengah seperti apa yang diharapkan? Dalam hemat penulis, dengan menyandingkan kepentingan perubahan dan keberlangsungan yang sedang dijalankan bisa diwakili oleh Anies dan dari kelompok Istana adalah mereka yang relatif bisa meredam kerakusan para oligar. Pasangan Anies dan pilihan Istana yang dianggap bisa meredam keserakahan oligar, pasangan itu bisa dielaborasi seperti Anies - Ganjar Pranowo, Anies Prabowo, Anies - Sandiaga Uno, Anies - Erick Thohir, Anies - Andika Perkasa, Anies - Airlangga Hartarto atau mungkin juga Anies - Khofifah. Mengapa Anies harus presidennya? Anies mampu membuktikan bahwa dirinya ketika memimpin Jakarta, mampu menahan kerakusan oligarki dan mewujudkan keadilan sosial bagi warga Jakarta, sehingga dengan Anies menjadi presiden, ambisi rakus oligarki bisa ditahan dan dikendalikan. Rekam jejak Anies terhadap oligarki sangat jelas. Wapres bisa dipilih diantara nama-nama mereka yang dapat dukungan Istana atau dari partai pemenang pemilu 2019. Hal tersebut merupakan bagian untuk menjamin bahwa program-program pembangunan yang sedang berjalan masih bisa dilanjutkan, kecuali kalau memang pembangunan yang sedang berlangsung dirasa salah jalan, maka harus dilakukan upaya-upaya perbaikan dan perubahan. Rakyat dipersilahkan menimang-nimang, sehingga demokrasi kita bisa selamat, rakyat tidak menjadi korban dan partai politik akan menjadi saluran sehat aspirasi rakyat. Surabaya, 15 Desember 2022. (*)
Designed to Fail
Bahkan di AS negeri exportir-nya sendiri, demokrasi itu sedang sekarat oleh Trumpism. Demokrasi ala Uni Eropa justru menjerumuskan kawasan itu untuk berkonflik dengan tetangga dekatnya sendiri, yaitu Rusia. Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts SETELAH hiruk-pikuk pencapresan Anies Baswedan oleh Nasdem, penundaan deklarasinya bersama PKS, dan Demokrat bagi pencapresan Anies, disusul keributan soal perpanjangan jabatan Presiden Joko Widodo, lalu perhelatan pernikahan Kaesang Pangarep dengan Kabinet sebagai wedding organizer-nya, kemudian dugaan maladministrasi KPU dalam verifikasi parpol peserta Pemilu 2024, maka kini apa yang tersisa dari polity as public goods bagi Republik ini? Sekarang para elit parpol dengan mudah bermain-main dengan konstitusi, sementara angka stunting meningkat, ketimpangan spasial konsisten, kepolisian dirundung berbagai skandal tanpa penyelesaian yang jelas, dan pembunuhan warga sipil dan tentara oleh OPM kembali marak di Papua? Sesungguhnya setelah penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002, deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin menjauh dari amanat para pendiri bangsa sudah makin jelas bagi mereka yang jeli, peka dan terlatih. Jika UUD 1945 adalah pernyataan kehendak bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, maka kehendak itu kini makin surut karena dikalahkan oleh perang asimetris yang massif dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan asing nekolimik yang bersekongkol dengan para kaki tangan domestiknya. Syarat-syarat budaya bagi bangsa yang merdeka itu tidak pernah berhasil wujud menjadi kenyataan. Slogan “Merdeka Belajar Kampus Merdeka” setelah 77 tahun proklamasi merupakan bukti mutakhir bahwa sesungguhnya bangsa ini baru sadar untuk belajar merdeka sekarang. Perang asimetris tersebut dilakukan melalui 3 medan pertempuran. Medan pertempuran pertama terjadi di sektor keuangan segera setelah proklamasi melalui hutang ribawi yang disodorkan IMF. Medan tempur kedua terjadi sejak Orde Baru melalui penarikan besar-besaran warga muda ke dalam sistem persekolahan massal paksa untuk menyiapkan tenaga kerja murah demi kepentingan investor asing. Battle front ketiga terjadi sejak Reformasi melalui penggusuran MPR sebagai lembaga tertinggi negara musyawarah oleh partai politik melalui Pemilu langsung one-man one-vote dalam rekrutmen eksekutif. Dengan parpol memonopoli politik secara radikal, aristektur legal politik dirancang untuk mengkonsentrasikan kekuasan ke segelintir elit parpol, sementara Pemilunya makin kompleks, dan makin mahal yang