Masih Ada Jalan Keluar

Oleh Smith Alhadar - Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Hari ini kita semua meriang.

Speechless! 

Helpless! 

Ibu Pertiwi sedang mengungkap luka-lukanya. Sebagian sudah bernanah. 

KKN yang kita kira sudah terkubur pasca reformasi 1998, ternyata masih hidup.

Bahkan, dengan spirit yang semakin vulgar!

Skandal korupsi dan pencucian uang di Ditjen Pajak dan Bea Cukai, Kementerian Keuangan, seperti celana dalam pemerintah yang terekspos di mall. 

Bayangkan, 460 pegawai terlibat korupsi dan transaksi gelap mencapai Rp 300 triliun. 

Tidak mungkin Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) tidak tahu.

Ketika khalayak menonton aib itu dengan perasaan jijik, Presiden Jokowi "kabur" ke Solo. Dalihnya, menyidak kantor pajak di sana. 

Aneh, peristiwa terjadi di hulu, ia menyidak di hilir bersama SMI. 

Mungkin tujuannya mengirim pesan ke publik bahwa pemerintah "peduli" pada kasus itu.

Tapi karena responsnya tidak masuk akal, drama di Solo lebih mungkin disebabkan ketidaksanggupan mereka menghadapi skandal yang nampak sudah lama  dirahasiakannya.

Skandal itu sudah berlangsung sejak 2009 dan *sudah dilaporkan 200 kali oleh lembaga berwenang (PPATK).

Namun, tak ditanggapi.

Pemerintahan Jokowi memang meremehkan  KKN sebagai isu yang tidak berguna. 

Lihat, dua putera Jokowi yang masih "ingusan" dalam bisnis tiba-tiba memiliki puluhan perusahaan bernilai ratusan miliar rupiah hanya dalam waktu singkat. 

Dari mana mereka peroleh modal?

Pada awal 2022, dosen UNJ Ubedillah Badrun membawa kasus yang diduga hasil KKN Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep dengan ologarki ke KPK. 

Ia meyakini modal yang masuk berasal dari perusahaan besar yang punya masalah hukum.

Perusahaan itu adalah PT Sinar Mas yang divonis pengadilan dengan denda triliunan rupiah akibat pembakaran hutan.

Setelah berkongsi dengan Gibran dan Kaesang, jumlah denda berubah menjadi hanya 90-an miliar rupiah. Ubedillah menghubungkan pengurangan denda itu dengan peran Gibran dan Kaesang sebagai anak presiden. Nampak masuk akal bukan?

Aroma KKN keluarga Jokowi kian menyengat manakala Gibran dan iparnya, Bobby Nasution, menang mudah dalam pilkot di Solo dan Medan. Kemenangan dua anak muda yang tak berpengalaman ini tak terbayangkan kalau mereka bukan anggota keluarga dekat presiden.

Bukan tidak mungkin sikap permisif Jokowi terhadap KKN-lah yang menjadi penyebab tumbuhnya kasus-kasus korupsi dan pencucian uang bagai jamur di musim hujan, yang melibatkan menteri, hakim agung, anggota DPR, petinggi parpol, gubernur, bupati, komisioner KPU, komisioner KPK, dan banyak lagi yang lain. 

Kasus mega korupsi yang menonjol adalah penggarongan dana PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri.

Mereka tega mencuri duit rakyat ketika  hampir 200 juta jiwa warga masih hidup  di bawah garis kemiskinan, nyaris miskin, dan rentan miskin. 

Ini mencerminkan bertahannya moral bejat pejabat publik.

Ironisnya, pemerintah malah melemahkan KPK.

Sudah dilemahkan pun pemerintah masih belum puas atas kiprah lembaga antirasuah itu. 

Belum lama ini, Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan *memprotes KPK yang masih melakukan operasi tangkap tangan.

Independensi KPK dihilangkan dengan menempatkannya sebagai bagian dari rumpun eksekutif. 

Di bawah kendali presiden, KPK jadi alat untuk melayani tujuan-tujuan politik penguasa. 

Tak heran, KPK menolak menindaklanjuti laporan Ubedillah terkait KKN anak-anak presiden, tapi KPK berupaya keras mempersangkakan Anies Baswedan, bakal capres antitesa Jokowi, dalam kasus Formula-E meskipun tidak memiliki bukti.

