OPINI

Pencabulan Demokrasi dan Pilpres Cabul

Apa yang disampaikan dan dilaporkan oleh Hasnaeni Moein harus segera ditindak lanjuti, DKPP bisa memanggil korban dan saksi, Ketua KPU harus memberi jawaban dan penjelasan apa yang disampaikan oleh korban. Oleh: Isa Ansori, Kolumnis DUGAAN pelecehan seksual yang dilakukan oleh Ketua KPU RI, Hasyim Asy\'ari terhadap Hasnaeni Moein alias “wanita emas” sudah dilayangkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus segera disidangkan. Karena ini menyangkut moralitas lembaga negara dan pejabat negara serta produk yang dihasilkan. Dugaan perbuatan cabul sebagaimana yang dilakukan oleh Ketua KPU RI menjadi deretan perbuatan Cabul dalam kontestasi Pilpres 2024. Tentu saja makna perbuatan Cabul itu bisa dimaknai sebagai pelanggaran moral dan etika pejabat publik dalam penyelenggaraan Pilpres. Sebelumnya juga kita saksikan perbuatan cabul dengan memobilisasi massa dan tegas meng-endorse dan mengijon ciri-ciri capres yang didukung, padahal seharusnya presiden harus menjadi negarawan dan pengayom. Penjegalan di mana-mana dengan mempersulit izin penyelenggaraan bakal calon presiden yang tidak dikehendaki juga bukti adanya potret perbuatan cabul dalam proses menuju arena kontestasi. Yang terbaru, KPU RI membuat otoritas tafsir peraturan penyelenggaraan Pilpres 2024 tentang aktifitas bakal calon yang sejatinya tidak diatur dalam aturan kampanye. Bahwa setiap bakal calon presiden maupun bakal caleg dilarang mengatakan dirinya sebagai capres dan caleg sebelum penetapan dilakukan oleh KPU. Terasa memang tidak aneh, tapi ini baru terjadi dan seolah bakal menjegal calon tertentu dan partai politik tertentu untuk bisa menjadi peserta pemilu. Demokrasi yang diwarnai dengan perbuatan cabul akan menodai proses proses yang berjalan, sehingga akan melahirkan hasil yang berpotensi melakukan aktivitas cabul dalam kekuasaan. Rakyat akan menjadi korban, rakyat akan dinodai melalui perkosaan maupun sodomi. Bahkan bisa jadi ibu pertiwi juga akan diperkosa oleh pejabat yang dihasilkan dari perbuatan cabul dalam berdemokrasi. KPU adalah lembaga yang dibentuk sebagai amanat Reformasi yang anti KKN, sebab KKN adalah sebuah perbuatan yang menodai dan mencemari reformasi, atau bisa dikatakan sebagai aktivitas yang mencabuli reformasi. Namun sayangnya, sebagaimana KPU, KPK juga disinyalir sedang melakukan perbuatan cabul untuk menjegal lawan-lawan politik rezim yang dianggap bisa “mengancam” kepentingan kekuasaan dan oligarki. Sebagaimana yang ditulis oleh koran tempo, Ketua KPK Firli Bahuri kembali disebut-sebut memaksakan pengusutan kasus dugaan korupsi balap mobil listrik Formula E, di mana di sana ada nama Anies Baswedan yang dianggap sebagai calon presiden yang tidak dikehendaki Istana dan oligarki. Dalam gelar perkara terakhir dikabarkan bahwa Firli meminta penyelidikan dinaikkan ke tahap penyidikan tanpa menunggu adanya tersangka. Namun sayangnya, tim penyelidik dan penyidik kompak menolak karena kurang bukti, sehingga sikap pimpinan KPK terbelah. Kesannya kemudian KPK melalui tangan Firli akan melakukan pencabulan terhadap instrumen hukum yang kebetulan ada nama Anies Baswedan. KPK tak pernah punya gairah dengan kasus e-KTP yang jelas-jelas sudah ada penerimanya dan saksinya, kasus Sumber Waras serta kasus bus Trans Jakarta yang mangkrak. Nah, begitulah sering terjadi dalam dunia transportasi, sesama sopir dilarang mendahului, dalam hal ini juga bisa diterjemahkan sesama pelaku cabul dilarang saling mencabuli. Sebagai masyarakat yang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu kita tak ingin melihat rakyat menjadi korban dan ibu pertiwi menangis serta merintih sedih. Kita berharap apa yang disinyalir masyarakat dan dimuat oleh media ditindak lanjuti oleh pemerintah sebagai penegak hukum. Kita berharap ada ketegasan dari pemerintah dan para pengawas lembaga-lembaga seperti KPU dan KPK, DKPP, dan Dewan Etik KPK untuk selalu mengingatkan dan kalau perlu memberhentikan dengan tidak hormat mereka di dalam lembaga-lembaga tersebut yang nyata-nyata melakukan pelanggaran dan pencabulan demokrasi dan hukum serta politik. Rakyat tentu akan bersuka-cita bila pemerintah bersama rakyat melawan aksi pencabulan dan pelecehan demokrasi. Jangan sampai kelak akibat dari adanya pencabulan demokrasi, pencabulan proses proses Pilpres kita akan mendapatkan presiden yang gemar berbuat cabul dan mencabuli rakyat serta ibu pertiwi. Apa yang disampaikan dan dilaporkan oleh Hasnaeni Moein harus segera ditindak lanjuti, DKPP bisa memanggil korban dan saksi, Ketua KPU harus memberi jawaban dan penjelasan apa yang disampaikan oleh korban. Kita tunggu keberanian DKPP sebagai lembaga yang masih beretika dan bermoral untuk memastikan bahwa didalam pelaksanaan Pilpres harus bebas dari tindakan cabul dan pelecehan yang akan dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Hal yang sama juga harus dilakukan oleh Dewan Etik KPK, agar KPK tidak dianggap oleh masyarakat sebagai institusi kepanjangan kekuasaan dan oligarki. Surabaya, 23 Desember 2022. (*)

