Pajak dan Jaminan Kesehatan
Oleh: Chazali H. Situmorang - Dosen FISIP UNAS/Pemerhati Kebijakan Publik
DENGAN rasio kepatuhan sebesar 83,2%, maka jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT mencapai 15,82 juta, dari wajib pajak 19.08 juta orang. Di sisi lain, realisasi penerimaan pajak telah mencapai Rp1.716,8 triliun sepanjang 2022.
Penerimaan pajak memberikan kontribusi pada APBN 2022 65%. Berarti lebih dari separuh pendapatan APBN dari pajak, selebihnya dari pinjaman dan sumber lainnya.
Tetapi perlu diketahui, bahwa penyelenggaraan Jaminan Sosial di Indonesia, termasuk JKN, tidak diambil dari uang pajak, tetapi melalui iuran dari setiap peserta (contribution based).
Bagi orang miskin dan tidak mampu karena perintah UU Dasar 45, Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) diterbitkan UU SJSN, yang memerintahkan Negara untuk memberikan bantuan iuran, untuk semua program dan prioritas pertama untuk Jaminan Kesehatan.
Dari uang pajak Rp. 1.716,8 Triliun itu, sekitar Rp. 46 Triliun dikeluarkan sebagai PBI untuk 96,4 juta orang miskin dan tidak mampu. Jumlah itu cukup bahkan berlebih jika diambil dari cukai rokok yang ratusan triliun.
Peserta rela mengiur untuk Jaminan Kesehatan, walaupun itu menjadi kewajiban negara merujuk pada Pasal 28H ayat (1) "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".
Masyarakat yang menjadi peserta JKN, sebenarnya sudah rela berkurban untuk membayar iuran JKN dari kantongnya sendiri, dan atau sharing dengan perusahaannya bekerja, tidak mengusik dan menuntut dari APBN yang 65% berasal dari uang pajak masyarakat.
Tetapi kerelaan dan keikhlasan peserta itu, akan menjadi kekecewaan dan kemarahan peserta, dengan terbongkarnya kasus RAT. Pejabat eselon 3 kantor Pajak, punya transaksi uang sampai Rp,. 500 milyar. Tidak sampai di situ, ada potensi pencucian uang Rp. 300 triliun dikalangan 467 pegawai pajak, sejak 2009 sampai 2023.
Selama 13 tahun, bagaimana bisa tidak terlacak, akal sehat tidak cukup kuat memikirkannya. Dan ingat selama 13 tahun itu 6 tahun terakhir menterinya adalah Sri Mulyani. Apakah selama 6 tahun itu Sri Mulyani menderita influenza terus menerus sehingga tidak dapat mencium beredarnya transaksi pencucian uang.
Memang selama 13 tahun itu, Menkeu silih berganti, sebut saja Jusuf Anwar, Sri Mulyani, Agus Marto, Hatta Rajasa, Muhammad Chatib Basri, Bambang Brodjonegoro, dan kembali ke Sri Mulyani. Dari nama-nama tersebut, yang lama menjabat adalah Agus Marto (3 tahun) dan Sri Mulyani (6 tahun sampai sekarang).
Perkara peredaran uang 300 triliun dikalangan 467 pegawai ditjen Pajak, apalagi itu berupa pencucian uang, dan menurut Mahfud tidak sama dengan korupsi, merupakan kalimat bersayap yang harus didalami maknanya. Kenapa uang itu harus dicuci? Karena kotor. Uang kotor itu maknanya tidak halal. Bisa dari gratifikasi, korupsi, bisnis haram, dan lain sebagainya.
Kalau memang durasi 300 triliun itu 13 tahun dalam pemantauan PPATK, bisa dilihat, frekuensi tertingginya pada periode Menteri Keuangan nya siapa? Atau lebih keatas lagi, pada periode pemerintahan siapa? Jokowi atau SBY? Pertanyaan itu harus bisa dijawab oleh Menkeu dan PPATK. Pasti tidak sulit. Menko Polhukam sudah nyebut angkanya dan jumlah orang yang terlibat.
Uang 300 triliun itu bukanlah sedikit. Dapat membiayai 96,4 juta orang miskin bebas pelayanan JKN selama 6,5 tahun. Karena PBI JKN untuk orang miskin dan tidak mampu sebanyak 96,4 juta jiwa, negara menggelontorkan APBN sekitar Rp. 46 triliun per tahun. Atau sekurang-kurangnya selama 2,5 tahun BPJS Kesehatan tidak perlu menarik iuran kepada 240 juta peserta JKN saat ini, cukup dari 300 triliun itu. Sekali lagi angka itu bukanlah sedikit.
Bayangkan, peserta JKN, menyisihkan dari pendapatannya untuk membayarkan iuran JKN, agar tidak memberatkan APBN Pemerintah ini. Tetapi pada saat yang sama, pada sisi lain, ada sekelompok pegawai Pajak melakukan pencucian uang selama bekerja di Kemenkeu.
Penyelesaiannya tidak cukup dengan konferensi pers berdua Menko Polhukam Mahfud MD, dan Menkeu Sri Mulyani. Dilanjutkan dengan berbagai klarifikasi narasi para pejabat eselon 1 Kemenkeu. Itu tidak perlu lagi. Kepercayaan masyarakat sudah habis bahkan minus.
DPR secara kelembagaan harus bereaksi. Ketua DPR RI harus bicara dan duduk bersama dengan lembaga tertinggi lainnya Presiden, Ketua BPK, dan Ketua MA. Bedah persoalan kronis itu. Ini saatnya Ketua DPR RI Puan Maharani, menunjukkan eksistensi dan kemampuannya dapat menyelesaikan persoalan negara yang sedang semrawut ini. Kemampuan Ketua DPR RI mencari solusi tentu memberikan dampak positif untuk pencalonan Puan sebagai Capres PDI-P.
Untuk Sri Mulyani, penulis tidak sanggup lagi menyarankan untuk mundur, karena sudah terlalu banyak kelompok masyarakat yang meminta beliau mundur. Biarlah hati nurani Sri Mulyani sendiri berdialog dalam batinnya. Sampai suatu titik pilihan yang harus ditentukan oleh Sri Mulyani.
Cibubur,13 Maret 2023