Moral hazard yang terang benderang ini membuat kita merasa berdosa pada founders fathers yang hidup pas-pasan selama hidup mereka. Juga pada rakyat, yang dulu berjuang tanpa pamrih untuk menghancurkan kolonialisme dan feodalisme yang mengisap darah bangsa habis-habisan.

Maka, menghapus kejahilan, menegakkan keadilan, memulihkan kemanusiaan, dan membangun peradaban baru adalah roh perjuangan kemerdekaan. Republik ini memang dilahirkan oleh keringat, moralitas, dan ilmu pengetahuan. 

Juga cita-cita mengangkat martabat bangsa yang selama ratusan tahun diposisikan sebagai bangsa yang kalah.

Tapi hari ini, optimisme menjadi bangsa hebat kehilangan moralitas dan rasionalitasnya. 

Barbarisme gaya baru sedang menggerogoti pilar-pilar bangsa.

Kejahatan yang berpusat pada pemimpin jahil yang, karena kecelakaan sejarah, mendapat mandat untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional.

Musibah dimulai pada 2014 ketika Jokowi, tukang mebel dari Solo yang tak suka membaca buku, dilantik menjadi presiden untuk bangsa besar yang sangat dinamis. Kemenangannya bukan karena visi atau kapasitasnya, melainkan hasil gotong royong berbagai kekuatan dengan kepentingan masing-masing.

Rendahnya mutu pemimpin justru menjadi kelebihannya karena oligarki ekonomi dan politik bersedia membiayai capres yang nanti akan mereka manfaatkan. Mungkin Jokowi tahu persis kapasitasnya hanya cukup menjadi walikota Solo.

Sadar juga ada banyak kepentingan yang culas di belakangnya. 

Tapi obsesi menjadi presiden tak mampu ia tundukan sebagai sikap tahu diri.

Kebetulan momentum menjadi manusia paling "agung" di negeri ini tersedia untuknya secara cuma-cuma. 

Ia hanya perlu duduk manis, selebihnya akan dikerjakan para predator ekonomi berbagai jenis. 

Mereka lalu menyusun siasat curang untuk mengubah total citra Jokowi.

Mengandalkan "prestasinya" di kota kecil Solo tentu saja tidak bisa dijual sebagai bobot capres.

Maka disebarkan secara besar-besaran bahwa sarjana kehutanan itu membikin mobil nasional Esemka. Sarjana kehutanan BERUBAH menjadi insinyur teknik mesin!

Penipuan ini sebenarnya mudah dibongkar media, tapi mereka punya komitmen menyingkirkan pesaingnya, Prabowo Subianto (menantu tokoh Orde Baru Soeharto) yang diberitakan punya rekam jejak yang suram.

Kegiatan blusukan Jokowi yang rutin sejak pagi sekali ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta dijual sebagai sebagai model kepemimpinan baru yang inovatif dan kreatif. Amboi! 

Padahal, kegiatan turun ke lapangan sebenarnya harus dicurigai sebagai upaya pencitraan. Dan tanpa ia sadari sebenarnya lebih mencerminkan bakatnya sebagai Tukang, bukan Negarawan.

Harus diakui Jokowi memang rajin. Ia tak sanggup duduk lama-lama di kantor untuk berpikir, membaca berita, bertukar pikiran dengan pakar tatakota, memahami masalah sosial kaum urban, lingkungan, dan mendesain pembangunan dengan mempertimbangkan semua aspek yang relevan.

Jargon "Jokowi adalah Kita" adalah branding yang dijual selama kampanye pilpres untuk menegaskan ia adalah tokoh berjiwa kerakyatan dan sederhana. Dengan kata lain, dialah pemimpin otentik rakyat. Slogan itu menarik hati rakyat karena sejak merdeka, presiden Indonesia selalu datang dari kalangan elite yang duduk di menara gading.

Rakyat ingin punya presiden yang datang dari kalangan mereka sendiri. "Jokowi adalah Kita" didukung fakta lahiriah Jokowi. Perawakannya memang perawakan rakyat, yang dikuatkan dengan busana sederhana  yang dikenakannya.

Revolusi Mental", jargon lain yang dijual Jokowi, juga menarik perhatian publik di tengah frustrasi mereka melihat kian kokohnya budaya korupsi di kalangan birokrat dan pejabat, yang sudah sangat lama menjadi keprihatinan rakyat.

Akhirnya, Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo  yang pandai tapi "lugu" dalam politik -- yang dulu dia berjanji untuk tidak akan menominasikan dirinya sebagai capres sebagai balas budinya kepada Prabowo yang sangat berjasa dalam menjadikannya  gubernur DKI.