Empat Alasan Kuat Proyek Kereta Cepat Merugikan Keuangan Negara

Dalam kondisi apapun, waktu konsesi tidak boleh ditambah, karena ini merupakan kesepakatan pelaksanaan tender proyek sejak awal bersama pesaing Jepang. Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) SEJAK awal, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, atau sebut saja Kereta Cepat China, sudah menuai banyak masalah. Pada awalnya, biaya proyek kereta cepat China dibuat lebih murah dari pesaingnya, Jepang, sehingga terpilih sebagai pemenang proyek. Jepang menawarkan biaya proyek kereta cepat 6,2 miliar dolar AS. Sedangkan China pada awalnya menawarkan 5,57 miliar dolar AS, yang kemudian membengkak menjadi 5,98 miliar dolar AS, dan membengkak lagi menjadi 6,07 miliar dolar AS. Entah mengapa, Indonesia menerima semua ini. Pertanyaannya, apakah penawaran awal 5,57 miliar dolar AS hanya sebagai upaya memenangi proyek, tetapi harga yang sebenarnya adalah 6,07 miliar dolar AS? Kalau memang seperti itu maka penawaran dari China dapat dianggap sebagai manipulasi atau kecurangan proyek? Selain itu, dilihat dari sisi pembiayaan, penawaran Jepang sebenarnya jauh lebih menarik. Jepang menawarkan suku bunga pembiayaan (pinjaman) yang sangat murah, hanya 0,1 persen per tahun, jauh lebih murah dari suku bunga pinjaman yang ditawarkan China, yaitu 2 persen per tahun, atau 20 kali lipat lebih mahal dari pinjaman Jepang. Terlepas dari itu semua, faktanya, China telah memenangi proyek kereta cepat. Masalahnya, proyek tidak kunjung selesai dan biaya proyek juga membengkak terus. Tidak tanggung-tanggung, biaya proyek diperkirakan membengkak lagi sekitar 2 miliar dolar AS, menjadi 8,1 miliar dolar AS. Tetapi, berdasarkan audit BPKP pembengkakan biaya proyek kereta cepat ditetapkan 1,68 miliar dolar AS, menjadi 7,55 miliar dolar AS. Buntut dari itu semua, konsorsium Kereta Cepat Indonesia China minta konsesi kereta cepat diperpanjang (dari 50 tahun) menjadi 80 tahun. Dikabarkan, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memberi perpanjangan konsesi ini. Berdasarkan semua fakta di atas, terindikasi pemilihan proyek Kereta Cepat China ini sudah merugikan keuangan negara. Ada empat alasan untuk itu. 1. Komponen biaya bunga. Kalau biaya bunga pinjaman masuk dalam evaluasi biaya proyek, maka kereta cepat Jepang seharusnya lebih murah. Sehingga, pemilihan proyek kereta cepat China, yang secara total lebih mahal dari Jepang, sudah mengakibatkan kerugian keuangan negara.  Baca juga: https://www.inilah.com/kerugian-negara-dalam-proyek-kereta-cepat-kebanggaan-jokowi 2. Pembebanan pembengkakan biaya proyek 1,68 miliar dolar AS. Siapa yang menanggung pembengkakan biaya proyek? Kalau ini merupakan kesalahan kontraktor, maka harus menjadi tanggung jawab kontraktor, dan tidak boleh dibebankan ke pemilik proyek (joint venture), yang apabila dilakukan maka akan menjadi kerugian keuangan negara. 3. Dana talangan pembengkakan biaya proyek 1,68 miliar dolar AS. Pertanyaannya, siapa yang menalangi pembengkakan biaya proyek selama ini? Sepertinya uang dari pihak China maupun kredit dari Bank belum turun. Apakah artinya pihak Indonesia yang menalangi pembengkakan biaya proyek, dengan menggunakan APBN? Karena ini adalah proyek Joint Venture, maka dana talangan dari pihak Indonesia, apalagi kalau pakai APBN, merupakan kerugian keuangan negara? 4. Penambahan Konsesi menjadi 80 tahun. Dalam kondisi apapun, waktu konsesi tidak boleh ditambah, karena ini merupakan kesepakatan pelaksanaan tender proyek sejak awal bersama pesaing Jepang. Penambahan waktu konsesi menjadi 80 tahun berarti menguntungkan pihak lain, dan merugikan pendapatan negara dari hak konsesi. Melihat indikasi dan potensi kerugian negara yang sangat besar dan begitu jelas, mengapa pihak yang berwenang, terutama KPK dan DPR, terdiam saja? Apakah keduanya sudah di bawah cengkeraman kekuasaan? (*)

Ibu, Inspirasi dalam Kehidupan Anies Baswedan

Oleh M Chozin Amirullah - Pengamat dan Aktivis Kerelawanan SETIAP 22 Desember, kita memperingati Hari Ibu. Setiap orang memiliki pengalaman berbeda-beda dalam memperingati dan memaknai Hari Ibu. Namun, banyak sekali anak-anak terinspirasi hidupnya oleh sosok ibu. Anies Baswedan salah satunya.  Prof. Dr. Aliyah Rasyid Baswedan, M.Pd., ibu Anies Baswedan, adalah  seorang dosen dan guru besar emeritus di Universitas Negeri Yogyakarta. Prof. Aliyah menjadi dosen sejak tahun 1965. Selain itu, dia juga aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan di Jogja. Salah satunya adalah penyaluran beasiswa bagi siswa dan mahasiswa dari keluarga prasejahtera.  Ibu Aliyah mendirikan Yayasan Orbit Yogya untuk memberikan beasiswa bagi mahasiswa, terutama dari luar Jawa yang kuliah di Jogja. Yayasan itu tidak hanya memberikan beasiswa tetapi juga memberikan pembimbingan dan pelatihan serta pengembangan jaringan dan informasi. Karier dan aktivisme Aliyah, ternyata menjadi inspirasi bagi Anies Baswedan untuk mengikuti jejak sang ibu. Anies, juga tumbuh dan besar di dunia pendidikan. Ia pernah menjadi dosen dan rektor di Universitas Paramadina.  Aktivitasnya di bidang pendidikan tidak dibatasi oleh ruang kelas dan gedung kampus. Seperti ibunya, Anies juga aktif memajukan dunia pendidikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.  Indonesia Mengajar adalah gerakan yang diinisiasi oleh Anies Baswedan. Gerakan ini mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia ikut mendorong peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.  Sejak berdiri pada 2009, Indonesia mengajar sudah mengirim 1.157 Pengajar Muda ke berbagai lokasi terpencil di Indonesia. Aktivitas Pengajar Muda di berbagai daerah di Indonesia telah melibatkan lebih dari 106 ribu orang dengan interaksi lebih dari 38 juta kali.  Ada akselerasi peningkatan kualitas pendidikan di berbagai daerah, sejak program Indonesia Mengajar digulirkan. Berbagai elemen saling berkolaborasi dan bekerja sama untuk memenuhi cita-cita para founding fathers, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.  Aktivitas sosial dari Aliyah, juga menginspirasi Anies Baswedan, sehingga menginisiasi gerakan TurunTangan. Gerakan ini melakukan inkubasi untuk kegiatan-kegiatan yang disiapkan untuk pegiat sosial di daerah. Jargon TurunTangan: “Pejuang Bukan…? HADAPI!” adalah pesan kuat dari Ibunda Aliyah ketika menghadapi masalah.  Gerakan Turun Tangan telah mencatat keikutsertaan lebih dari 53.000 orang relawan. Basis aktivitasnya meluas hingga ke 77 daerah di seluruh Indonesia. Aktivitas gerakan TurunTangan sangat beragam, khususnya di bidang pendidikan, sosial kemanusiaan, lingkungan, kesehatan, dan pendidikan politik.  Tidak hanya berasal dari ibunya, Anies ternyata juga terinspirasi dari aktivisme dari neneknya, bernama Ibu Barkah. Nenek Anies Baswedan adalah aktivis perempuan pada zamannya. Ibu Barkah turut terlibat dalam penyelenggaraan Kongres Perempuan pertama di Jogja tahun 1928.  Sang nenek waktu itu hampir gagal berangkat di Tegal menuju ke Jogja. Tentara Belanda melarang para Barkah dan teman-temannya untuk berangkat ke Jogja. Namun, Barkah tak gentar. Bersama teman-temannya mereka melawan dengan cara berbaring di atas rel yang akan dilewati kereta api.  Di bawah terik matahari, di depan moncong lokomotif mereka pasang badan: “berangkatkan kami atau matikan kami.” Akhirnya tentara Belanda menyerah pada kegigihan para emak-emak itu, dan membolehkan berangkat ke Jogja.  Kongres Perempuan pertama tersebut diadakan pada 22-25 Desember 1928. Hari pertama Kongres tersebut kemudian kita peringati sebagai Hari Ibu, tiap tanggal 22 Desember. Di situlah disuarakan kesetaraan dan perubahan, dalam perjuangan mewujudkan cita-cita Indonesia.  Selamat Hari Ibu! Selamat Hari Emak-emak kabanggaan Indonesia. (*)