hanya diselenggarakan dan bisa diikuti oleh para bandit, bandar dan badut politik. Perlu diingat bahwa Pemilu yang jujur dan adil hanya mungkin dilaksanakan oleh bangsa yang merdeka, bukan bangsa yang bermental jongos yang mudah diintimidasi oleh politik uang, BLT dan bagi-bagi sembako menjelang Pemilu dan hidup dari hutang. Bangsa yang merdeka itu adalah hasil-hasil kerja pendidikan politik. Namun segera kita catat bahwa partai politik tidak pernah melakukan pendidikan politik, bahkan partai-partai politik hanya bisa hidup dari political illiteracy dan penjongosan politik konstituen mereka. Berbicara politik di sekolah, kampus, tempat-tempat ibadah, dan di hampir semua tempat lainnya dianggap tidak santun, kotor, dan menjijikkan. Agama dan banyak hal lain yang penting dalam kehidupan harus harus dipisahkan dari politik, bahkan ormas-ormas besar merasa risi, gamang dan takut berbicara politik. PAN yang semula diharapkan menjadi sayap politik Muhammadiyah kini tidak jelas afiliasinya. Kini dengan KUHP yang baru, pandangan kritis masyarakat bahkan mudah dikriminalisasikan. Seperti raja, the government can do no wrong. Prinsip-prinsip musyawarah oleh hikmah kebijaksanaan melalui MPR yang telah digusur oleh sistem demokrasi liberal ala Barat telah membuat Republik ini kehilangan akal sehat dan kemampuannya untuk beradaptasi secara cepat dan tangkas sehingga menjerumuskan bangsa ini ke tepi jurang failed state. Bahkan di AS negeri exportir-nya sendiri, demokrasi itu sedang sekarat oleh Trumpism. Demokrasi ala Uni Eropa justru menjerumuskan kawasan itu untuk berkonflik dengan tetangga dekatnya sendiri, yaitu Rusia. Bahkan setelah tembok Berlin runtuh, pembesaran dan perluasan NATO memberi indikasi jelas bahwa Barat bersikeras mempertahankan dominasi eksploitatifnya atas bangsa-bangsa lain yang berbeda sikap dan pandangan hidupnya. Hutang ribawi, pendunguan massal melalui monopoli persekolahan, dan pemberhalaan demokrasi Barat are designed to fail negara dan bangsa manapun di planet ini. Untuk menghentikannya kita perlu segera membebaskan kehidupan dari hutang ribawi, merekonstruksi Sisdiknas sebagai platform untuk belajar merdeka, dan mengembalikan politik negara musyawarah dari monopoli partai-partai politik. Gunung Anyar, Surabaya,15 Desember 2022. (*)
Anies Didukung Rakyat, Anies Dibendung Aparat
Upaya menjegal Anies sebagai presiden, berbanding lurus dengan upaya rezim kekuasaan menyiapkan presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bahkan penundaan pemilu 2024. Semakin Anies didukung rakyat, semakin kejahatan dan teroris konstitusi menguat. Tinggal rakyat memilih, mengikuti mekanisme konstitusional atau people power? Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI SAAT demokrasi terus dibungkam dan upaya penegakan hukum semakin lemah, maka negara hanya akan mempertontonkan perilaku kekuasaan yang menindas rakyat. Tak sekadar merampas hak ekonomi dan politik, rezim juga memperlakukan kehidupan rakyat tak ubahnya seperti korban perbudakan di zaman modern. Tak ada lagi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Rakyat bagaikan populasi manusia kelas rendah yang hanya ada untuk dieksploitasi dan melayani kepentingan rezim pemerintahan. Korporasi dan partai politik mewujud oligarki, menjadi predator ganas memangsa rakyat yang miskin dan lemah. Kegagalan negara dalam membangun sistem dan kepemimipinan yang perform, membuat Indonesia dalam realitas yang jauh dari landasan Pancasila dan UUD 1945. Politik memisahkan agama dari negara, semakin mengokohkan kehidupan yang kapitalis liberalis dan sekuler. Keinginan menumpuk harta dan mengejar jabatan pada sebagian besar aparat birokrasi, membuat rakyat terus menjadi korban dari perangai tuna susila dan kebiadaban penyelenggaraan negara. Konstitusi yang diselewengkan yang diikuti perilaku para pejabat dan politisi yang hipokrit, hedonis dan materialis, membuat rakyat semakin berjarak dengan negara. Rakyat seperti hidup tanpa negara, tak ada kemakmuran dan tak ada keadilan. Berjuang dan berkorban segalanya