Peran Ulama dan MUI

Oleh Muhammad Chirzin - Guru Besar UIN Jogjakarta 

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan untuk membimbing, membina, dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. 

Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. 

MUI berdiri sebagai hasil musyawarah para ulama, cendekiawan dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, meliputi 26 orang ulama mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu; 10 orang ulama dari unsur ormas Islam tingkat pusat:  NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah; 4 orang ulama Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI, serta 13 orang tokoh/cendekiawan perorangan. 

Musyawarah menghasilkan “Piagam Berdirinya MUI” yang ditandatangani oleh peserta disebut Musyawarah Nasional Ulama I. 

MUI berdiri ketika bangsa Indonesia berada pada fase di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap kesejahteraan rohani umat. 

Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:

Memberi bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah swt;

Memberikan nasihat mengenai masalah keagamaan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa;

Menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;

Meningkatkan hubungan dan kerjasama antar organisasi, lembaga Islam, dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum sebagai berikut.

1977 — 1981 Prof. Dr. Hamka

1981 — 1983 KH. Syukri Ghozali

1985 — 1998 KH. Hasan Basri

1998 — 2000 Prof. KH. Ali Yafie

2000 — 2014 KH. M. Sahal Mahfudz

2014 — 2015 Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin

2015 — 2020 Prof. Dr. KH. Ma`ruf Amin

2020 — Sekarang KH. Miftachul Akhyar

Majelis Ulama Indonesia bukan organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan bukan wadah tunggal yang mewakili kemajemukan umat Islam. 

Majelis Ulama Indonesia terbuka untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan berbagai pihak, atas dasar saling menghargai sesuai visi, misi dan fungsinya. 

Majelis Ulama Indonesia hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut untuk kebaikan dan kemajuan bangsa guna mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Organisasi kemasyarakatan dan lembaga sosial keagamaan adalah perekat hubungan dan wadah penyaluran kehendak warga, motor penggerak kehidupan masyarakat berdasarkan nilai-nilai utama dan wahana pembinaan kader pimpinan, dan perubahan. 

Fitrah manusia adalah mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Masyarakat madani ialah masyarakat berkeadaban dan berkemajuan.

Membangun masyarakat madani dimulai dari satuan masyarakat terkecil, yakni keluarga, dilanjutkan pada lingkup RT dan RW. 

Ciri masyarakat madani: amar maruf, nahi munkar, iman kepada Allah swt dan amal shalih dalam segala aspek kehidupan. 

Allah memerintahkan berbuat adil, mengerjakan amal kebaikan, bermurah hati kepada kerabat, dan Dia melarang melakukan perbuatan keji, mungkar dan kekejaman... (QS An-Nahl 90).     

“Siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangannya…” (Rasulullah saw)  

Kemungkaran, sekecil apa pun, bila dibiarkan akan meluas dan merepotkan semua orang dalam masyarakat dan perlahan-lahan akan menghancurkan. 

Jagalah dirimu dari bencana fitnah yang tidak hanya akan menimpa mereka yang jahat saja di antara kamu… (Al-Anfal 25).

“Hendaklah kamu melakukan amar maruf nahi munkar, atau Allah akan menurunkan siksa, kemudian doa kalian tidak dikabulkan.” (HR Tirmidzi)

“Jika masyarakat melihat kezaliman dan tidak mencegah dengan tangannya, maka Allah akan menimpakan siksa massal kepada mereka.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Masyarakat ibarat sebuah kapal yang berlayar di lautan. Setiap penumpang bertanggung jawab atas keselamatan sampai tujuan.  

Hal paling buruk yang menimpa umat adalah ketika suara kebenaran menjadi begitu rendah, sedangkan teriakan kebatilan begitu tinggi mengajak kepada kerusakan, memerintahkan kemungkaran dan mencegah dari kebaikan (Yusuf al-Qaradhawi)  

Ulama adalah pewaris Nabi — al-ulama` waratsatul anbiya` (Rasulullah saw). 

Para ulama mewarisi ilmu, amanat, tanggung jawab, kepemimpinan, dan keteladanan.

Para ulama takut kepada Tuhan.  Innama yakhsyallaha min ibadihi al-ulama` - Sungguh orang yang takut kepada Allah, di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS Fathir/35:28). 

Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang dikaruniai ilmu. (QS Al-Mujadilah/58:11).

Setiap umat mempunyai tujuan, ke sanalah Ia mengarahkannya. Maka berlombalah kamu dalam kebajikan… (Al-Baqarah 148).

Allah tidak akan mengubah keadaan kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri… (Ar-Radu 11) 

Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga mereka mengubahnya… (Al-Anfal 53)

Dulu agama menghancurkan berhala. 

Kini agama jadi berhala. 

Tak kenal Tuhannya, yang penting agamanya. 

Dulu orang berhenti membunuh karena agama. 

Sekarang orang saling membunuh karena agama. 

Dulu orang saling mengasihi karena beragama. 

Kini orang saling membenci karena beragama. 

Agama dijadikan senjata tuk menghabisi manusia lainnya. 

Tanpa disadari manusia sedang merusak reputasi Tuhan, 

dan sedang mengubur Tuhan dalam-dalam di balik gundukan

ayat-ayat dan aturan agama. 

(KHA Mustofa Bisri/Gus Mus).

 

419

Related Post