Memberikan Golok Kepada Orang Gila

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN  PARA pelanggan dan pengunjung pasar itu berhamburan. Lari menyelamatkan diri. Mencari perlindungan di balik meja-meja barang dagangan. Semua terancam golok panjang dan tajam. Golok itu baru beberapa hari diserahkan kepada seseorang yang diangkat sebagai petugas keamanan untuk pasar becek itu. Pada awalnya, orang tersebut biasa-biasa saja. Dia bersahaja. Selalu tersenyum. Tak canggung hilir mudik di gang-gang pasar itu. Semua terkagum-kagum melihat dia blusukan memunguti sampah kotor. Tiap pagi dia menyapa para pebelanja. Sambil mengatakan “Apa kabar, Pak” atau “Apa kabar, Bu”. Dia rajin melakukan patroli pasar. Semua orang merasa nyaman. Senang dengan cara dia melaksanakan tugas. Tapi, pelan-pelan tingkah laku orang yang memegang golok itu berubah. Tiba-tiba saja di suatu pagi dia membacokkan golok itu ke sebatang tiang kayu di pasar. Golok itu tertancap. Orang yang diberi golok itu berteriak-teriak dengan kata-kata kotor. Baju yang dipakainya dia lepas. Dia terus merepet tapi tak jelas ujung-pangkalnya. Tak sampai 10 hari kemudian, orang bergolok yang tadinya dirasakan memberi kenyamanan, berbalik menjadi pengacau pasar. Para pelanggan rutin ke pasar itu ketakutan. Si pemegang golok kelihatan semakin kehilangan akal sehat. Mirip seperti orang gila. Sekarang, semua orang terintimidasi. Dia menghunus dan mengibas-ngibaskan golok ke segala arah. Seram dan mengerikan. Sejumlah orang luka-luka. Ada yang parah, banyak yang luka ringan. Dalam sekejap, si orang bergolok membuat aturan sendiri. Semua aturan yang berlaku di pasar becek itu dia jadikan satu aturan saja. Dia buat semacam “ominibus law” di pasar itu. Termasuk aturan pungutan parkir, pungutan meja pedagang, pungutan keamanan, dan pungutan-pungutan lain. Dia tidak boleh dibantah. Semua yang diinginkannya harus terlaksana. Si manusia golok semakian liar. Dan tak terkendali. Dia meneriakkan ancaman verbal. Suasana semakin mencekam di pasar. Sampai akhirnya salah seorang pengunjung pasar becek itu berhasil menjinakkan orang kuat itu. Setelah situasi reda, diketahui bahwa orang yang menjinakkan manusia bergolok itu hanya orang biasa saja. Dia bukan intelektual seperti kebanyakan pelanggan dan pengunjung pasar. Setelah para intelektual itu berdiskusi, ternyata yang menjadi masalah di kerumunan pasar itu adalah nyali. Ratusan orang di situ bisa diintimidasi oleh manusia bergolok karena tidak punya nyali untuk melawan. Mereka takut luka. Takut mati. Itu terbukti setelah manusia bergolok bisa dilumpuhkan. Dia minta-minta ampun. Minta agar tidak dihajar oleh kerumunan. Manusia yang diberi golok oleh kerumunan itu sendiri, ternyata tidak ada apa-apanya. Preman-preman pasar yang semula bersekongkol dengan dia, akhirnya kabur. Tak berani lagi muncul. Begitulah kalau kekuasaan diberikan kepada orang yang tak berakal sehat. Dia kelihatan kuat sekali dengan goloknya itu. Tetapi, sesungguhnya dia seorang yang lemah. Dia karena dikelilingi oleh para preman. Kekuatan si pemegang golok akhirnya sirna setelah nyali warga pasar bangkit.[]

Capres atau Presiden Gagal?

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  Sungguh kasihan Jokowi, jadi presiden sering tidak dihargai dan dihormati rakyatnya sendiri. Betapapun banyak bicara dan kerja, tetap dianggap gagal. Belum pernah ada presiden di Indonesia yang selama masih menjabat, terlalu banyak jadi bahan lelucon dan olok-olokan.  Tanpa wibawa, tanpa respek dan kerap dianggap rendah sekalipun menjadi orang nomor satu di republik ini. Sudah tak terhitung pernyataan Jokowi yang bukan saja  penuh kontroversi dan diselimuti polemik. Saking tidak sesuai dengan kenyataannya, omongan Jokowi selalu disikapi skeptis dan apriori oleh rakyat. Bahkan tak sedikit pandangan publik yang menilai Jokowi sebagai seorang pembual. Bukan hanya janji-janji yang diingkari,   bahkan sekedar menyampaikan informasi saja sering salah atau tak sesuai faktanya. Belum hilang ingatan publik terhadap himbauan presiden soal hidup sederhana dan prihatin terhadap kemungkinan adanya resesi ekonomi. Justru Jokowi sangat antusias  mengadakan pesta pernikahan anaknya Kaesang secara mewah dan begitu berlebihan. Bukan hanya sangat mahal dan tak etis,  tapi juga tak sepantasnya melibatkan aparat keamanan dalam jumlah besar. Seperti Indonesia ingin mengadakan operasi ganyang Malaysia jilid 2,  meneruskan aksi militer yang pernah dilakukan Soekarno di masa lalu.  Di satu sisi Jokowi yang bicara apa, di lain sisi presiden yang berkuasa bertingkah apa. Jadi terlihat tak punya  sensitifitas dan kepedulian terhadap keadaan rakyat yang kehidupannya semakin terpuruk, begitulah salah satu contoh Jokowi menuai kecaman rakyat saban harinya. Baru-baru ini, Jokowi berulah lagi dengan menyatakan kegelisahannya soal ia dituduh intervensi atau ikut campur soal capres dan urusan pilpres 2024. Ini pernyataan yang sebenarnya ngga penting untuk diungkapkan, malah membuat Jokowi semakin kelihatan ngga konsekuen. Semakin kentara jago ngeles kaya bajaj, Jokowi seperti asyik dengan omongan dan sikapnya yang semau gue. Benar kata politisi partai Demokrat, harusnya Jokowi tenang saja, kecuali telah ikut-ikutan ngurusi capres. Jokowi sepertinya sedang berpura-pura tidak ingat atau mungkin juga masa bodoh dengan sebelumnya yang sering mengendorse capres-capres tertentu. Dari yang implisit seperti rambut putih dan kerut di wajahnya. Hingga yang eksplisit langsung mengarah mendukung Ganjar Pranowo dan Erik Tohir hingga Prabowo Subianto. Presiden 2 periode  yang diasosiasikan sebagai boneka oligarki itu, terlalu percaya diri dan sedang giat menyiapkan boneka oligarki yang lain seandainya menjadi boneka oligarki  3 perode gagal diwujudkan. Menjadi terbiasa berorientasi kepada oligarki bukan kepada rakyatnya, membuat Jokowi terlalu menyolok mendukung capres tertentu dan menolak capres yang lainnya. Termasuk membuat prediksi ada  capres yang tidak dapat kendaraan politik alias gagal nyapres gegara tidak disukainya, meskipun pada akhirnya omongannya dibantah sendiri. Kenapa bisa dibilang Jokowi  yang paling sering ngelantur terutama keluar dari tugas dan jabatan pokoknya sebagai presiden?. Hal-hal remeh-temeh yang ngga ada hubungannya dengan negara dan kepentingan publik sering ditanggapi. Namun masalah-masalah besar, penting dan strategis sering diabaikan. Karena ulahnya sendiri Jokowi kini semakin kehilangan kepercayaan sebagian besar rakyatnya. Bahkan dengan beberapa pernyataan politik baik yang berupa sekedar himbauan ataupun kebijakan publik belakangan ini. Rakyat mulai berani menunjukan sikap protes, menentang dan bahkan melawannya. Entah terlalu banyak kepentingan dengan capres dan pilpres 2024 atau memang sudah menjadi agenda politik Jokowi. Apapun itu kini Jokowi mengelak saat dinilai publik melakukan intervensi atau terlalu banyak mengatur urusan capres dan pilpres yang bukan jadi prioritasnya. Tidak dengan  kekuatan oposisi, tidak dengan adanya people power atau bahkan tidak karena terjadi revolusi sekalipun. Jokowi sesungguhnya tengah menelanjangi dirinya sendiri. Membuka aibnya sendiri, karena tidak satunya antara kata dan perbuatannya. Hari ini bilang A, bedok bilang B dan seterusnya Jokowi tidak komit dan konsisten dalam banyak hal. Tinggal rakyat yang menerima dampaknya, akibat ketidak-cakapan pemimpinnya, bukan cuma sistem yang rusak, orang-orang disekelilingnya juga rusak. Akibat semua itu rakyat harus hidup menderita karena presidennya jauh dari harapan rakyat. Tak kunjung menghadirkan negara kesejahteraan yang menjamin kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jokowi justru membuat kehidupan rakyat semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Hanya ada distorsi penyelenggaraan negara termasuk membunuh demokrasi dan menghianati amanat rakyat dan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tak mampu menghibur, tak cukup membuat tertawa karena kelucuannya, Jokowi yang sempat melontarkan prediksi ada capres gagal karena tak dapat  kendaraan politik. Justru Jokowi dihadapkan pada kenyataan dirinya telah menjadi presiden yang gagal. *) Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan. Bekasi Kota Patriot, 23 Desember 2022/29 Jumadil Awal 1444 H.