demi mengusir kolonialisme bangsa asing di masa lalu, kini harus mengalami penjajahan oleh bangsanya sendiri. Seiring kegagalan pemerintah mengurus negara dan ditengah krisis multidimensi yang mengarah kepada resesi ekonomi. Rezim kekuasaan harus berhadapan dengan arus tuntutan perubahan dari rakyat. Sikap skeptis, apriori dan antipati publik semakin hari semakin menggelinding menjadi gelombang aksi protes dan perlawanan. Sikap difensif kekuasaan terhadap tuntutan gerakan perubahan dari rakyat, dihadapi dengan upaya keras pemerintahan menyiapkan presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bahkan mulai mengarah pada meniadakan atau penundaan pemilu 2024. Bukan tanpa sebab dan alasan pemerintah ingin melakukan semua yang penuh kontroversi dan polemik tersebut. Ada beberapa faktor yang disinyalir menjadi motif dari pembajakan konstitusi yang terorganisir, terstruktur dan masif itu. Selain masih banyaknya proyek mangkrak dan beberapa program pembangunan yang berbasis utang dan investasi yang menyertakan perjanjian atau kontrak kerjasama internasional yang harus dipertanggungjawabkan. Defisit APBN belakangan ini yang berimplikasi membuat negara tidak punya uang untuk menyelenggarakan pemilu 2024 terus mengemuka. Satu hal lagi yang tak kalah penting dan cenderung menjadi mainstream pemikiran rezim, ketika fenomena Anies yang berlimpah dukungan rakyat mulai dominan dan menguasai panggung politik pilpres 2024. Bagaimana rezim dengan segala cara mempertahankan dan terus melanggengkan kekuasaannya, harus menghadapi realitas seorang Anies sebagai capres potensial yang berasal dari luar domain dan irisan oligarki. Anies jelas dan nyata telah menjadi musuh bagi kepentingan pemerintahan yang menjadi boneka oligarki. Kebencian, permusuhan dan upaya menjegal Anies sebagai capres yang didukung rakyat, telah menjadi menu sehari-hari yang dilakukan ternak-ternak oligarki termasuk para buzzer, politisi busuk dan birokrat bermental penghianat. Boleh jadi Anies sebagai capres yang mengusung harapan perubahan yang lebih baik untuk kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Telah menjadi ancaman sekaligus figur pemimpin berbahaya bagi agenda politik dan ekonomi oligarki. Baik dalam soal mega proyek maupun investasi skala besar lainnya yang harus dilanjutkan, Anies divonis menjadi musuh dari kepentingan- kepentingan rezim yang harus disingkirkan. Sama halnya dengan prinsip asal bukan Anies, melalui ungkapan \" to be kil or tobe killed\" yang terlontar dari LBP terhadap asumsi gangguan kesinambungan kepentingan ekonomi politik pemerintah. Upaya menjegal Anies yang intens, menjadi berbanding lurus dengan agenda presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan bahkan dengan penundaan pemilu 2024. Biar bagaimanapun, ada rasa kekhawatiran, kecemasan dan ketakutan dari rezim menghadapi transisi kekuasaan yang akan diambil dari figur pemimpin dari luar lingkar kekuasaannya. Rezim seperti mengalami paranoid, terjangkit \"post power syndrom\" dini dan akut. Pemerintahan gagal selama ini seperti terserang virus yang mematikan terhadap kesadaran akal sehat, nurani dan moralitas. Sadar akan ketidakmampuan bertahan dan meneruskan kekuasaan untuk selama-lamanya. Syahwat presiden 3 periode atau perpanjangan jabatan dan atau penundaan pemilu 2024, membuat pemerintah seperti sedang melakukan masturbasi politik. Memuaskan libido politik sendiri, sambil melakukan pelecehan terhadap rakyat. Menjadi psikopat dan teroris konstitusi, secara telanjang menampilkan adegan tak senonoh dan pelbagai skandal kejahatan politik yang tak ada habis-habisnya. Termasuk menjegal Anies menjadi presiden dalam pilpres 2024 mendatang, betapapun mahal ongkos sosial politiknya dan betapapun besar resikonya terhadap bangunan kebangsaan yang ada. Demi kesinambungan dan keselamatan rezim kekuasaan nantinya, segala cara harus tetap dilakukan. Termasuk fenomena Anies didukung rakyat, Anies dibendung aparat. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 15 Desember 2022/21 Jumadil Awal 1444 H.
