Polemik Hutan Hijau di Zonasi Hijau
Oleh Fran Fardariko - Independent Analis Pertahanan, Strategi, Konflik, dan Public Policy. Alumnus Victoria University, Wellington, New Zealand.
KERUSAKAN hutan di Indonesia tidak hanya terjadi pada hutan produksi tetapi juga terjadi pada hutan lindung dan hutan konservasi (cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, taman buru).
Kawasan hutan lindung mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistim penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir, mencegah intrusi air laut dan memelihara tanah (UU No. 41 Tahun 1999). Namun kawasan hutan lindung saat ini sudah banyak yang beralih fungsi karena tidak jelasnya batas batas kawasan hutan lindung atau hutan kota di zona hijau, sehingga mengakibatkan kawasan hutan lindung/kota sudah menjadi kawasan hunian yang penduduknya berkembang secara turun menurun.
Sebenarnya kerusakan hutan saat ini dikarenakan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan lahan garapan khususnya lahan untuk perkebunan di dalam dan luar Jawa. Penebangan legal yang berlebihan, meningkatnya jumlah penduduk, kurangnya lahan pemukiman, masyarakat belum mengetahui secara benar fungsi dan manfaat hutan, hutan diubah menjadi kawasan pertambangan kawasan pertanian, sehingga fungsi hutan secara hutan hilang.
Khusus di wilayah Depok dan Jawa Barat, degradasi hutan rakyat dkarenakan alih fungsi menjadi kawasan pemukiman, lahan Kampus, lahan usaha kecil dan industri menengah dll. Masalah yang serius dihadapi di Jawa Barat adalah pelestarian hutan rakyat dan kawasan hijau di sekitar mata air/setu/sungai. Kondisi ini perlu tindak lanjut dan pemberian masukan kepada pemerintah Kabupaten/kota, BPN, serta Pemerintah Desa untuk penuangan aturan zonasi untuk perlindungan hutan dan kepemilikan nya.
Karena di lapangan sering terjadi polemik kepemilikan lahan antara pemerintah, swasta dan perorangan. Saya ambil contoh lahan tidur di bantaran Setu Sawangan atau Sungai Pesanggrahan Cinere Depok, yang awalnya tandus, lalu digarap dan ditanami oleh perorangan, di rawat dengan sedemikian teliti lalu menjadi tempat subur beraneka flora dan fauna pun hidup di sekitar kawasan hutan baru tersebut.
Masyarakat sekitar menemukan ruang baru yang hijau dan rimbun tanpa batas wilayah berupa pagar, menjadi public entry space, oxigen bersih pun tersirkulasi. Namun demikian, kemudian timbul polemik baru bagi perorangan yang sudah menumbuhkembangkan pepohonan yang sudah besar dan rimbun di lahan tersebut. Bukan sedikit energi, waktu, dan keuangan pribadi yang di investasikan di hutan hijau tersebut. Pertanyaannya sederhana, siapa yang berhak merawat hutan baru tersebut untuk jangka ratusan tahun ke depan, sementara pemerintah tidak menuangkan anggaran untuk perawatan.
Di lain pihak pemerintah kota Depok tidak mengakui sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN dengan alasan lahan tersebut berada di zonasi hijau pinggiran setu/danau, atau BPN tidak ingin sama sekali mengeluarkan sertifikat kepemilikan lahan karena alasan yang sama.
Menjadi pertanyaan sederhana, siapa yang mau menginvestasikan waktu, energi, dan keuangan di hutan baru tersebut? Sehingga untuk ratusan tahun ke depan tidak lagi menimbulkan polemik. Mencontoh di beberapa negara OECD dan negara persemakmuran, hutan di zona hijau dapat dirawat dan dimiliki oleh yayasan, perorangan dan bahkan di bawah perusahaan medium micro. Bagaimana bisa? Karena pemerintahnya mengeluarkan kebijakan/public policy dengan catatan semi kepemilikan berupa "Strata Title".
Ruang terbuka hijau yang dirawat oleh uang pribadi, dan apalagi di konservasi untuk umum, maka harus ada kebijakan spesifik yang bernama "Strata Title" tersebut, hak kepemilikan umum yang boleh ditempatkan pribadi, bahkan di miliki pribadi secara permanen/periodik, atau dimiliki bersama pemerintah/pribadi atau konservasi permanen yang boleh dirawat selamanya oleh perorangan/CV/foundation untuk kepentingan public space dan di atasnya diizinkan bangunan semi permanen dengan ukuran minimum, dengan alasan mendasar konservasi hutan di zona hijau dan ruang edukasi publik.
Dan ini jauh lebih efisien bagi pemerintah dalam menghemat anggaran belanja khususnya untuk pelestarian hutan dalam kota atau di bantaran danau dan sungai. Sehingga si perawat lahan dapat mewariskan sebuah legacy kepada badan, atau orang yang di tunjuk tanpa menimbulkan gesekan atau polemik baru. Dengan begitu public policy/kebijakan pemerintah akan jauh lebih bermarwah dan terhormat.
Dan publik akan jauh lebih diuntungkan dalam konteks penerapan kebijakan dari undang-undang tersebut. Dan kebijakan ini dapat diterapkan di bekas wilayah pertambangan di seputaran IKN, bahkan pemerintah dapat memberi insentif kepada penumbuh kembang hutan baru, kayunya boleh dipakai, lalu ditanam ulang.
Saya yakin dengan kebijakan publik/public policy seperti ini akan bermunculan hutan-hutan baru bahkan di taman kota, dan menjadi poin pokok sustainable development. (*)