Jangan Sampai Kantor Gubernur Jawa Barat Digeledah KPK

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  Di depan acara Pembukaan Mukerwil PWNU Jabar  di Ponpes Al Muhajirin 2 Kab Purwakarta Ridwan Kamil menyatakan bahwa Pemprov Jawa Barat telah menggelontorkan dana sebesar 1 Trilyun rupiah untuk keperluan da\' wah Nahdhatul Ulama (NU).  Alih-alih gembira dengan \"perhatian\" Gubernur berupa penggelontoran dana tersebut, justru PWNU Jabar meminta klarifikasi Ridwan Kamil atas pernyataan yang dapat menggoncangkan internal NU. Wakil Ketua PWNU Asep Syaripudin meminta agar Gubernur Jabar Ridwan Kamil membuka data dan menyampaikan kepada publik atas pernyataan besaran dana tersebut.  \"Ridwan Kamil sudah merusak nama baik NU dan mempermalukan keluarga besar NU Jabar\", seru Asep Syaripudin. Ia meminta anggota DPRD Jabar untuk menanyakan masalah ini kepada Ridwan Kamil dalam dengar pendapat Dewan.  Menurut Ridwan Kamil Dana Da\'wah yang digelontorkan adalah 160 Milyar 80 % nya untuk JQH dari NU. Program One Pesantren One Product (OPOP) sebesar 220 Milyar dan itu 70 % adalah Pesantren NU. Hibah bertahap NU dan elemen-elemennya pada tahun 2019 sebesar 231 Milyar, tahun 2020 109 Milyar, tahun 2021 83 Milyar, dan tahun 2022 sebesar 253 Milyar.  Ridwan Kamil menegaskan selama menjabat sebagai Gunernur ia telah menggelontorkan dana APBD untuk NU sebesar 1 Trilyun. PWNU khawatir pernyataan ini dapat menimbulkan persoalan internal dan eksternal. Karenanya perlu adanya langkah transparansi Ridwan Kamil untuk selanjutnya.  Jikapun kelak Pemprov Jabar membuka data kepada publik tentang alokasi APBD maka itu adalah pengejawantahan dari asas keterbukaan Informasi sebagaimana diatur dalam UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dan atas dasar itu, maka tuntutan PWNU kepada Ridwan Kamil bukanlah hal yang mengada-ada.  Saat ini kita terkejut atas berita bahwa Kantor Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa digeledah KPK. Begitu juga dengan Kantor Wagub Emil Dardak dan Sekda Adhy Karyono. Kasusnya berkaitan dengan suap atas alokasi dana hibah kepada Kelompok Masyarakat (Pokmas).  Empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Parlindungan Simanjuntak (STPS), Staf Ahli Wakil Ketua DPRD Rusdi (RS), Kades Jelgung Abdul Hamid (AH) serta Korlap Pokmas Ilham Wahyudi (IW) alias Eeng.  Sebelum proses memanas yang memancing KPK turun tangan, maka sebaiknya Gubernur Jabar mengambil inisiatif dengan langsung menjelaskan masalah dana hibah ke masyarakat tersebut baik alokasi kepada ormas keagamaan, kebudayaan maupun ormas lainnya.  Jelaskan siapa yang menentukan lalu apa parameter serta  bagaimana mekanisme dan pola proporsinya. Laporan atau temuan BPK dapat dijadikan sandaran.  Jika KPK yang kini sedang gemar melangkah ke Daerah itu telah melakukan penyidikan, maka posisi Gubernur maupun pejabat Pemprov Jabar lainnya akan menjadi lebih sulit.  Kendala bagi Pak Ridwan Kamil untuk dapat dan layak ikut berkompetisi dalam Pilpres, mendapatkan jabatan Menteri, ataupun menduduki kembali kursi Gubernur Jawa Barat untuk kedua kalinya.  Jadinya semua mimpi dan hanya sekedar mimpi. Semoga saja tidak.  Bandung, 23 Desember 2022

LBP: “Dikit-dikit OTT Koruptor Bikin Negeri Jelek”. Saya: “Dikit-dikit OTT Teroris, Bikin Negeri Jelek?”