Dekrit Presiden Tidak Taat Konstitusi Dapat Dimakzulkan
Kedua dekrit presiden Soekarno dan Gus Dur menjadi contoh nyata bahwa dekrit presiden harus taat konstitusi. Apabila tidak, maka dapat berakhir pada pemakzulan. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) PERPANJANGAN masa jabatan presiden sedang berproses. Berbagai skenario sudah disiapkan dengan matang. Baik melalui MPR atau PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang), atau bahkan dekrit presiden. Ada yang berpendapat bahwa presiden dapat mengeluarkan dekrit untuk menyelesaikan segala masalah, termasuk konstitusi. Seolah-olah dekrit presiden adalah senjata pamungkas untuk menerobos hambatan konstitusi. Seolah-olah dekrit presiden merupakan hukum tertinggi, lebih tinggi dari konstitusi, dan bisa mengubah konstitusi. Tentu saja pendapat seperti ini sangat menyesatkan dan tidak benar. Pertama, konstitusi Indonesia tidak mengatur atau tidak mengenal dekrit presiden, sehingga dengan sendirinya dekrit presiden tidak sah secara konstitusi. Sebagai penggantinya, konstitusi Indonesia memberi wewenang kepada presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), dalam hal negara menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa, atau darurat. Dalam hal ini, PERPPU pada hakekatnya sama dengan dekrit presiden, tetapi terbatas hanya pada keadaan kegentingan yang memaksa, atau darurat saja. Dekrit tidak lain adalah keputusan atau perintah atau maklumat dari eksekutif, umumnya kepala negara atau kepala pemerintah. Di Amerika Serikat, dekrit presiden dikenal dengan executive order. Dalam kondisi apapun, dekrit presiden, executive order, atau PERPPU tidak boleh melanggar konstitusi, bahkan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lainnya, karena dekrit dan PERPPU hanya mempunyai kekuatan hukum setara undang-undang. Presiden sebagai pelaksana konstitusi harus tunduk kepada konstitusi. Maka itu, dekrit presiden tidak boleh melanggar konstitusi. Presiden bukan hukum tertinggi di sebuah negara. Maka dari itu, kekuatan hukum dekrit presiden lebih rendah dari konstitusi, sehingga dekrit presiden tidak bisa mengubah konstitusi. Artinya, dekrit presiden atau PERPPU tidak bisa mengubah masa jabatan presiden, atau periode jabatan presiden, atau penundaan pemilu yang harus dilaksanakan setiap lima tahun. Banyak pihak berpendapat bahwa dekrit presiden kembali ke UUD 1945 (asli) yang dikeluarkan presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 seolah-olah menjadi hukum tertinggi, di atas konstitusi, seolah-olah presiden bisa membuat perintah melebihi atau melanggar konstitusi. Maka dari itu, tidak heran banyak yang berpendapat presiden Jokowi dapat mengeluarkan dekrit presiden untuk menunda pemilu, dengan alasan keadaan darurat, atau kegentingan yang memaksa. Pendapat ini sangat salah. Dekrit presiden Soekarno 5 Juli 1959 merupakan perintah konstitusi (UUD Sementara, UUDS) ketika itu, yang berlaku mulai 15 Agustus 1950. Pasal 134 UUDS menyatakan: Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini. Setelah sekian lama konstituante tidak berhasil membentuk UUD, antara lain karena tidak pernah mencapai kuorum, ditambah pernyataan sebagian terbesar anggota-anggota konstituante untuk tidak menghadiri lagi sidang, maka konstituante tidak mungkin lagi dapat membuat UUD seperti yang diperintahkan oleh konstitusi, di mana kondisi ini berbahaya bagi negara. Oleh karena itu, dekrit presiden Soekarno 5 Juli 1959, yang menetapkan UUD 1945 sebagai UUD negara Indonesia pengganti UUDS, sebagai pemenuhan tugas konstitusi kepada pemerintah. Di lain sisi, dekrit atau maklumat presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 23 Juli 2001 yang membekukan MPR/DPR serta membubarkan partai golkar terindikasi melanggar konstitusi. Di dalam penjelasan konstitusi tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dinyatakan secara eksplisit, di bawah judul: Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden. Dekrit presiden Gus Dur nampaknya melanggar konstitusi seperti dimaksud pada penjelasan tersebut di atas, dan berakhir dengan pemakzulan. Kedua dekrit presiden Soekarno dan Gus Dur menjadi contoh nyata bahwa dekrit presiden harus taat konstitusi. Apabila tidak, maka dapat berakhir pada pemakzulan. Tidak ada negara di dunia yang menunda pemilu dengan alasan Covid-19. Pilpres AS dilaksanakan 3 Nov 2020, pemilu Belanda: 15-17 Maret 2021, pilpres Perancis: 10 dan 24 April 2022. Cuma negara otoriter yang mau menunda pemilu dengan alasan dibuat-buat. (*)