Mengapa Harta Rafael Alun Diperiksa KPK?
Oleh Djony Edward - Wartawan Senior FNN
Tindakan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencopot Kabag Umum Kanwil DJP Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo, setelah pemukulan Kristalino David Azora oleh Mario Dandy Satriyo patut diacungkan jempol. Karena langkah itu dianggap tepat sebagai respons cepat sang menteri atas perilaku anaknya yang selain kejam juga hedonis.
Mario diketahui mondar-mandir menggunakan motor gede Harley Davidson dan mobil Jeep jenis Rubicon, dan sejumlah rumah mewahnya yang tidak masuk dalam catatan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Ini seolah memberi pembenaran atas pepatah air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan jua. Perilaku anak tak lebih sama dengan anaknya.
Sehingga secara paralel anaknya diperiksa polisi sebagai tersangka tindak kekerasan, sementara bapaknya yang secara resmi juga mengundurkan diri dari posisi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) segera setelah pencoopotan atas dirinya.
Sampai di sini apakah Kementerian Keuangan atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhasil melokalisir kasus hedonisme aparat pajak pada level Rafael Alun? Ternyata tidak, karena variabelnya meluas. Tak hanya harta Rafael yang beredar di medsos sebesar Rp56,1 miliar, juga harta Dirjen Pajak Suryo Utomo sebesar Rp14,45 miliar yang terkuak.
Bahkan harta Dirjen Kekayaan Negara Ronald Silaban sebesar Rp53,33 miliar ikut terpapar. Termasuk yang beredar adalah harta Dirjen Bea Cukai Askolani sebesar Rp43,26 miliar, Dirjen Anggaran Isa Rachmatawat sebesar Rp25,43 miliar, Dirjen Perimbangan Keuangan Lucky Alfirman Rp23,60 miliar, juga Sekretaris Jenderal Kemenkeu Heru Pambudi dengan harta sebesar Rp20,74 miliar.
Parade harta ini menunjukkan bahwa tidak hanya tertuju pada Rafael Alun di eselon III, tapi juga harta sejumlah petinggi Kemenkeu di eselon I dan II. Bahkan beredar juga besaran harta Menkeu Sri Mulyani yang mencapai Rp67,26 miliar. Sampai di sini kita paham, bahwa harta pejabat Kemenkeu benar-benar besar, tajir melintir, dan fantastis.
Lantas apakah adil kalau hanya harta Rafael Alun yang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran ketahuan sikap hedonis dari anaknya? Apakah masuk akal hanya harta Rafael yang diaudit?
Kabarnya Presiden Jokowi menginginkan agar kasus hedonis para aparat pajak ini dihentikan. Di sisi lain Presiden Jokowi juga menginginkan semua harta pejabat eselon I, II, II dan Menteri Keuangan juga diperiksa untuk memastikan bahwa tidak ada korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan.
Bahkan kabarnya Rafael Alun dalam pemeriksaan oleh KPK akan mengakui besaran hartanya sebesar Rp56,1 miliar apa adanya. Untuk memastikan bahwa kalau ada ada harta lain yang tidak masuk dalam LHKPN juga dilakukan pejabat di Kemenkeu, bahwa itu adalah fenomena umum di kementerian paling basah itu. Wallahu a’lam.
Konon kabarnya laporan harta di LHKPN hanya seper sepuluh dari dari harta sesungguhnya. Kalau benar demikian, menjadi tugas berat Ketua KPK Firli Bahuri untuk membuktikannya, dan Firli harus nafsu atau punya daya terkam atas kemungkinan menemukan harta tidak halal dari para pejabat itu. Bukan malah ngotot memaksakan kasus Formula E ada unsur korupsi, walaupun sudah sembilan kali dilakukan ekspos perkara di internal penyidik KPK.
Kita ambil hikmahnya, bahwa harta yang dimiliki para pejabat bisa saja diperoleh secara halal, pemeriksaan oleh KPK hanya ingin mengonfirmasi seberapa halal harta tersebut, kalau-kalau terselip angka yang diperoleh secara tidak halal, seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Mari kita beri kesempatan KPK bekerja dengan sungguh-sungguh, cepat dan akurat.
Pada saat yang sama, kita juga melihat lemahnya komunikasi internal DJP, hal ini konon kabarnya dana komunikasi DJP sudah lima tahun terakhir dihapus. Sekarang baru dirasakan perlukan pola komunikasi yang cerdas yang bisa mengarahkan dan melokalisir persoalan hanya pada pihak yang dianggap menyimpang.
Akibat lemahnya komunikasi di DJP, dan mungkin saja di Kemeneu, maka bola liar kasus Rafael Alun kemana-mana. Semoga segera terkuak semuanya, dan semoga DJP dan Kemenkeu mengambil pelajaran besar dari kasus Rafael Alun, bila perlu dijadikan mailstone reformasi internal DJP dan Kemenkeu.
Kalau dalam pemeriksaan KPK terbukti Rafael Alun menerima harta tak halal semisal TPPU, maka yang bersangkutan harus ikhlas hartanya diserahkan ke negara dan menjalani hukuman sesuai dengan perbuatannya. Demikian pula dengan Menkeu, Sekjen Kemenkeu, Dirjen Pajak, Dirjen Anggaran, Dirjen Kekayaan Negara, Dirjen Perimbangan Keuangan dan lainnya siap-siap mendapat perlakuan yang sama. (*)