Bukankah korupsi juga telah disepakati sebagai extraordinary crime? Jadi, pemberantasan korupsi bukan hanya menggunakan jalur OTT tapi juga Case Building sekaligus. Oleh: Pierre Suteki, Dosen Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo OPERASI tangkap tangan (OTT) KPK dikritik oleh dua menteri Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan  Menko Polhukam Mahfud MD. Mahfud menilai apa yang disampaikan Luhut soal KPK tak perlu sedikit-sedikit melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pejabat tak salah. KPK dianggap tidak perlu sedikit-sedikit melakukan OTT. Terhadap pernyataan LBP ini saya tidak sepakat dengan pandangan Luhut apalagi dikaitkan dengan penilaian bahwa OTT membuat citra negara jelek. Mengenai OTT dan KPK dalam upaya merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. OTT KPK adalah singkatan dari Operasi Tangkap Tangan KPK. KUHAP kita tidak mengenal OTT, yang ada adalah Tertangkap Tangan. Kalau kita punya sense of crisis terhadap TP Korupsi, mestinya tdk alergi dgn OTT. Justru bisa menjadi shock teraphy tersendiri bagi orang atau pejabat yang akan melakukan TP Korupsi. Supaya tidak dikit-dikit OTT maka jangan melakukan TP Korupsi. Menjadi pejabat harus bersih, tidak korup. Ucapan Luhut tersebut bisa dimaknai menjadi narasi ganda, yaitu pencegahan korupsi melalui digitalisasi dan menolak OTT KPK dan hal ini bisa mengaburkan opini publik terhadap OTT. Sebenarnya, narasi ganda kedua upaya pemberantasan itu bisa saja dilakukan secara bersamaan dengan saling amplifkatif. Digitalisasi dan OTT yang dilakukan bersamaan agar membuat pemberantasan korupsi di Indonesia lebih \"greget\" dan membuat orang berpikir ribuan kali untuk melakukan tipikor. OTT bagi publik adalah sebuah diksi yang mendorong tingkat trust pada KPK asalkan caranya tidak bermuatan politik. Jika sudah bermuatan politik maka makna OTT akan menjadi kabur karena pelaksanaannya tergantung pesanan rezim. Di sisi lainnya, narasi Luhut bisa dimaknai sebagai justifikasi melakukan tindak pidana korupsi. Termasuk ucapan Luhut \"kalau mau bersih di surga saja\", pernyataan ini seolah-olah membolehkan pejabat untuk korupsi. Saya kira pernyataan LBP itu pernyataan yang absurd dan menyesatkan seolah sudah sewajarnya jika pejabat itu \"nakal\" dikit, korupsi dikit-dikit, menyimpang dikit dengan alasan orang hidup pasti tidak sempurna, banyak kekuarangan dll. Padahal, untuk bisa di syurga justru harus dimulai dari ketika hidup di dunia, ketika menjabat harus bersih, termasuk dari tipikor. Ingat, tidak agama mana pun yang membolehkan umatnya melakukan tindakan korupsi ketika ia menjabat. Bahkan Islam mengajarkan untuk mencampuradukkan antara kepentingan pribadi dan negara. Bagaimana Sahabat Umar bin Khattab R.A. harus mematikan lampu rumah dinasnya ketika tidak sedang menjalankan kepentingan kenegaraan. Kesan bahwa KPK saat ini dilumpuhkan secara halus pelan-pelan dikerdilkan dengan hanya menangani kasus-kasus kecil dan dilokalisir pada aktor di level daerah tingkat 2 saja, dan itupun intensitasnya sangat jarang memang sangat tampak sejak UU KPK direvisi 2019. Terkait dengan OTT, terdapat banyak pro dan kontra terkait tindakan OTT oleh KPK. Pihak yang pro menyatakan bahwa OTT merupakan cara yang tepat untuk menangkap para koruptor karena tidak memerlukan alur birokrasi yang panjang dan menghasilkan barang bukti yang konkret. Di sisi lain pihak yang kontra menganggap pelaksanaan OTT menyalahi aturan dalam KUHAP. Disebut menyalahi karena terminologi dalam KUHAP adalah “tertangkap tangan” dan bukan “operasi tangkap tangan” seperti yang selama ini dilakukan oleh KPK. Anda mungkin masih ingat bahwa Arteria Dahlan termasuk yang Kontra dengan OTT khususnya terhadap Catur Wangsa Penegakan Hukum (Polisi, Hakim, Jaksa dan Advokat mestinya). Ia menawarkan yang disebut Case Building. Menurut Dia, Salah Satu Upaya Yang Bisa Dilakukan Yaitu Dengan Melakukan penegakan hukum menggunakan cara case building. Hal tersebut lebih bisa mendapat keadilan ketimbang OTT. Sebab, ia bisa diuji oleh semua pihak, beda dengan OTT. Selain itu penindakan hukum dengan cara lain selain OTT lebih ada unsur kewajaran yang bisa terlihat. Juga tidak menimbulkan isu kriminalisasi dan politisasi. Apa yang diusulkan oleh Arteria kayaknya diamini oleh KPK Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Rabu, 25 Agustus 2021. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih memilih pengembangan kasus atau case building daripada operasi tangkap tangan (OTT). Hal itu karena waktu pemberkasan kasus pada OTT terlalu cepat. Menurut Marwata, OTT membuat KPK tidak bisa mengeksplorasi lebih jauh kasus terkait. Pasalnya, ketika KPK menangkap pejabat negara, status hukumnya harus ditentukan dalam waktu 1x24 jam dan menahan tersangka. Setelah itu, KPK harus segera merampungkan berkas perkara dalam waktu 120 hari. Jangka waktu itu terlalu mepet untuk menangani kasus korupsi. Sementara itu, case building bisa membuat KPK mengeksplorasi kasus. Lembaga Antikorupsi punya banyak waktu untuk penyelidikan, penyidikan, sampai penahanan tersangka sebelum pemberkasan. Semua kembali kepada KPK, apakah tetap ingin punya taji atau mau makin dilemahkan dengan cara membiarkan dipreteli wewenangnya untuk secara serius dan tegas melakukan pemberantasan korupsi. Terkait dengan fakta tipikor dan respons pejabat dalam penanganannya, seharusnya akhlak dan moralitas pejabat publik khususnya dalam hal edukasi termasuk pencegahan korupsi secara holistik sampai ke tingkat masyarakat bawah harus segera dibenahi, jika perlu segera lakukan revolusi akhlak. Koreksi sistem pemerintahan demokrasi saat ini sehingga mampu memberikan teladan yang terbaik kepada rakyatnya. Kalau kita mengikuti alur pikir orang-orang yg berpotensi melakukan korupsi ini dan pelemahan KPK terus terjadi, maka 5 sampai dengan 10 tahun ke depan korupsi tidak akan surut bahkan semakin tinggi, apalagi didukung oleh sistem pemerintahan Demokrasi Oligarki. Semua UU bisa dikondisikqn, diubah sesuai dgn kesepkatan bahkan angka-angka demokrasi. Tidak ada patokan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Teladan sulit dicari karena tolok ukurnya juga nisbi. Oleh karena itu terkait dengan OTT dalam pemberantasan korupsi, saya tetap berharap OTT tetap dijalankan. Jika memang bertujuan untuk pengembangan tindak pidana korupsi mestinya dari sisi hukum acara, waktu penangkapan bisa diperpanjang menjadi 14 hari bahkan bisa ditambah 7 hari seperti tindak pidana extraordinary crime terorisme. Bukankah korupsi juga telah disepakati sebagai extraordinary crime? Jadi, pemberantasan korupsi bukan hanya menggunakan jalur OTT tapi juga Case Building sekaligus. Ingat, OTT tidak boleh diartikan membuat negeri ini jelek. Kalau anggapannya seperti itu, maka Penangakapan Terduga Teroris yang sering terjadi juga sama membuat negeri ini Jelek, bukan? Pernyataan itu absurd dan bahaya, bukan? Jika ingin tidak dikit-dikit OTT Koruptor, maka jadilah pejabat yang bersih dari KKN, bukan menentang OTT KPK. Tabik...! Semarang: Kamis, 22-12-22. (*)

Tujuh Tantangan Besar Indonesia 2023: Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan (Catatan Akhir Tahun -2)