Setelah hasil pilpres 2014 diumumkan, massa besar rakyat di seluruh Nusantara bergembira ria atas kemenangan "moralitas" dan "kesederhanaan". Tapi, tak lama, orang-orang pandai MULAI menyadari kekurangan fundamental pada presiden ini: moralitas dan kapasitas.

Walakin, suara gemuruh mereka di media sosial untuk membangunkan rakyat berlalu sia-sia. 

Bahkan, ketika Jokowi tak memenuhi satu pun dari 60 janji yang dilontarkan selama kampanye. Rakyat terlanjur kesemsem pada "kesederhanaannya" yang diasosiasikan dengan kejujuran, keikhlasan, dan kepolosan. 

Jargon "Jokowi adalah Kita" telah terpatri dalam benak dan sanubari pendukungnya. Bahkan, sempat mengecoh para akademisi dan cendekiawan hingga hari ini.

Fakta ini menyulitkan para pengamat kritis untuk mengoreksi anomali-anomali yang muncul dari dalam diri Jokowi dan pemerintahannya. Ini membuat langkah pemerintah makin kebablasan. Apalagi, parlemen dikuasai parpol koalisi pendukung pemerintah yang hanya menjadi tukang stempel pemerintah.

Anomaki-anomali tersebut mencakup perilaku Jokowi yang tidak presidensial, terkesan kurang jujur, dan cenderung menyalahkan bawahannya bila kebijakan mereka dikritik rakyat.

Singkatnya, semua itu menimbulkan pertanyaan terhadap integritas Jokowi. "Revolusi Mental" -- yang dia maksudkan sebagai sikap jujur, hidup sederhana, dan kerja keras -- ternyata hanya pepesan kosong.

Ekonom Rizal Ramli menyatakan Jokowi adalah presiden paling boros karena seringnya ia bepergian walaupun hanya bertemu dengan 50 orang. Maksudnya, blusukannya tidak produktif dan hanya menghabiskan anggaran negara secara sia-sia.

Bagaimanapun, dengan semua yang telah dipaparkan di atas -- ditambah kebijakan-kebijakan kontroversialnya -- tidak berdampak merugikan  pemerintahannya. Dengan demikian, ke depan KKN dan kebijakan yang berpotensi merusak tatanan demokratis dan sendi-sendi bernegara masih akan terjadi. 

Yang mengerikan, pemerintah tetap percaya diri bahwa semua yang dilakukan telah membuah hasil gilang-gemilang.

Karena itu, Luhut menyatakan bodoh-goblok pengganti Jokowi yang tidak meneruskan rancang bangun pembangunan pemerintahannya. Ia tak peduli bahwa di bawah pemerintahan Jokowi, kemiskinan dan pengangguran meluas, jurang kaya-miskin melebar, utang negara semakin menakutkan, dan mubazirnya banyak proyek infrastruktur yang boros.

Dengan sikap jumawa bahwa kebijakan pemerintah sudah tepat dalam konteks kepentingan jangka panjang Indonesia, pemerintah merasa punya justifikasi moril untuk memperpanjang masa jabatan presiden dengan berbagai cara. Padahal, kalau ambisi ini terwujud atau presiden terpilih nanti adalah pelanjut ideologi dan skema pembangunan Jokowi, maka negara ini akan kian amburadul.

Tak banyak pilihan yang tersedia untuk menyelamatkan negara dari kerusakan lebih jauh, kecuali bergantinya pemerintahan. 

Tapi ini belum cukup kalau pengganti Jokowi adalah pendukung status quo.

Kita memerlukan pemimpin otentik yang visioner, yang berpikir out of the box. Berdasarkan pertimbangan objektif, rekam jejak ketika memimpin Jakarta, kapasitas moral dan intelektual, berkomitmen pada nilai-nilai Republik 

-- di antaranya, menegakkan keadilan sosial dan membasmi KKN 

-- hanya bakal capres Anies Baswedan yang memenuhi persyaratan ini.

Ya, hanya Anies yang dapat kita andalkan untuk menyembuhkan luka-luka Ibu Pertiwi. 

Bahkan, dapat diharapkan membawa kejayaan bangsa di tengah dinamika geopolitik dan geoekonomi global yang sangat dinamis. 

Memilih bakal capres lain berpotensi menciptakan kecelakaan sejarah untuk ketiga kalinya.

Tangsel, 12 Maret 2023.

228

Related Post