Namun, refleksi ini susah dilakukan jika segelintir manusia rakus ingin mempertahankan kontrol kekayaannya di Indonesia. Oleh karenanya, tugas rakyat adalah menjadikan orang-orang rakus sebagai musuh bersama rakyat Indonesia. Oleh: DR. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle SAYA lanjutkan pembahasan kita tentang 7 tantangan ke depan. Kemarin sudah saya paparkan tantangan pertama, soal demokrasi. Hari ini soal ketimpangan sosial baik antar daerah maupun lapisan sosial kita. Presiden Joko Widodo baru saja membanggakan perekonomian Maluku Utara yang tumbuh 27% pada kuartal ke-3 Tahun 2022 dan inflasi rendah 3,3%, di hadapan peserta Rakornas Investasi, di Jakarta, Rabu (30/11/2022) yang lalu. Menurut Jokowi ini adalah potret pertumbuhan terhebat di dunia. Indonesia harus mempertahankan postur ekonomi Maluku Utara seperti itu. Pertanyaannya apakah kebanggaan Jokowi itu mewakili kebanggaan rakyat Indonesia? Khususnya rakyat Maluku Utara? Apakah benar pertumbuhan itu bermanfaat buat rakyat di sana? Bossman Mardigu, dalam Channel YouTube-nya (27/10/22) maupun dalam kutipan yang diberitakan inilah.com (9/12/22) dengan judul “Jor-joran Tambang Nikel di Maluku Utara, China Untung Rp 50 Triliun Setahun”, menunjukkan omongan Jokowi itu hanya isapan jempol belaka. Bossman yang mengunjungi desa Lelilef, Halmahera Tengah, tempat beroperasinya tambang nikel milik Tsingshan Industry, pada awal Oktober lalu, menghitung setiap tahunnya kekayaan Maluku Utara itu dibawa ke China sebesar Rp 35 triliun – Rp 50 triliun. Dan itu sudah berlangsung setidaknya 3 tahun belakangan ini. Sebaliknya, Bossman tidak melihat adanya kemajuan desa Lelilef tersebut, dibandingkan ketika dia ke sana sepuluh tahun lalu. Bahkan, menurutnya lingkungan di sana akan rusak setelah kekayaan alamnya dikeruk habis nantinya. Dr. Mochtar Adam, cendikiawan setempat, dalam Porostimur.com (5/12/22), di bawah judul “Jokowi Banggakan Ekonomi Malut 27 Persen, Tapi China Untung Besar”, juga membantah klaim Jokowi yang mengaitkan pertumbuhan dengan kesejahteraan rakyat di sana. Menurutnya rakyat di sana tetap saja miskin. Terakhir sekali, kemarin, Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba sendiri yang memberikan pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang dibanggakan Jokowi itu tidak dinikmati rakyat. Bahkan pemerintah di sana tidak mampu memperbaiki lingkungan yang rusak. (CNN Indonesia.com, 22/12/22). Kekayaan alam yang dikeruk perusahaan China, Tsingshan, dan mitranya,  secara besar-besaran ini memang tidak menjadi bagian Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung koefisien gini dan inflasi yang berbasis pengeluaran. Karena BPS tidak menghitung Gini ratio berbasis penghasilan dan juga BPS tidak menghitung uang yang dibawa keluar. Coba kita lihat situs BPS Halmahera Barat, Maluku Utara membuat uraian sebagai berikut “Distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah di Provinsi Maluku Utara pada Maret 2022 yaitu sebesar 23,04 persen dan termasuk pada kategori ketimpangan rendah.” Benarkah ketimpangan rendah? Bisakah ketimpangan itu diukur dari potensi kekayaan rakyat Malut jika uang hasil tambang itu dibagikan kepada mereka versus fakta saat ini? Jika kita memotret Index Pembangunan Manusia, sejak tahun 2020 sampai 2022, semua kabupaten di Maluku Utara, kecuali Ternate, jauh di bawah IPM rerata nasional. Halmahera Tengah yang di potret Mardigu sebesar IPM-nya 66, sedangkan IPM nasional 72,9. Rata-rata lama Pendidikan/sekolah masyarakat Malut juga rendah, yakni 9 alias hanya tamat SMP, kecuali di Ternate mencapai 12, atau tamat SMA, bahkan selebihnya banyak yang hanya tamat SD. Pengeluaran yang dirilis BPS perkapita juga tidak menunjukkan kesejahteraan yakni sebesar Rp 8.212.000 perkapita pertahun untuk Halmahera Tengah, begitu juga kabupaten lainnya di luar Ternate. Bahkan, mayoritas hanya dikisaran Rp 6,5 juta – Rp 7,5 juta saja. Bukankah akan sangat timpang jika kita melihat puluhan triliun uang di bawa dari Maluku Utara sedangkan rakyatnya tidak bertambah kekayaannya? Lalu bagaimana kita melihat ketimpangan di wilayah lainnya? Fenomena kekayaan alam Indonesia yang dikeruk segelintir elit oligarki dan bersekongkol dengan penguasa, atau bahkan oligarki itu sendiri menjadi penguasa, telah menjadi pembicaraan umum hampir delapan tahun belakangan ini. Penguasa tambang batubara, emas, bauksit dan tambang-tambang lainnya, lalu penguasa kebun sawit, tebu dan perkebunan-perkebunan berskala raksasa lainnya, serta oil dan gas, hutan dan perikanan, di luar bahasan Nikel di atas, juga merupakan pengekploitasi kekayaan alam nasional yang menguntungkan sebagian kecil orang, sehingga membuat ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin lama semakin menjulang tinggi. Potret ini mirip dengan potret perekonomian nasional ketika VOC (Verenigde Oostindsiche Compagnie) dan pemerintahan kolonial Belanda menjajah Indonesia dahulu, rakyat cuma menjadi penonton. Keluhan lainnya, selain dari Maluku Utara, baru-baru ini, telah kita saksikan dari Bupati Meranti, Riau, yang merasa bagi hasil eksplotasi minyak bumi tidak menguntungkan mereka. Menurutnya, Kementerian Keuangan adalah sarang iblis dan setan, yang memiskinkan rakyat di sana. Begitu juga dari Wakil Ketua DPRD Sintang, Kalbar, terkait penggunaan lahan sawit yang tidak menguntungkan rakyat di sana. Ketika krisis minyak goreng terjadi, awal tahun lalu, perusahaan-perusahaan sawit yang mengontrol kebutuhan pokok minyak goreng, terbukti menjual hampir semua produknya ke luar negeri, sehingga rakyat Indonesia menderita kesulitan mendapatkan minyak goreng. Ini sebuah ironi ketika Indonesia merupakan produsen terbesar di dunia. Pengusaha-pengusaha itu hanya bermotif keuntungan pribadi semata, tidak ada idelisme maupun nasionalisme. Pemerintah memang marah dan berjanji akan melakukan audit. Namun, ketika Kejaksaan Agung menangkapi mafia minyak goreng tersebut, semua terkaget-kaget, karena persoalan ini terhubung dengan petinggi negara. Setidaknya seorang pejabat tinggi selevel Dirjen ikut di tangkap. Ketika pemerintah berusaha melacak keberadaan perusahaan-perusahaan sawit, pemerintah menyatakan kaget karena banyak sekali perusahaan itu berkantor pusat di luar negeri. Dalam berita RMOL (28/5/22) dengan judul “Luhut Kaget Banyak Perusahaan Sawit Berkantor di Luar Negeri, Anthony Budiawan; Koq Baru Tahu?”, pemerintah menyatakan bahwa perusahaan ini mengambil keuntungan dari bumi Indonesia, tapi membayar pajak di negara lain. Namun, sampai saat ini perkembangan audit itu belum jelas hasilnya. Pada berita bpkb.go.id (31/10/22) dengan judul “Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Timur Hadiri Rapat Pansus Plasma Di DPRD Kab Kutai Barat”, isu audit itu masih berlangsung. Jika pemerintah gagal mengendalikan kelompok-kelompok pengusaha sawit yang selalu mementingkan bisnisnya ketimbang kesejahteraan rakyat, maka ini merupakan cermin bagi kelompok usaha atau oligarki lainnya, di mana pemerintah tidak mungkin mampu mengendalikan mereka untuk kepentingan nasional. Pertanyaan lalu muncul, mengapa mereka gagal mengendalikan kelompok pengusaha yang mengkhianati rakyat?? Tantangan nasional berupa ketimpangan dan kemiskinan ini berakar pada sistem kapitalisme yang terus berkembang pesat di Indonesia. Sistem ini berpusat pada penggandaan uang alias Riba. Pembangunan atau projek hanya bisa berkembang dalam pertimbangan hitungan “return to capital” atau di mana uang bisa diputar dengan untung yang lebih banyak. Sistem kapitalisme ini membuat negara menjadi “kuda troya” bagi keuntungan segelintir orang. Berbagai UU, seperti Omnibus Law Ciptaker, dan kebijakan lainnya, seperti kontrol atas upah buruh murah, pemberian lahan-lahan secara obral terhadap investor asing, dan lainnya terus berlangsung. Dalam sistem ini, tugas negara atau penyelenggara negara harus memastikan kemanjaan pemilik modal itu maksimal Jika ada yang mengalangi kemanjaan itu, maka mereka harus ditumpas.  Bedanya kapitalis barat di masa lalu versus kapitalis Peking saat ini, yang pertama menyandera bangsa-bangsa miskin lebih pada bunga uang yang tinggi, sedangkan kapitalis China membawa buruhnya dari RRC menjadi pekerja kasar ke Indonesia, yang menyisakan sedikit kerjaan bagi pekerja pribumi lokal. Ketimpangan dan kemiskinan yang terus melebar semakin parah dengan adanya pandemi covid-19 selama dua tahun ini. Akibat pandemi, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan jutaan usaha mengalami kebangkrutan. Namun, pandemi ini juga dapat menjadi refleksi jika pandemik itu sebuah keharusan bagi kita untuk belajar mencintai kehidupan dan solidaritas. Belajar mencintai alam dan Tuhan YME. Refleksi pertama yang harus dilakukan adalah apakah bangsa ini bisa menghargai pasal 33 UUD 1945, yakni seluruh kekayaan alam adalah milik negara? Refleksi kedua adalah apakah sila ke-5 Pancasila itu, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dapat kita mulai canangkan? Refleksi pertama ini misalnya penting saya uraikan sebagai berikut. Beberapa waktu lalu saya ketemu dengan pimpinan perusahaan Batubara terbesar di Indonesia. Kebetulan teman kuliah di ITB. Dengan santainya dia mengatakan telah mensubsidi perusahan listrik negara (PLN), karena memberikan harga batubara murah ke perusahaan itu. Dia menghitung subsisdi yang dia berikan triliunan rupiah. Tapi, menurut saya jika pasal 33 UUD 45 diberlakukan, maka semua tambang yang dia miliki adalah milik negara. Kepemilikan perusahaan dia di tambang itu hanya bersifat derevatif. Sehingga konsep DMO (Domestic Market Obligation) dengan harga pemerintah itu adalah hak rakyat yang memang begitu adanya, bukan kebaikan ati pengusaha. Seandainya negara benar-benar menguasai tambang batubara, misalnya, maka perusahaan pemilik tambang yang ada selama ini, dapat difungsikan hanya sebatas kontraktor saja, dan itupun untuk bisnis UMKM dan skala menengah. Konsep penguasaan negara ini harus tegas. Belakangan ini “windfall” yang dibanggakan Menkeu Sri Mulyani dari ekspor batubara tidak lah banyak diperoleh negara sebagai inkom. Padahal Faisal Basri sudah menghitung penjualan batbara itu mencapai seribuan triliun rupiah. Refleksi ini berlakku juga untuk semua bisnis ekstraktif, yang tidak memerlukan sentuhan teknologi. Refleksi kedua adalah konsep pembangunan ke depan. Professor Stiglitz, Amartya Sen dan Fittousi, Bersama puluhan professor lainnya, di Prancis, pada tahun 2008, telah mengkritik konsep pembangunan yang hanya berpusat pada ukuran GDP. Mereka menekankan pentingnya ukuran kualitas hidup, yakni yang menekankan keseimbangan kesejahteraan (share prosperity) dan keberlanjutan (menyisakan kekayaan alam untuk generasi anak cucu). Mereka juga mengkritik BPS (Biro Pusat Statistik) negara-negara di dunia yang kurang memasukkan unsur kualitatif dalam memotret kesejahteraan. Jika kita ingin kembali ke sila ke-5 Pancasila, maka kita harus meninggalkan praktek-praktek kapitalisme itu. Namun, jika mampu. Jalan tengahnya adalah melakukan anjuran Sitglitz dkk. Itu bisa dilakukan dengan memilih dan memilih konsep pertumbuhan yang dibanga-banggakan Jokowi di atas. Pertama pertumbuhan, lalu pemeratan (Growth than equity); Kedua, pertumbuhan dan pemerataan (Growth with equity); dan ketiga, pertumbuhan melalui pemerataan (Growth through equity). Untuk pembangunan berbasis ekstraktif, seperti batubara, bauksit, emas, kebun sawit, dll, dapat dilakukan dengan Growth through equity. Faham sosialisme ataupun socialistic Islamisme mulai diberlakukan. Atau seperti anjuran Bung Hatta, mengutamakan koperasi. Jadi ke depan pemilik tambang emas, batubara, bauksit, nikel dll, diserahkan kepada koperasi saja. Maka, kemiskinan dan ketimpangan akan segera menurun. Untuk bisnis atau pembangunan berbasis teknologi tinggi, bisa dilakukan dengan konsep “Growth than Equity”. Konsep mobil listrik, misalkan, pemerintah dapat menyerahkan hal itu murni pada swasta. Diantara ekstrem ini dapat dipilih jalan Growth with equty. Namun, refleksi ini susah dilakukan jika segelintir manusia rakus ingin mempertahankan kontrol kekayaannya di Indonesia. Oleh karenanya, tugas rakyat adalah menjadikan orang-orang rakus sebagai musuh bersama rakyat Indonesia. Semua kekuatan rakyat harus bersatu padu mengatur ulang kepentingan rakyat Indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Bernegara, sekali lagi, seharusnya memberi kesejahteraan bersama (share properity) bukan semakin memperlebar kesenjangan sosial. (*)

Fahri “Buldozer” Anies?

Bukan tanpa sebab, Fahri menyebut ini bisa terjadi lantaran adanya pihak yang tidak terima atau marah dengan pencapresan Anies yang terlalu teburu-buru. Dia mengungkit potensi NasDem keluar dari kabinet. Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Forum News Network-FNN FAKTA, sejak nama Anies Rasyid Baswedan digadang-gadang sebagai Bakal Calon Presiden yang akan diusung Partai NasDem, sambutan rakyat betapa luar biasanya. Mereka menyambut Anies yang datang ke daerah mereka. Meski tahapan Pemilu 2024 belum sampai pada pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024, namun masyarakat seolah abai terhadap tahapan tersebut. Tampaknya ada yang gerah dengan euforia “kampanye” Anies di berbagai daerah di Indonesia ini. Sehingga, muncullah istilah “curi start” kampanye dan lain-lain. Anehnya, yang tuding Anies curi start itu justru BAWASLU, Badan Pengawas Pemilu, yang seharusnya juga mengawasi praktik manipulasi verifikasi oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Sementara, untuk nama-nama Bacapres lainnya, seperti Ganjar Pranowo dan Puan Maharani yang terang-terangan melakukan kampanye, tidak disentuh sama sekali. Bawaslu seakan terbentur dinding yang luar biasa kerasnya! Padahal, secara terang-terangan, kedua tokoh PDIP itu mulai sebar sembako gratis ketika blusukan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, sekarang ini ada beras kemasan dengan “merk” baru: Mbak Puan. Sedangkan Anies ketika datang dan silaturahim ke masyarakat, tak membawa sembako sama sekali. Meski “tangan kosong”, masyarakat tetap saja antusias datang ke tempat Anies mengadakan pertemuan dengan relawannya. Berbagai cara untuk menghambat laju gelombang dukungan terhadap Anies telah pula dilakukan aparat rezim Presiden Joko Widodo di berbagai daerah. Termasuk pula “pinjam mulut” akademisi atau bahkan politisi lainnya. Adalah mantan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kini bergabung dengan Partai Gelora besutan Anis Matta dan Fahri Hamzah. Dengan ragam manuvernya, Fahri Hamzah yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini belakangan secara massif “menyerang” Anies Baswedan. Yang sempat menonjol adalah ucapan Fahri Hamzah yang berkomentar Anies tidak berterima kasih usai tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, kepada Prabowo Subianto, Ketum Partai Gerindra. Menurutnya, seharusnya Anies pertama kali menemui Prabowo Subianto yang telah mendukung penuh dalam pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Tapi sebaliknya, Anies malah pertama kali menemui Ketum Partai NasDem Surya Paloh usai tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Begitu kata Fahri Hamzah, seperti dalam unggahan di Kanal YouTube COKRO TV pada Jumat, 2 Desembar 2022. “Setelah dia selesai di DKI itu, dia kan seharusnya ada project dengan Prabowo harusnya,” ucap Fahri Hamzah, seperti dikutip Bertaji.com dari Kanal YouTube COKRO TV pada Sabtu, 3 Desember 2022. “Harusnya menurut saya ke Prabowo dulu mengucapkan terima kasih semua sudah selesai amanahnya,” sambungnya. Fahri pun mempertanyakan motif dari langkah yang diambil Anies. “Ini rute motifnya apa?” tutupnya. Bagi pegiat media, saluran yang dipakai Fahri (Cokro TV) bersuara itu adalah saluran TV yang selama ini dikenal sering membawa misi Islamophobia. Sering dipakai tokoh-tokoh Islamophobia seperti Ade Armando, Denny Siregar, Abu Janda, dan lain-lain. Apakah Fahri Hamzah sudah “tertular” Islamophobia seperti mereka? Wallahu ‘alam. Tapi, yang jelas, sejak kemunculan nama Anies yang digadang-gadang oleh NasDem, Fahri seakan sudah menjadi “buldozer” yang siap menggerus dan meratakan semua langkah mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Apapun langkah yang ditempuh Anies bakal digusur dengan “buldozer” Fahri. Mungkin yang perlu dipertanyakan, untuk siapa Fahri “bekerja”? Untuk Parti Gelora, rakyat, atau pribadi Fahri semata? Apalagi, hingga kini Gelora belum menentukan sikapnya siapa yang akan didukungnya maju Pilpres 2024. Semoga saja serangan terhadap Anies yang tampak massif ini tidak terkait dengan lolosnya verifikasi Partai Gelora sebagai salah satu partai yang bisa mengikuti kontestasi Pemilu 2024. Ketika masih menjabat Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah sudah mengkritik Anies Baswedan. Kritik terhadap kinerja Anies tersebut terlontar ketika Fahri ditanya soal kabar adanya prostitusi di Bar 4Play.Fahri ingin Anies jangan sibuk tanpa desain perencanaan kerja. Jangan terlalu banyak melayani kerja-kerja sektoral gitu. “Percayalah kepada birokrasinya itu sudah ada kerjaan itu. Ciptakan kedisiplinan, bukan dengan ngomong, tetapi dengan kerja konkret gitu,” kata Fahri di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (2/2/2018).“Karena Jakarta itu sebenarnya itu power-nya posisi strategisnya itu kayak negara. Jadi dia fokus saja. Cuma saya lihat bekerjanya itu kurang sistematis, kurang terencana gitu lho,” imbuhnya, seperti dilansir Detik.com, Jumat (02 Feb 2018 13:28 WIB). Ia menuturkan sistem kerja Gubernur di Ibu Kota hampir sama dengan sistem kerja presiden. Fahri pun kemudian mengungkit soal nama Anies yang kerap disebut-sebut akan maju sebagai capres pada 2019.“Kerjanya Gubernur DKI itu, Gubernur Ibu Kota mirip-mirip dengan kerjanya kepala negara. Jadi Pak Anies Baswedan nggak perlu pengen jadi presiden, dia sudah jadi presiden sekarang,” ujarnya. Bahkan, kini Fahri Hamzah berbicara terkait politik last minute yang terjadi di Indonesia. Dia menyebut tidak tertutup peluang capres Partai NasDem Anies Baswedan dibatalkan oleh NasDem di menit-menit terakhir jelang pendaftaran capres. Melansir Detik.com, Selasa (22 Nov 2022 06:26 WIB), Fahri awalnya bicara terkait tanggal pendaftaran capres, yakni 7 September 2023. Dia menyebut, hingga tanggal itu, semua yang dibicarakan partai adalah omong kosong. “Jadi sampai tanggal 7 September (2023), belum ada yang jelas, semua yang kita omongkan ini, mohon maaf ya, ini omong kosong sebenarnya, saya mohon maaf, karena itu kejadiannya sebelum-sebelumnya gitu,” kata Fahri dalam adu perspektif seperti disiarkan di YouTube detikcom, Senin (21/11/2022). Fahri menyebut hal itu sebagai politik last minute. Dia bahkan menyebut kemungkinan Anies Baswedan dibatalkan oleh NasDem sebagai capres. “Memang tidak ada, itu last minute semuanya berubah, last minute NasDem bisa men-drop Anies Baswedan. Sama dengan orang pacaran, terlalu lama, curiga juga orang tuanya itu,” ucapnya. Bukan tanpa sebab, Fahri menyebut ini bisa terjadi lantaran adanya pihak yang tidak terima atau marah dengan pencapresan Anies yang terlalu teburu-buru. Dia mengungkit potensi NasDem keluar dari kabinet. “Kita lihat sebentar lagi karena di sebelah sana ada yang marah, dianggap ini kecepetan, jadi misalnya kalau nanti tiba-tiba NasDem keluar dari kabinet kayak begitu, itu lain lagi tarikannya. Tapi ini semua karena politik yang penuh dengan informalitas, kita nggak pernah membuatnya jelas, konsep koalisi dari awal harus dibuat jelas, dipikirkan kembali,” jelasnya. “Makanya yang saya tawarkan itu tahapannya harusnya dari apa masalahnya dulu, setelah selesaikan masalah baru jawab dan jabarkan solusi, setelah jabarkan solusi baru kita cari figur yang pas menjawab persoalan ini,” lanjut dia. Namun demikian, Fahri menyebut partai-partai seakan-akan mengabaikan hal tersebut dan mementingkan figur capres terlebih dulu. Padahal, politik last minute pernah dialami oleh Mahfud MD pada 2019. “Oh nanti aja itu, kita kan sekarang lagi ikhtiar, lagi usaha, last minute, nggak ada, Mahfud MD sudah duduk, pakai baju, tinggal dipanggil, nggak jadi barang itu bos, last minute semua, makanya saya katakan politik ini last minute,” tuturnya. Tampaknya, Fahri akan buldozer Anies dengan pengalaman Mahfud MD yang batal dicalonkan sebagai Cawapres Jokowi, tiba-tiba diganti oleh Ma’ruf Amin? (*)

Jokowi di Ujung Tanduk

Di negeri kita tercinta, ada beberapa yang terindikasi sebagai penghianat yang bekerjasama dengan para Oligarki dan Neo-kolonialisme baru khususnya, dan munculnya dominasi kekuatan China, macam bentuk penghianatannya. Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih “HAL yang paling menyedihkan tentang pengkhianatan adalah bahwa hal itu tidak pernah datang dari musuhmu”. Dalam perjuangan pra kemerdekaan sampai saat ini dan sampai kapanpun akan ada manusia sosok penghianat dalam setiap masa dan dalam level yang berbeda. Penghianat senyawa dengan sifat iblis yang hanya akan dimatikan pada hari kiamat. Tidak semanis dan seindah dalam teenlit. Banyak penghianat yang justru berbangga diri, lupa diri karena dipuja-puja, dielu-elukan, disanjung, dan dicintai oleh kelompoknya, sekalipun bentuk penghianatannya sampai pada kebiadaban menghianati agama, bangsa, dan negara. Tidak peduli hidupnya akan dikenang dan dicatat dalam sejarah hitam, bahkan tidak peduli dengan standar agama tentang baik dan buruk, dan resikonya dari perbuatan hianat pada hari pembalasan kelak. Sekedar contoh penghianat kelas kakap seperti Mustafa Kemal Atatürk atau Gazi Mustafa Kemal Paşa (Turki), ada apa sampai sekarang makamnya menebar bau busuk. Mir Jafar (India), Vidkun Quisling (Norwegia), Wang Jingwei (China) dan lainnya, manusia penuh dengan sandiwara dan tidak ada kepastian hidup yang berfaedah, ahirnya mati di ujung senjata. Ketika Amerika Serikat dikalahkan di Vietnam, mulai mundur kembali ke negaranya, para pengkhianat Vietnam yang bekerja sama dengan Amerika mulai melarikan diri dan mengejar pesawat terakhir yang akan lepas landas dari atap kedutaan besar Amerika karena takut akan pembalasan rakyat terhadap mereka. Para penghianat berlarian berebut menaiki tangga untuk naik helikopter terakhir, untuk menyelamatkan diri. Ketika mereka menghindari kerumunan rakyat yang akan menangkapnya.     Adalah pelajaran untuk semua pengkhianat dan manusia yang bekerja sama dengan otoritas penjajah, setelah misi mereka berakhir, penjajah mengusir mereka tanpa ragu-ragu. Jangan sampai terjadi sejarah hitam di Indonesia dengan berbagai kebijakan negara saat ini oleh Presiden Joko Widodo berakhir pada keputusan rakyat bahwa Jokowi sebagai penghianat negara, yang sudah menjamah semua aspek Ipoleksosbud hankam. Di negeri kita tercinta, ada beberapa yang terindikasi sebagai penghianat yang bekerjasama dengan para Oligarki dan Neo-kolonialisme baru khususnya, dan munculnya dominasi kekuatan China, macam bentuk penghianatannya. Sejarah telah banyak mengingatkan kita, dalam perjuangan kemerdekaan  begitu banyak setan yang bernama penghianat itu pasti ada dan akan terus hidup tumbuh di segala macam sendi-sendi perjuangan dan waktu yang berbeda-beda dan mereka berakhir dalam kehidupan yang nestapa dan nista. Rakyat mulai gelisah dan marah merasakan kekacauan tata laksana dalam penyelenggaraan negara yang amburadul di mana-mana, akibat lahir dan munculnya para penghianat negara yang secara terang-terangan justru mengabaikan, bahkan melawan kuasa rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Kini, para pengkhianat pun tidak terang-terangan mengusulkan perpajangan jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 yang jelas-jelas merupakan gerakan kudeta konstitusi. (*)